Você está na página 1de 34

PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) PERKARA PERSELISIHAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERSPEKTIF PEKERJA/


BURUH (Studi Kasus Di Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial Palangkaraya)

Yessiarie Silvanny Sibot1 , A. Rachmad Budiono2 , Rachmad Safa’at3

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya,


Malang

Abstract
Labor law reform is characterized by significant changes in the settlement of labor disputes. Before the
dispute settlement through state administrative agency switched to a special court in the general courts, in
addition to settlement through mediation, conciliation and arbitration (out of court settlement). A
significant change is to give freedom to the workers and employers to choose their own way of resolving the
dispute between them, whether out of court or through Industiral Relations Court (IRC). Advances in
technology industry, has influenced a completely discord in the relationship between workers and
employers. Even the relationship between worker. The issue is how the dispute was resolved so as to
provide a just legal certainty for workers and employers. Especially if the proposition settlement through
litigation and make decisions that must to be in the execution. Looking at the actual implementation in
the field of law relating to the enforcement (execution) cases of industrial disputes is very difficult to do,
especially those related to the execution of the worker/laborer. If the winning side is the worker/laborer
(who defeated Entrepreneurs), the defeated party is not willing to comply voluntarily content/verdict.
Keywords: Execution, Industrial Disputes, Workers Perspective/labor

Abstrak
Reformasi di bidang hukum ketenagakerjaan ditandai dengan perubahan yang sangat
signifikan dalam penyelesaian perselisihan perburuhan. Penyelesaian perselisihan yang
sebelumnya melalui badan administrasi negara beralih ke peradilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum, disamping penyelesaian melalui mediasi, konsiliasi, dan
arbitrase (penyelesaian di luar pengadilan). Perubahan yang signifikan tersebut
memberikan kebebasan kepada pekerja dan pengusaha untuk memilih sendiri cara
penyelesaian perselisihan diantara mereka, apakah diluar pengadilan atau melalui
Pengadilan Hubungan Industiral (PHI). Kemajuan teknologi industri, telah
mempengaruhi kompleknya perselisihan dalam hubungan antara pekerja dengan
pengusaha. Bahkan dalam hubungan antar serikat pekerja. Persoalannya adalah
1
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Angkatan 2011.
2
Pembimbing Utama dalam Penulisan Jurnal dan Penelitian Tesis.
3
Pembimbing Kedua dalam Penulisan Jurnal dan Penelitian Tesis
bagaimana perselisihan itu diselesaikan sehingga dapat memberikan kepastian hukum
yang berkeadilan bagi pekerja dan pengusaha. Terlebih jika penyelesaiannya dilakukan
melalui saranan litigasi dan menghasilkan putusan yang wajib untuk di eksekusi. Melihat
pada penerapan hukum yang sebenarnya di lapangan terkait dengan pelaksanaan putusan
(eksekusi) perkara perselisihan hubungan industrial sangat sulit dilakukan, terlebih
eksekusi tersebut menyangkut kepentingan pekerja/buruh. Jika pihak yang menang
tersebut adalah pekerja/buruh (yang dikalahkan Pengusaha), maka pihak yang dikalahkan
tidak bersedia secara sukarela memenuhi isi/amar putusan.
Kata Kunci: Eksekusi, Perselisihan Hubungan Industrial, Perspektif Pekerja/
Buruh

Latar Belakang
Perselisihan atau perkara4 dimungkinkan terjadi dalam setiap hubungan antar
manusia, bahkan mengingat subjek hukum-pun telah lama mengenal badan hukum,
maka para pihak yang terlibat di dalamnya pun (perselisihan/perkara) semakin banyak.
Dengan semakin kompleksnya corak kehidupan masyarakat, maka ruang lingkup
kejadian atau peristiwa perselisihanpun meliputi ruang lingkup semakin luas, diantaranya
yang sering mendapat sorotan adalah Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). PHI
biasanya terjadi antara pekerja/buruh dan perusahaan atau antara organisasi buruh
dengan organisasi perusahaan.
Sebelum tahun 19515, perselisihan hubungan industrial yang terjadi diselesaikan
oleh para pihak yang berselisih sendiri yaitu pekerja/buruh dan pengusaha, campur

4
Perselisihan ataupun perkara disebut juga dengan istilah lain yaitu konflik atau
sengketa yang merupakan suatu situasi (keadaan) dimana terdapat dua pihak atau lebih
yang melakukan hubungan hukum, dan pada kondisi tertentu pihak-pihak tersebut
memperjuangkan tujuan mereka sendiri-sendiri, yang tidak dapat dipersatukan dan
dimana salah satu pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya
sendiri yang berlawanan dengan tujuan pihak lainnya. Lihat Ronny Hanijito Soemitro,
Masalah-Masalah Sosial Hukum, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1994, hlm. 181.
5
Setelah adanya pengakuan kedaulatan oleh pemerintah Belanda lewat Konferensi
Meja Bundar, perhatian rakyat terutama pekerja/buruh mulai beralih ke masalah sosial
ekonomi. Hingga tahun 1951, dalam bidang ketenagakerjaan baru diundangkan satu
undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 yang bertitel Undang-
Undang Kerja. Mengingat saat itu negara Republik Indonesia yang sekarang masih
berbentuk negara serikat, maka undang-undang tersebut hanya berlaku untuk negara
Republik Indonesia. Baru pada tahun 1951 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1951, Undang-Undang Kerja Tahun 1948 tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh
Indonesia. Lihat Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 4.
tangan dari pegawai Kementerian Perburuhan akan dilakukan bila dianggap perlu
berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja (Menteri Perburuhan saat itu). Hal ini
mengakibatkan banyak keresahan di kalangan pekerja/buruh karena pengusaha dengan
kedudukan sosial ekonomi yang lebih tinggi selalu dapat memaksakan kehendaknya
kepada pekerja/buruh. Akibatnya pada akhir tahun 1950 banyak terjadi pemogokan
pekerja/buruh yang mengakibatkan terganggunya perekonomian dan keamanan nasional.
Guna mengatasi keadaan ketenagakerjaan yang tidak kondusif tersebut, pemerintah
pada tanggal 13 Februari 1951 mengeluarkan Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1
Tahun 1951 yang membentuk Panitia Penyelesaian Pertikaian Perburuhan di Tingkat
Pusat dan Daerah, walaupun keadaannya menjadi sedikit lebih baik ternyata peraturan
kekuasaan militer tersebut belum begitu mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang
timbul di bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu pada bulan September 1951
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 guna
mengganti Peraturan Kekuasaan Militer Nomor 1 Tahun 1951. Undang-Undang Darurat
tersebut memberikan aturan-aturan baru tentang penyelesaian perselisihan perburuhan
dan memberikan tugas kepada pemerintah untuk membentuk Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah (P4D).6
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tidak bersifat definitif melainkan
hanya bersifat peralihan belaka guna mengatasi keadaan ketenagakerjaan saat itu. Dalam
perjalanannya pun banyak keberatan yang dilakukan baik oleh pengusaha maupun
pekerja/buruh. Berdasarkan hal tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1957,
mengesahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan yang menetapkan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) tersebut
sebagai organ yang berwenang menyelesaikan perselisihan perburuhan.
Kondisi ketenagakerjaan saat itu yang mendasari terbentuknya P4P dan P4D
banyak diwarnai perselisihan-perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Apalagi
pada saat tersebut banyak partai politik yang menggunakan isu-isu perburuhan untuk

6
Ibid, hlm. 5-6.
mencapai tujuan politiknya. Mengingat asas yang dianut saat itu adalah demokrasi liberal
maka para pihak yang berseteru saling memaksakan kehendaknya masing-masing lewat
kekuatan yang dimiliki. Pekerja/buruh selalu menggunakan kekuatan mogok kerja untuk
memaksakan kehendaknya sementara pengusaha selalu menggunakan keunggulan sosial
ekonomi dalam menekankan pekerja/buruh.7
Guna mengatasi kondisi demikian, saat itu pemerintah mengambil langkah berupa
kebijakan dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya
adalah:
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dan Majikan (sekarang disebut Perjanjian Kerja Bersama) yang
memberikan kedudukan yang seimbang antara pekerja/buruh dengan pengusaha
dalam menyusun syarat-syarat kerja di perusahaan. Selain itu juga diundangkan
Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 Tentang Pencegahan Pemogokan
dan Penutupan (Lock-Out) di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang vital, serta
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta yang melarang pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan
pekerja/buruh tanpa izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
(P4D) atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).8

