Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
1
apnea yang lama, asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi, atau karena dehidrasi
yang disebabkan oleh takipnea dan kurangnya intake oral. Disamping itu dapat
pula memberikan dampak jangka panjang berupa batuk berulang, mengi,
hiperreaktivitas bronkus sampai beberapa tahun.1
Bronkiolitis merupakan penyebab terbanyak rawat inap pada balita selama12
bulan pertama kehidupan. Sekitar 100.000 kasus bronkiolitis terjadi di United
States, yang menyebabkan peningkatan biaya pengobatan. Centers for Disease
Control and Prevention melaporkan bahwa rata-rata rawat inap yang disebabkan
oleh RSV yaitu sekitar 5,2 per 1000 anak dengan usia di bawah 24 bulan, pada
periode 5 tahun antara tahun 2000 dan 2005. Prevalensi tertinggi usia yang
terserang RSV adalah bayi dengan usia 30-60 hari (25,9% per 1000 anak). Bayi
dengan lahir prematur (<37 minggu) prevalensi rawat inap dengan RSV sekitar 4,6
per 1000 anak, yang tidak jauh berbeda dengan bayi lahir aterm yaitu 5,2 per1000
kelahiran. Sedangkan bayi lahir dengan usia kehamilan <30 minggu, prevalensi
rawat inap oleh karena RSV yaitu sekitar 18,7 per 1000 kelahiran.1
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah, Denpasar, didapatkan bahwa bronkiolitis sering menyerang anak usia
kurang dari 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Median usia
pasien yang mengalami bronkiolitis adalah 8 bulan dengan rentang usia antara 1
sampai 32 bulan. Bronkiolitis lebih banyak menyerang anak laki-laki (68%)
dibandingan dengan anak perempuan. Hal ini dihubungkan dengan kaliber saluran
respiratorik yang relatif lebih sempat dibandingkan dengan perempuan.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
3
kelahiran. Sedangkan bayi lahir dengan usia kehamilan <30 minggu, prevalensi
rawat inap oleh karena RSV yaitu sekitar 18,7 per 1000 kelahiran.1
Umumnya mengenai anak usia <2 tahun (puncak usia 2-6 bulan), 69% terjadi
pada usia <1 tahun, 95% terjadi pada usia <2 tahun, 2,2 kasus per 100 anal
pertahun, 1% dari anak yang rawat inap pada usia 1 tahun. Angka kejadian pada
anak laki-laki lebih besar dibandingkan anak perempuan (1,25 : 1 sampai 1,5 : 1).
Dapat terjadi sepanjang tahun (puncak musim dingin, musim gugur, dan musim
hujan). Terutama menular melalui kontak langsung dengan secret nasal.1
RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya
penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004) mendapatkan
bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan
menyebabkan pneumonia sebanyak 40%. RSV dapat hidup pada area
terkontaminasi sampai 6 jam, sehingga meningkatkan kejadian nosocomial. Pada
pasien, virus dapat bertahan hingga 10 hari. Kejadiannya sering pada bayi yang
tidak mendapat ASI, dan penyebarannya lebih mudah pada ruangan yang tertutup
atau lingkungan yang padat. Pada daerah yang penduduknya padat insiden
bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi
menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya. Insiden infeksi
RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering terjadi
pada laki-Iaki.1
2.3. Etiologi
Penyebab tersering adalah RSV (lebih dari 50%) diikuti oleh virus
parainfluenza, dan adenovirus. Penyebab lainnya adalah human metapneumovirus,
rhinovirus, influenza virus, dan M.pneumonia. Infeksi oleh adenovirus biasanya
dihubungkan dengan komplikasi yang terjadi seperti bronkiolitis obliterans yang
sulit ditangani. Kemungkinan kejadian bronkiolitis pada anak dengan ibu perokok
lebih tinggi dibandingkan pada anak dengan ibu tidak merokok.1,2 Pada beberapa
4
penelitian pasien dengan bronkiolitis, didapatkan prevalensi penyebab yaitu, RSV
76%, rhinovirus 39%, influenza 10%, coronavirus 2%, metapneumovirus 3%, dan
1% parainfluenza virus.1
2.4. Patofisiologi
Pada bronkiolus ditemukan obstruksi parsial atau total karena adanya proses
inflamasi yang terjadi yaitu edema dan akumulasi mucus dan eksudat. Di dinding
bronkus dan bronkiolus terdapat infiltrasi sel radang. Proses peradangan juga
dijumpai peribronkial dan di jaringan interstitial. Obstruksi parsial bronkiolus
menimbulkan emfisema dan obstruksi total menimbulkan atelectasis. Virus
bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke
saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan
melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas
melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang
memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel
epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris
dan fibrin kedalam lumen bronkiolus.1
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,
menyebabkan mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran
napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen atau iritan,
sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel
saluran napas juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1
(ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi.
