Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
A. DEFINISI AUTISME
Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks yang sejak dahulu
menjadi salah satu misteri di dunia kedokteran. Menurut Veskarisyanti (2008 : 17) dalam
bahasa Yunani dikenal kata autis, “auto” berarti sendiri ditunjukan pada seseorang ketika
menunjukkan gejala hidup dalam dunianya sendiri atau mempunyai dunia sendiri. Istilah
autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan isme berarti aliran, jadi autisme
adalah keadaan seseorang yang beraliran sendiri atau berada dalam suasana kesendirian. Leo
Kanner adalah penemu autisme pertama kali pada tahun 1943. Dia mendefinisikan autisme
sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa, yang
ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, pembalikan kalimat, adanya
aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif
untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.
Autisme bukanlah sifat atau penyakit tetapi merujuk pada keadaan ketidakseimbangan
tingkah laku, komunikasi, dan interaksi. Ketidakseimbangan tersebut berarti mempunyai
kelainan perilaku yang berbeda dengan manusia pada umumnya. Menurut Individuals with
Disabilities Education (IDEA), autisme adalah ketidakupayaan perkembangan yang secara
signifikannya memberi kesan terhadap komunikasi lisan dan bukan lisan, dan interaksi sosial,
lazimnya sebelum usia tiga tahun, yang mana mempengaruhi pencapaian pembelajaran.
Menurut American Psychiatric Association (APA), autisme adalah kondisi gangguan
perkembangan, bermasalah interaksi, komunikasi, tingkah laku yang berulangan, dan
gangguan emosi. Individu autisme mempunyai tingkah laku yang berulangan seperti suka
bermain jari, suka menggoyangkan badan, dan pergerakan tubuh yang tegang.
B. PREVALENSI AUTISME
Di dalam masyarakat, terdapat sekelompok anak yang berbeda dengan anak-anak
pada umumnya, yaitu anak-anak dengan kebutuhan khusus yang disebut anak dengan
gangguan spektrum Autistik (GSA) atau lebih sering disebut anak autisme.Pemberian
pemahaman kepada masyarakat melalui pendekatan keluarga agar dapat mengenali dan
mendeteksi anak dengan GSA sedini mungkin bertujuan agar individu dengan spektrum
Autisme dapat memperoleh dukungan dan hak untuk mendapatkan penanganan khusus yang
dibutuhkan dengan sebaik-baiknya, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas
hidupnya dikemudian hari, diterima masyarakat dan diapresiasi oleh lingkungannya.Hari
Peduli Autisme Sedunia diperingati setiap tanggal 2 April setiap tahunnya.
Data Centre of Disease Control (CDC) di Amerika pada bulan Maret 2014, prevalensi
(angka kejadian) Autisme adalah 1 dari 68 anak. Secara lebih spesifik 1 dari 42 anak laki-laki
dan 1 dari 189 anak perempuan. Ini menunjukkan bahwa specific prevention and protection
dibutuhkan dalam upaya pencegahan dan pengendalian Autisme.
Saat ini di Indonesia belum ada data statistik jumlah penyandang Autisme. Namun
individu dengan GSA ini diperkirakan sudah semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari
angka kunjungan di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa pada klinik tumbuh kembang anak
yang cukup bermakna dari tahun ke tahun.Berdasarkan data yang dirilis Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), prevalensi autis di Indonesia mengalami peningkatan luar biasa,
dari 1 per 1000 penduduk menjadi 8 per 1000 penduduk dan melampaui rata- rata dunia yaitu
6 per 1000 penduduk. Pada tahun 2009 dilaporkan bahwa jumlah anak penderita autisme
mencapai 150-200.000. Diperkirakan tahun 2010 satu per 300 anak. Sedangkan tahun 2015
diperkirakan satu per 250 anak. Tahun 2015 diperkirakan terdapat kurang lebih 12.800 anak
penyandang autisme atau 134.000 penyandang spektrum Autis di Indonesia.
