Você está na página 1de 10

TEMA ARTIKEL : MASALAH, SOLUSI, DAN TANTANGAN

PELINDUNGAN HUKUM PROFESI GURU PADA ERA


DIGITAL
PENYUSUN : RUFLINA POLINGGAPO, M.PD

BAB I
PENDAHULUAN

Guru merupakan sebuah profesi yang sangat vital dalam dunia pendidikan karena
pelaksana jalannya pendidikan dan pembelajaran sehingga tanpa adanya guru, tujuan
pendidikan akan sangat sulit dicapai. Dengan demikian profesi sebagai seorang guru
bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah sebab selalu menjalin hubungan sosial dengan
peserta didik dan orang tua peserta didik. Untuk itu tugas utama seorang guru adalah
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik guna terjadi pembentukan intelektual, karakter dan keterampilan.
Saat ini profesi guru sering dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks,
seiring dengan adanya perubahan cara pandang masyarakat yang secara sadar terpengaruh
oleh doktrin perlindungan hukum terhadap anak, termasuk peserta didik. Namun di sisi
lain, perlindungan hukum terhadap profesi guru jarang diperhatikan padahal pada pasal 39
ayat (1) Undang-Undang guru dan dosen menyebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/ atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Selanjutnya pada pasal (2)
disebutkan bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja.
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen tersebut dipertajam
dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah yang melindungi guru dalam melaksanakan
tugas yaitu Pearturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008. Hal ini perlu diindahkan oleh
Murid/Wali Murid, kepolisian, kejaksaan, Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi
(PT) Bunyi Pasal/Ayat 39 ayat 1 berbunyi "Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi
kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat
satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang
berada di bawah kewenangannya," Dalam ayat 2 disebutkan, sanksi tersebut dapat berupa
teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat
mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-
undangan. Pasal 40 berbunyi :"Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan
tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah
daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan
kewenangan masing-masing," Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru
melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja. Pasal 41
berbunyi "Guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman,
perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang
tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Realiastnya empiris menunjukkan bahwa baik Undang-Undang RI Nomor 14 tahun
2005 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 74 tentang guru belum diterapkan secara
optimal sehingga banyak permasalahan guru di lapangan belum sepenuhnya menggunakan
kedua peraturan tersebut sebagai sandaran hukumnya Untuk itu dalam artikel ini akan
dibahasa mengenai: MASALAH, SOLUSI, DAN TANTANGAN PELINDUNGAN
HUKUM PROFESI GURU PADA ERA DIGITAL.
BAB II
PEMBAHASAN

