Você está na página 1de 6

1.

Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII

Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang
menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa “Hukum
yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-
undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”.
Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk
membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al
Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.

Bendera NII

Bendera NII. (Wikimedia Commons) [1]

Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang
berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi
Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun
1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan
ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih
berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.

Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di
Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi
julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi
Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta
dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa melakukan gerakannya
dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan
merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan
Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan
dengan pasukan Siliwangi.

2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII

Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh beberapa
faktor, yaitu:
Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung organisasi
DI/TII untuk bergerilya.

Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.

Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik perkebunan, dan para
pendukung Negara pasundan.

Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang telah
mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.

Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia
(TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan
rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII
tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di
tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya,
Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan
bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji
meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan bahwa
organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari
1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah
terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan
pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi
sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk
tersebut sering menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII
juga merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

4. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak adanya Majelis Islam yang
di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah
yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat
tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan cara Amir
mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara menggabungkan para laskar untuk masuk ke
dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23
Agustus 1949 ia memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan,
Tegal. Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan DI
yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo.

Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan Umat Islam (AUI) yang di dirikan oleh
seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Organisasi tersebut juga bermaksud untuk
membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini
bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426 di
Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk
sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan
Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk
menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.

5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) yang di
pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia bersama kelompok KRyT
menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran
utama yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah
pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya
seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah
sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka
Ibnu Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya
pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan untuk
menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu
Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.

6. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah) terjadi
sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama PUSA
(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat
(Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang
berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut,
pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat
Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan Agustus
1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi
pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah
satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah
Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah
keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang
Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung
dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan
NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu
mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.

Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin oleh Sekarmadji
akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata dan operasi militer dari
TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis
dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada
penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada
pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima
Kodami Iskandar Muda, kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang
musyawarah tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang di
lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.

7. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pemberontakan
DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di
dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk
menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang
sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para
pemberontak memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan
pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia
mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang
Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.

Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat itu. Karena seperti
yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45
yang melindungi beberapa kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum
agama di jadikan hukum negara.
Jadi peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh APRA ini meletus pada 23 Januari 1950 di Bandung.
Pada saat itu APRA melakukan serangan dan menduduki Kota Bandung. RG Squad pastinya bertanya-
tanya apa sih penyebabnya? Nah latar belakang pemberontakan APRA ini dipicu oleh adanya friksi
dalam tubuh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Friksi yang terjadi itu antara tentara
pendukung unitaris (TNI) dengan tentara pendukung federalis (KNIL/KL).

Kalian tahu? Pemberontakan APRA ini menjadi tragedi politik dan ideologis nasional, tepatnya di masa
perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. APRA sendiri dipimpin oleh
Raymond Westerling dan memiliki 800 serdadu bekas KNIL. Gerakan yang dipimpin oleh Raymond
Westerling ini berhasil mengusai markas Staf Divisi Siliwangi, sekaligus membunuh ratusan prajurit Divisi
Siliwangi.

pemberontakan apra

Setelah mengusasi Siliwangi, Westerling bekerja sama dengan Sultan Hamid II merencanakan untuk
menyerang Jakarta. Tujuannya adalah untuk menculik dan membunuh menteri-menteri Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang saat itu tengah bersidang. Tapi usaha yang direncanakan oleh Westerling itu
bisa digagalkan lho Squad. Semuanya itu berkat pasukan APRIS. APRIS mengirimkan kesatuan-
kesatuannya yang berada di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Perdana Menteri RIS pada waktu itu Drs.
Moh. Hatta, melakukan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda dalam merespon hal tersebut.

pemberontakan apra

Perdana Menteri RIS, DRS. Moh. Hatta (Sumber: infobiografi.com)

Nah, berkat perundingan yang diadakan oleh Drs. Moh. Hatta dengan Komisaris Tinggi Belanda, akhirnya
Mayor Jenderal Engels yang merupakan Komandan Tinggi Belanda di Bandung, mendesak Westerling
untuk meninggalkan Kota Bandung. Berkat hal itu, APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh pasukan APRIS.

Baca Juga: Sejarah Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Jadi begitulah latar belakang pemberontakan APRA di Indonesia Squad. Berkat tindakan Raymond
Westerling ini, rakyat semakin menuntut untuk mengembalikan Indonesia ke bentuk negara kesatuan.
Bagaimana? Sudah tahukan sekarang seperti apa pemberontakan yang dilakukan oleh APRA. Kalau
kalian masih ingin mengetahui lebih detail lagi, kalian bisa belajar melalui ruangbelajar. Di sana kalian
bisa menonton video belajar dengan tutor yang berpengalaman, tentunya lebih interaktif.
PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948

18 september 1948 pemberontakan di madiun

Hubungan pki madiun dengan renville

Yaitu karena tidak setujunya ttd renville oleh amir syarifudin perdana Menteri 2, dan rakyat tidak setuju
sehingga di lengser oleh moh hatta PM 2, karena isi renville jawa hanya jawa tengan, Sumatra, madura
jadi persempit sebelum pertadingan renville

Moh hatta membuat organisasi RERA untuk penghematan biaya

Sehingga amir syarifudin membuat organisasi FDR (Front Demokrasi Rakyat) sehingga musuh dating dari
uni soviet yang telah mendapatkan Pendidikan komunis selama 20 tahun sehingga amir syarifudin dan
muso bergabung puncak tanggal 18 september 1948 (kudeta pki madiun)

PENUMPASANNYA

Amir syarifudin dan muso di tangkap dan di bunuh dan yang lain lolos keluar negeri, karena Indonesia
dihadapi oleh 2 tantangan yaitu berhadapan dengan belanda dan pki madiun juga.

Você também pode gostar