Di Indonesia, data BPS (2015) melaporkan bahwa pada tahun 2015 memiliki
penduduk mencapai 254,9 juta jiwa. Ini menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan
populasi penduduk ke-4 (empat) dunia. Apalagi proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS)
terhadap penduduk Indonesia tahun 2010-2035 dari data sensus tahun 2010 mengalami
peningkatan yang sangat luar biasa (lihat gambar 1 dan gambar 2). Dari data populasi
penduduk Indonesia, tidak menutup kemungkinan anak dengan autism pun semakin banyak.
Data BPS menunjukkan bahwa persentase usia anak antara (0-14) tahun masih sangat
tinggi dan diprediksi ada banyak anak dengan kebutuhan khsusus. Karena itu, sudah
seharusnya menjadi perhatian serius dalam mendata anak dengan autism.
C. PENYEBAB AUTISME
Penyebab terjadinya autisme belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa
faktor yang diduga bisa memciu seseorang mengalami gangguan autisme yaitu:
1. Jenis kelamin
Anak laki-laki 4 kali lebih berisiko mengalami autisme dibanding anak perempuan.
2. Faktor genetik
Sekitar 2-18% orang tua dari anak penderita autisme, berisiko memiliki anak kedua
dengan gangguan yang sama.
3. Kelahiran prematur
Bayi yang lahir pada masa kehamilan 26 minggu atau kurang.
4. Terlahir kembar
Pada kasus kembar tidak identik, terdapat 0-31% kemungkinan autisme pada salah satu
anak memengaruhi kembarannya juga mengalami autisme. Pengaruh autisme makin
besar pada anak yang terlahir kembar identik, yaitu sekitar 36-95%.
5. Usia
Semakin tua usia saat memiliki anak, semakin tinggi risiko memiliki anak autis. Pada
laki-laki, memiliki anak di usia 40an, risiko memiliki anak autis lebih tinggi 28%. Risiko
meningkat menjadi 66% pada usia 50-an. Sedangkan pada wanita, melahirkan di atas
usia 40an, meningkatkan risiko memiliki anak autis hingga 77% bila dibandingkan
melahirkan di bawah usia 25 tahun.
6. Pengaruh gangguan lainnya
Beberapa gangguan tersebut antara lain distrofi otot, fragile X syndrome, lumpuh otak
atau cerebral palsy, neurofibromatosis, sindrom Down, dan sindrom Rett.
7. Pajanan selama dalam kandungan
Konsumsi minuman beralkohol atau obat-obatan (terutama obat epilepsi) dalam masa
kehamilan, dapat meningkatkan risiko anak yang lahir menderita autisme.
Menurut sumber lain, autisme disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor), antara
lain:
1. Kerentanan genetik
2. Infeksi virus Rubella dan Cytomegalovirus saat bayi di dalam kandungan
3. Bahan pangan seperti pengawet, pewarna, perasa buatan, dan makanan siap saji (fast
food)
4. Polusi dari udara dan makanan, seperti kontaminasi logam berat (timbal/Pb, asap
knalpot, merkuri yang terakumulasi dalam tubuh ikan dan terdapat dalam vaksin)
5. Alergi
6. Kegagalan pertumbuhan otak
7. Autoimun
Penyebab autis tersebut sangat kompleks dan rumit. Secara genetik, telah ditemukan
bahwa autisme disebabkan oleh interaksi beberapa gen. Beberapa studi menunjukkan bahwa
terdapat asosiasi antara mutasi genetik dengan gangguan spektrum autis, seperti mutasi pada
gen SHANK3, neuroligin-3 (NLGN3), dan CNTNAP2 (Stephan, 2008).
Menurut laporan dari jurnal Nature Genetic, gen neurexin yang ditemukan pada
kromosom manusia nomor 11 adalah salah satu gen yang berperan penting dalam terjadinya
sindrom autis. Neurexin merupakan protein yang membantu komunikasi sel saaf. Salah satu
protein dari family neurexin yang dikodekan oleh gen CNTNAP2 (contactin associated
protein-like 2) berfungsi sebagai molekul resptor pada sel saraf.