Pada akhirnya, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi,
edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos
saluran napas.1
5
Infeksi virus dari saluran pernafasan bagian bawah
Udem
Kerusakan epitel
Hipersekresi
Hiperkarbi
Syok
Apneu Asidosis Henti nafas dan jantung
6
fase inspirasi dan fase ekspirasi, namun karena selama ekspirasi radius jalan nafas
menjadi lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi pernafasan yang menimbulkan
perangkap udara awal dan overinflasi. Volume dada pada akhir ekspirasi
meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi
menjadi total dan udara yang terperangkap di absorbsi.1
Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi
ventilasi yang tidak sepadan menimbulkan hipoksemia, yang terjadi pada awal
perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi
kecuali pada penderita dengan kasus yang lebih berat. Anak yang lebih besar dan
orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus.
Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin
merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV
bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas
bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang
berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity sehingga pada anak yang lebih besar
dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan
pneumonia karena RSV.1
Penurunan ventilasi dari bagian paru-paru menyebabkan ventilasi atau
perfusi tidak sesuai, sehingga mengakibatkan hipoksia. Selama fase ekspirasi
respirasi, secara dinamis penyempitan saluran udara menghasilkan penurunan
aliran udara yang tidak proporsional. Penyembuhan bronkiolitis akut diawali
dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia
berlangsung setelah 2 minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh
makrofag.1
7
bersin. Setelah gejala di atas timbul biasanya diikuti oleh adanya kesulitan
bernapas (sesak) yang umumnya pada saat ekspirasi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan frekuensi napasyang meningkat (takipnea), disertai dengan ekspirasi
yang memanjang bahkan mengi. Pada kasus yang berat, mengi dapat terdengar
tanpa stetoskop.
Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis, dijumpai
gambaran hiperinflasi, dengan infiltrate yang biasanya tidak luas. Bahkan ada
kecenderungan ketidaksesuaian antara gambaran klinis dan gambaran radiologis.
Paru-paru dalam keadaan hiperaerasi dan diameter antero-posterior membesar
pada foto lateral. Pada sepertiga dari penderita ditemukan bercak konsolidasi
tersebar disebabkan atelectasis atau radang.
Pada pemeriksaan laboratorium (darah tepi) umumnya tidak memberikan
gambaran yang bermakna, dapat disertai dengan limfopenia, kimia darah
menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun metabolic. Pada
pemeriksaan usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
Pemeriksaan serologis RSV dapat dilakukan secara cepat, di Negara maju
pemeriksaan ini menjadi pemeiksaan rutin apabiladicurigai adanya infeksi RSV.
Diagnosis banding yang paling lazim dari bronkiolitis adalah asma bronkiale
dan bronkopneumoni yang disertai dengan overinflasi paru. Wujud lain yang dapat
dirancukan dengan bronkiolitis adalah gagal jantung kongestif, pertusis, kistik
fibrosis, benda asing di trakea dan keracunan organofosfat.
