Você está na página 1de 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di
mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak
geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat
dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal
saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1
atau paling lambat masa mula berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Seperti yang tertulis dalam
buku H Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad jilid I.
Kembali kesejarah masa lalu, dimana pengaruh agama Hindu masuk pertama ke Aceh
yang datang dari India sekitar 2500 tahun yang lalu, di Aceh mereka telah membuat
perkampungan, mereka sendiri datang melalui pesisir pantai Utara Aceh. Pengaruh Hindu
di Aceh telah terjadi sejak zaman purba seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran
Belanda dalam beberapa buku tentang sejarah budaya Aceh (Prof Dr H Aboebakar, Aceh
1972). Dan ada juga beberapa penemuan berupa guci-guci yang berisi abu jenazah di
Lamno Daya (Aceh Jaya) serta beberapa cerita dari masyarakat tentang pahlawan syah
yang terus hidup di negeri itu.
Penduduk Aceh merupakan keturunan dari berbagai suku, kaum dan bangsa. Leluhur
orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, dan Kamboka. Di
samping itu banyak juga bangsa-bangsa asing di tanah Aceh, seperti bangsa Arab, India
dan Cina dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di Aceh.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena
pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap
kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun
kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh
merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi
antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua
pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan
yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan
Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.

1.2 Rumusan Masalah


Dilihat dari latar belakang diatas adapun rumusan masalahnya, yaitu :
1. Siapakah suku Aceh ?
2. Bagaimana sejarah daerah Aceh ?
3. Bagaimanakah Kesultanan Aceh Darussalam ?
4. Siapakan yang pernah mendatangi atau singgah wilayah Aceh ?
5. Bagaimanakah kedatangan Jepang ke Aceh ?
6. Bagaimanakah reaksi masyarakat Aceh terhadap kedatangan bangsa Jepang ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


1.3.1. Tujuan Penulisan
Tujuan utama pembuatan makalah ini untuk memenuhi nilai mata kuliah Sejarah
Nasional Indonesia II. Selanjutnya untuk memaparkan tentang peristiwa-peritiwa yang
terjadi di Aceh akibat dari datangnya bangsa Jepang yang ingin menguasai wilayah Aceh.
1.3.2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah penulisan dan pembaca lebih
memahami mengenai peristiwa-peritiwa yang terjadi di Aceh akibat dari datangnya
bangsa Jepang yang ingin menguasai wilayah Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Suku Aceh


Suku Aceh berasal dari pendatang Melayu Tua (Proto-Malay) dan Melayu Muda
(Deutero-malay). Golongan Melayu Tua ini membawa kemampuan yang lebih maju dari
pendahulunya, meski dengan perkakas serba batu. Mereka berkulit sawo matang seperti
orang Mongol, sekarang keturunannya orang Gayo dan Alas.
Menjelang permulaan abad masehi datang Melayu Muda, Melayu Tua menyingkir
kepedalaman, sedangkan Melayu Muda yang memang keturunan penduduk asal Indo
China, khususnya dari Champa atau Khmer (Kamboja) yang kemampuannya lebih tinggi
dari Melayu Muda. Keturunan mereka kemudian menempati wilayah pesisir sekeliling
Aceh. Dan golongan Melayu Muda inilah yang aktif berhubungan dengan orang-orang
asing, baik Karena didatangi maupun mendatangi.
Menurut penelitian G. K. Nieman dari unsur linguistik: bahasa Aceh banyak kesamaan
dengan bahasa Campa dari Indo China, maka dia mengajukan dugaan bahwa sebagian
penduduk Aceh mungkin berasal dari perpindahan negeri Campa.

2.2 Sejarah Aceh


Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah
transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara
seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari
Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar
negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh
para pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para
pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di
Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh
yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka
singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri
sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi
perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara
maupun luar negeri.
Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu
Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam
Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan
Jeumpa, Kabupaten Bireuen.Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah
perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng
Peusangan di sebelah timur.
Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di
mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak
geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat
dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal
saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1
atau paling lambat masa mula berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Seperti yang tertulis dalam
buku H Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad jilid I.