Pada saat dalam kandungan, anak dengan autis mengalami peningkatan jumlah
protein dalam darah 3 kali lebih besar daripada anak yang terlahir normal. Setelah kelahiran,
jumlah protein tersebut terus meningkat hingga mencapai 10 kali lipat dari kondisi normal,
sedangkan pada anak normal tidak terjadi kenaikan.
Peningkatan jumlah protein darah yang abnormal ini dapat mengacaukan proses
migrasi sel normal atau bahkan mematikan sel selama masa perkembangan sistem saraf
berlangsung. Perlu diketahui bahwa pertumbuhan saraf selama masa embrio (dalam
kandungan) sangat penting untuk membentuk formasi sistem saraf pusat atau sel otak yang
baru.
D. GEJALA AUTISME
1. Gejala Terkait Komunikasi dan Interaksi Sosial
Sekitar 25-30% anak dengan autisme kehilangan kemampuan berbicara, meski
mereka mampu berbicara saat kecil. Sedangkan 40% anak penderita autisme tidak
berbicara sama sekali.
Gejala lain terkait komunikasi dan interaksi sosial adalah:
a. Tidak merespons saat namanya dipanggil, meskipun kemampuan pendengarannya
normal.
b. Tidak pernah mengungkapkan emosi, dan tidak peka terhadap perasaan orang lain.
c. Tidak bisa memulai atau meneruskan percakapan, bahkan hanya untuk meminta
sesuatu.
d. Sering mengulang kata (echolalia), tapi tidak memahami penggunaannya secara tepat.
e. Sering menghindari kontak mata dan kurang menunjukkan ekspresi
f. Nada bicara yang tidak biasa, misalnya datar seperti robot.
g. Lebih senang menyendiri, seperti ada di dunianya sendiri.
h. Cenderung tidak memahami pertanyaan atau petunjuk sederhana.
i. Enggan berbagi, berbicara, atau bermain dengan orang lain.
j. Menghindari dan menolak kontak fisik dengan orang lain.
Menurut Kessick dalam bukunya yang berjudul Autisme dan Pola Makan yang
Penting Untuk Anda Ketahuitahun 2009 mengemukakan bahwa ada beberapa penerapan diet
pada anak autis, diantaranya adalah sebagai berikut :
Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu dan dalam
jumlah kecil pada tepung serelia lainnya. Gluten terdiri dari dua komponen protein yaitu
gliadin dan glutein. Sedangkan kasein adalah protein kompleks pada susu yang mempunyai
sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompleks. Menurut
Freidman (2000), penderita autis tidak dapat mencerna gluten dan kasein karena tidak
mempunyai enzim utama DPP-IV (dipeptidylpeptidase IV) untuk mencerna protein tersebut
akibat faktor genetik atau enzim tersebut tidak aktif karena mekanisme autoimun, sehingga
menyebabkan terjadinya akumulasi opioid. Penumpukan dan akumulasi dari substansi-
substansi ini menyebabkan penderita seperti tidak sadar (spaced out) atau kecenderungan
tidak peduli terhadap orang lain dan kelihatan seperti hidup di dunianya sendiri. McCandless
(2003) juga menyatakan bahwa penderita autisme sering memiliki saluran cerna yang
meradang dan memiliki sensitifitas terhadap makanan tertentu seperti gluten dan kasein.
F. PENCEGAHAN AUTISME
Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam menghindari resiko terjadinya
gangguan atau gangguan pada organ tubuh kita. Banyak gangguan dapat dilakukan strategi
pencegahan dengan baik, karena faktor etiologi dan faktor resiko dapat diketahui dengan
jelas. Berbeda dengan kelainan autis, karena teori penyebab dan faktor resiko belum masih
belum jelas maka strategi pencegahan mungkin tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam
kondisi seperti ini upaya pencegahan tampaknya hanya bertujuan agar gangguan perilaku
yang terjadi tidak semakin parah bukan untuk mencegah terjadinya autis. Upaya pencegahan
tersebut berdasarkan teori penyebab ataupun penelitian faktor resiko autis.Pencegahan ini
dapat dilakukan sedini mungkin sejak merencanakan kehamilan, saat kehamilan, persalinan
dan periode usia anak.