Seiring dengan berjalannya waktu dan bertepatan pada momentum reformasi di


Indonesia, maka dibidang ketenagakerjaan-pun dilakukan reformasi yang mana
pemerintah bersama DPR telah mengundangkan beberapa undang-undang yang
berkaitan dengan ketenagakerjaan, Undang-Undang tersebut adalah:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; dan
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (UU PPHI).
Berkaitan dengan diudangkannya UU PPHI memberikan mekanisme baru dalam
penyelesaian hubungan industrial dengan mencabut dan mengganti mekanisme
penyelesaian lewat P4D dan P4P yang dianggap sudah tidak efektif lagi. Undang-undang
tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian

7
Ibid, hlm. 6.
8
Ibid, hlm. 7.
lewat pengadilan dilakukan melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial
(selanjutnya disebut PPHI) pada Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, sedangkan
penyelesaian di luar pengadilan 9 dapat dilakukan melalui mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Diundangkannya UU PPHI tersebut, sejalan dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia (pekerja/buruh-pengusaha) pada saat ini, baik di pusat maupun di daerah akan
keberadaan sarana untuk menyelesaikan perselisihan di bidang ketenagakerjaan. Salah
satu sasaran pokok yang akan dicapai dalam UU PPHI adalah sebagaimana yang terdapat
dalam penjelasan UU tersebut, yaitu: “Untuk menciptakan hubungan industrial yang
harmonis antara pekerja dan pemberi kerja dalam memperjuangkan hak-haknya serta
untuk mewujudkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara cepat, tepat, adil
dan murah”.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, dibutuhkan sarana dan prasarana
sebagaimana diamanatkan UU PPHI khususnya di Pasal 59 ayat (1) “........dibentuk PPHI
pada setiap Pengadilan Negeri Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi
yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan” dan (2) “ ....terutama yang
padat industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk PPHI pada Pengadilan
Negeri setempat”, sehingga para pihak yang berperkara tidak terlalu jauh untuk
menghadiri sidang-sidang yang diadakan oleh Hakim. Untuk menyediakan tempat ini
tentunya memerlukan biaya ekstra yang harus disediakan oleh Pemerintah untuk
menyewa tempat tersebut atau dipinjamkan dari Pemerintah Daerah. Dan biasanya akan
menjadi persoalan ketika pergantian kepala pemerintahan yaitu izinnya dicabut atau
dialih-fungsikan untuk tempat kegiatan yang lain.

