Você está na página 1de 22

BAB I

PENDAHULUAN

Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan suatu
antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan
berikutnya. World Allergy Organization (WAO) menunjukkan prevalensi alergi terus
meningkat dengan angka 30-40% populasi dunia. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada
angka pastinya, namun beberapa peneliti memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi di
Indonesia mencapai 30% per tahunnya.1
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Walaupun
kejadian alergi makanan lebih sering ditemui pada anak-anak, penelitian terbaru melaporkan
1,4-6% populasi dewasa juga pernah mengalami alergi makanan. Seperti alergen lain, alergi
terhadap makanan dapat bermanifestasi pada satu atau berbagai organ target, dari reaksi yang
ringan hingga berat. Namun tidak semua reaksi makanan yang tak diinginkan dapat disebut
sebagai alergi makanan. Klasifikasi yang dikeluarkan EAACI (European Association of
Allergy and Clinical Immunology) membagi reaksi makanan yang tidak diinginkan menjadi
reaksi toksik dan reaksi non-toksik. Reaksi toksik ditimbulkan iritan tertentu atau racun
dalam makanan, misalnya jamur, susu atau daging terkontaminasi atau sisa pestisida dalam
makanan. Reaksi non-toksik dapat berupa reaksi imunologis (alergi makanan) dan reaksi non-
imunologis (intoleransi makanan). Intoleransi makanan dapat diakibatkan zat yang terdapat
pada makanan tersebut, farmakologi makanan, akibat kelainan pada orang tersebut (seperti
defisiensi laktosa), atau idiosinkrasi.
Selain makanan, obat merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan reaksi yang
tidak diinginkan/ adverse drug reaction (ADR), termasuk intoleransi dan alergi obat. Obat
adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk eksplorasi atau mengubah keadaan
fisiologik atau patologik dengan tujuan mendatangkan keuntungan bagi pemakai obat untuk
diagnosis, terapi, maupun profilaksis.
Adverse drug reaction dapat timbul dari yang paling ringan hingga yang sangat berat
1,2
dan dapat menimbulkan kematian. Contoh ADR yang berat yang dapat menyebabkan
kematian antara lain keracunan dan syok anafilaktik, sedangkan sebagai contoh yang ringan
adalah rasa gatal dan mengantuk. Jenis ADR sangatlah banyak, dari yang dapat diperkirakan
akan timbul sampai yang tidak kita perkirakan sehingga potensial membahayakan
keselamatan jiwa pasien.3

1
Adverse drug reaction merupakan masalah kesehatan iatrogenik yang paling sering
terjadi, muncul pada 5-15% terapi dengan obat. Rawlin dan Thompson membagi ADR
menjadi 2 kelompok yaitu tipe A dan tipe B. Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat
diprediksi, lazim terjadi, bergantung pada dosis, berhubungan dengan farmakologi obat, dan
3,20
dapat terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A terjadi sekitar 80% dari kasus-kasus
ADR.21 Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak
bergantung pada dosis dan sering tidak berhubungan dengan farmakologi obat, serta hanya
terjadi pada individu yang rentan.3,20 Reaksi ini meliputi intoleransi, reaksi idiosinkrasi,
reaksi alergi dan pseudoalergi. Sekitar 25-30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik.22
Tingginya angka kejadian reaksi adversi, baik intoleransi maupun alergi, yang
dicetuskan oleh obat dan makanan, serta masalah kesehatan yang ditimbulkannya, menjadi
perhatian khusus bagi dokter untuk dapat menguasai diagnosa dan penatalaksanaannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. INTOLERANSI DAN ALERGI MAKANAN


1. Definisi, Insidensi, dan Prevalensi
Adverse reaction terhadap makanan merupakan setiap reaksi yang tidak
dikehendaki yang timbul setelah mukosa saluran makanan terpapar suatu makanan
atau bahan tambahan yang terkandung dalam makanan. EAACI (European
Association of Allergy and Clinical Immunology) membagi reaksi adverse ini menjadi
reaksi toksik dan reaksi non toksik 23,24.
Reaksi toksik ditimbulkan iritan tertentu atau racun dalam makanan, misal
jamur, susu, daging terkontaminasi, atau sisa pestisida dalam makanan. Sedangkan
reaksi non toksik dapat berupa reaksi imunologis (alergi makanan) dan reaksi non
imunologis/fisiologis (intoleransi makanan). Intoleransi makanan dapat diakibatkan:
a. Zat yang terdapat pada makanan/ farmakologi makanan tersebut, misal histamin
yang terdapat pada ikan yang diawetkan, tiramin pada keju yang menyebabkan
reaksi mual, muntah, dan nyeri kepala, serta monosodium glutamat yang dapat
menyebabkan flushing, sakit kepala, dan nyeri perut. Intoleransi makanan ini
menimbulkan gejala yang menyerupai keracunan makanan. Secara umum reaksi
yang timbul ringan dan hilang dengan sendirinya. Namun bila berat, ditatalaksana
menyerupai keracunan makanan dengan obat pencahar atau perangsang muntah,
pencucian lambung, rehidrasi bila muntah berkelanjutan, dan terapi simptomatis
lainnya, seperti analgesik untuk mengurangi nyeri.
b. Kelainan metabolik, misal defisiensi laktosa yang menyebabkan diare dan
keluhan pada perut setelah mengkonsumsi bahan yang mengandung laktosa.
c. Pengaruh psikis berupa ketidaksukaan atau respon emosional terhadap makanan
tertentu. Keluhan yang timbul tidak spesifik dan tidak muncul ketika penderita
23,24
dihadapkan pada blinded food challenge .