Berhati-hatilah minum obat selama kehamilan, bila perlu harus konsultasi ke dokter
terlebih dahulu. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan terutama trimester pertama.
Peneliti di Swedia melaporkan pemberian obat Thaliodomide pada awal kehamilan dapat
mengganggu pembentukan sistem susunan saraf pusat yang mengakibatkan autism dan
gangguan perkembangan lainnya termasuk gangguan berbicara. Bila bayi beresiko alergi
sebaiknya ibu mulai menghindari paparan alergi berupa asap rokok, debu atau makanan
penyebab alergi sejak usia di atas 3 bulan. Hindari paparan makanan atau bahan kimiawi atau
toksik lainnya selama kehamilan. Jaga higiene, sanitasi dan kebersihan diri dan lingkungan.
Konsumsilah makanan yang bergizi baik dan dalam jumlah yang cukup. Sekaligus konsumsi
vitamin dan mineral tertentu sesuai anjuran dokter secara teratur.
Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang
diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan penulis, bila
dilihat adanya gerakan bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang berlebihan
sejak dalam kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan tersebut bayi
terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk alergi ataupun
bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan. Bila gerakan bayi dan gerakan
hiccups/cegukan pada janin yang berlebihan terutama pada malam hari serta terdapat gejala
alergi atau sensitif pencernaan salah satu atau kedua orang tua. Sebaiknya ibu menghindari
atau mengurangi makanan penyebab alergi sejak usia kehamilan di atas 3 bulan. Hindari asap
rokok, baik secara langsung atau jauhi ruangan yang dipenuhi asap rokok. Beristirahatlah
yang cukup, hindari keadaan stres dan depresi serta selalu mendekatkan diri dengan Tuhan.
Beberapa hal yang terjadi saat persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
perkembangan dan perilaku pada anak, sehingga harus diperhatikan beberapa hal penting.
Melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan dan kebidanan tentang rencana
persalinan. Dapatkan informasi secara jelas dan lengkap tentang resiko yang bisa terjadi
selama persalinan. Bila terdapat resiko dalam persalinan harus diantisipasi kalau terjadi
sesuatu. Baik dalam hal bantuan dokter spesialis anak saat persalinan atau sarana perawatan
NICU (Neonatologi Intensive Care Unit) bila dibutuhkan.
Bila terdapat faktor resiko persalinan seperti : pemotongan tali pusat terlalu cepat,
asfiksia pada bayi baru lahir (bayi tidak menangis atau nilai APGAR SCORE rendah < 6 ),
komplikasi selama persalinan, persalinan lama, letak presentasi bayi saat lahir tidak normal,
berat lahir rendah ( < 2500 gram) maka sebaiknya dilakukan pemantauan perkembangan
secara cermat sejak usia dini.
Amati gangguan saluran cerna pada bayi sejak lahir. Gangguan teresebut meliputi :
sering muntah, tidak buang besar setiap hari, buang air besar sering (di atas usia 2 minggu
lebih 3 kali perhari), buang air besar sulit (mengejan), sering kembung, rewelmalam hari
(kolik), hiccup (cegukan) berlebihan, sering buang angin. Bila terdapat keluhan tersebut maka
penyebabnya yang paling sering adalah alergi makanan dan intoleransi makanan. Jalan
terbaik mengatasi ganggguan tersebut bukan dengan obat tetapi dengan mencari dan
menghindari makanan penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran cerna yang
berkepanjangan akan dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya mempengaruhi
perkembangan dan perilaku anak.