9
Jalur non litigasi atau yang lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan atau alternative penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resulotion). Pilihan
penggunaan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan oleh para pihak yang
bersengketa tentu didasari beberapa pertimbangan. Penyelesaian sengketa alternatif
(Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu sistem penyelesaian sengketa, dimana
terdapat beberapa model alternatif penyelesaian sengketa seperti, negosiasi, mediasi,
konsiliasi dan arbitrase. Alternative Dispute Resolution atau disingkat ADR merupakan
mekanisme penyelesaian di luar pengadilan yang dianggap lebih efektif, efisien, cepat dan
biaya murah serta menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) yang bersengketa.
Oleh karena itu, sejak diberlakukannya UU PPHI ini, salah satu yang pertama kali
dibuat oleh Pemerintah di pusat dan di daerah adalah membentuk PPHI. Tidak
terkecuali Propinsi Kalimantan Tengah, juga dilakukan kegiatan yang sama yakni
membentuk PPHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya. Atas dasar tersebut, maka di
Pengadilan Negeri Palangkaraya telah dibentuk PPHI pada bulan Januari 2006 dan mulai
beroperasional pada 27 Maret 2006, bersamaan dengan dilantiknya para hakim Ad Hoc.
Pembentukan PPHI seharusnya dilakukan pada awal tahun 2005, akan tetapi ditunda
berdasarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2005 Tentang Penangguhan Mulai
Berlakunya UU PPHI, untuk menambah waktu semua persiapan yang dibutuhkan oleh
pemerintah dan institusi lain yang terkait.
Sejak berdiri pada tahun 2006 hingga pada tahun 2010, PPHI pada Pengadilan
Negeri Palangkaraya hanya menangani dua puluh empat perkara yang masuk dan telah
diputus. Dari dua puluh empat perkara yang masuk tersebut terdapat empat perkara yang
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. 10 Demikian juga dalam pelaksanaannya, sejak
diberlakukannya UU PPHI ini timbul permasalahan hukum yang mengakibatkan proses
penyelesaian perselisihan industrial yang berlangsung lama dan ini berarti mahal.
Permasalahan hukum ini salah satunya berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi putusan
perkara PHI khususnya dalam perspektif kepentingan pekerja/buruh terhadap hasil
putusan PPHI.
Bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau titel
Keempat Rbg, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten
uitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain daripada
melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan “secara paksa” putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau
pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela (vrijwillig voluntary).
Untuk melaksanakan putusan PPHI diperlukan biaya terutama dalam hal eksekusi
pembayaran sejumlah uang diperlukan biaya panggilan, pemberitahuan putusan,
pengumuman, teguran, sita eksekusi dan pelelangan. Dalam perkara nilai gugatannya
dibawah Rp. 150 juta yang tidak dikenakan biaya pada hal biaya yang tersedia di
10
Data Jumlah Perkara yang Masuk ke PHI pada PN Palangkaraya Tahun 2006-
2010, Sumber Bagian Register Perkara Pada Pengadilan Negeri Palangka Raya.
Pengadilan Negeri tidak mencukupi. Untuk mengatasi kekurangan biaya tersebut harus
ada jalan keluarnya agar pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat direalisasikan.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, merupakan ide dasar dilakukannya penelitian
ini yakni menganalisis eksekusi putusan PPHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya.
Analisis eksekusi putusan dimaksud berkaitan dengan keberadaan pekerja/buruh yang
mempunyai kepentingan terhadap putusan tesebut. Dengan kata lain, penulisan tesis ini
mengkaji implementasi pelaksanaan putusan (eksekusi) pada PPHI baik itu menyangkut
prosedur/ tahapan/ mekanismenya, kendala/ hambatan, siapa yang dirugikan, dan faktor
mengapa pekerja/buruh dirugikan. Selain itu, yang perlu dikaji berkaitan dengan
pelaksanaan putusan (eksekusi) dimaksud ialah model eksekusi seperti apa yang tidak
merugikan kepentingan para pihak, khususnya bagi pekerja/buruh.
Pembahasan
1. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. (Pasal 1 UU PPHI).
Dengan demikian UU PPHI mengenal 4 jenis perselisihan yaitu;
a. Perselisihan hak;
Perselisihan hak timbul karena tidak dipenuhinya hak; di mana hal ini timbul
karena perbedaan pelaksanaan atau perbedaan penafsiran terhadap ketentuan UU,
PK, PP atau PKB.
b. Perselisihan kepentingan;
Perselisihan kepentingan timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja dalam PK, PP atau
PKB.
c. Perselisihan PHK;
Perselisihan PHK timbul apabila tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak; dan
d. Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan.
Perselisihan antara SP/SB dalam satu perusahaan karena tidak adanya kesesuaian
paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatan.
Mekanisme yang harus ditempuh dalam setiap perselisihan adalah sebagai
berikut:
a. Bipartit;
b. Mediasi atau Konsiliasi dan atau Arbitrase;
c. Pengadilan Hubungan Industrial.
Semua jenis perselisihan ini harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
musyawarah secara Bipartit, apabila perundingan mencapai persetujuan atau
kesepakatan, maka persetujuan bersama (PB) tersebut dicatatkan di Pengadilan
Hubungan Industrial (PHI), namun apabila perundingan tidak mencapai kata sepakat,
maka salah satu pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggung
jawab dibidang ketenagakerjaan pada Kabupaten/Kota.
Salah satu persyaratan yang mutlak dalam pencatatan tersebut adalah bukti atau
risalah perundingan Bipartit (Pasal 3), apabila bukti perundingan tidak ada, maka
pencatatannya ditolak selanjutnya diberi waktu 30 hari untuk melakukan perundingan
Bipartit, jika perundingan menghasilkan kesepakatan (damai) maka akan dibuat
Perjanjian Bersama (PB) yang akan dicatatkan ke PHI, jika tidak menemui
kesepakatan dengan bukti/risalah perundingan yang lengkap, maka kepada para pihak
ditawarkan tenaga penyelesaian perselisihan apakah melalui Konsiliator atau Arbitrase,
jika para pihak tidak memilih atau justru memilih mediasi maka perselisihan tersebut
akan diselesaikan dalam forum mediasi.
Mediator adalah PNS yang diangkat oleh Menteri untuk menangani dan
menyelesaikan ke 4 jenis perselisihan dengan wilayah kewenangan pada
Kabupaten/Kota. Mediator dalam menjalankan tugasnya; selalu menggunakan
penyelesaian perselisihan secara musyawarah, dan apabila Mediator tidak berhasil
menyelesaikan perselisihan tersebut, maka Mediator wajib mengeluarkan Anjuran
tertulis, dan apabila Anjuran Mediator diterima oleh para pihak maka dibuat
Persetujuan Bersama (PB) yang selanjutnya dicatatkan di Pengadilan Hubungan
Industrial, namun apabila Anjuran tersebut ditolak oleh salah satu pihak, maka pihak
yang keberatanlah yang mencatatkan perselisihannya ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
Dalam UU No. 22 tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
dikenal adanya Pegawai Perantara yang diangkat oleh Menteri untuk menangani
penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Mekanisme penyelesaian yang harus
ditempuh dalam penyelesaian perselisihan ini adalah melalui Pegawai Perantara baik
P4D untuk tingkat Daerah, dan P4P untuk tingkat Pusat dengan keputusan yang
sifatnya final. Akan tetapi dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Administrasi Negara, maka putusan P4P tersebut menjadi tidak final karena putusan
P4P dianggap bukan putusan pengadilan melainkan putusan pejabat administrasi
negara sehingga putusan P4P dapat dijadikan gugatan ke PTUN. Dengan lahirnya UU
PPHI maka Pegawai Perantara, P4D, P4P dan PTUN tidak dikenal lagi untuk
perselisihan perburuhan/ketenagakerjaan.
Konsiliator bukan PNS, tapi masyarakat yang telah mendapat legitimasi dan
diangkat oleh Menteri, dan mempunyai kewenangan yang sama dengan Mediator,
akan tetapi jenis perselisihan yang dapat ditanganinya hanya perselisihan Kepentingan,
Perselisihan PHK, dan perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu
perusahaan, khusus perselisihan hak hanya boleh ditangani oleh Mediator. Dalam UU
No. 22 tahun 1957, Konsiliator tidak dikenal Arbiter bukan PNS tetapi masyarakat
yang telah mendapat legitimasi dan diangkat oleh Menteri, yang mempunyai wilayah
kewenangan secara nasional, namun Arbiter tidak berhak menangani perselisihan Hak
dan perselisihan PHK, tetapi berhak menangani perselisihan Kepentingan dan
perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Arbiter mengedepankan penyelesaian secara musyawarah, dan apabila dapat
diselesaikan secara musyawarah maka dibuat Persetujuan Bersama (PB) dan
selanjutnya PB tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial setempat,
namun apabila tidak tercapai kesepakatan, maka Arbiter mengeluarkan putusan yang
bersifat final, dan apabila putusan Arbiter tersebut ternyata melampaui
kewenangannya, atau ada bukti-bukti baru, atau pemalsuan data, maka pihak yang
dirugikan atau yang dikalahkan dapat mengajukan pemeriksaan kembali ke Mahkamah
Agung. Arbiter dalam UU No. 22 Tahun 1957 ada dicantumkan, akan tetapi selama
ini Arbiter tersebut belum diberdayakan, sehingga kurang dikenal dalam penyelesaian
perselisihan.
Pengadilan Hubungan Industrial, dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004,
dan berada pada setiap Kabupaten Kota (Pengadilan Negeri), sampai dengan tahun
2008, Pengadilan Hubungan Industrial baru terbentuk di 33 ibu kota Provinsi. Ketua
Pengadilan Hubungan Industrial adalah Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan
Majelis Hakim terdiri dari: satu Ketua Majelis dari Hakim karier, dua anggota Hakim
Ad-Hoc masing-masing dari unsur pengusaha dan unsur pekerja yang di angkat oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Pengadilan Hubungan Industrial berwenang menangani ke 4 jenis perselisihan,
dengan ketentuan bahwa pada tingkat pertama dan terakhir untuk perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu
perusahaan.
Sedangkan tingkat pertama untuk jenis perselisihan hak, dan perselisihan PHK.
Pada Mahkamah Agung telah diangkat Majelis Hakim Hubungan Industrial, yang
diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Ketua Majelis adalah
Hakim Agung dan dua anggota Majelis terdiri dari Hakim Ad-Hoc masing-masing
dari unsur pengusaha dan unsur pekerja, yang berwenang menangani perselisihan hak
dan perselisihan pemutusan hubungan kerja.
2. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Palangka Raya
Pengadilan Negeri Palangkaraya merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di lingkungan peradilan umum yang berdasarkan UU Nomor 8 Tahun
2004 berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Kabupaten/Kota. Pengadilan Negeri Palangkaraya masuk dalam wilayah
Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah dengan luas wilayah kurang lebih 2.678,51 km2
yang terdiri dari empat belas wilayah yaitu:11
a. Kabupaten Barito Selatan;
b. Kabupaten Barito Timur;
11
Wikipedia, Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Palangkaraya, diakses melalui
www.wikipedia.org pada tanggal 3 Maret 2013 Pukul 12.00 WIB.
c. Kabupaten Barito Utara;
d. Kabupaten Gunung Mas;
e. Kabupaten Kapuas;
f. Kabupaten Katingan;
g. Kabupaten Kotawaringin Barat;
h. Kabupaten Kotawaringin Timur;
i. Kabupaten Lamandau;
j. Kabupaten Murung Raya;
k. Kabupaten Pulang Pisau;
l. Kabupaten Sukamara;
m. Kabupaten Seruyan;
n. Kota Palangkaraya.
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palangkaraya dibentuk
pada bulan Januari 2006 dan mulai ber operasional pada 27 Maret 2006, bersamaan
dengan dilantiknya para hakim Ad Hoc. Pembentukan Pengadilan Hubungan
Industrial seharusnya dilakukan pada awal tahun 2005, akan tetapi ditunda
berdasarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2005 tentang Penangguhan Mulai
Berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, untuk menambah waktu semua
persiapan yang dibutuhkan oleh pemerintah dan institusi lain yang terkait. Untuk
wilayah Kalimantan Tengah sendiri, pada Januari 2006 berada satu wilayah kerja yang
berdekatan dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yaitu di Jalan Yos Sudarso,
kemudian dikarenakan kantor tersebut tidak efektif maka pada Maret 2006 bergabung
dengan Pengadilan Negeri Palangkaraya.12
Sejak berdiri pada tahun 2006 hingga pada tahun 2010, Pengadilan Hubungan
Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Palangkaraya hanya menangani dua puluh
empat perkara yang masuk dan telah diputus. Dari dua puluh empat perkara yang
masuk tersebut terdapat empat perkara yang mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung.13 Dengan jumlah hakim yang berjumlah empat orang dan jumlah perkara yang

12
Ibid.
13
Data Jumlah Perkara yang Masuk ke PHI pada PN Palangkaraya Tahun 2006-
2010 (Sumber Bagian Register Perkara Pada Pengadilan Negeri Palangka Raya).
tidak begitu banyak, maka terdapat kesesuaian antara jumlah hakim yang ada dengan
perkara yang ditangani, sehingga tidak terjadi penumpukan perkara. Di PHI pada
Pengadilan Negeri Palangkaraya tersebut penyelesaian perkara tidak terlalu tergesa-
gesa serta dapat terselesaikan dengan baik, terbukti dengan jangka waktu penyelesaian
yang rata-rata kurang dari lima puluh hari.14
Karakteristik dari PHI adalah pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum
(Pengadilan Negeri), dimana objeknya adalah soal perselisihan hubungan industrial.
Hakim yang terdiri dari Hakim Karir dan Hakim Ad Hoc (Hakim ahli) yang diusulkan
oleh serikat buruh dan organisasi Pengusaha.
Prosedur khususnya adalah:15
a. Tidak adanya biaya perkara, untuk yang obyek sengketa nya di bawah Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
b. Tidak ada banding untuk kasus tertentu yaitu untuk perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
c. Jadwal pemeriksaan kasus yang terbatas.
Jabatan Struktural PHI pada Pengadilan Negeri terdiri atas:16
a. Hakim;
b. Hakim Ad Hoc;
c. Panitera Muda;
d. Panitera Pengganti; dan
e. Juru Sita.
Hakim (karier) PHI pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 61 UU No 2
Tahun 2004. Sebelum yang bersangkutan diangkat sebagai Hakim PHI, hakim-hakim
pada Pengadilan Negeri hams menempuh pendidikan khusus tentang keberadaan PHI