2.3 Kesultanan Aceh Darussalam


Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera
Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan
Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360.
Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih
Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas
puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti
Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil
ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah
memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di
Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah
Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau
tanggal 8 September 1507 Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak
dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah.
Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda
Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12
Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu
nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu
Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737
Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja
Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh
Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah
para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
1. Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2. Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
3. Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4. Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
5. Sulthan Muda (1575)
6. Sulthan Sri Alam (1575-1576)
7. Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
8. Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
9. Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
10. Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
11. Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
13. Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
14. Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
15. Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16. Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
24. Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
28. Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
30. Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32. Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
33. Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
34. Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
35. Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
36. Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )

2.4 Bangsa Pendatang Di Aceh


Ada beberapa bangsa yang pernah singgah di wilayah Aceh, kaum pendatang tersebut
ada yang bertujuan untuk urusan perniagaan maupun untuk urusan-urusan lain seperti
untuk menguasai wilayah Aceh dan lain sebagainya.
Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan
Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis
menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah.
Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari
tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan
dikebumikan disana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin
Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan
Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana.
Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa
dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka
kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah
menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari
Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu
dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis
De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena
orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan
membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald
De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama
dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda
tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda,
Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu
Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan
kuburannya ada di Middleburg, Belanda.

2.5 Kedatangan Jepang ke Aceh


Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth
untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik
oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut
sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas
Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara
Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69
tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena
pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap
kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun
kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh
merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi
antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua
pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan
yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan
Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
“Tentara Hindia Belanda dan orang-orang Belanda sudah tidak ada lagi di
Banda Aceh, dua hari yang lalu mereka telah pergi. Orang-orang KNIL yang berbangsa
Indonesia (Jawa, Ambon, dan Manado) banyak yang lari dari tangsi dan menanggalkan
bajunya mereka meminta perlindungan di kampung-kampung. Banda Aceh pada tanggal
12 Maret 1942 sudah menjadi kota terbuka, karena semenjak pagi para polisi Hindia