Tabel 1. Contoh Berbagai Mekanisme Intoleransi Makanan 24


Mekanisme Kategori Contoh
Kelainan Gula Laktosa, sukrosa, manosa
metabolik Alkohol Bir, anggur, alkohol lain
Kafein Kopi, soft drink
Kimiawi Sodium Salad
Metabisulfit Anggur, buah yang dikeringkan

3
Monosodium glutamat Makanan cina
Nitrit Pengawet
Nitrat Daging, ikan
Histamin Ikan
Feniletilamin Coklat
Serotonin Pisang, tomat
Teobromin Coklat, teh
Triptamin Tomat, plum
Tiramin Keju tua, anggur merah

Intoleransi laktosa merupakan kasus intoleransi makanan akibat kelainan


metabolik yang terbanyak. Prevalensi intoleransi laktosa sangat bervariasi di seluruh
dunia. Prevalensi terbanyak terdapat pada populasi yang secara kultural tidak
mengkonsumsi susu atau produk susu selama masa penyapihan, yaitu 67-100% pada
penduduk asli Amerika dan Australia, 95% pada sebagian negara di Amerika Selatan
(Kolombia, Peru, dan Suriname), 90% pada sebagian besar negara di Asia (Jepang,
Thailand, Cina, Taiwan, dan Indonesia), serta 85% pada kebanyakan negara di Afrika
(Etiopia, Nigeria, dan Afrika Selatan). Prevalensi terendah (0-17%) ditemukan pada
populasi Kaukasian dari Eropa Utara, kelompok suku tertentu di Afrika, India Utara
dan India Barat. Pada populasi Timur Tengah, Iran, Jordan, Syria, Israel, India, dan
sekitar Mediteranian, prevalensi berkisar 30-100% 27.
Di Amerika Selatan, intoleransi laktosa dilaporkan mulai terlihat setelah anak
berusia 1 tahun, sedangkan pada populasi Kaukasian setelah 5 tahun, dan Finlandia
setelah remaja. Di Indonesia, prevalensi malabsorbsi laktosa pada anak usia 1-6 tahun
sebesar 72% dan sebesar 68% pada anak usia 6-12 tahun. Kejadian pada anak usia 3
tahun sebesar 9,1%, usia 4 tahun 21,7%, dan meningkat pada usia 5 tahun sebesar
28,6% 27.
Alergi makanan merupakan respon abnormal makanan yang diperantarai
reaksi imunologis. Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi
pada satu atau berbagai organ target, seperti pada kulit (urtikaria, angioedema,
dermatitis atopik), saluran nafas (rhinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen,
muntah, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik) 23,24.

Tabel 2. Perbedaan Antara Alergi dan Intoleransi Makanan28


Alergi Makanan Intoleransi Makanan
Ada sensitisasi Tidak ada sensitisasi
Imunologik Non-imunologik
Gejala klinis jelas Gejala klinis sering tidak spesifik

4
Timbul pada dosis rendah Sebagian tergantung dosis
Kadang ada riwayat keluarga Tanpa riwayat keluarga (kecuali
defisiensi enzim)
Sedikit dipengaruhi psikis Dipengaruhi psikis kuat

Kejadian alergi dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin, pola makan,
jenis makanan, dan faktor lingkungan. Berdasarkan data dari World Allergy
Organization (WAO) 2011, 22% dari total populasi dunia menderita alergi makanan
dan terus meningkat setiap tahun. Data dari Center for Disease Control and
Prevention (CDC) yang mencatat bahwa angka kejadian alergi makanan meningkat
tiga kali lipat sejak 1993 hingga 2006. Di Indonesia, prevalensi alergi makanan
sebanyak 5-11%. Angka yang masih kecil ini kemungkinan dikarenakan masih
banyak masyarakat yang tidak melakukan tes alergi dan tempat untuk melakukan tes
alergi masih belum banyak ditemukan.26
Alergi makanan lebih sering terjadi pada anak di bawah usia 3 tahun karena
belum matangnya sistem imunitas mukosa saluran cerna. Alergi makanan dilaporkan
bervariasi di berbagai negara, antara 6-8%. Dari jumlah tersebut yang terbanyak
adalah alergi terhadap susu sapi (2,5%), alergi telur (1,5%), dan aleri kacang (0,5%).
Sedikitnya 2,5% bayi memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap susu sapi sampai usia
25 tahun, 25% di antaranya akan menetap sampai dewasa. Jenis makanan yang sering
menimbulkan reaksi alergi pada pada anak adalah berbagai jenis protein, seperti susu
sapi, telur, kacang-kacangan, ikan, kedelai, dan gandum (85%) 3. Data dari Poliklinik
Alergi-Imunologi Anak RSCM, dari pasien anak yang menderita alergi, 2,4% nya
26
alergi susu sapi . Anak dengan riwayat atopi dalam keluarganya akan cenderung
alergi terhadap makanan tertentu. Ditemukan 35% anak dengan dermatitis atopi juga
memiliki alergi makanan. Pada 6% anak asma juga dilaporkan mengalami eksaserbasi
25
setelah mengkonsumsi makanan tertentu . Berdasarkan sebuah penelitian di
Indonesia tahun 2011, dari 400 anak umur 3-12 tahun didapatkan 60% penderita
alergi makanan adalah perempuan, dan 40% adalah laki-laki26.
Insidensi alergi makanan pada orang dewasa tidak banyak dilaporkan. Di
Amerika hanya 2% populasi dewasa yang memiliki alergi terhadap makanan.
Prevalensi perempuan dewasa lebih banyak daripada laki-laki dewasa. Yang paling
sering menimbulkan alergi pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan,
makanan laut, zat pewarna, zat aditif, dan pemanis buatan. Prevalensi jenis makanan

5
tergantung pada budaya dan geografis, yaitu nasi di Jepang, ikan di Skandinavia, buah
di Spanyol, serta di Amerika susu sapi, soya, telur, gandum, kacang, dan ikan 25.