14
Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman
Purba selaku Hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya pada tanggal
1 Maret 2013.
15
Rita Olivia Tambunan, Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia Beberapa Catatan,
diakses melalui www.docstoc.com, pada tanggal 3 Maret 2013, Pukul 12.00 WIB.
16
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Teori dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung, 2011, hlm. 5.
beserta Hukum Ketenagakerjaan dalam jangka waktu tertentu. Susunan majelis hakim
PHI terdiri dari seorang hakim karier sebagai Hakim Ketua Majelis yang didampingi
dua orang Hakim Ad Hoc yang merupakan representasi atas perwakilan buruh/pekerja
dan perwakilan pengusaha.17
Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya sering mengadakan
pelatihan-pelatihan ke daerah-daerah di Kalimantan Tengah yang terdapat perusahaan.
Para hakim tersebut memberikan informasi kepada para buruh/pekerja mengenai
hak-hak dan kewajiban pekerja yang telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Selain memberikan informasi kepada buruh/pekerja
mengenai hak dan kewajiban, juga memberikan pelatihan mengenai proses beracara di
PHI, sehingga diharapkan nantinya apabila para buruh/pekerja mengalami
perselisihan dengan pengusaha yang mempekerjakannya, maka tidak perlu untuk
meminta bantuan kepada advokat untuk beracara karena hal tersebut akan menambah
beban bagi para buruh/pekerja.18
Pengadilan Hubungan Industrial membawa perubahan pada struktur organisasi
Pengadilan Negeri Palangkaraya, yaitu dengan diperkenalkannya Sub Kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda dan
dibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti. Panitera Muda Hubungan Industrial
berada sejajar dengan Panitera Muda Pidana, Perdata dan Hukum yang ada di
Pengadilan Negeri. Selain itu, sebagaimana halnya dengan Pengadilan Niaga dan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Palangkaraya memiliki empat Hakim Ad Hoc untuk menjadi bagian dari CI
Majelis yang memeriksa perkara.19 Hakim Ad Hoc diajukan oleh Ketua Mahkamah
Agung dari nama-nama yang diajukan oleh Menteri Tenaga Kerja atas usul Serikat
Pekeria/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha. Pengangkatan Hakim Ad Hoc