Diagnosis banding asma bronkiale dapat disingkirkan atas dasar bahwa pada
penderita ini tidak dijumpai keadaan yang mendukung asma berupa : riwayat atopy
pada keluarga , serangan/episode sesak yang berulang-ulang, mulainya mendadak
tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi yang sangat memanjang. Asma juga
jarang terjadi pada umur kurang dari satu tahun dan memberikan respon yang baik
terhadap suntikan adrenalin atau albuterol aerosol.
8
Sedangkan diagnosis banding bronkopneumoni memang cukup sulit, apalagi
didukung dengan gambaran X-foto thorax, namun keadaan klinis dan laboratoris
tidak mendukung ke arah bronkopneumoni, yaitu pada bonkopneumoni panasnya
tinggi, dari auskultasi paru didapatkan ronki basah halus nyaring, jarang atau tidak
dijumpai wheezing maupun eksperium memanjang. Derajat sesaknya juga sesuai
dengan temuan klinis (banyaknya infiltrat paru), sedangkan penderita ini terjadi
sesak tanpa sianosis. Bronkopneumoni tidak berespon terhadap pemberian
kortikosteroid.
Bronkiolitis harus dibedakan dengan asma pada anak usia di bawah 2 tahun.
Kecurigaan bronkiolitis apabila kejadian sesak merupakan pertama kali,
sedangkan pada asma selain tanpa disertai dengan deman kejadian seperti ini
merupakan kejadian yang berulang. Anak dengan asma akan memberikan respon
terhadap pemberian bronkodilator, sedengkan anak dengan bronkiolitis tidak.
Selain asma, pneumonia karena bakteri pun kadang-kadang sulit dibedakan
apabila disertai dengan sumbatan respiratorik karena caliber saluran napas yang
masih kecil. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronchopneumonia yang
disertai dengan emfisema obstruktif dan gagal jantung.
9
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, anak tampak gelisah, sesak napas, napas cepat dan
dalam (60-80x/menit), napas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut,
retraksi otot pernapasan akibat penggunaan otot-otot tambahan pernafasan
karena paru terus-menerus terdistensi oleh udara yang terperangkap.
Overinflasi paru dapat mengakibatkan hati dan limpa teraba di bawah tepi
kosta. Pada perkusi terdengar suara hipersonor. Ronki basah halus dapat
terdengar pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Fase ekspirasi pernafasan
diperpanjang dan mengi/wheezing dapat terdengar. Pada sebagian besar kasus
berat, suara pernafasan hampir tidak dapat didengar bila obstruksi bronkiolus
hampir total.
c. Pemeriksaan X-foto thorax
Pemeriksaan X-foto thorax mungkin masih normal atau menunjukkan
adanya hiperinflasi paru (hiperaerasi) dengan diafragma datar dan kenaikan
diameter anteroposterior pada foto lateral. Nampak penebalan peribronkial
pada 50 % kasus, area konsolidasi pada 25 % kasus, dan area kolaps segmen
atau lobar pada 10 %, atau ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat
atelektasis sekunder tehadap obstruksi atau inflamasi alveolus. Pneumonia
bakteri secara dini tidak dapat disingkirkan dengan hanya pemeriksaan
radiologik saja.
d. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Lekosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang
sering ditemukan pada penyakit virus lain jarang ditemukan pada bronkiolitis.
Uji faal paru menunjukan peningkatan Functional Residual Capacity,
bertambahnya tahanan paru dan turunnya compliance. Setelah 4-5 hari fungsi
paru membaik dan setelah 10 hari tahanan paru dan compliance kembali
normal. Analisis gas darah menunjukan PaO2 rendah sedangkan PaCO2 normal
atau meningkat. Derajat peningkatan PaCO2 tidak berhubungan dengan
beratnya penyakit. Pada biakan nasofaring menunjukkan flora bakteri yang
10
normal. Virus dapat diperagakan pada sekresi nasofaring dengan deteksi
antigen (misalnya ELISA) atau dengan biakan.