2. Diagnosis Alergi Makanan


Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal terpenting dalam alergi
makanan. Dibutuhkan anamnesis yang menyeluruh unuk membedakan antara reaksi
alergi dan intoleransi makanan. Data yang penting pada evaluasi alergi makanan
adalah 23,24:
a. Makanan yang dicurigai.
b. Banyaknya bahan makanan yang diperlukan untuk memicu timbulnya reaksi.
c. Adanya riwayat timbul reaksi pada setiap kali paparan.
d. Waktu antara paparan dengan timbulnya reaksi.
e. Manifestasi klinis yang sesuai dengan alergi makanan.
f. Hilangnya gejala setelah bahan makanan yang dicurigai dieliminasi.
g. Lama berlangsungnya gejala.
h. Pengobatan yang diperlukan untuk mengatasi reaksi.
Dari gambaran klinis, perlu dibedakan reaksi yang terjadi diperantarai IgE dan
yang tidak diperantai IgE. Gambaran klinis reaksi yang diperantarai IgE menunjukkan
manifestasi pada kulit, gastrointestinal, mata, kardiovaskular, dan saluran nafas.
Manifestasi kulit merupakan yang paling sering dijumpai. Reaksinya bervariasi mulai
dari urtikaria akut, eritem, pruritis, angioedema hingga bercak kulit menyerupai
morbili. Terbanyak kedua adalah gejala gastrointestinal, berupa angioedema pada
bibir, lidah, dan palatum, pruritus oral, bengkak lidah, mual, muntah, diare, dan kram
perut. Pemeriksaan endoskopi menunjukkan adanya hyperemia, edema, petekie,
peningkatan sekresi mucus, dan penurunan peristaltic setelah paparan allergen
makanan. Pada mata timbul gejala pruritus, eritem konjungtiva, berair, edema
periorbita. Pada kardiovaskuler timbul takikardi (bradikardi pada reaksi anakfilaksis),
hipotensi, dizziness, dan kehilangan kesadaran Sedangkan gejala respiratorik dapat
berupa kongest nasal, pruritus, bersin, rinorrhea, batuk kering, spasme otot polos
bronkus, edema laring, dan sesak nafas.29
Manifestasi klinis alergi makanan yang tidak dimediasi IgE meliputi food-
induced enterocolitis, food-induced colitis, sindroma malabsorbsi, dan penyakit
celiac. Gejala food-induced enterocolitis muncul dalam waktu 1-8 jam setelah
paparan, berupa diare kronik, eosinofilia, dan malabsorbsi. Gejala yang parah dapat
6
menyebabkan dehidrasi. Sedangkan pada food-induced colitis tidak ditemui adanya
diare atau dehidrasi, namun dapat terjadi hematochezia atau perdarahan samar pada
feses. Pemeriksaan feses menunjukkan adanya eritrosit, netrofil, eosinofil, dan zat-zat
pereduksi. Biopsi pada segmen usus halus yang terkena menunjukkan atropi parsial
pada vili usus, infiltrasi sel limfosit, dan sel plasma yang mengandung IgM dan IgA.
Sedangkan biopsi kolon menunjukkan infiltrasi eosinofil pada epitel kripta da lamina
propia, disertai kerusakan kripta. Gejala pertama malabsorbsi makanan biasanya
terjadi pada bayi usia beberapa bulan dengan manifestasi bervariasi, mulai dari feses
yang mengandung lemak, hingga diare, berat badan yang tidak bertambah dan
kegagalan tumbuh kembang.24

Tabel 3. Manifestasi Alergi Makanan pada Berbagai Organ24


Organ target Hipersesitivitas IgE Hipersensitivitas non IgE
Kulit Urtikaria, angioedema Dermatitis atopic
Dermatitis atopik Dermatitis herpetiformis
Saluran cerna Sindroma alergi oral Protokolitis
Anafilaksis Enterokolitis
gastrointestinal
Gastroenteritis eosinofilik Gastroenteritis eosinofilik
alergi alergi, sindrom enteropati,
penyakit celiac
Saluran nafas Asma, rhinitis alergi Sindrom Heiner (pada anak)
Multisistem Food-induced anaphylaxis
Food associated, exercise-
induced anaphylaxis

Beberapa uji (baik secara in vivo, yaitu uji tusuk kulit dan diet eliminasi,
maupun secara in vitro, yaitu pengukuran IgE spesifik) untuk membuktikan adanya
alergi makanan:29
a. Uji tusuk kulit.
Dilakukan pada penderita yang gejalanya dicurigai sebagai reaksi yang dimediasi
oleh IgE. Digunakan ekstrak alergen makanan dalam gliserin (dengan
pengenceran 1:20 hingga 1:10), dengan histamine sebagai kontrol positif dan
larutan garam faali sebagai kontrol negatif. Uji tusuk kulit dianggap positif bila
timbul bentol dengan diameter 3 mm lebih besar dari kontrol negatif. Selain uji
tusuk kulit, juga dapat digunakan tes tempel.
b. Diet eliminasi.
Penderita diberi diet selama 7-14 hari, dimana bahan makanan yang dicurigai
dihindari. Bila ada lebih dari 1 makanan yang dicurigai, maka diet eliminasi

7
dilakukan berturut-turut dengan 1 jenis makanan. Makanan yang diduga sebagai
penyebab harus dibuktikan dengan uji tusuk kulit.
c. Double blind placebo kontrolled food challenge dianggap sebagai gold standart
untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Penderita pantang makanan terduga
sedikitnya 2 minggu. Semua obat yang mengganggu interpretasi, seperti histamine
dan kortikosteroid dihentikan. Makanan diberikan dalam bentuk kapsul. Jumlah
awal yang diberikan 125-500 mg, lalu ditingkatkan dua kali lipat setiap 15-60
menit. Untuk mencegah terjadinya reaksi berat, dipersiapkan fasilitas gawat
darurat, seperti epinefrin, antihistamin, steroid, inhalasi beta 2 agonis dan
peralatan resusitasi kardiopulmoner. Selama diuji, penderita diawasi untuk
perubahan kulit, saluran cerna, dan saluran nafas. Tes dihentikan bila timbul
reaksi. Hasil negatif dikonfirmasi setelah penderita menelan makanan yang
dicurigai sebanyak 10 gram dan tidak ada reaksi alergi padanya.
d. Pengukuran IgE spesifik dengan teknik RAST. Pemeriksaan ini hanya dianjurkan
bila terdapat dermatitis atopik yang parah atau dematografisme sehingga uji kulit
tidak dapat dilakukan.
Reaksi alergi makanan yang tidak dimediasi oleh IgE dapat ditegakkan
terutama dengan adanya respon terhadap eliminasi alergen dari target. Food-induced
enterocolitis dan colitis membaik dalam 72 jam setelah eliminasi alergen dari diet.
Gejala yang menetap mungkin disebabkan oleh defisiensi disakarida sekunder.
Sindroma malabsorbsi membutuhkan beberapa hari hingga beberapa minggu untuk
sembuh.23,24