Pada bagian ini akan dibahas mengenai masalah, solusi, dan tantangan pelindungan
hukum profesi guru pada era digital.
A. Masalah dalam Pelindungan Hukum Profesi Guru pada Era Digital
Pada era digital intensifikasi relasi-relasi sosial dunia yang menghubungkan
lokalitas yang berjauhan sedemikian rupa, sehingga peristiwa-peristiwa lokal dipengaruhi
oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi jauh di seberang dan begitu pun sebaliknya. Revolusi
di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa distansiasi ruang dan waktu
yang merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvesional. Fenomena ini telah
merestrukturisasi pola dan cara pandang tentang perlindungan hukum terhadap guru.
Dalam konteks pendidikan, kemajuan iptek membutuhkan perhatian serius karena
personal paling efektif dalam penyebaran iptek. Munculnya media komunikasi yang tidak
hanya berbasis pesan (audio) menjadi candu bagi peserta didik, terlebih lagi sebuah aplikasi
komunikasi yang dilengkapi dengan media audio visual. Tak sedikit dari peserta didik
memperlihatkan gambar (amoral) dan kekerasan yang menurut mereka merupakan sesuatu
yang trendi. Kondisi seperti ini adalah sebuah problema yang tidak bisa dipandang sebelah
mata karena berpotensi membuat peserta didik cepat puas dengan pengetahuan yang
diperolehnya, sehingga menganggap apa yang diperolehnya dari internet atau teknologi lain
adalah pengetahuan terlengkap dan final yang harus ditiru dalam kehidupan". Hal ini sangat
mempengaruhi moral peserta didik maupun orang tua yang sangat menurun drastis,
Buktinya saja saat ini maraknya kekerasn yang dilakukan terhadap guru yang nota benenya
adalah orang tua mereka selama berada di sekolah. Peserta didik tidak memiliki rasa malu
dan santun kepada guru bahkan kerap kali terjadi berbagai kasus kekerasan terhadap guru
di berbagai daerah di Indonesia. Demikian juga orang tua rasa terima kasih kepada guru
karena telah mendidik anak mereka semakin hari semakin pudar bahkan beberapa orang tua
tertentu jika guru menerapkan disiplin kepada anak mereka di sekolah tidak diterima
bahkan berujung sampai di ranah hokum.
Dampak perilaku penggunaan media sosial pada era digital ini tehadap
pembentukan pribadi siswa yaitu cenderung akan mengubah perilaku seperti : (a)
cenderung tertutup dan seolah alergi serta menghindar pada dunia luar akibat terlalu
seringnya berada atau bergaul dengan dunia maya, hal ini merupakan kondisi buruk untuk
perkembangan dan pembentukan dari pribadi siswa. (b) Cenderung mengubah perilaku
mengikuti hal-hal baru yang selalu ada di internet, tanpa berfikir akibat dari yang
ditimbulkan. (c) Selalu ingin tahu lebih karena tingkat psikologis kepribadian yang labil
sehingga langsung mempraktekkan teori dan hal-hal yang baru di dapat dari internet tanpa
memikirkan dampak negatif yang dibawa informasi tersebut. Akumulasi dari ketiga
dampak ini tidak heran kerap terjadi kekerasan siswa terhadap guru di sekolah bahkan ada
beberapa kasus guru yang meninggal dunia akibat dipukul atau dibantai oleh siswa dan
kasus lain ada beberapa orang guru yang terpaksa harus mendekam dipenjara hanya karena
menerapkan disiplin kepada peserta didik.
Fakta permasalahan di lapangan menunjukkan banyak guru yang belum mengetahui
dan memahami Undang-Undang Perlindungan Anak. Mereka beranggapan hukuman
disiplin yang diberikan kepada siswa adalah hal yang biasa, bahkan, ada yang dihukum
dengan hukuman yang lebih keras dari pada yang disebutkan di atas, misalnya dicambuk
kakinya bagi siswa yang tidak mengerjakan tugas atau melanggar aturan atau tata tertib
sekolah. Sanksi disiplin seperti itu, dulu tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum. tetapi
kinipada era digital ini guru harus semakin hati-hati dalam memberikan hukuman disiplin
kepada siswa. Hukuman disiplin yang diberikan kepada siswa harus berpedoman kepada
tata tertib sekolah dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (penulis sebut “UU
Perlindungan Anak”).
Sebaliknya, pada kasus kedua, guru menjadi korban kekerasan siswa atau orang tua
siswa. Mengacu tersebut terlihat posisi seorang guru sebagai tenaga pendidik seringkali
berada pada posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Di
satu sisi, mereka dituntut untuk mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan
pendidikan. Namun di sisi lain, tatkala para guru berupaya untuk menegakkan kedisplinan,
mereka dihadang oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Jika mereka gagal menegakkan kedisiplinan peserta didiknya dan gagal
mengantarkan peserta didik pada pencapaian tujuan pendidikan, sebagai pendidik guru
acapkali dituding menjadi biangnya atas kegagalan tersebut. Persoalan yang paling krusial
dihadapi oleh seorang guru adalah tatkala mereka harus memberikan hukuman kepada
peserta didik yang melanggar tata tertib dan aturan sekolah dalam rangka menegakkan
kedisiplinan, acapkali orang tua dan masyarakat menilainya sebagai tindakan melanggar
hak asasi manusia atau melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Orang tua dengan
mudahnya melaporkan tindakan guru tersebut kepada penegak hukum. Akibatnya, dalam
menjalankan tugas profesinya guru seringkali berada pada posisi dilematis dan bahkan
rentan untuk dikriminalisasi.
B. Tantangan
1. Media Digital Pembunuh Karakter
Kekejaman dan kesadisan ditampilkan pada media digital yang tidak terbatas studi
eksperimental menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara bermain permainan
komputer dengan tingkat kejahatan di kalangan anak muda, khususnya permainan
komputer yang banyak memuat unsur kekerasan dan pembunuhan. Games yang
dimainkan pada media digital memiliki sifat menghancurkan yang lebih besar
dibandingkan kekerasan yang ada pada televisi ataupun kekerasan dalam kehidupan nyata
sekalipun. Hal ini terjadi terutama pada peserta didik, yang memiliki kekurangan
sensitivitas terhadap sesamanya, memicu munculnya perilaku-perilaku agresif dan sadistis
dan bisa mengakibatkan dorongan dalam diri anak untuk bertindak kriminal seperti yang
dilihatnya (meniru adegan kekerasan) sesama temannaya atau bahkan terhadap guru.
Kondisi seperti mengharuskan profesi guru harus dilindungi oleh perangkat hukum yang
jelas adan tegas.
2. Teknologi dapat Mengalihkan Fungsi Afektif Guru.
Media digital memiliki kualitas atraktif yang dapat merespon segala stimulus
yang diberikan oleh pengguna, sehingga membuat penggunanya seakan-akan menemukan
dunianya sendiri yang membuat dirinya terasa nyaman dan tidak mau melepaskannya.
Seorang peserta didik dapat menggunakan media digital sebagai pelepas stress dengan
bermain games yang ada, sehingga hal ini dapat melemahkan fungsi sekolah dalam
memberikan pendidikan karakter terhadap siswa. Lemahnya pendidikan karakter yang
dimiliki siswa akan sangat mempengaruhi perilaku dalam merespon proses pembelajaran di
sekolah. Kondisi seperti ini siswa cenderung untuk meniru dan memanipulasi yang
dipahami melalui media digital dalam kehidupan sehari-hari.