17
Ibid, him. 5.
18
Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman
Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya pada tanggal 1
Maret 2013.
19
Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman
Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangkaraya pada tanggal 1
Maret 2013.
tersebut ditetapkan oleh Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2006 dan untuk masa
tugas hakim Ad Hoc sesuai dengan Pasal 67 ayat (2) UU 2 Tahun 2004 adalah jangka
waktunya 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
3. Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Eksekusi Putusan) di Pengadilan
Perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palangka Raya
Persoalan yang seringkali timbul setelah putusan pengadilan dibacakan adalah
bagaimana agar putusan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Masalah ini terjadi
karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan pihak yang dikalahkan terhadap putusan
pengadilan.
Ada perbedaan pelaksanaan eksekusi terhadap perkara perselisihan hubungan
industrial sebelum dan sesudah berlakunya UU PPHI. Sebelum berlakunya UU
tersebut, yang berlaku adalah UU No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan di Perusahaan swasta. Menurut UU ini, tahap awal
pelaksanaan eksekusi merupakan tanggungjawab bagian pengawasan Dinas Tenaga
Kerja. Upaya eksekusi tersebut dilakukan dengan cara memanggil para pihak yang
berselisih dan meminta mereka untuk melaksanakan isi putusan yang telah
berkekuatan tetap. Setelah upaya bagian Pengawasaan gagal, permohonan eksekusi
baru dapat dilakukan dengan cara melalui gugatan di Pengadilan Negeri.
Setelah berlakunya UU PPHI, karena penyelesaian perselisihan hubungan
industrial telah dilaksanakan di Pengadilan Negeri, maka proses eksekusi tidak lagi di
campur oleh bagian Pengawasan, melainkan langsung di bawah pengawasan
Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan Negeri.
Perbedaan lain adalah, dalam UU PPHI tidak ada sanksi pidana yang dijatuhkan
terhadap pihak yang tidak melaksanakan isi putusan Pengadilan Hubungan Industrial,
sedangkan dalam UU No. 22 Tahun 1957 ada sanksi pidananya.
Eksekusi Putusan PPHI Setelah beberapa tahun diberlakukannya UU PPHI,
kenyataannya dalam hal pelaksanaan Putusan/Eksekusi hampir sama saja ketika
lembaga P4D atau P4P, ketika masih berada dibawah Institusi Departemen Tenaga
Kerja. Apabila pihak yang dikalahkan tidak bersedia secara sukarela memenuhi
isi/amar putusan, maka pelaksanaan putusan/eksekusi sangat sulit dilakukan. Entah
apa alasannya, yang jelas jika dilihat di bagian kepaniteraan PHI, sangat banyak sekali
yang tidak dapat dilaksanakan, apalagi jika pihak yang menang tersebut adalah
pekerja/buruh (yang dikalahkan Pengusaha).
Oleh karena itu pada dasarnya peralihan permasalahan penyelesaian perselisihan
Perburuhan/Perselisihan hubungan Industrial dari Kementerian Tenaga Kerja ke
Lembaga Peradilan, tidak ada perubahan yang signifikan. Sehingga kemenangan
(khususnya pekerja/buruh) hanya kemenangan di atas kertas saja (semu) dan tidak
konkrit dapat dinikmati pihak pekerja/buruh.
Putusan yang dapat dieksekusi
Tidak semua putusan pengadilan dapat dilaksanakan (dieksekusi). Syarat
pertama yang harus dipenuhi adalah putusan tersebut harus merupakan putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap (inkraht van gewijsde). Yang di maksud dengan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap adalah putusan yang tidak dapat lagi diupayakan
hukum (baik biasa melalui banding dan kasasi maupun upaya hukum luar biasa
melalui peninjauan kembali).
Syarat kedua adalah, pihak yang diperintahkan harus dengan kondisi tidak
bersedia memenuhi putusan secara sukarela. Oleh karena itu sebelum eksekusi
dijalankan, pengadilan harus terlebih dahulu memerintahkan pihak yang kalah untuk
memenuhi isi putusan. Perintah untuk melaksanakan putusan oleh Ketua Pengadilan
Negeri tersebut dengan teguran (Anmaining). Setelah aanmaining diberikan secara patut
dan yang diperintahkan langsung melaksanakan isi putusan, maka pelaksanaan isi
putusan tidak diperlukan.
Selain terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, ada beberapa
putusan yang dapat dilaksanakan eksekusi sekalipun putusan tersebut belum
berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini eksekusi bukanlah sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan putusan, melainkan menjalankan eksekusi terhadap bentuk-bentuk
hukum yang oleh undang-undang dipersamakan dengan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.
Bentuk-bentuk putusan yang dijalankan/dieksekusi sekalipun putusan tersebut
belum berkekuatan hukum tetap yaitu:
a. Putusan yang bersifat serta merta (unit voerbaar bji voorraad);
Putusan ini adalah putusan Pengadilan Negeri yang amarnya memerintahkan
bahwa putusan tersebut dapat dijalankan meskipun ada upaya hukum banding atau
kasasi. Ketentuan mengenai putusan serta merta di atur dalam Pasal 180 (1) HIR
atau Pasal 191 (1) RBG;
b. Putusan Provisi;
Yaitu putusan sementara yang diberikan oleh majelis hakim sebelum putusan
terhadap pokok perkara diputuskan. Setelah putusan tersebut dikabulkan, maka
putusan langsung dapat dieksekusi sekalipun persidangan terhadap perkara
pokoknya sedang berjalan/belum di putus. Ketentuan mengenai putusan provisi
diatur dalam Pasal 180 (1) HIR/191 (1) RBG;
c. Akta Perdamaian;
Yakni apabila selama persidangan berlangsung ternyata para pihak bersepakat
untuk menyelesaikan perkara secara damai. Atas kesepakatan tersebut maka hakim
membuat akta perdamain yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk
memenuhi isi akta perdamaian. Akta perdamaian mempunyai kekuatan
eksekutorial, sehingga apabila ada pihak yang melanggar, maka pihak yang
dirugikan dapat memomonkan pelaksaan eksekusi ke pengadilan. Ketentuan
tentang akta perdamaian di temukan dalam Pasal 130 HIR/154 RBG.
Proses Eksekusi
a. Pemberian Teguran (Aanmaining)
Setelah putusan berkekuatan hukum tetap para pihak yang kalah tetap
tidak bersedia memenuhi isi putusan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat
mengajukan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri, sebagai pihak
yang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk
melaksanakan/menjalankan putusan. Surat permohonan tersebut dikenal
dengan permohonan teguran.
Surat permohonan aanmaining memuat identitas para pihak, amar putusan
yang diminta di eksekusi, alasan mengajukan permohonan dan hal-hal yang
diminta agar dilaksanakan oleh ketua pengadilan.
Bersamaan dengan pengajuan aanmaining, permohonan harus melampirkan
salinan/copy lengkap dari seluruh putusan yang pernah dilakukan terhadap
perkara tersebut seperti anjuran lembaga mediasi, konsiliasi, arbitrase, hubungan
industrial dan putusan kasasi, permohonan juga harus melampirkan relas
pemberitahuan putusan dari Pengadilan Hubungan Industrial kepada para pihak
dan sejumlah biaya apabila disyaratkan.
Setelah persyaratan dipenuhi selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan
mengirimkan surat Teguran/aanmaining kepada pihak yang kalah, yang isinya
memanggil yang bersangkutan menghadap Ketua Pengadilan untuk diberi
peringatan agar memenuhi isi putusan dalam jangka waktu selambat-lambatnya
8 (delapan) hari Pasal 196 HIR.
Dalam prakteknya tenggang waktu delapan hari untuk memenuhi isi
putusan bukanlah bersifat mutlak, karena setelah tenggang waktu tersebut lewat,
pihak eksekutan (permohonan eksekusi) masih harus mengajukan permohonan
untuk menempuh proses selanjutnya. Pelaksanaan aanmaining bisa memakan
waktu sampai satu bulan. Kalau pemanggilan tidak langsung berhasil, misalnya
karena termohon telah pindah alamat atau minta waktu beberapa minggu untuk
memenuhi isi putusan secara sukarela akan tetapi pada akhirnya gagal, maka
pada waktu pelaksanaan aanmaining bisa menjadi lebih lama.
Pada saat termohon memenuhi aanmaining, Ketua Pengadilan di dampingi
panitra mengadakan sidang untuk memberitahukan bahwa pemohon telah
mengajukan permohonan eksekusi terhadap termohon. Oleh karena itu
termohon diminta untuk memenuhi sendiri isi putusan dalam jangka waktu yang
ditentukan (selama jangka waktu peringatan). Segala proses yang terjadi harus
dicatat oleh panitra, karena berita acara tersebut merupakan bukti otentik
terhadap sah atau tidaknya perintah eksekusi selanjutnya.
b. Peletakan sita Eksekusi
Setelah aamaining dilaksanakan dan teryata pihak termohon tetap tidak
bersedia memenuhi isi putusan pengadilan, maka pihak pemohon dapat
meminta Ketua Pengadilan melaksanakan sita eksekusi. Permohonan tersebut
dilakukan secara tertulis melalui surat permohonan eksekusi.
Secara umum, format surat permohonan peletakan sita eksekusi tidak jauh
berbeda dengan format permohonan aanmaining, yaitu memuat perihal, identitas
para pihak, isi putusan yang diminta dilaksanakan dan obyek yang dimintakan di
letakan sita eksekusi, termasuk nama obyek, jenis, jumlah, alamat, identitas,
nama pemilik dan spesifikasi lainya. Ini penting agar tidak terjadi kesalahan
peletakan eksekusi.
Permohonan peletakan sita eksekusi berbeda dengan permohonan sita
jaminan. Permohonan sita jaminan dimaksudkan untuk menjamin hak
pemohon/orang yang berpiutang, yang biasanya dimohonkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri sebelum putusan pokok perkara diberikan atau sesudahnya,
tetapi sifatnya masih belum dijalankan. Alasan peletakan sita jaminan adalah
untuk menghindari usaha penggelapan atau penyingkiran aset-aset termohon
dari pihak pemohon, sehingga ada jaminan pelunasan atas piutang pemohon.
Sedangkan sita eksekusi dilakukan setelah putusan pokok perkara di putus dan
telah berkekuatan hukum tetap, yang tujuannya bukan sekedar menjamin
terpenuhinya tuntutan, melainkan lebih pada pemenuhan isi putusan pengadilan.
Sita eksekusi dapat dilakukan terhadap barang tidak tetap (barang
bergerak) dan apabila tidak ada atau tidak cukup, maka dapat juga dilakukan
terhadap barang tidak bergerak. Penyitaan dapat dilakukan terhadap beberapa
asset, baik bergerak maupun tidak, sampai mencapai jumlah yang harus dipenuhi
dalam putusan serta seluruh biaya pelaksanaan putusan.
Pelaksanaan sita terhadap barang yang dimohonkan harus sebanding
dengan jumlah hak yang diperintahkan untuk dipenuhi dalam putusan. Jika
jumlahnya tidak sebanding, misalnya jauh lebih besar dari nilai yang dituntut,
maka sita tersebut dapat dikategorikan sebagai peletakan sita yang melampaui
batas. Atas sita yang demikian maka termohon dapat meminta kepada Ketua
Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung untuk menegur Ketua Pengadilan
Negeri yang mengoreksi penetapan sita eksekusi yang dilakukan.
Menurut Pasal 197 ayat (2) pelaksanaan penyitaan dilakukan oleh panitra
Pengadilan Negeri atau oleh pejabat lainya yang ditunjuk/diminta Ketua
Pengadilan Negeri misalnya Pemerintah setempat, untuk melaksanakan
penyitaan.
Pelaksanaan sita oleh panitra atau pihak lain yang ditunjuk dilakukan
dengan membuat berita acara peletakan yang memuat:
1) Nama dan jenis barang yang disita;
2) Alamat tempat barang yang disita;
3) Tandatangan yang disita;