3. Diagnosis Intoleransi Laktosa


Penderita intoleransi laktosa memiliki batas toleransi untuk mengkonsumsi
laktosa. Beberapa gejala klinis intoleransi laktosa, yaitu mual, muntah, sakit perut,
kembung, sering flatus, dan diare. Rasa penuh di perut dan mual timbul dalam waktu
±30 menit, sedangkan nyeri perut, flatus, dan diare timbul dalam waktu 1-2 jam
setelah mengkonsumsi laktosa. Berat ringannya gejala klinis yang timbul tergantung
dari aktivitas lactase, jumlah laktosa, cara mengkonsumsi laktosa, waktu pengosongan
lambung, waktu singgah usus, flora kolon, dan sensitivitas kolon terhadap asidifikasi.
Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis intoleransi laktosa, antara lain:
27,28

8
a. Analisis tinja
Prinsipnya adalah ditemukan asam dan dan bahan pereduksi setelah
mengkonsumsi bahan yang mengandung laktosa. Terdapat 3 macam metode yang
digunakan, yaitu metode Clinitest, kromatografi tinja, dan pH tinja.
b. Elimination diet, seperti yang dilakukan untuk diagnosis alergi makanan.
c. Uji toleransi laktosa
Pasien dipuasakan selama 4-8 jam, kemudian diberi larutan laktosa sebanyak 2
gram/kgBB (maksimal 50 g) dalam konsentrasi 20%. Kadar gula darah diperiksa
setiap 30 menit selama 2 jam. Kenaikan kadar gula kurang dari 20mg% dari nilai
basal dianggap abnormal.
d. Ekskresi galaktosa pada urin
Dengan minum larutan laktosa 2 g/kgBB, dapat diukur kadar galaktosa dalam
urin. Diagnosis intoleransi laktosa tegak apabila ditemukan kadar galaktosa dalam
urin sebesar 0,9 mmol/L atau kurang
e. Hydrogen breath test
Merupakan metode pilihan karena bersifat non invasive, tidak menyakitkan,
dengan sensitifitas 80% dan spesifisitas 100%. Pengujian dilakukan terhadap
jumlah gas hidrogen yang ditiupkan keluar melalui perrnafasan. Laktosa yang
seharusnya dicerna oleh enzim lactase mengalami fermentasi oleh bakteri di
saluran pencernaan sehingga menyebabkan produksi gas hidrogen lebih banyak
dari keadaan normal. Setelah dipuasakan dan diberi larutan laktosa, sampel udara
nafas diambil setiap 30 menit selama 2 jam. Konsentrasi gas hydrogen dapat
diukur dengan gas kromatografi atau laktomer. Diagnosis tegak bila kenaikan
kadar hydrogen sama atau lebih dari 20 ppm dibanding nilai basal (saat puasa).
f. Pemeriksaan radiologis minum barium laktosa
Bila terdapat malabsorbsi laktosa, seri foto usus akan memperlihatkan dilusi
barium dan dilatasi lumen usus. Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena
adanya paparan radiasi.
g. Biopsi usus dan pengukuran aktivitas laktase
Metode ini merupakan baku emas pemeriksaan aktivitas laktase. Nilai normal
untuk neonates 38±4 U/g protein dan 18±4 U/g protein untuk usia diatas 5 tahun.

9
4. Terapi dan Pencegahan
a. Alergi Makanan
Terapi utama alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab.
Penderita dan keluarganya perlu mendapatkan penyuluhan untuk menghindari
alergen. 23,24
Pada reaksi alergi ringan hanya diberikan antihistamin. Jika perlu
ditambahkan kortikosteroid pada reaksi sedang. Sedangkan pada serangan
anafilaksis terapi utamanya adalah epinefrin atau adrenalin.24
Untuk pencegahan, dapat dilakukan upaya menghindari alergen utama
pada makanan ibu selama kehamilan trimester terakhir, seperti kacang tanah.
Anjuran untuk menghindari pemberian susu sapi pada bayi selama 12 bulan
pertama, telur selama 12 hingga 15 bulan, dan kacang tanah selama 3 tahun,
khususnya pada penderita atopik yang memiliki resiko tinggi terhadap reaksi
alergi.23