Belanda menanggalkan baju mereka dan bersembunyi di rumahrumah mereka, sehingga
rakyat bebas mengambil apa saja yang ditinggalkan Belanda, baik di rumah-rumah
maupun di kantor-kantor dan gudang-gudang perusahaan. Serdadu-serdadu Jepang yang
pada waktu tengah hari masuk kota, membiarkan saja keadaan demikian rakyat beramai-
ramai mengambil harta
rampasan ...”
Para pemimpin Perang Gerilya pada tanggal 13 Maret 1942, dengan dijemput Said
Abubakar meninggalkan Markas Gerilya di Data Coo, dan setelah bermalam satu malam
di Seulimeum menuju Sigli untuk menjumpai Teungku Muhammad Daud Bereueh (Ketua
Pengurus Besar PUSA) dan para anggota Pengurus PUSA lainnya.
Di Sigli berjumpa dengan S. Matsubuci, seorang Pemimpin Fujiwarakikan, yang
ditugaskan segera ke Aceh untuk membentuk Pemerintahan Pantadbiran Militer Jepang
sementara malamnya, S. Matsubuci bersama beberapa anggota Pengurus Besar PUSA
dan Mujahiddin yang baru turun dari kaki Bukit Barisan berangkat ke Banda Aceh.
Berhubung hotel-hotel sudah tidak ada lagi yang mengurus, maka semua (termasuk S.
Matsubuci) pergi ke kampong Alue (Dayah Geulumpang) dan di sana menginap di rumah
Teungku Muhammad Yunus Jamil (salah seorang tokoh Fujiwarakikan).
Besoknya mereka menuju ke Banda Aceh, di mana didapati kota sudah tidak terurus,
rumah-rumah dan gedung-gedung yang ditinggalkan Belanda berantakan, apa yang ada
di dalamnya diangkut rakyat beramai-ramai, baik mereka penghuni kota maupun mereka
yang datang dari kampung-kampung yang jauh. Polisi yang seharusnya menjaga
ketertiban sudah tidak kelihatan, mereka telah menanggalkan baju dinasnya dan mungkin
sekali bahwa mereka yang telah memakai baju "preman" ikut mengambil harta rampasan
perang. Kalau dalam kota pada hari itu, orang beramai-ramai berpesta pora dengan harta
rampasan "perang", maka rakyat banyak di luar kota, dipinggir laut tempat pendaratan
tentara Jepang, dan di sepanjang jalan yang dilalui pasukan-pasukan tentara Jepang yang
baru mendarat, mereka menyambut "saudara tua" itu dengan kelapa muda dan nasi
bungkus dan bahkan banyak yang memberikan sepedanya yang diminta serdadu-serdadu
yang sepedanya telah kempis atau memang tidak mempunyai sepeda.
Rakyat umum yang di kampung-kampung, kecuali sedikit yang telah ke kota, tidak
menghiraukan "harta rampasan perang" di kota, karena mereka berkeyakinan bahwa
dalam waktu dekat kapal-kapal dagang Jepang akan membawa bahan pakaian dan
barang-barang
keperluan hidup lainnya yang akan dijual dengan harga murah, bahkan ada yang mengira
bahwa bahan-bahan pakaian itu nanti akan dibagibagi tanpa bayar, karena Aceh telah
memberontak terhadap Belanda dan telah membantu tentara Jepang. Ini salah satu sebab
yang menyebabkan pada satu waktu nanti rakyat kecewa dan marah kepada Jepang.
Pada tahun pertama Jepang menduduki Aceh, politik dua muka yang dijalankannya
memang berhasil. Dengan muka yang satu Jepang memandang para Ulama dengan
senyum manis dan seakan-akan hanya itu saja mukanya. Sebaliknya, muka yang lain
Jepang menyapa Hulubalang dengan senyum simpul, seakan-akan hanya itu sajalah
mukanya. Pada mulanya, baik Hulubalang maupun Ulama tidak mengetahui bahwa
"muka Jepang" yang berhadapan dengan mereka itu adalah "muka palsu", sedangkan
"muka yang asli" bermukim di balik "muka palsu" itu.
Dengan "politik dua muka" itu Jepang mempergunakan Hulubalang untuk memaksa
rakyat agar menyerahkan padinya kepada BDK (Badan Kumpul dan Bagi) yang telah
dibentuk Jepang, agar mau bekerja keras (paksa) untuk membikin jalan, lapangan
terbang, bentengbenteng pertahanan dan sebagainya.
Dengan "politik dua muka" itu pula Jepang dapat mempergunakan lidah Ulama agar
mendakwahkan rakyat bahwa penyerahan padi, pembuatan lapangan terbang, jalan-jalan,
bentengbenteng pertahanan dan sebagainya adalah untuk memenangkan Perang Asia
Timur Raya, yang nantinya akan menjadikan Asia Makmur, rakyatrakyat Asia merdeka
dan senang. Dengan cara yang tidak disadari dan halus, sewaktu-waktu Jepang
membiarkan Hulubalang menangkap rakyat. Dipihak lain, dengan halus dan tidak terasa
Jepang memberi sugesti kepada badanbadan pengadilan yang pada umumnya dipegang
para Ulama, agar melaksanakan keadilan terhadap rakyat tertindas dan teraniaya,
sehingga dengan demikian rakyat yang ditangkap Hulubalang dibebaskan Ulama lewat
pengadilan.
Politik "dua muka" Jepang cepat disadari para Ulama PUSA/Pemuda PUSA, sehingga
pada awal sejarah pendudukan Jepang di Indonesia, para Ulama Pimpinan PUSA/Pemuda
PUSA telah melakukan semacam "pemberontakan politik" terhadap Jepang, yang
menyebabkan sejumlah pimpinan PUSA/Pemuda PUSA ditangkap dan ditahan dalam
tahanan Kempetai beberapa waktu. Mengapa para Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang
cepat menyadari akan bahaya dan jahatnya "politik dua muka" Jepang ? Mungkin karena
para pemimpin PUSA/Pemuda PUSA dalam menetapkan "kebijaksanaan kerjasama"
dengan Jepang dahulunya, juga telah digariskan batas-batas yang tidak boleh dilewatinya
dalam
pelaksanaan kerjasama.
Sekalipun pemberontakan PUSA/Pemuda PUSA terhadp Jepang sifatnya hanya
politik, namun dampaknya sangat jauh dan mendalam. Dengan pemberontakan politik itu,
para pemimpin PUSA/Pemuda PUSA seakan-akan mengatakan kepada rakyat bahwa
kerjasama dengan Jepang hanya sampai disini, dan kepada para Ulama/Pemimpin di luar
PUSA/Pemuda PUSA seperti mengisyaratkan bahwa Jepang bukanlah "teman" orang
Aceh.