4) Penegasan penjagaan barang yang disita oleh pihak yang menguasai objek
yang disita;
5) Penjelasan atas pelaksanaan sita;
6) Tanggal, bulan, dan tahun peletakan sita;
7) Saksi-saksi yang melihat pelaksanaan sita.
Setelah barang, diletakan sita, maka siapapun yang menguasai barang
tersebut harus menjaga dan memeliharanya dengan baik, barang-barang itu tidak
dapat dipindahtangankan dengan cara apapun, karena apabila hal itu dilakukan,
tindakan tersebut batal demi hukum
Pelaksanaan Lelang
a. Mengajukan Surat Permohonan Lelang
Setelah sita eksekusi dijalankan, maka agar terhadap barang yang disita
dapat dilaksanakan lelang, pihak pemohon eksekusi harus mengajukan surat
permohonan lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri. Tanpa pengajuan surat
permohonan maka lelang tidak akan pernah dilaksanakan.
Banyak pihak yang menganggap pengajuan berbagai macam surat
permohonan, yaitu mulai dari permohonan aanmaining, eksekusi dan lelang,
telalu bertele-tele dan birokratis. Orang sering bertanya, mengapa tidak cukup
satu kali surat saja? Apakah tidak bertentangan dengan asas cepat dan biaya
murah?
Ini sama sekali tidak bertentangan, karena adakalanya setelah aanmaining
atau sita eksekusi dilakukan, para pihak, melakukan perdamian di luar
pengetahuan pengadilan. Sehingga apabila pengadilan melakukan eksekusi
lelang, maka tindakan tersebut akan sia-sia karena adanya perdamaian.
Berkaitan dengan surat permohonan lelang, bentuk surat tersebut tidak
jauh berbeda dengan surat permohonan eksekusi, yakni memuat perihal, para
pihak, alasan-alasan permohonan lelang dan hal yang dimintakan dilakukan.
Perbedaan kedua surat tersebut hanya terletak pada isi surat.
b. Pengumuman Lelang
Setelah Ketua Pengadilan Negeri Menerima permohonan lelang pemohon,
maka Ketua Pengadilan meminta batuan Kantor Lelang Negara yang meliputi
wilayah Pengadilan tersebut untuk melaksanakan lelang. Dengan demikian pihak
pelaksana lelang adalah Pengadilan dan bukan salah satu pihak yang
bersengketa.
Selanjutnya pejabat pelaksana lelang menentukan rencana penjualan
barang yang disita. Menurut Pasal 200 ayat (3) HIR, rencana penjualan tersebut
disampaikan kepada Ketua Pengadilan secara tertulis. Apabila ada pihak yang
mengadakan lelang di depan umum maka rencana tersebut juga harus
disampaikan kepada juru lelang, dengan menyebutkan hari/tanggal pelaksanaan
penjualan.
Dalam surat permohonan lelang harus dilampirkan surat-surat atau
dokumen-dokumen yang terdiri dari:
1) Surat permintaan lelang;
2) Surat putusan pengadilan;
3) Salinan penetapan sita;
4) Surat berita acara sita;
5) Salinan penetapan lelang;
6) Salinan surat pemberitahuan lelang kepada pihak yang berkepentingan;
7) Perincian besarnya jumlah tagihan pokok ditambah biaya yang dibebankan
kepada tereksekusi;
8) Bukti kepemilikan (sertifikat) barang yang hendak dijual lelang atas barang
yang tidak bergerak. Surat bukti kepemilikan yang belum mempunyai
sertifikat dapat diganti, misalnya dengan surat keterangan dari kepala desa
setempat;
9) Syarat-syarat lelang yang ditentukan penjual lelang.
Sebelum pelaksanaan pelelangan atas barang yang dapat disita, maka
terlebih dahulu dilaksanakan pengumuman lelang di surat kabar. Pengumuman
lelang tersebut biasanya dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan selang waktu 15
(lima belas) hari. Yang menjadi persoalan dalam perkara perburuhan, siapakah
yang harus menanggung biaya pengumuman lelang dari surat kabar apabila nilai
perkara dari Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) karena menurut
UU PPHI, terhadap perkara Hubungan Industrial yang nilainya sampai dengan
Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) tidak dikenakan biaya. Karena
UU PPHI tidak mengatur secara jelas, maka kemungkinan beban biaya tersebut
akan dibebankan pada Negara.
c. Pelaksanaan Lelang
Setelah sampai pada hari yang ditentukan maka Pengadilan Negeri atas
bantuan Kantor Lelang Negara melakukan pelelangan di depan umum atas
barang-barang yang disita. Pelaksanaan pelelangan yang dilakukan di Pengadilan
Negeri dan oleh Pejabat Kantor Lelang yang ditunjuk. Ketentuan mengenai
pelelangan ini di atur dalam Peraturan Lelang Nomor 189 Tahun 1998.
Tidak semua yang hadir berhak melakukan penawaran terhadap barang
yang dilakukan. Dalam prakteknya hanya peserta yang telah membayar setoran
panjar yang jumlahnya diperkirakan antara 10-20 % dari nilai objek yang disita,
yang diperlukan melakukan penawaran. Jika peminat mengundurkan diri setelah
pembayaran panjar, maka uang panjar tersebut menjadi milik negara.
Setelah syarat setoran dipenuhi, maka peminat lelang mengajukan surat
penawaran kepada panitia lelang. Dalam Pasal 9 Peraturan Lelang disebutkan
bahwa penawar yang berminat harus mengajukan penawaran secara tertulis ke
Kantor Lelang. Penawaran dibuat dalam bahasa Indonesia dengan huruf latin
serta menyebutkan identitas peminat. Dalam prakteknya penawaran tidak selalu
dilakukan secara tertulis, melainkan dapat juga dilakukan secara lisan.
Setelah semua penawaran masuk, dan ternyata harga penawaran tidak
mencapai harga terendah yang telah ditetapkan, maka pelelangan atas objek
tersebut harus ditunda dan penjualan berikutnya harus diumumkan. Apabila
dalam pelelangan lanjutan setelah penundaan ternyata harga dapat dilanjutkan
dengan penawaran langsung secara tawaran meningkat atau tawaran menurun
dan penentuan harga yang patut diserahkan kepada penjual. Penentuan harga
terendah tersebut didasarkan pada harga yang patut dengan kondisi barang yang
di lelang.
Apabila hasil penjualan barang diperkirakan telah memenuhi jumlah
tuntutan yang ditetapkan dalam putusan Pengadilan dan biaya pelaksanaan
putusan maka penjualan barang harus dihentikan apabila masih ada sisa barang
yang belum terjual, maka barang tersebut harus dikembalikan pada pemiliknya.
Hasil lelang yang diperoleh akan dipergunakan untuk memenuhi seluruh
hak pemohon sesuai dengan isi putusan Pengadilan. Setelah seluruh isi putusan
serta biaya lelang dipenuhi namun teryata masih ada sisa dari hasil lelang, maka
sisa tersebut harus dikembalikan kepada termohon. Dengan pemenuhan isi
putusan tersebut maka perkara dianggap telah selesai.
4. Model Tata Laksana Hukum yang Efektif dalam Pelaksanaan Putusan
(Eksekusi) pada PHI yang Tidak Menghambat Kepentingan Hak-Hak
Pekerja/Buruh
Kritik atas UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
Hukum sangat dibutuhkan dalam semua aspek kehidupan manusia, baik dalam
kehidupan sosial, politik, budaya, pendidikan, dan dalam bidang ekonomi. Fungsi dan
peranan hukum sangat penting dalam mengatur kegiatan perekonomian. Hukum
berperan untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi
sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat diarahkan kepada kemajuan dan
kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Pada tataran normatif, hukum secara tegas diletakkan sebagai pendorongan
pembangunan, khususnya terhadap pertumbuhan ekonomi, namun ketika memasuki
tataran implementasi-sosiologis, selain tampak dengan jelas berbagai hal yang
menggembirakan, terlihat pula adanya “peminggiran” peran hukum dalam upaya
mencapai kemajuan bangsa yang telah dicanangkan. Sejumlah fenomena di
permukaan menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari paradigma sebuah Negara
hukum.
Tidak banyak aturan hukum yang memihak kepada rakyat, karena masih banyak
aturan hukum yang melindungi kepentingan penguasa dan pengusaha. Akibat dari
politik pembangunan ada ketimpangan antara pembangunan ekonomi dan
pembangunan hukum. Contoh satu paket kebijakan yang tidak berpihak kepada
masyarakat adalah UU PPHI. Secara normatif, tujuan dari undang-undang tersebut
adalah untuk memberikan keadilan bagi semua pihak, baik pekerja maupun
pengusaha, namun pada tataran implementasinya, undang-undang tersebut malah
mempersulit pekerja untuk memperoleh rasa keadilan.
Paket undang-undang dibidang ketenagakerjaan, seharusnya saling mendukung
satu sama lain, namun pada implementasinya, kebijakan pemerintah untuk
menyelesaikan permasalahan hubungan industrial melalui PHI tidak mendukung
terciptanya keadilan bagi semua pihak, terutama pekerja/buruh.
Meskipun pengaturan tentang perlindungan hak-hak pekerja telah diatur
sedemikian rupa, pada pelaksanaannya masih saja ada perselisihan dan konflik yang
muncul antara pengusaha dan pekerja/buruh. Perselisihan dibidang hubungan
industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan,
atau mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-
undangan.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh
pengusaha dan pekerja/buruh secara musyawarah untuk mufakat. Dalam hal
penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan
pekerja/buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui PHI
sebagaimana telah diatur dalam UU PPHI.
Lahirnya UU PPHI diharapkan dapat menjadi solusi penyelesaian perselisihan
antara pengusaha dan buruh secara adil, namun pada kenyataannya ekspektasi buruh
untuk mendapatkan keadilan lewat PHI tidak semudah yang dibayangkan, karena
penerapan hukum acara perdata ternyata memberi masalah baru bagi serikat
pekerja/serikat buruh.
Keberadaan PHI (PHI) sejak 2006 lalu, mendapat kritik dari para pencari
keadilan. Kritik kalangan buruh terhadap PHI bukan saja mengenai kakunya
penerapan hukum acara perdata, melainkan juga masalah mendasar tentang politik
penyelesaian perselisihan perkara perburuhan.20 Sementara pengusaha21 “was-was”
dengan “bertele-telenya” proses berperkara di PHI.
Ternyata, kritik terhadap PHI tidak hanya datang dari kalangan buruh dan
pengusaha. Kalangan “orang dalam” pengadilan juga sudah menyampaikan hal
tersebut. Sebagaimana pendapat Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung yang
mengeluarkan kritikan tentang PHI. Dalam pidato sambutannya di dalam Rakernas
MA 2007 di Makassar, Bagir Manan menyebut PHI sebagai “anomaly” pengadilan
karena keberadaan hakim ad hoc yang tidak netral, sistem peradilan yang ternyata tidak
cepat, dan pembebanan biaya perkara kepada negara.22 Selain itu, para hakim ad hoc
PHI se-Indonesia juga melakukan otokritik dan mengeluarkan “uneg-uneg” atas
praktik di PHI.
Secara umum, para hakim ad hoc itu tidak membantah tudingan para buruh.
Mereka mengakui dalam praktiknya mereka juga seringkali terjebak dengan kekakuan
hukum acara perdata. Bagaimana tidak, sistemnya sudah memposisikan seperti itu.
Pasal 57 UU PPHI memang mewajibkan PHI memakai hukum acara perdata
sepanjang belum diatur pengecualiannya. Kebiasaan hakim karir -selaku ketua majelis
hakim PHI- memakai hukum acara perdata, makin membuat hakim ad hoc tidak bisa
berbuat banyak.23
Salah satu kendala yang kerap dijumpai buruh akibat kekakuan penerapan
hukum acara perdata terlihat pada saat pembuktian. Hakim PHI pada Pengadilan
Negeri Palangka Raya, mengungkapkan bahwa:
Pada praktiknya gugatan buruh sering terhadang pada saat acara pembuktian.
Hukum acara perdata menyatakan, siapa yang mendalilkan, harus membuktikan.
Padahal, lazim diketahui, buruh tidak punya kemampuan untuk mengakses
dokumen perusahaan semisal anggaran dasar perusahaan hingga data absensi