2.8. Penatalaksanaan
2.10.Prognosis
Infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi dapat berkembang menjadi asma.
Risiko gagal napas dapat terjadi pada 48sampai dengan 72 jam pertama setelah
awitan batuk atau sesak. Mortalitas 1-4% oleh karena apnea, asidosis respiratorik
yang tidak erkompensasi, atau dehidrasi berat. Bila ada komorbiditas seperti
penyakit jantung bawaan, dysplasia bronkopulmoner, penyakit neuromuscular,
atau defisiensi imun, maka penyakit cenderung lebih berat sehingga mortalitasnya
meningkat. Pada beberapa kasus, dapat mengalami mengi berulang dan
hipersensitivitas saluran respiratorik kronik.
BAB III
LAPORAN KASUS
11
3.1 Identitas
Nama : By. NLS
Usia : 2 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : BR. Wanasari, Kintamani
Anak ke : 5 dari 5 bersaudara
Tanggal masuk RS : 25 Maret 2019
No.RM : 282557
3.2 Anamnesis
Alloanamnesa tanggal 25 Maret 2019
Keluhan Utama :
Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar oleh keluarganya ke IGD RSU Bangli dengan keluhan
sesak. Sesak dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. sesak yang
dialami menyebabkan pasien tidak bias tidur dan sulit untuk menyusu dan
keluhan sesak terus menurus sepanjang hari. Sesak semain memberat
sehingga pasien langsung dibawa ke rumah sakit. Tiga hari sebelum masuk
rumah sakit pasein mendapat imunisasi dan mengalami demem namun
demamnya turun keesokan harinya. Sesak yang dialami pasien didahului
dengan munculnya batuk dan pilek yang muncul 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. keluhan batuk disertai dahak namun tidak dapat keluar, batuk
dikatakan memberat pada malam hari dan menyababkan pasien susah untuk
menyusu. Pilek yang dialami pasien berupa cairan bening. Pasien pernah
mendapat obat penurun panas , kejang disangkal, pasien tidak pernah
memiliki riwayat tersedak, BAB dan BAK normal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
12
Anak baru pertama kali mengalami sakit seperti ini. Pasien pernah dirawat
di rumah sakit dengan diagnosis icterus neonatorum Riwayat penyakit
sistemik lainnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Pada keluarga tidak ada keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit
sistemik pada keluarga disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien pernah meminum obat penurun panas yaitu paracetamol dengan
pemberian 3 x cth 1/3
Riwayat Alergi :
Alergi terhadap obat-obatan, makanan, cuaca tertentu disangkal.
Riwayat Psikososial :
Pasien merupakan anak kelima dari lima bersaudara, disekital lingkungan
pasien tidak ada yang mengalami hal yang serupa. Ayah pasien merupakan
seorang perokok.
A. DATA KHUSUS
1. Riwayat Persalinan dan Kehamilan
Anak perempuan lahir dari ibu P5A0 hamil 38-39 minggu, lahir secara
spontan di RSU Bangli, anak lahir langsung menangis, warna kulit
kemerahan, berat badan lahir 2500 gram, panjang badan 49 cm, lingkar
kepala 31 cm dan ligkar dada 30 cm
Kesan : Neonatus aterm, lahir normal pervaginam
2. Riwayat kehamilan dan pemeliharaan prenatal
Ibu mengaku rutin memeriksakan kehamilan di bidan 1x setiap bulan
sampai usia 8 bulan, ketika usia 9 bulan ibu memeriksakan kehamilannya
2x hingga lahir. Ibu mengaku tidak menderita penyakit selama kehamilan,
riwayat perdarahan selama kehamilan disangkal, riwayat trauma selama
13
kehamilan disangkal, riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu
disangkal.