2.6 Perang Bayu


Sebagian para ulama Aceh non PUSA yang sejak semula menentang kerjasama
dengan Jepang, dengan semboyan mereka yang terkenal "Talet bui tapeutamong asee"
(mengusir babi, menerima anjing), terpengaruh benar dengan "pemberontakan politik"
yang dilakukan para ulama PUSA/Pemuda PUSA pada awal sejarah pendudukan Jepang
di Aceh, sehingga mendorong mereka melakukan "oposisi keras" terhadap tentara
pendudukan Jepang dengan melakukan "pemberontakan bersenjata" yang cukup
memusingkan Jepang.
Pemberontakan bersenjata yang dilakukan sebahagian para ulama non PUSA
memperkuat alasan bagi PUSA/Pemuda PUSA dalam hal tuntutannya agar Jepang
memberi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dan khusus di Aceh agar Jepang memberi
kesempatan yang luas kepada para ulama dalam pemerintahan, sebagai langkah awal ke
arah pemberian kemerdekaan. Tuntutan ini, sebahagian berhasil, antara lain dengan
pembentukan "Mahkamah Syari'ah di seluruh Aceh, yang dipimpin dan anggota-
anggotanya dipercayakan kepada para ulama, sementara sebahagian pimpinan
"Pengadilan Negeri" juga diberi kepada para ulama. Disamping itu, sebahagian besar para
pemuda PUSA/Kasysyafatul Islam diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam
organisasi ketentaraan "Gyugun" dan "Tokubetsu".
Di antara para ulama non PUSA yang terdorong oleh "Pemberontakan Politik" PUSA
untuk cepat bertindak melakukan "Perang Jihad" terhadap Jepang, yaitu Teungku Abdul
Jalil, seorang ulama yang masih muda, yang berasal dari Buloh Blang Ara,
Lhokseumawe. Beliau termasuk di antara anak-anak orang Aceh yang mau belajar pada
"sekolah kafir" yang didirikan Belanda," yaitu Volkschool tiga tahun. Setamat dari
"sekolah kafir" itu beliau belajar pada berbagai dayah yang dipimpin oleh ulama non
PUSA.
Mula-mula Abdul Jalil belajar pada dayah yang dipimpin Teungku Muhammad Amin
Jumphoh (dalam Kabupaten Pidie), kemudian melanjutkan pada Dayah Krueng Kale,
salah satu Pusat Pendidikan Islam terkenal di Aceh Besar, yang dipimpin oleh Teungku
Haji Hasan Krueng Kale. Dari Dayah Krueng Kale, Abdul Jalil pindah ke Dayah Cot
Plieng Bayu (Lhoksukon, Aceh Utara) yang dipimpin Teungku Ahmad. Di Cot Plieng
Bayu, Abdul Jalil di kawinkan dengan Teungku Asiah puteri Teungku Ahmad, yang
kemudian beliau menggantikan mertuanya untuk memimpin Dayah Cot Plieng, sebagai
Teungku Chik.
Baik Teungku Muhammad Amin Jumphoh, maupun Teungku Haji Hasan Krueng Kale
dan Teungku Ahmad, ketiga mereka termasuk dalam kelompok ulama non PUSA, yang
disebut "Kaum Tua", sementara ulama PUSA disebut "Kaum Muda". Memperhatikan
latar belakang pendidikannya dengan ulamaulama yang menjadi gurunya, adalah suatu
hal yang wajar kalau Teungku Abdul Jalil kemudian menjadi seorang ulama Aceh yang
sangat fanatik dan anti "kafir" baik "kafir Belanda" maupun "kafir Jepang". Adalah suatu