b. Intoleransi Makanan
Pasien intoleransi laktosa tidak perlu menghindari semua produk susu
karena nilai gizi susu dibutuhkan tubuh. Beberapa anjuran untuk penderita
intoleransi laktosa:28
1) Menghindari atau membatasi bahan seperti padatan susu, padatan susu bebas
lemak, whey, gula susu.
2) Mengkonsumsi produk susu fermentasi, seperti keju matang, mentega, atau
yoghurt karena umumnya ditoleransi lebih baik dibanding susu.
3) Minum susu yang mengandung banyak lemak karena lemak memperlambat
transportasi susu dalam saluran pencernaan sehingga memberi waktu yang
cukup untuk enzim laktase memecah gula susu.
4) Memberikan penambahan laktase (Lactacid ®)/yoghurt dalam susu
5) Mengkonsumsi susu bebas/ rendah laktosa.
6) Minum susu dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, sesuai dengan
toleransinya.
7) Konsumsi produk susu yang diolah dengan proses pemanasan karena laktosa
dipecah menjadi glukosa dan galaktosa dengan proses pemanasan.
8) Konsumsi produk kedelai karena bebas laktosa dan sumber kalsium yang baik
untuk menggantikan susu dan produk susu lainnya.
10
B. INTOLERANSI DAN ALERGI OBAT
1. Definisi Adverse Drug Reaction
Beberapa definisi telah dikemukakan untuk adverse drug reaction. Definisi
yang dikemukakan oleh WHO (1972), ADR adalah setiap efek yang tidak diinginkan
dari obat yang timbul pada pemberian obat dengan dosis yang digunakan untuk
profilaksis, diagnosis dan terapi.4 Menurut FDA (1995), ADR didefinisikan sebagai
efek yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan penggunaan obat yang timbul
sebagai bagian dari aksi farmakologis dari obat yang kejadiannya mungkin tidak
dapat diperkirakan.5
Definisi lain dikemukakan oleh Laurence (1998), ADR adalah efek yang
membahayakan atau tidak mengenakkan yang disebabkan oleh dosis obat yang
digunakan sebagai terapi (atau profilaksis atau diagnosis) yang mengharuskan untuk
mengurangi dosis atau menghentikan pemberian dan meramalkan adanya bahaya pada
pemberian selanjutnya.6 Edward dan Aronson (2000) mengemukakan bahwa ADR
adalah reaksi yang berbahaya atau tidak mengenakkan akibat penggunaan produk
medis yang memperkirakan adanya bahaya pada pemberian berikutnya sehingga
mengharuskan pencegahan, terapi spesifik, pengaturan dosis atau penghentian obat.7
Sedangkan menurut Safety Monitoring of Medicinal Products (2000), ADR adalah
respons terhadap obat yang berbahaya dan tidak diinginkan, yang terjadi pada
pemberian obat dengan dosis normal. Pengertian ini ditekankan pada respon pasien,
dimana faktor individual memegang peran utama.8

2. Klasifikasi
Adverse drug reaction dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu yang
dapat diperkirakan, umum terjadi dan berhubungan dengan aksi farmakologis obat
(reaksi tipe A) dan yang tidak dapat diperkirakan, jarang terjadi dan biasanya tidak
berhubungan dengan aksi farmakologis obat (reaksi tipe B).
a. Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang (reaksi tipe A):
1) Overdosis yang secara langsung berhubungan dengan pemberian dosis yang
berlebihan. Contoh: depresi pemapasan karena obat sedatif.
2) Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi
juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek
mengantuk pada pemakaian antihistamin.

11
3) Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan
dengan efek farmakologis primer suatu obat. Contoh: penglepasan antigen
atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik (reaksi Jarisch-Herxheimer)
4) Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau
lebih obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi
metabolisme obat lain.
b. Reaksi yang hanya timbul pada orang yang suseptibel (reaksi tipe B):
1) Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang
meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.
2) Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek
farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis. Hal ini terjadi
karena metabolisme obat ataupun defisiensi enzim, misalnya primakuin yang
menyebabkan anemia hemolitik.
3) Alergi obat
Alergi obat didefinisikan sebagai reaksi yang diperantarai respon imunologis
yang timbul pada populasi subyek yang suseptibel dengan karakteristik
spesifik, transferability oleh antibodi maupun limfosit dan rekurens pada
paparan ulangan.9,10 Alergi dapat diklasifikasikan berdasarkan sistem
klasifikasi Gell dan Coombs, menjadi reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(diperantarai IgE), reaksi sitotoksik akibat obat, diperantarai oleh antibodi IgG
atau IgM termasuk anemia hemolitik akibat obat, trombositopenia akibat obat
serta lekopenia akibat obat, reaksi imun kompleks (diperantarai IgG dan IgM)
dan reaksi tipe lambat (diperantarai limfosit T). Meskipun kategorinya jelas,
tetapi mengklasifikasikannya amat sulit karena mekanisme yang belum jelas.1-
3

4) Reaksi pseudoalergik/anafilaktoid: reaksi yang secara klinis mirip dengan


reaksi alergi namun tanpa peranan imunologis (tidak diperantarai IgE).
Beberapa obat seperti opiat, vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat
kontras (pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan
mediator (seperti tipe I).

3. Insidensi
Selama satu dekade beberapa penelitian menunjukkan bahwa morbiditas dan
mortalitas terkait obat merupakan satu dari masalah kesehatan mayor yang mulai
12
diperhatikan oleh tenaga kesehatan dan publik.8 Masalah ini merupakan penyakit
iatrogenik yang paling sering terjadi, yang muncul pada 5-15% terapi dengan obat.11
Penelitian di Swiss menunjukkan bahwa dari 5568 pasien rawat inap, 17%
diantaranya mengalami efek samping obat. Obat yang tersering adalah antibiotik dan
12,13
obat anti inflamasi non steroid. Banyak mekanisme ADR yang diperkirakan,
tetapi mekanisme pasti reaksi obat yang menimbulkan ADR belum jelas diketahui.
Hal ini menyebabkan sangat sulit untuk membedakan antara alergi obat dengan
bentuk lain reaksi obat, serta dalam menilai insiden alergi obat, mengevaluasi faktor
risiko dan menentukan penatalaksanaannya.
Adverse drug reaction diperkirakan terjadi hampir 15% dari pemberian obat.
Hampir 80% ADR adalah tipe A contohnya adalah toksisitas obat, efek samping, efek
sekunder, dan interaksi obat. Tipe B seringkali tidak terlihat sampai obat tersebut
dipasarkan, dependen terhadap faktor genetik dan lingkungan. Reaksi termediasi
sistem imun atau alergi termasuk tipe B, timbul 25 – 30 % dari keseluruhan reaksi tipe
B dan 6 – 10% dari keseluruhan ADR.5,22 Faktor risiko terjadinya reaksi adversi1,14 :
a. Berhubungan dengan pasien : usia muda, wanita, genetik, atopi
b. Berhubungan dengan obat : makromolekul, bivalensi, hapten, rute pemberian,
dosis, lama terapi
c. Faktor pendukung : beta bloker, asma, kehamilan