Kesan : riwayat pemeliharaan prenatal baik
3. Riwayat Postnatal
Ibu mengaku membawa anak ke bidan dan mendapatkan imunisasi
4. Riwayat Makan-Minum
Ibu mengaku anak diberi ASI dan susu formula, karena ASI tidak keluar
dengan banyak seihingga tidak bisa mencukupi kebutuhan pasien. Pasien
minum ASI dan susu formula sekitar 2-3 jam sekali dengan jumlah yang
cukup.
Kesan kualitas-kuantitas diit : Baik
14
Berat badan lahir 2500 gram, berat badan sebelum sakit 4,8 kg, panjanag
badan sekarang 55 cm.
Kesan : Pertumbuhan normal
Perkembangan :
Senyum : 1 bulan (Normal : 2-3 bulan)
miring : - bulan (Normal : 3 bulan)
tengkurap : - bulan (Normal : 3-4 bulan)
duduk : - bulan (Normal : 6 bulan)
merangkak : - bulan (Normal : 8 bulan)
berdiri : - bulan (Normal : 9-12 bulan)
berjalan : - bulan (Normal : 3 bulan)
Bicara : - bulan (Normal : 9-12 bulan)
Melompat : - bulan
Berdiri 1 kaki 2 detik : - tahun
Berjalan tumit ke arah kaki : - tahun
Gambar dan tulis : - tahun
Saat ini anak berusia 2 bulan. Tidak ada gangguan perkembangan.
Tanda Vital
Suhu : 37,80C
Tek. Darah : -/- mmHg
Nadi : 178 kali per menit
Pernafasan : 57 kali per menit
SpO2 : 96 dengan O2 sungkup 4 lpm
15
Antropometri
Usia : 2 bulan
BB sekarang : 4,8 kg
TB : 55 cm
BBI : 4,5 kg
Status gizi menurut Waterlow : 4,8 x 100 = 106% (gizi baik)
4,5
Status Generalis
Kepala : Normocephali, head nodding (+)
Mata : Conjungtiva anemis -/-. Sklera ikterik -/-. Refleks pupil
+/+ isokor.
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris. Pernapasan bronkial,
retraksi dinding intercostal. Ronki +/+, Wheezing -/-.
Bunyi Jantung I dan II murni regular.
Abdomen : distensi abdomen (-), Bising usus (+) normal, hepar-lien
tidak teraba, suara timpani di seluruh lapang abdomen.
Urogenital : Tidak tampak kelainan
Ekstremitas
Atas : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema -/-
16
Bawah : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, edema -/-
Gula darah
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan Keterangan
Gula darah sewaktu 116 75-115 mg/dL Meningkat
Rontgen thoraks
17
Interpretasi :
Corakan bronkovaskular kesan sedikit rama tidak tampak bercak
Tidak tampak pemadatan hilus
Cor kesan dalam batas normal
Aorta tidak dilatasi
Sinus dan difragma kesan baik
Tulang rongga dada kesan intak
Kesan :
Tidak tampak gambaran pneumonia
Coracan bronkovaskular kesan ramai, klinis bronkiolitis?
3.5 Resume
Pasien bayi perempuan, usia 2 bulan, berat badan 4,8 kg, panjang badan 55 cm,
datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari, sesak didahului oleh batuk dan pilek 2
18
hari sebelum masuk rumah sakit, riwayat demam 3 hari belum masuk rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik didapatan nadi :178 x/m, respirasi : 57x/m, suhu : 37,80C,
SpO2 : 96 % dengan sungkup 4 lpm, head nodding, nafas cuping hidung, retrasi
intercostal, ronkhi (+). Pada pemeriksaan darah engkap didapatkan peningatan
limfosit, pada rontgen dada didapatkan pelebaran sela iga, disfragma mendatar.