hal yang logis, kalau sejak semula beliau tidak menyetujui "kerjasama" dengan Jepang,
sekalipun untuk tujuan mengusir "kafir Belanda", yang oleh para ulama PUSA/Pemuda
PUSA dipandang sebagai "taktik perjuangan".
Suatu perbedaan yang sangat mendasar antara ulama PUSA/Pemuda PUSA yang
disebut "Kaum Muda" dengan ulama non PUSA yang disebut "Kaum Tua", yaitu bahwa
ulama PUSA/Pemuda PUSA berpolitik dalam "organisasi yang non politik", sementara
ulama non PUSA pada umumnya tidak berorganisasi dan tidak berpolitik sama sekali,
sehingga mereka tidak mempunyai pengalaman dan pandangan politik. Perbedaan yang
mendasar inilah yang menyebabkan adanya perbedaan "ijtihad" dalam menghadapi
Jepang, baik sebelum maupun setelah "Tentara Dai Toa" mendarat di Tanah Aceh. Suatu
hal yang tidak diragukan lagi, behwa kedua kelompok ulama Aceh itu sama-sama
melawan penjajah, baik penjajah Belanda maupun penjajah Jepang.
Dengan mengetahui perbedaan yang mendasar ini, maka ariflah kita mengapa pada
awal sejarah pendudukan tentara Jepang di Aceh ulama PUSA/Pemuda PUSA melakukan
"Pemberontakan Politik" terhadap Jepang, sementara Teungku Abdul Jalil dan kawan-
kawan yang Ulama non PUSA terus mengadakan persiapan-persiapan ke arah
"pemberontakan bersenjata". Sesuai dengan keyakinan yang demikian, maka Teungku
Abdul Jalil dan kawan-kawan dengan diam-diam (pada tahap pertama) mengadakan
dakwah "anti Jepang" dan seruan "jihad fi sabilillah", dari desa ke desa dalam Kabupaten
Aceh Utara. Menjelang akhir tahun 1942, dakwah diam-diam ini berobah menjadi
"dakwah terangterangan", setelah kekejaman tentara Jepang menjadi kenyataan yang
pahit dan setelah keluar anjuran/perintah "kirei" (hormat) kepada Tenno Heika dengan
menghadap ke Tokyo.
Para muridnya di Dayah Cot Plieng Bayu menjelang akhir tahun 1942 telah matang
untuk terjun ke dalam "jihad fi sabilillah" sementara sebahagian rakyat umum di
sekitarnya telah mulai matang untuk suatu gerakan bersenjata, dan pada saat itu pihak
intelijen dan Kempetai puntelah mengetahuinya.
Pihak Jepang tentu berusaha untuk memadamkan api yang belum menyala itu, antara
lain dengan mempergunakan aparatnya yang orang Aceh, yaitu para Hulubalang yang
telah diangkat menjadi Gunco (Wedana) dan Sonco (Camat), yang mau tidak mau, suka
tidak suka,harus melaksanakan permintaan Penguasa Jepang itu. Ulama PUSA/Pemuda
PUSA yang dengan cara halus diharapkan oleh Jepang untuk melakukan "Dakwah
Tandingan" terhadap Teungku Abdul Jalil, dengan halus pula tidak melakukan harapan
Jepang itu, sekalipun tidak menolak. Para Ulama PUSA/Pemuda PUSA bersikap melihat
saja, dan mungkin barangkali hatinya menyetujuinya. Dalam rangka penolakan dengan
halus ini A.Hasjmy dan kawankawan sebagai "Orang Atjeh Sinbun" tidak melakukan
tugas Jepang untuk pergi ke Bayu Lhoksukon, bersama Said Ahmad Dahlan dan
Abdurrahman TWH guna ikut kampanye menghentikan "gerakan Teungku Abdul Jalil".