4. Diagnosis
Tes diagnosis untuk reaksi hipersensitivitas yang baik termasuk anamnesa
yang detil dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mengklasifikasikan reaksi,
menentukan terapi, mengidentifikasi obat yang menimbulkan reaksi tersebut dan
untuk mengetahui insiden alergi terhadap obat tersebut.
a. Anamnesis
Anamnesis yang mendetail dan pasti harus didapatkan dari pasien. Hal – hal yang
harus didapatkan pada saat anamnesis adalah1:
1) Gejala klinis, waktu timbulnya gejala, dan jarak timbul gejala dari paparan
obat yang dicurigai.
2) Kemungkinan onset timbulnya gejala:
a) Immediate (segera) timbul beberapa detik hingga 6 jam dari paparan,
gejala klinis yang dapat timbul adalah anafilaksis, urtica, angioudem,
bronkospasme.
13
b) Accelerated, timbul antara 6 hingga 72 jam setelah paparan. Gejala yang
mungkin didapatkan antara lain urtika dan asma.
c) Delayed, timbul gejala lebih dari 72 jam setelah paparan. Gejala yang
mungkin didapatkan antara lain sidrom mukokutan (rash, dermatitis
eksfoliatif) atau tipe hematologis (anemia, trombositopenia, netropenia).
Tabel 4. Skoring Naranjo yang dapat digunakan untuk mengetahui ADR14

Bila skor Naranjo 9 atau 10 menunjukkan bahwa kejadian tersebut “definitely”


ADR; skor 5-8 kemungkinannya “probable”; skor 1-4 “possible”; dan bila skor
kurang dari 1 “doubtful.”
b. Pemeriksaan fisik
Adanya kelainan klinis sesuai dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian
obat yang diikuti penurunan gejala klinis merupakan petunjuk kemungkinan alergi
disebabkan oleh obat tersebut.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Skin Prick Test (SPT)
Prinsip test ini adalah adanya IgE spesifik pada permukaan basofil atau sel
matosit pada kulit akan merangsang pelepasan histamin, leukotrien dan
mediator lain bila IgE tersebut berikatan dengan alergen yang digunakan pada
uji kulit, sehingga menimbulkan reaksi positif berupa bentol (wheal) dan
kemerahan (flare). Tujuan tes kulit pada alergi adalah untuk menentukan

14
macam alergen sehingga dikemudian hari bisa dihindari dan juga untuk
menentukan dasar pemberian imunoterapi.
Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih
diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, antara lain :
a) Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan
bukan oleh obat aslinya sehingga bila dilakukan uji kulit dengan obat
aslinya hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan, kecuali penisilin
yang telah diketahui hasil metabolismenya, serta obat-obat yang
mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang
mengandung protein telur).
b) Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin
(kodein, tiamin) sehingga terjadi false positive.
c) Konsentrasi obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu.
d) Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya
merupakan hapten sehingga sukar untuk menentukan antigennya.
2) Radio Allergo Sorbent Assay (RAST)
Merupakan solid phase radioimmunoassay yang mengukur circulating
allergen spesific IgE antibodies. Kegunaannya terbatas sebagai tes diagnosis
alergi obat karena immunochemistry dari kebanyakan obat belum diketahui.
Tes ini telah dikembangkan untuk penisilin (penicilloyl moiety), insulin,
chymopapain, relaksan otot, thiopental, protamine dan lateks.
3) Tes Provokasi
Tes Provokasi dapat menjadi gold standar dalam menentukan adanya alergi
obat. Tes ini harus dikerjakan dengan pengawasan yang ketat dengan alat
bantu resusitasi yang tersedia.
4) Tes untuk reaksi hipersenstivitas tipe II dan III
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia
hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coomb’s test direk atau
indirek, sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen
atau reaksi aglutinasi. Karena keterbatasannya (harus menjaga kesegaran
eritrosit yang terkonyugasi dengan obat ) sekarang lebih banyak menggunakan
metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan

15
hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III.
Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat.
5) Tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV
Patch test dapat menentukan etiologi reaksi yang diperantarai sel T, terutama
eczematous, erupsi terinduksi obat. Metode ini terbatas penggunaannya karena
terbatasnya reagen yang sesuai dengan determinan imunogenik dari obat.
6) Tes-tes lain
Biopsi dapat membantu menegakkan diagnosis dan perjalanan respon
inflamasi, tetapi hanya hal umum saja yang bisa didapatkan (tipe infiltrat
seluler, adanya edema). Pemeriksaan imunohistokimia dapat mmeberikan
informasi tambahan. Tryptase yang merupakan mast cell spesific protease
dapat meningkat pada reaksi anafilaksis. Konsentrasi yang meningkat
didapatkan pada obat anestesi, lateks dan beberapa antibiotik. Tes lain yang
dapat berguna antara lain basofil histamin release, proliferasi limfosit, aktivasi
komplemen dan tes lymphocyte cytotoxicity. Tes-tes ini masih dalam
penelitian, belum digunakan untuk evaluasi ADR.