3.6 Diagnosis
Diagnosa banding :
Bronkiolitis akut
Pneumonia
Asma bronkial
3.7 Penatalaksaanaan
Rencana Pemeriksaan Lanjutan :
Observasi tanda vital/ 8 jam
Terapi :
- IVFD D5 % ½ NS 15 tpm (mikro)
- Oksigen naal kanul 1 lpm
- Diet ASI dan susu Formula
- Cefotaxime (50-100 mg/kgBB/ hari) : 480 mg/kgBB/hari : 3 x 160
(200mg) mg
- Dexamethasone (0.1-0,25 mg/kbBB/dosis : 3 x 1,2 (1 mg) m
- Paracetamol flash 5 mg/6 jam k/p
- Ambroxol drop (1,2-1,6 mg/kgBB/hari) (Mucera) : 7,68 mg/hari : 3
x 2,56 mg (15mg/ml 0,2 ml)
- Nebul Ventolin 0,5 ml + NaCl 3ml setiap 6 jam
19
Monitoring : vital sign, keluhan, dan cairan masuk-cairan keluar
3.8 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanatiam : dubia ad bonam
3.9 Follow Up
20
- Cefotaxime (50-100 mg/kgBB/ hari) : 480 mg/kgBB/hari : 3 x 160 (200mg)
mg
- Dexamethasone (0.1-0,25 mg/kbBB/dosis : 3 x 1,2 (1 mg) m
- Paracetamol flash 5 mg/6 jam k/p
- Ambroxol drop (1,2-1,6 mg/kgBB/hari) (Mucera) : 7,68 mg/hari : 3 x 2,56
mg (15mg/ml 0,2 ml)
- Nebul Ventolin 0,5 ml + NaCl 3ml setip 6 jam
21
- Cefotaxime (50-100 mg/kgBB/ hari) : 480 mg/kgBB/hari : 3 x 160 (200mg)
mg
- Dexamethasone (0.1-0,25 mg/kbBB/dosis : 3 x 1,2 (1 mg) m
- Paracetamol flash 5 mg/6 jam k/p
- Ambroxol drop (1,2-1,6 mg/kgBB/hari) (Mucera) : 7,68 mg/hari : 3 x 2,56
mg (15mg/ml 0,2 ml)
- Nebul Ventolin 0,5 ml + NaCl 3ml setip 6 jam
22
- Cefotaxime (50-100 mg/kgBB/ hari) : 480 mg/kgBB/hari : 3 x 160 (200mg)
mg
- Dexamethasone (0.1-0,25 mg/kbBB/dosis : 3 x 1,2 (1 mg) m
- Ambroxol drop (1,2-1,6 mg/kgBB/hari) (Mucera) : 7,68 mg/hari : 3 x 2,56
mg (15mg/ml 0,2 ml) k/p
- Nebul Ventolin 0,5 ml + NaCl 3ml setip 8 jam + flixotide ½ ampul setiap 8
jam
23
- Cefotaxime (50-100 mg/kgBB/ hari) : 480 mg/kgBB/hari : 3 x 160 (200mg)
mg
- Dexamethasone (0.1-0,25 mg/kbBB/dosis : 3 x 1,2 (1 mg) m
- Ambroxol drop (1,2-1,6 mg/kgBB/hari) (Mucera) : 7,68 mg/hari : 3 x 2,56
mg (15mg/ml 0,2 ml) k/p
- Nebul Ventolin 0,5 ml + NaCl 3ml setip 6 jam + flixotide ½ ampul setiap 8
jam
- Azitromicin (10mg/kgBB/hari) : 1 x 48 mg
24
- Diet ASI
- Cefotaxime (50-100 mg/kgBB/ hari) : 480 mg/kgBB/hari : 3 x 160 (200mg)
mg
- Dexamethasone (0.1-0,25 mg/kbBB/dosis : 3 x 1,2 (1 mg) m
- Ambroxol drop (1,2-1,6 mg/kgBB/hari) (Mucera) : 7,68 mg/hari : 3 x 2,56
mg (15mg/ml 0,2 ml)
- Nebul Ventolin 0,5 ml + NaCl 3ml setip 6 jam + flixotide ½ ampul setiap 8
jam
- Azitromicin syr (10mg/kgBB/hari) : 1 x 48 mg
- BPL
Obat pulang
- Azitromicin syr (10mg/kgBB/hari) : 1 x 48 mg diberikan hanya 1 kali
setelah pulang
- Cetirizin drop ne 2x0,1 ml
25
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang bayi perempuan, usia 2 bulan, berat badan 4,8 kg, panjang badan 55 cm,
datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari, sesak didahului oleh batuk dan pilek 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, riwayat demam 3 hari belum masuk rumah sakit. Pada
pemeriksaan fisik didapatan nadi :178 x/m, respirasi : 57x/m, suhu : 37,80C, SpO2 : 96
% dengan sungkup 4 lpm, head nodding, nafas cuping hidung, retrasi intercostal,
ronkhi (+).
Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fiik diatas didapatkan beberapa diagnosis
banding yang palingkin pada kasus diatas diantaranya bronkiolitis, bronkopneuonia,
dan asma bronkial. Berikut akan diabhas masing-asing diagnosis banding pada kasus.
Bronkiolitis adalah inflamasi pada bronkiolus terminalis yang umumnya
disebabkan oleh infeksi virus dengan karakteristik adanya mengi. Tanda dan gejala
pada umumnya didahului oleh rinitis dan batuk, yang dapat berlanjut menjadi takipnea,
wheezing, ronchi, penggunaan otot bantuan nafas, dan atau nasal flaring. Umumnya
bronkiolitis menyerang pada anak di bawah umur 2 tahun dengan kejadian tersering
kira-kira usia 6 bulan. Penyebab tersering adalah RSV (lebih dari 50%) diikuti oleh
virus parainfluenza, dan adenovirus.
Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis, dijumpai gambaran
hiperinflasi, dengan infiltrate yang biasanya tidak luas. Pada pemeriksaan laboratorium
(darah tepi) umumnya tidak memberikan gambaran yang bermakna, dapat disertai
dengan limfopenia, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun
metabolic. Pada pemeriksaan usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
Diagnosis banding asma bronkiale dapat disingkirkan atas dasar bahwa pada
penderita ini tidak dijumpai keadaan yang mendukung asma berupa : riwayat atopy
pada keluarga , serangan/episode sesak yang berulang-ulang, mulainya mendadak
tanpa infeksi yang mendahului, ekspirasi yang sangat memanjang. Asma juga jarang
26
terjadi pada umur kurang dari satu tahun dan memberikan respon yang baik terhadap
suntikan adrenalin atau albuterol aerosol.
Sedangkan diagnosis banding bronkopneumoni memang cukup sulit, apalagi
didukung dengan gambaran X-foto thorax, namun keadaan klinis dan laboratoris tidak
mendukung ke arah bronkopneumoni, yaitu pada bonkopneumoni panasnya tinggi, dari
auskultasi paru didapatkan ronki basah halus nyaring, jarang atau tidak dijumpai
wheezing maupun eksperium memanjang. Derajat sesaknya juga sesuai dengan temuan
klinis (banyaknya infiltrat paru), sedangkan penderita ini terjadi sesak tanpa sianosis.
Bronkopneumoni tidak berespon terhadap pemberian kortikosteroid.
Bronkiolitis harus dibedakan dengan asma pada anak usia di bawah 2 tahun.
Kecurigaan bronkiolitis apabila kejadian sesak merupakan pertama kali, sedangkan
pada asma selain tanpa disertai dengan deman kejadian seperti ini merupakan kejadian
yang berulang. Anak dengan asma akan memberikan respon terhadap pemberian
bronkodilator, sedengkan anak dengan bronkiolitis tidak. Selain asma, pneumonia
karena bakteri pun kadang-kadang sulit dibedakan apabila disertai dengan sumbatan
respiratorik karena caliber saluran napas yang masih kecil. Bronkiolitis juga harus
dibedakan dengan bronchopneumonia yang disertai dengan emfisema obstruktif dan
gagal jantung.
