Você está na página 1de 14

RINGKASAN MATA KULIAH

PENGAUDITAN I
MATERIALITAS,RISIKO,DAN STRATEGI AUDIT PENDAHULUAN

Oleh :

I PUTU BAGUS DIVA AISWARYA (1707532024)

MADE BAYU SURYA PRAWITHA (1707532027)

YUSTINA ASNAD HOBROUW (1206305211)

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. I Wayan Ramantha, S.E, M.M., Ak.,CPA

Dr. I Dewa Nyoman Badera, S.E., M,Si., Ak

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
I. DEFINISI MATERIALITAS
A. Konsep Materialitas
Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi
akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas
suatu pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi
itu, karena adanya penghilangan atau salah saji itu. Hal itu mengharuskan auditor untuk
mempertimbangkan keadaan yang berkaitan dengan entitas dan kebutuhan informasi pihak yang
akan meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan.
Contohnya, jumlah yang material dalam laporan keuangan entitas tertentu mungkin
tidak material dalam laporan keuangan entitas lain yang memiliki ukuran dan sifat yang berbeda.
Maka, auditor dapat menyimpulkan bahwa tingkat materialitas akun modal kerja lebih rendah
bagi perusahaan yang berada dalam situasi bangkrut bila dibandingkan dengan suatu perusahaan
yang memiliki current ratio 4 : 1.
B. Konsep Materialitas Penting dalam Audit atas Laporan keuangan
Dalam laporan audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan
jaminan (guarantee) bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan
keuangan auditan adalah akurat. Hal ini karena akan memerlukan waktu dan biaya yang jauh
melebihi manfaat yang dihasilkan. Karena itu, dalam audit atas laporan keuangan, auditor
memberikan keyakinan berikut ini :
1. Bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah
dicatat, diingkas, digolongkan, dan dikompilasi.
2. Bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk
memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan.
3. Dalam bentuk pendapat atau memberikan informasi, dalam hal terdapat perkecualian), bahwa
laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji
material karena kekeliruan dan kecurangan.
Ada dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikan oleh auditor :
1. Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yangdapat diterima oleh auditor agar
pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut.
2. Konsep risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapatnya
atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.

C. Materialitas pada tingkat Laporan Keuangan


Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas yaitu:
1. Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit, dengan membuat estimasi
materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang
dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk
menyatakan kewajaran laporan keuangan.
2. Kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit.
Contoh panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik :
a) Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5 % sampai
10 % dari laba sebelum pajak.
b) Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½ %
sampai 1 % dari total aktiva.
c) Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1 % dari
total pasiva.

D. Materialitas pada Tingkat Saldo akun


Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin
terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada
tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material.

E. Alokasi Materialitas laporan Keuangan ke Akun


Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan
terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk
memverifikasi akun tersebut.
II. CARA MENETAPKAN TINGKAT MATERIALITAS
Tahap 1. Menentukan Materialitas Untuk Laporan Keuangan secara keseluruhan
Standar auditing (SA 320.10) menyatakan bahwa “pada saat menetapkan strategi audit secara
keseluruhan, auditor harus menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara
keseluruhan.” Hal ini disebut pertimbangan awal materialitas. Disebut demikian karena
meskipun opini ditetapkan secara profesional, namun hal itu bisa berubah ketika pengauditan
sedang berlangsung. Kebijakan awal ini harus didokumentasikan di file audit.
Pertimbangan Awal tentang Materialitas
Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam
perencanaan auditnya yang disebut materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan
tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam
mengevaluasi temuan audit karena (1) keadaan yang melingkupi berubah (2) informasi tambahan
tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif
berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan.
Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara
kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan
salah saji tersebut.
Contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh auditor adalah :
1. Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti:
o Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan
o Total aktiva dan ekiutas pemegang saham dalam neraca
2. Faktor kualitatif seperti:
 Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum dan kecurangan
 Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang mengharuskan klien
untuk mempertahankan beberapa ratio keuangan pada tingkat minimum tertentu.
 Adanya gangguan dalam trend laba
 Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan
Penentuan dasar penetapan materialitas
Dasar penetapan materialitas diantaranya adalah laba bersih sebelum pajak, total aset, ekuitas,
total penerimaan, atau total belanja.