5. Penatalaksanaan dan Pencegahan


Pendekatan terhadap pasien alergi obat harus secara metodologis. Pertama
hubungannya dengan obat harus dapat dibuktikan. Setelah hal tersebut dapat
dibuktikan, tipe reaksi harus dapat ditentukan sebisa mungkin. Untuk reaksi tipe A,
modifikasi dosis sebelum diberikan merupakan satu-satunya hal yang perlu
dikerjakan. Toksisitas, serta efek samping, dan efek sekunder dapat membaik dengan
menurunkan dosis obat.
Untuk reaksi tipe B, obat masih dapat diberikan kembali bila reaksi
sebelumnya ringan (tinitus pada pemberian aspirin). Pada reaksi yang berat atau
2,3,15-19
mengancam nyawa penderita, obat tersebut tidak boleh diberikan kembali.
Pendekatan yang paling mudah adalah dengan menghindari obat bila obat alternatif
tersedia. Bila obat alternatif tidak ada, challenge test bertahap dapat dikerjakan bila
reaksi yang timbul sebelumnya bukan merupakan reaksi yang diperantarai IgE dan
tidak merupakan reaksi yang berat dan membahayakan nyawa penderita. Bila reaksi
yang sebelumnya timbul merupakan reaksi yang diperantarai IgE, desensitisasi harus
dikerjakan.
a. Avoidance (menghindari paparan)
16
Merupakan panduan umum, dimana penggunaan obat yang telah diketahui
menyebabkan reaksi alergi pada pasien harus dihindari, kecuali bila obat tersebut
sangat dibutuhkan dan tidak ada obat lain yang dapat menggantikannya.
Dianjurkan pula untuk rnenghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan
obat tersangka (satu golongan). Dapat juga diberikan obat lain yang rumus
imunokimianya berlainan.
b. Premedikasi
Peran obat-obat anti alergi seperti antihistamin, kortikosteroid, dan
simpatomimetik dalam upaya mencegah reaksi alergi amat terbatas. Pada
umumnya pemberian antihistamin dan steroid untuk pencegahan reaksi alergi
tidak bermanfaat kecuali untuk mencegah reaksi alergi yang disebabkan oleh
radioaktivitas.
c. Desensitisasi
Prinsip desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat kecil,
kemudian dinaikkan perlahan-lahan sampai dosis terapeutik tercapai. Prosedur
desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena
bila suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut hams
diulangi kembali. Karena mengandung risiko yang besar, maka diperlukan
beberapa syarat untuk melakukannya, antara lain:
1) Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain.
2) Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta untung
ruginya.
3) Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk
menanggulangi keadaan darurat.
4) Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman.
5) Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai
dengan rute pemberian yang akan diberikan.
6) Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa
dipergunakan bila terjadi keadaan darurat.
7) Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat.
d. Pengobatan simtomatik
Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala
yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus
yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi
17
pada organ-organ lain. Apapun penyebabnya pengobatannya lebih kurang sama.
Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya
harus dirawat, karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting
lagi adalah pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga
memerlukan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang
terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.
1) Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) :
Bila terjadi syok dapat diberikan epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml
secara subkutan atau intravena. Antihistamin dan kortikosteroid dapat
diberikan, tetapi bukan merupakan pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi
dapat diatasi dalam waktu 15 – 20 menit, meskipun penderita masih harus
diamati selama 24 jam berikutnya untuk mencegah komplikasi.
2) Pada reaksi tipe yang lain :
Penghentian penggunaan obat tersangka umumnya cukup memberikan hasil
yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya reaksi, pemberian kortikosteroid
dan antihistamin dapat dipertimbangkan. Pada urtikaria dan angioedema
pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan
yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati,
nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-
100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya
prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai
dua minggu.
Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi
obat yaitu memberikan obat tepat pada indikasinya. Jika sudah tepat indikasinya
kemudian ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa lalu, terutama yang ada
hubungannya dengan yang akan diberikan.
Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan
obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau
kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh
diberikan namun tetap harus berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat
memang harus diberikan, dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi.
Pasien yang mempunyai riwayat penyakit alergi tipe I (atopi) lebih besar 3
sampai 10 kali kemungkinannya untuk mengalami reaksi anafilaksis. Sedapat
mungkin obat sebaiknya diberikan secara oral, karena selain jarang menimbulkan
18
reaksi alergi, juga paling kecil menimbulkan sensitisasi. Tetapi bila pasien sudah jelas
mempunyai riwayat alergi obat, tentu obat tadi tidak boleh diberikan. Demikian pula
pasien yang pernah mendapat reaksi anafilaktik.
Di samping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilaktik,
sebelum menyuntik sebaiknya disediakan terlebih dahulu obat-obat untuk
menanggulangi keadaan darurat alergik. Obat-obat tersebut adalah adrenalin,
antihistamin, kortikosteroid, aminofilin, dan diazepam yang semuanya dalam bentuk
suntikan. Begitu pula setelah disuntik, pasien diminta menunggu paling tidak 20
menit sebelum diperbolehkan pulang. Selain perawat dan petugas kesehatan yang
membantu dokter, pasien juga sebaiknya diberitahu mengenai tanda-tanda dini reaksi
anafilaktik.

Gambar 1. Skema alur penatalaksanaan ADR

19
BAB III
PENUTUP

Adverse reaction merupakan kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi


makanan atau obat tertentu. Adverse reaction makanan dapat berupa reaksi toksik dan non
toksik. Reaksi non toksik dapat berupa reaksi imunologis (alergi) dan reaksi non imunologis
(intoleransi). Intoleransi makanan dapat diakibatkan zat yang terdapat pada makanan,
kelainan metabolik, dan pengaruh psikis. Sedangkan drug adverse reaction (ADR) dapat
dibagi menjadi reaksi tipe A yang dapat timbul pada setiap orang (berupa overdosis, efek
samping, efek sekunder, dan interaksi obat), serta reaksi tipe B yang hanya timbul pada orang
yang suseptibel (berupa intoleransi, idiosinkrasi, alergi obat, dan reaksi anafilaktoid).
Dibutuhkan anamnesis yang detil, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
untuk mendiagnosis adverse reaction terhadap makanan dan obat. Beberapa uji untuk
membuktikan adanya alergi makanan adalah uji tusuk kulit, diet eliminasi, double blind
placebo kontrolled food challenge, pengukuran IgE spesifik dengan teknik RAST. Sedangkan
beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis intoleransi laktosa, yaitu analisis tinja,
elimination diet, uji toleransi laktosa, ekskresi galaktosa pada urin, hydrogen breath test,
pemeriksaan radiologis minum barium laktosa, serta biopsi usus dan pengukuran aktivitas
laktase. Sementara itu, uji yang dapat dilakukan untuk drug adverse reaction berupa skin
prick test, Radio Allergo Sorbent Assay (RAST), tes provokasi, tes untuk reaksi
hipersenstivitas tipe II dan III, tes untuk reaksi hipersensitivitas tipe IV, dan tes-tes lainnya
Terapi utama alergi makanan adalah menghindari makanan penyebab. Pada reaksi
alergi ringan hanya diberikan antihistamin. Jika perlu ditambahkan kortikosteroid. Sedangkan
pada reaksi anafilaksis terapi utamanya adalah epinefrin/ adrenalin. Untuk pasien intoleransi
laktosa tidak perlu menghindari semua produk susu karena nilai gizi susu dibutuhkan tubuh.
Beberapa anjuran yang dapat dilakukan adalah mengkonsumsi produk susu fermentasi, susu
yang mengandung banyak lemak, susu bebas/ rendah laktosa, produk susu yang diolah
dengan proses pemanasan, produk kedelai, konsumsi susu dalam jumlah yang sesuai dengan
toleransinya, dan memberikan penambahan laktase (Lactacid ®)/yoghurt dalam susu.
Sedangkan untuk pencegahan dan tatalaksana ADR reaksi tipe A satu-satunya cara
adalah dengan modifikasi dosis sebelum diberikan. Toksisitas, serta efek samping, dan efek
sekunder dapat membaik dengan menurunkan dosis obat. Untuk reaksi tipe B, obat masih
dapat diberikan kembali bila reaksi sebelumnya ringan. Pada reaksi yang berat atau
mengancam nyawa penderita, obat tersebut tidak boleh diberikan kembali.
20
DAFTAR PUSTAKA