Untuk menyingkirkan diagnosis banding diatas dilakukan pemeriksaan darah dan
rontgen thoraks. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukoist dalam batas
normal dan peningatan limfosit, pada rontgen dada didapatkan pelebaran sela iga,
diafragma mendatar.
Dari pembahasan dan hasil pemeriksaan fisik dan penunjang diatas diagnosis pada
kasus ini lebih mengarah ke bronkiolitis. Onset penyakit yang akut, gejala inflamasi
saluran penafasan atas seperti batuk dan pilek mendahului munculnya sesak, keluhan
sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan baru pertama kali dialami dan di keluarga tidak
ada yang memiliki riwayat atopi. Dari pemeriksaan fisik didapatkan jenis pernapaan
bronkial, adanya retraksi dinding dada dan terdengar suaran ronkhi dan wheezing. Dari
pemeriksaan darah lengkap tidak terdapat leukosistasi sehingga penyebab infeksi
27
bakteri daat disingkarikan. Pada pemeriksaan rontgen thorax didapatkan adanya
pelebaran sela iga. Sehingga diagnosis bronkiolitis pada kasus diatas dapat ditegakkan.
28
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Seorang bayi perempuan, usia 2 bulan, berat badan 4,8 kg, panjang badan 55 cm,
datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari, sesak didahului oleh batuk dan pilek 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, riwayat demam 3 hari belum masuk rumah sakit. Pada
pemeriksaan fisik didapatan nadi :178 x/m, respirasi : 57x/m, suhu : 37,80C, SpO2 : 96
% dengan sungkup 4 lpm, head nodding, nafas cuping hidung, retrasi intercostal,
ronkhi (+). Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukoist dalam batas normal
dan peningatan limfosit, pada rontgen dada didapatkan pelebaran sela iga, diafragma
mendatar. Kasus diatas diagnosis dengan bronkiolitis, karena tanda, gejala dan hasil
pemeriksaan mendukung untuk diagnosis bronkioliti. Penatalaksanaan pada kasus
sesuai dengan penatalaksanaan bronkiolitis.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Ralston, Shawn. L., et al. 2017. Clinical Practice Guideline :The Diagnosis,
Management, and Prevention of Bronchiolitis. American Academy of
Pediatric. United States
2. Subahanada, Ida Bagus & Yuliana. 2014. Hubungan Antara Persalinan Seksio
Sesarea dan Kejadian Bronkiolitis pada Anak. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat
Snglah, Denpasar.
3. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18 th
ed. Saunders. Philadelpia.
4. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius :
Jakarta
5. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
6. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar:Lab./SMF
Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah; 2000. h.159-162
7. Garna, Herry dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak
FK UNPAD. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD. h.601-606
8. Sidhartani M. Bronkiolitis. Dalam : Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
pertama. Jakarta: UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008:
333-347
9. Wastoro D. Infeksi pernafasan akut pada anak. Dalam : Kuliah pulmonologi
tahun 1996. Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 1996 : 1 – 8
10. Staf Pengajar FK UI. Bronkiolitis akut. Dalam : Buku kuliah ilmu kesehatan
anak jilid 3. Jakarta. Bagian IKA FK UI. 1991 : 1233 – 1234
30
11. Trastotenojo MS, Sidhartani M, Wastoro D. Pulmonologi anak. Dalam :
Hartantyo I, Susanto R, Tamam M dkk editor. Pedoman pelayanan medik anak
edisi kedua. Semarang. Bagian IKA FK UNDIP. 1997 : 83 – 85
12. Mansjoer, Suprohaita, dkk. Bronkiolitis akut. Dalam : Kapita selekta
kedokteran jilid 2. Jakarta. Media Ausculapius FK UI. 2000 : 468 – 469
31