20
Hasil wawancara dengan Rinald, selaku Mediator Perselisihan Hubungan
Industrial di Palangka Raya pada tanggal 09 Maret 2013.
21
Hasil wawancara dengan Sibot Rumbang, selaku Perwakilan Apindo di Palangka
Raya pada tanggal 09 Maret 2013.
22
Officum Nobile, Kritik Atas UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, http://yudicare.wordpress.com, diakses tanggal 8 Maret 2013.
23
Ibid.
pekerja. Karenanya, diharapkan agar beban pembuktian nantinya juga bisa
dibagi dengan pengusaha.24

Masih seputar pembuktian di persidangan, hakim PHI pada Pengadilan Negeri


Palangka Raya, juga urug rembug. Menurut para hakim, menjelaskan bahwa:
Sepanjang PHI masih menerapkan hukum acara perdata, beban biaya yang
mesti ditanggung buruh teramat besar. Untuk bukti tertulis, buruh mau tidak
mau harus meleges dengan meterai setiap buktinya. Untuk keperluan itu, buruh
sedikitnya harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 11.000 untuk tiap alat
buktinya. Bagaimana kalau alat buktinya puluhan?25

Di satu sisi Pasal 58 UU PPHI menegaskan bahwa tiap perkara yang nilai
gugatannya di bawah Rp150 juta, biaya perkaranya dibebankan kepada negara.
Ini menjadi “lucu”. Harusnya negara yang menanggung biaya perkara. Tapi
dengan adanya biaya leges dan meterai itu, malah buruh yang memberi
pemasukan kepada negara.26

Permasalahan lain yang mengemuka dari otokritik hakim ad hoc PHI adalah
mengenai eksekusi putusan PHI. Tidak jarang ditemui fakta dimana buruh hanya
menang di atas kertas. Pengusaha dengan berbagai dalihnya tak kunjung
melaksanakan putusan PHI. Belum lagi administrasi dan biaya eksekusi melalui
Pengadilan Negeri yang amat membebani buruh.27
Terkait masalah eksekusi itu, hakim PHI pada Pengadilan Negeri Palangka
Raya, berharap agar lembaga paksa badan (gijzeling) bisa diterapkan di PHI. Tujuannya
jelas: supaya tidak ada pengusaha yang tidak mau melaksanakan isi putusan
pengadilan. Gijzeling yang pernah ditiadakan pada tahun 1964, dihidupkan kembali

24
Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman
Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya pada tanggal
08 Maret 2013.
25
Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman
Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya pada tanggal
08 Maret 2013.
26
Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman
Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya pada tanggal
08 Maret 2013.
27
Hasil wawancara dengan Rio Demamore Dau, selaku Perwakilan SPSI di
Palangka Raya pada tanggal 09 Maret 2013.
oleh Mahkamah Agung melalui Perma No 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa
Badan.28
Terlepas dari semua otokritik dan saran yang dikemukakan oleh hakim ad hoc,
ada masalah yang lebih fundamental, yaitu misalnya bagaimana pemerintah tidak
menghilangkan intervensinya dalam melindungi buruh atau bagaimana supaya tidak
ada lagi upaya mengkompromiskan hak normatif buruh di dalam pengadilan.
Pelaksanaan Hukum yang Efektif dalam Pelaksanaan Putusan (Eksekusi)
Pada PHI yang Tidak Menghambat Kepentingan Hak Normaif
Pekerja/Buruh
a. Penerapan Lembaga Paksa Badan (Gijzeling) pada Penyelesaian Perkara
Pengadilan Hubungan Industrial
Penyanderaan (gijzeling) adalah memasukan kedalam penjara orang yang telah
dihukum oleh putusan pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi tidak
melaksanakan putusan tersebut dan tidak ada atau tidak cukup mempunyai barang
yang dapat disita eksekusi. Penyanderaan dalam perkara perdata ini diatur dalam
Pasal 209 s/d Pasal 224 HIR/Pasal 242 s/d Pasal 257 RBg.
Karena penyanderaan itu dirasa tidak adil, maka Mahkamah Agung dengan
Surat Edarann Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 mengintruksikan
kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri seluruh Indonesia
untuk tidak mempergunakanlagi peraturan-peraturan mengenai sandera (gijzeling).
Kemudian dengan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975
Mahkamah Agung menegaskan kembali isi Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964
tanggal 22 Januari 1964 untuk tidak menggunakan lembaga gijzeling, mengingat
Pasal 33 UU Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki pelaksanaan
putusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan.
Namun dengan pertimbangan sebagai mana diungkapkan Sudikno
Mertokusumo, dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengemukakan:

28
Hasil wawancara dengan Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman
Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI pada Pengadilan Negeri Palangka Raya pada tanggal
08 Maret 2013.
Didalam praktek tidak jarang terjadi, debitur yang dikalahkan atau akan
dikalahkan dalam perkara dipengadilan, jauh sebelumnya telah mengalihkan harta
kekayaannya kepada saudaranya atau orang lain dengan maksud untuk
menghindarkan harta kekayaan tersebut dari penyitaan. Dengan demikian, si
dibetur tampaknya sebagai orang yang miskin, tetapi sesungguhnya tidak. Mengigat
hal semacam ini lembaga sandera kiranya masih perlu dipertahankan, namun
penerapannya harus hati-hati.29
Sejalan dengan pikiran Sudikno Mertokusumo, tersebut Mahkamah Agung
kemudian mengeluarkan Peraturan Nomor 1 tahun 2000 Tentang Lembaga Paksa
Badan tanggal 30 Juni 2000 yang mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 04 Tahun 1975. Berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 ini, debitur (dan ahli waris yang telah
menerima warisan dari debitur), menanggung, atau penjamin hutang yang mampu,
tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya
(minimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)) dapat dikenakan paksa badan.
b. Analisis Terhadap Penerapan Lembaga Paksa Badan dalam Penyelesaian
Perkara Perselisihan Hubungan Industrial
Sebagai perbandingan, selain terhadap debitur yang memiliki keengganan
dalam melunasi hutangnya, ketentuan lembaga paksa badan nantinya juga akan
ditetapkan kepada orang yang telah dihukum oleh putusan pengadilan untuk
membayar sejumlah uang, tetapi tidak melaksanakan putusan tersebut dan tidak
ada atau tidak cukup mempunyai barang yang dapat disita eksekusi. Hal ini dapat
juga diberlakukan dalam perkara perselisihan hubungan industrial dalam hal
pelaksanaan eksekusi putusan yang tidak dilaksanakan pengusaha.
Dalam prakteknya, sulit bagi pekerja/buruh yang memenangi gugatan untuk
segera melakukan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan tetap dari
pengadilan. Hal ini dikarenakan banyaknya pengusaha yang tidak patuh untuk
melaksanakan putusan tersebut dengan sukarela. Hal demikian tentu merupakan