C. Solusi Pelindungan Hukum Profesi Guru pada Era Digital


Sesuai dengan permasalahan dan tantangan yang telah diuraikan maka penulis
mengajukan solusi perlindungan hukum profesi guru pada era digital ini sebagai berikut:
1. Penegak hukum dalam melindungi profesi guru harus mengacu pada peraturan
perundangan yang komprehensif.
Dalam melindungi profesi guru, pihak penegak hukum jangan hanya menerapkan
salah satu perundangan yaitu Undang-undang Perlindungan Anak. Menurut penulis
Undang-Undang Perlindungan Anak yang kerap dijadikan senjata tersebut memang agak
kaku."Seharusnya dilihat dulu maksud dan tujuan guru memukul itu apa,? jika memukul
tersebut bertujuan penganiyaan maka bisa digolongkan ke tindak pidana. Namun jika
bertujuan untuk mendidik, seharusnya bisa diselesaikan melalui jalur kekeluargaan
sehingga tidak perlu ke pengadilan, ada dewan guru di sekolah yang bisa menyelesaikan hal
itu," Maraknya guru dipidana, seharusnya ditelaah lebih dahulu kasus per kasus. "Kalau
undang-undang ditafsirkan secara parsial maka bisa jadi bumerang bagi guru. Orangtua
seharusnya juga bisa mengontrol emosi dan lebih bijaksana ketika anaknya mengalami
kekerasan di sekolah. Kekhawatiran yang muncul jika aduan anak ditelan mentah-mentah,
oleh orang tua maka akan berdampak buruk terhadap pembinaan karaktek anak.
Mencermati upaya perlindungan guru maka orang tua harus lebih jeli melihat
persoalan tugas yang diemban guru. Hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat (1) Undang-
Undang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/ atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Selanjutnya pada pasal (2)
disebutkan bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja. Persoalannya adalah hingga saat ini belum ada peraturan pelaksanaan yang secara
teknis operasional mengatur berbagai macam perlindungan terhadap guru, termasuk
perlindungan hukumnya. Akibatnya, ketika dihadapkan pada kasus hukum tertentu, posisi
guru acapkali menjadi sangat lemah. Dalam kasus-kasus tertentu, guru selain diadukan
sebagai pelaku kekerasan terhadap siswa, dalam beberapa kasus justru menjadikan guru
sebagai korban kekerasan dari siswa dan/atau orang tua siswa. Pada kasus pertama, guru
dilaporkan melanggar hak perlindungan anak ketika memberikan memberikan sanksi
pelanggaran disiplin terhadap siswa, seperti dijewer, dipukul, dibentak, disuruh lari
mengelilingi halaman sekolah, disuruh push up beberapa kali, disuruh menghormat bendera
dalam kondisi cuaca panas sampai akhir pelajaran, membersihkan toilet, dan sebagainya.
Jenis-jenis hukuman disiplin seperti yang masa lampau dianggap biasa atau “lumrah”
dalam dunia pendidikan, saat ini “dinilai” tidak lagi mendidik dan bahkan dianggap
melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.
Selain undang- undang tersebut secara yuridis guru dalam melaksanakan tugas juga
dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, dan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan pendidikan. Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 guru memiliki kebebasan memberikan sanksi
kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan Guru, peraturan tingkat
satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang
berada di bawah kewenangannya. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat
mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik Guru, dan peraturan perundang-
undangan. Pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang dilakukan oleh peserta
didik yang pemberian sanksinya berada di luar kewenangan Guru, dilaporkan Guru kepada
pemimpin satuan pendidikan. Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang
dilakukan oleh peserta didik, dilaporkan Guru kepada pemimpin satuan pendidikan untuk
ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 bahwa peserta didik yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa peringatan, skorsing, dan/atau dikeluarkan dari satuan pendidikan oleh satuan
pendidikan. Bahkan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut telah dikuatkan oleh
Mahkamah Agung (MA) RI melalui keputusan yurisprudensi bahwa guru tidak bisa
dipidanakan saat menjalankan profesinya melakukan tindakan pendisiplinan terhadap
siswa.
2. Membangun Hubungan Guru dengan Peserta Didik
Pada era digital ini seorang guru harus berprilaku secara profesional dalam
melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran. Guru membimbing peserta didik untuk