Bila terdapat kesulitan kenaikkan berat badan, harus diwaspadai. Pemberian vitamin
nafsu makan bukan jalan terbaik dalam mengobati penyandang, tetapi harus dicari
penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik,
kelainan metabolik, maka harus dilakukan perawatan oleh dokter ahli. Harusdiamati tanda
dan gejala autism secara cermat sejak dini.
Demikian pula bila terjadi gangguan neurologi atau saraf seperti trauma kepala,
kejang (bukan kejang demam sederhana) atau gangguan kelemahan otot maka kita harus
lebih cermat mendeteksi secara dini gangguan perkembangan.
Pada bayi prematur, bayi dengan riwayat kuning tinggi (hiperbilirubinemi), infeksi
berat saat usia bayi (sepsis dll) atau pemberian antibiotika tertentu saat bayi harus dilakukan
monitoring tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat terutama gangguan perkembangan
dan perilaku pada anak.
Pada bayi dengan gangguan pencernaan yang disertai gejala alergi atau terdapat
riwayat alergi pada orang tua, sebaiknya menunda pemberian makanan yang beresiko alergi
hingga usia diatas 2 atau 3 tahun. Makanan yang harus ditunda adalah telor, ikan laut, kacang
tanah, buah-buahan tertentu, keju dan sebagainya.
Bila terdapat faktor resiko tersebut pada periode kehamilan atau persalinan maka kita
harus lebih waspada. Menurut beberapa penelitian resiko tersebut akan semakin besar
kemungkinan terjadi autism. Selanjutnya kita harus mengamati secara cermat tanda dan
gejala autism sejak usia 0 bulan. Bila didapatkan gejala autism pada usia dini, kalau perlu
dilakukan intervensi sejak dini dalam hal pencegahan dan pengobatan. Lebih dini kita
melakukan intervensi kejadian autism dapat kita cegah atau paling tidak kita minimalkan
keluhan yang akan timbul. Bila resiko itu sudah tampak pada usia bayi maka kondisi tersebut
harus kita minimalkan bahkan kalau perlu kita hilangkan. Misal kegagalan kenaikkan berat
badan harus betul-betul dicari penyebabnya, pemberian vitamin bukan jalan terbaik untuk
mencari penyebab kelainan tersebut.
Demikan pula gangguan alergi makanan dan gangguan pencernaan pada bayi, harus
segera dicari penyebabnya. Yang paling sering adalah karena alergi makanan atau intoleransi
makan, penyebabnya jenis makanan tertentu termasuk susu bayi. Pemberian obat-obat
bukanlah cara terbaik untuk mencari penyebab gangguan alergiatau gangguan pencernaan
tersebut. Yang paling ideal adalah kita harus menghindari makanan penyebab gangguan
tersebut tanpa bantuan obat-obatan. Obat-obatan dapat diberikan sementara bila keluhan yang
terjadi cukup berat, bukan untuk selamanya.
5. Speech Therapy
Terapi wicara membantu penderita autis untuk belajar mengembangkan kemampuan
berkomunikasi.
Kessick,Rosemary. 2009 Autisme dan Pola Makan yang Penting Untuk Anda Ketahui. Pt.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
dr. Tjin Willy. (t.thn.). Gejala Autisme. Diambil kembali dari www.alodokter.com:
https://www.alodokter.com/autisme/gejala
Depkes.2016. Kenali dan Deteksi Dini Individu dengan Spektrum Autisme Melalui
Pendekatan Keluarga untuk Tingkatkan Kualitas Hidupnya. Diambil dari:
http://www.depkes.go.id/article/view/16041300001/kenali-dan-deteksi-dini-
individu-dengan-spektrum-autisme-melalui-pendekatan-keluarga-untuk-
tingkatka.html
Suteja, Jaja. Bentuk dan Metode Terapi Terhadap Anak Autisme Akibat Bentukan Perilaku
Sosial. Jurnal Edueksos Vol. III No. 1, Januari-Juni 2014.
Winarno, A. Widya, dan R. Sanyoto. 2009. Panduan Praktis Pemberian Makanan Sehat,
Lezat, dan Tepat bagi Anak dengan Autis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.