29
Law File, Pelaksanaan Putusan Pengadilan, http://lawfile.blogspot.com, diakses
tanggal 8 Maret 2013.
suatu tantangan tersendiri, sehingga perlu dicarikan solusi yang tentunya tidak
merugikan kedua belah pihak, baik itu pengusaha maupun pekerja/buruh.
Sebagaimana ditawarkan oleh salah satu hakim adhoc PHI pada Pengadilan
Negeri Palangka Raya agar pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat
memberikan sanksi bagi pengusaha yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme
tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan, namun keberadaan lembaga ini
masih kontroversial.
Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan
merupakan hal yang berlebihan. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini
diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi
pengusaha yang nakal. Hal ini tentu menjadi masukan bagi pemerintah untuk
menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para
pengusaha yang tidak memenuhi kewajibannya. Tujuannya jelas: supaya tidak ada
pengusaha yang tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan serta adanya
kepastian hukum bagi pekerja/buruh terhadap pelaksanaan isi putusan tersebut.
c. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Tenaga Kerja/Buruh Terhadap
Putusan PHI yang Inkracht Selain Permohonan Eksekusi
Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan terhadap putusan PHI yang
inkracht, selain permohonan eksekusi? Ini untuk mengantisipasi pengusaha yang
tetap tidak mau melaksanakan putusan PHI perihal pembayaran pesangon. Pasal
57 UU PPHI telah merumuskan secara tegas bahwa hukum acara yang berlaku di
PHI (PHI) adalah Hukum Acara Perdata, kecuali beberapa hal yang diatur secara
khusus dalam UU PPHI ini.
UU PPHI tidak mengatur khusus mengenai upaya hukum apa yang dapat
dilakukan terhadap putusan PHI yang sudah inkracht. Dengan demikian, maka hal
itu dilakukan dengan merujuk pada hukum acara yang berlaku, yaitu permohonan
eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR.
Pasal 195 ayat (1) HIR menyebutkan bahwa tidak ada yang dapat menunda
suatu eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk dilaksanakan,
kecuali dengan jalan damai dan pelaksanaan putusan tersebut di bawah pimpinan
Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama pemeriksaan perkara tersebut.
Lebih jauh, Pasal 196 HIR mengatur tentang pelaksanaan putusan yang
diakibatkan dari tindakan tergugat yang enggan secara suka rela melaksanakan isi
putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak
yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada
Ketua Pengadilan Negeri agar putusan dapat dijalankan.
d. Analisis Upaya Hukum Terhadap Putusan PHI yang Inkracht Selain
Permohonan Eksekusi
Jika permohonan eksekusi sudah dilakukan dan pengusaha tetap tak mau
membayarkan pesangon, maka pekerja bisa memohonkan sita eksekutorial atas
barang-barang milik pengusaha. Permohonan sita eksekutorial itu tetap diajukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri. Setelah semua barang-barang disita, kemudian
akan dilelang dimana hasilnya akan digunakan untuk membayarkan kewajiban
pengusaha kepada pekerja dan juga biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan
pelaksanaan putusan tersebut.
Selain mengajukan permohonan eksekusi dan sita eksekusi tersebut, dalam
praktiknya ada beberapa hal yang bisa diajukan oleh pekerja atas tindakan
pengusaha yang tidak mau membayarkan pesangon meski sudah ada putusan PHI
yang sudah inkracht. Salah satunya adalah melaporkan pengusaha ke kepolisian,
setidaknya atas dua tuduhan. Pertama, dugaan penggelapan uang pesangon.
Sedangkan yang kedua adalah dugaan pelanggaran Pasal 216 KUHPidana di mana
tindakan pengusaha yang tak mau menjalankan putusan PHI yang sudah inkracht
dianggap sebagai tindakan yang menghalang-halangi perintah dari pejabat atau
penguasa umum.
Di samping itu, upaya lain yang bisa dilakukan terhadap pengusaha “bandel”
itu adalah dengan mengajukan gugatan pailit ke Pengadilan Niaga. Sebagaimana
diketahui bahwa salah satu pertimbangan dibentuknya pengadilan niaga adalah agar
mekanisme penyelesaian perkara permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang, penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cepat dan efektif.
Keberadaan pengadilan niaga tidak menambah kuantitas lingkungan peradilan baru
di Indonesia. Ini secara tegas disebutkan dalam Perpu. Artinya, pengadilan niaga
hadir dan berada dalam lingkungan peradilan umum. Akan tetapi secara substansial
kehadiran peradilan niaga jelas telah menggeserkan kompetensi absolut maupun
relatif dari pengadilan negeri atas perkara-perkara permohonan kepailitan dan
penundaan kewajiban membayar utang.
Jumlah besaran pesangon yang sudah ditetapkan berdasarkan putusan PHI
yang sudah inkracht akan menjadi hutang pengusaha dan piutang pekerja. Di sini
berarti kedudukan pekerja adalah kreditur, sementara pengusaha menjadi debitur.
Ketika permohonoan eksekusi sudah diajukan dan sang pengusaha masih
tidak melaksankannya, maka hutang si pengusaha menjadi dapat ditagih. Merujuk
pada UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, kreditur dapat
menggugat pailit seorang debitur. Syaratnya, ada satu hutang yang sudah jatuh
tempo dan dapat dibayar, debitur memiliki dua kreditur atau lebih, dan
pembuktiannya sederhana.
Kesimpulan
1. Melihat pada penerapan hukum yang sebenarnya di lapangan terkait dengan
pelaksanaan putusan (eksekusi) perkara perselisihan hubungan industrial sangat sulit
dilakukan, terlebih eksekusi tersebut menyangkut kepentingan pekerja/buruh. Jika
pihak yang menang tersebut adalah pekerja/buruh (yang dikalahkan Pengusaha), maka
pihak yang dikalahkan tidak bersedia secara sukarela memenuhi isi/amar putusan.
Yang jelas jika dilihat di bagian kepaniteraan PHI, sangat banyak sekali yang tidak
dapat dilaksanakan. Oleh karena itu pada dasarnya peralihan permasalahan
penyelesaian perselisihan Perburuhan/Perselisihan hubungan Industrial dari
Kementerian Tenaga Kerja ke Lembaga Peradilan, tidak ada perubahan yang
signifikan. Sehingga kemenangan (khususnya pekerja/buruh) hanya kemenangan di
atas kertas saja (semu) dan tidak konkrit dapat dinikmati pihak buruh.
2. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi putusan), meliputi proses eksekusi
yang diikuti dengan proses pemberian teguran (aanmaining), peletakan sita eksekusi.
Proses selanjutnya adalah pelaksanaan lelang yang diikuti dengan proses mengajukan
surat permohonan lelang, pengumuman lelang dan pelaksanaan lelang.
Daftar Pustaka
Abdul R. Budiono, 2009, Hukum Perburuhan, Penerbit PT. Indeks, Jakarta.
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, 2011, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial
dalam Teori dan Praktik, Penerbit Alumni, Bandung.
Maimun, 2007, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Penerbit Pradnya Paramita,
Jakarta.
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2005.
Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 2000.
Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dalam Hubungannya dengan Lembaga Peradilan, t.p, t.t.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, Penerbit Mundur Maju, Bandung, 1989.
Ronny Hanijito Soemitro, 1994, Masalah-Masalah Sosial Hukum, Penerbit Sinar Baru,
Bandung.
Sehat Damanik, Hukum Acara Perburuhan, Penerbit DSS Publishing, Jakarta, 2007.
Zaeni Asyhadie, 2009, Peradilan Hubungan Industrial, Penerbit Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Undang-Undang:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);
Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang No 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial;
Nara Sumber:
Teki Prasedyanti, Tukas Y. Buntang dan Aliasman Purba selaku hakim Ad-Hoc di PHI
pada Pengadilan Negeri Palangkaraya.
Hasil wawancara dengan Rinald, selaku Mediator Perselisihan Hubungan Industrial di
Palangka Raya pada tanggal 09 Maret 2013.
Hasil wawancara dengan Sibot Rumbang, selaku Perwakilan Apindo di Palangka Raya
pada tanggal 09 Maret 2013.
Hasil wawancara dengan Rio Demamore Dau, selaku Perwakilan SPSI di Palangka Raya
pada tanggal 09 Maret 2013.
Website:
Law File, Pelaksanaan Putusan Pengadilan, http://lawfile.blogspot.com, diakses tanggal 8
Maret 2013.
Officum Nobile, Kritik Atas UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, http://yudicare.wordpress.com, diakses tanggal 8 Maret 2013.
Wikipedia, Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Palangkaraya, diakses melalui
www.wikipedia.org pada tanggal 3 Maret 2013.
PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) PERKARA PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERSPEKTIF PEKERJA/
BURUH (Studi Kasus Di Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial Palangkaraya)

JURNAL PENELITIAN

Oleh :
Yessiarie Silvanny Sibot

PROGRAM PASCA SARJANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
Lembar Persetujuan Jurnal

Judul :
PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI) PERKARA PERSELISIHAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PERSPEKTIF PEKERJA/
BURUH (Studi Kasus Di Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial Palangkaraya)

Oleh :
Yessiarie Silvanny Sibot

Menyetujui :

Pembimbing Utama Pembimbing Kedua

Dr. A. Racmad Budiono, S.H., M.H Dr. Rachmad Safa’at, S.H.,M.Si


NIP. 19540925 198003 1002 NIP. 19611116 198601 1001

Você também pode gostar