2.7 Perang Pandrah


Pada malam Kamis tanggal 2 jalan 3 Mei 1945 di bawah pimpinan Pang Akob 40
Mujahid Lheu Simpang menyerbu tangsi militer Jepang di Pandrah, yang kemudian
terkenal dalam sejarah "Heroik Rakyat Indonesia di Aceh" sebagai "Pemberontakan
Pandrah". kalau "Perang Bayu" yang terjadi dalam tahun 1942 dapat disebut sebagai
ucapan "Selamat datang" kepada Balatentara Jepang yang mengandung peringatan bahwa
Rakyat Indonesia tidak bersedia dijajah, maka "Pemberontakan Pandrah" yang terjadi
dalam tahun 1945 dapat dikatakan sebagai "selamat Jalan" kepada mereka dengan
mengandung pesan bahwa semua penjajah yang berani datang ke Aceh/Indonesia pasti
akan disambut dengan perlawanan bersenjata.
Para ulama/pemimpin yang menggerakkan semangat rakyat untuk berjihad melawan
Jepang pada tahun akhir Jepang menduduki Indonesia, disamping mempergunakan "alat
peledak" ajaran-ajaran Islam yang anti penjajah, juga mempergunakan suasana yang telah
semakin memburuk di mana keganasan tentara Jepang dalam melaksanakan "kerja paksa"
sudah sangat menyolok, pengambilan padi dari rakyat sangat menekan dan berbagai
kejahatan lainnya yang semakin meningkat. Dalam suasana demikian dan dengan
mempergunakan "alat peledak" ajaran Islam, "gunung api" pemberontakan sangat mudah
meletus. Hal ini berbeda dengan "Pemberontakan Bayu" pada akhir tahun 1942 yang
melulu mempergunakan ajaran Islam sebagai alat penggerak, karena waktu itu kezaliman
Jepang belum banyak yang menonjol.
2.8 Pemberontakan Gyugun
Penyerbuan terhadap "Tangsi Pandrah" dan pertempuran dahsyat yang terjadi di
Meunasah Lheu Simpang, sangat memarahkan Jepang sehingga pada hari-hari berikutnya
mereka melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap rakyat dalam kecamatan
Jeunib, yang menurut dugaan mereka tersangkut dalam "Pemberontakan Pandrah". Para
mujahid yang ditawan Jepang itu, sebahagiannya, setelah melalui proses pemeriksaan dan
penyiksaan, dibebaskan kembali dalam keadaan yang sudah amat parah. Adapun teman-
temannya yang berjumlah 24 orang diangkut ke Medan. 12 orang di antara mereka tidak
lagi diperiksa, tetapi terus dilaksanakan hukuman mati di sana.
Mereka yang dihukum mati itu, yaitu : Teungku Abdul Wahab Ali , Teungku Usman
Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu' Thalib, Teungku M. Hamzah, Teungku
M.Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku
Husin bin Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil
Pang. Adapun teman-temannya yang 12 orang lagi dihukum penjara antara 5 sampai
dengan 12 tahun dan dikurung dalam penjara Pematang Siantar. Enam orang di antara
mereka yang meninggal dalam penjara karena penganiayaan yang berat, yaitu Teungku
Thalib Beungga,
Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku Uyasa
Yusuf. Eanam orang lagi yang masih hidup dan pulang ke Aceh setelah Jepang kalah,
yaitu Teungku Yahya, Keuchik Muhammad Ali , Teungku Muhammad Ali Tineubok,
Teungku Isham Banta Panjang, teungku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad
Hasan Ali.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena
pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap
kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun
kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh
merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi
antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua
pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan
yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan
Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
Telah menjadi fakta sejarah, tidak ada penjajah yang baik, yang ada hanya penjajah
yang kurang jahat dibandingkan dengan penjajah yang lebih jahat. Telah menjadi fakta
sejarah pula, tidak ada rakyat terjajah yang rela tanah airnya dijajah. Yang ada hanya
rakyat yang terjajah yang kurang revolusioner perjuangannyamelawan penjajah
dibandingkan dengan rakyat terjajah yang melawan penjajah dengan angkatan senjata
terhadap Jepang di Bayu dan Pandrah.

3.2 Saran
Saran kami sebagai penulis adalah cobalah untuk kita pahami akan sejarah bangsa
Indonesia. kaji kembali tentang sejarah kesultanan di Aceh dan mencoba menguak
kembali di mana peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Aceh
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan
beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa.
Keterpaduan pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek
kurikulum, dan aspek belajar mengajar.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar
secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman
langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang
dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung siswa akan memahami konsep-konsep yang
mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dipahaminya.
Teori pembelajaran ini dimotori para tokoh Psikologi Gestalt, termasuk Piaget yang
menekankan bahwa pembelajaran haruslah bermakna dan berorientasi pada kebutuhan
dan perkembangan anak.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil
melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau
merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa.
Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses
pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan
membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan
pengetahuan.

B. Saran
Saran kami sebagai penulis adalah cobalah untuk lakukan dengan baik bagaimana
prinsip-prinsip pembelajaran tematik dan hakikat dari pembelajaran tematik itu sendiri.

Você também pode gostar