memahami, menghayati, dan mengamalkan hak-hak dan kewajibannya sebagai individu,
warga sekolah, dan anggota masyarakat. Guru mengakui bahwa setiap peserta didik
memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan
pembelajaran. Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya
untuk kepentingan proses kependidikan.
3. Membangun Hubungan Sinergi Guru dengan Orangtua Murid dan Masyarakat
Dalam era digita ini guru harus berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif
dan efisien dengan orangtua/wali siswa dalam melaksanakan proses pendidikan. Guru
memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai
perkembangan peserta didik. Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada
orang lain yang bukan orangtua/walinya. Guru memotivasi orangtua/wali siswa untuk
beradaptasi dan berpartisipasi dalam memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan.
Guru bekomunikasi secara baik dengan orangtua/wali siswa mengenai kondisi dan
kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya. Guru menjunjung tinggi
hak orangtua/wali siswa untuk berkonsultasi denganya berkaitan dengan kesejahteraan,
kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan pendidikan. Guru tidak melakukan
hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali siswa untuk memperoleh
keuntungan-keuntungan pribadi. Guru tidak menampilkan diri secara ekslusif dalam
kehidupan bermasyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa uraian maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hasil analisis fakta permasalahan di lapangan menunjukkan banyak guru yang belum
mengetahui dan memahami Undang-Undang Perlindungan Anak. Mereka beranggapan
hukuman disiplin yang diberikan kepada siswa adalah hal yang biasa, bahkan, ada yang
dihukum dengan hukuman yang lebih keras dari pada yang disebutkan di atas,
misalnya dicambuk kakinya bagi siswa yang tidak mengerjakan tugas atau melanggar
aturan atau tata tertib sekolah. Sanksi disiplin seperti itu, dulu tidak dianggap sebagai
pelanggaran hukum. tetapi kinipada era digital ini guru harus semakin hati-hati dalam
memberikan hukuman disiplin kepada siswa. Hukuman disiplin yang diberikan kepada
siswa harus berpedoman kepada tata tertib sekolah dan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (penulis sebut “UU Perlindungan Anak”). Sebaliknya, guru
menjadi korban kekerasan siswa atau orang tua siswa. Mengacu terhadap masalah
tersebut terlihat posisi seorang guru sebagai tenaga pendidik seringkali berada pada
posisi yang dilematis, antara tuntutan profesi dan perlakukan masyarakat. Di satu sisi,
mereka dituntut untuk mampu mengantarkan peserta didik mencapai tujuan
pendidikan. Namun di sisi lain, tatkala para guru berupaya untuk menegakkan
kedisplinan, mereka dihadang oleh Undang-Undang Perlindungan Anak dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia.
2. Tantangan perlindungan profesi guru dalam media digital terhadap pelindungan
hukum profesi guru pada era digital adalah ada korelasi positif antara bermain
permainan digital dengan tingkat kejahatan dikalangan peserta didik. Hal ini terjadi
terutama pada peserta didik, yang memiliki kekurangan sensitivitas terhadap
sesamanya, memicu munculnya perilaku-perilaku agresif dan sadistis dan bisa
mengakibatkan dorongan dalam diri anak untuk bertindak kriminal seperti yang
dilihatnya (meniru adegan kekerasan) sesama temannaya atau bahkan terhadap guru.
Kondisi seperti mengharuskan profesi guru harus dilindungi oleh perangkat hukum
yang jelas adan tegas. Media digital memiliki kualitas atraktif yang dapat merespon
segala stimulus yang diberikan oleh pengguna, sehingga membuat penggunanya
seakan-akan menemukan dunianya sendiri yang membuat dirinya terasa nyaman dan
tidak mau melepaskannya. Seorang peserta didik dapat menggunakan media digital
sebagai pelepas stress dengan bermain games yang ada, sehingga hal ini dapat
melemahkan fungsi sekolah dalam memberikan pendidikan karakter terhadap siswa.
3. Soluasi Sesuai dengan permasalahan dan tantangan yang telah diuraikan maka penulis
mengajukan solusi perlindungan hukum profesi guru pada era digital ini sebagai
berikut: (1) Penegak hukum dalam melindungi profesi guru harus mengacu pada
peraturan perundangan yang komprehensif. (2) Membangun Hubungan Guru dengan
Peserta Didik (3) Membangun Hubungan Sinergi Guru dengan Orangtua Murid dan
Masyarakat.

REFRENSI
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Você também pode gostar