1
Vervloet C, Durham S. ABC of allergies Adverse reactions to drugs. BMJ 1998;316:1511-4.
2
Gruchalla R. Drug allergy. J Allergy Clin Immunol 2003;111 Suppl 5:48-59.
3
Gruchalla R. Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000;105 Suppl 6:37-44.
4
WHO. International drug monitoring: the role of national centres. Tech Rep Ser WHO 1972,
no 498.
5
Harbanu H Mariyono, Ketut Suryana. Adverse drug reaction . J Peny Dalam, Volume 9
Nomor 2 Mei 2008
6
Laurence D, Carpenter J. A dictionary of pharmacology and allied topics, 2nd edn.
Amsterdam: Elsevier, 1998: 8–9
7
Edwards IR1, Aronson JK. Adverse drug reactions: definitions, diagnosis, and management.
Lancet. 2000 Oct 7;356(9237):1255-9.
8
Uppsala Monitoring Centre - WHO Collaborating Centre for International Drug Monitoring.
Safety Monitoring of Medicinal Products. Guidelines for setting up and running a
Pharmacovigilance Centre. EQUUS, London, 2000.
9
Adkinson F, Essayan D, Gruchalla R, Haggerty H, Kawabata J, Sandler D, et al. Task force
report: future research needs For the prevention and man- agement of Immune-
mediated drug hypersensitiv- ity Reactions The health and environmental sci-
ences institute task force. J allergy clin immunol 2002;109 Suppl 4:61-78.
10
Aberer W, Bircher A, Romano A, Blanca M, Campi P,Fernandez J, et al. Drug provocation
testing in the diagnosis of drug hypersensitivity reactions: general considerations.
Allergy 2003;58: 854-63.
11
Ditto AM. Drug allergy. In: Grammer LC, Greenberger PA, eds. Patterson's Allergic
diseases. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2002:295.
12
Torpet LA, Kragelund C, Reibel J, Nauntofte B. Oral adverse drug reactions to
cardiovascular drugs. Crit Rev Oral Biol Med 2004;15(1):28-46.
13
Weinshilboum R. Inheritance and drug response. N Engl J Med 2004;348;6.
14
Naranjo CA, Busto U, Sellers EM, et al. A method for estimating the probability of adverse
drug re- actions. Clin Pharmacol Ther 1981;30:239-45.
15
Naisbitt D J, Farrell J, Wong G, Dipta J H , Dodd C, Hopkins J, et al. Characterization of
drug- specific t-cells in lamotrigine hypersensitivity, J Allergy Clin immunol
2003;111:1393-403.

21
16
Bush WH, Swanson DP. Acute reactions to intravas- cular contrast media: types, risk
factors, recognition, and specific treatment. AJR 1991;157:1153-61.
17
Sicherer SH, Leung DM. Advances in allergic skin disease, anaphylaxis, and
hypersensitivity reactions to foods, drugs, and insects. J Allergy Clin Immunol
2006;118:170-7.
18
Sicherer SH, Leung DM. Advances in allergic skin disease, anaphylaxis, and
hypersensitivity reactions to foods, drugs, and insects. J Allergy Clin Immunol
2005;116:153-63.
19
Papastavros T, Dolovich LR, Holbrook A, Whiehead L, Loeb M. Adverse events associated
with pyrazinamide and levofloxacin in the treat- ment of latent multidrug-resistant
tuberculosis. CMAJ 2002;23:167.1.
20
Gruchalla, RS. Clinical assessment of drug induced disease. Lancet 2000 ; 356; 1506 –
1511
21
Knowles SR, et al. Idiosyncratic drug reactions : the reactive metabolite syndrome. Lancet
2000; 356; 1587-1591
22
Merk HF. Clinical aspects; drug allergy. Dalam : Brujinzel CAFM, Knol EF. Immunology
and Drug Therapy of Allergic Skin Diseases. Birkhauser Verlag Basel/Switzerland
; 2000:157-172
23
Baskoro A, Konthen PG, Effendi C, Soegiarto G (2007). Alergi makanan. In: Tjokoprawiro
A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Surabaya: Airlangga University Press, pp: 21-28.
24
Rengganis I, Yunihastuti E (2010). Alergi makanan. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, pp: 263-266.
25
Christanto A, Oedono T (2011). Manifestasi alergi makanan pada telinga, hidung, dan
tenggorok. CDK, 38 (6): 410-416.
26
Candra Y, Setiarini A, Rengganis I (2011). Gambaran sensitivitas terhadap allergen
makanan. MAKARA, 15(1): 44-50.
27
Yohmi E, Boediarso AD, Hegar B, Dwipurwantoro PG, Firmansyah A (2011). Intoleransi
laktosa pada anak dengan nyeri perut berulang. Sari pediatri, 2(4): 198-204.
28
Egayanti Y (2008). Kenali intoleransi laktosa lebih lanjut. Info POM, 9(1): 1-3
29
Boyce JA, dkk (2010). Guideline for the diagnosis and management for fodd allergy in the
United States. NIAID. US Departement of Health and Human Services. 10-14

22

Você também pode gostar