Dalam memutuskan nilai yang akan dijadikan dasar, sebaiknya mempertimbangkan :

a) Karakteristik (sifat, besar dan tugas pokok) dan lingkungan entitas yang diperiksa.
b) Area dalam laporan keuangan yang akan lebih diperhatikan oleh pengguna laporan keuangan
c) Kestabilan atau keandalan nilai yang akan dijadikan dasar.
Dasar penetapan materialitas yang dapat digunakan:
a) Total penerimaan atau total belanja, untuk entitas nirlaba
b) Laba sebelum pajak atau pendapatan, untuk entitas yang bertujuan mencari laba, dan
c) Nilai aset bersih atau ekuitas, untuk entitas yang berbasis aset.
Mengenai angka yang harus diambil, apakah angka tahun lalu, tahun berjalan, atau angka
ekspektasi, tergantung pertimbangan reliabilitas atau keakuratan data. Praktik yang umum
dengan mengambil angka tahun lalu, kemudian disesuaikan dengan inflasi atau perkiraan
anggaran. Cara lain adalah dengan mengambil data actual pada saat perencanaan, kemudian
diekstrapolasi ke dalam sejumlah periode.
Misalnya : Dep Kesehatan mengemban tugas untuk meningkatkan kesehatan di
seluruh Indonesia sering melakukan proyek penelitian dan pengembangan mengenai masalah-
masalah kesehatan dan mendirikan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan, seperti rumah
sakit,pukesmas, dan sebagainya yang dibiayai oleh pemerintah. Nilai total belanja pada Laporan
Realiasi Anggaran(LRA) departemen tersebut cukup tinggi, dan pengguna laporan keuangan
diperkirakan akan tertarik untuk mengetahui penggunaan dana dari pemerintah tersebut. Oleh
karena itu, dasar penetapan materialitas yang paling sesuaiuntuk pemeriksaan laporan keuangan
departemen ini adalah total belanja.
Sebagai contoh perhitungan, auditor memutuskan kombinasi salah saji berjumlah 8
% dari laba bersih sebelum pajak dipandang material untuk laporan laba-rugi, dengan
memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Oleh karena itu, jika kombinasi salah
saji kurang dari 3 %, auditor akan memandang sebagai salah saji yang tidak material, dengan
memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Salah saji berada diantara 3 % dan 8 %
memerlukan pertimbangan auditor untuk memutuskan materialitasnya. Jika misalnya, laba bersih
sebelum pajak yang dipakai sebagai jumlah kunci berjumlah Rp 100 juta, maka batas materialitas
(materiality border) untuk laporan laba-rugi berada dalam kisaran :
Rp 3.000.000 sampai Rp 8.000.000
Batas bawah dihitung 3% x Rp100.000.000 dan batas dihitung 8% x Rp 100.000.000.
Contoh berikut ini menunjukan batas materialitas yang ditentukan oleh auditor :
1. Untuk total aktiva dalam neraca Rp 41 juta s.d Rp 100 juta
2. Untuk aktiva lancar Rp 25 juta s.d Rp 60 juta
3. Untuk total ekuitas pemegang saham dalam neraca Rp 15 juta s.d Rp 45 juta
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua
tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas lapoaran sebagai keseluruhan dan tingkat
saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh
atas kewajaran laporan keuangan.

Mempertimbangkan tingkat yang akan digunakan dalam menghitung materialitas awal :


Tingkat materialitas
Keterangan entitas Tingkat Materialitas
Entitas nirlaba 0.5% - 5% dari total penerimaan atau total belanja
Entitas yang bertujuan 5%-10% dari laba sebelum pajak atau 0.5% - 1% dari
mencari laba total penjualan/pendapatan
Entitas berbasis aset 1% dari ekuitas atau 0.5% - 1% dari total aktiva

Kesalahan gabungan (E+) dalam laporan keuangan yang diperiksa, harus dipertimbang -kan
sebagai berikut:
 E+ > 10% ; dinilai “MATERIAL”
 E+ < 5% ; dinilai “TIDAK MATERIAL” bila tidak ada faktor kualitatif
 5% < E+ < 10% ; memerlukan tindak lanjut berdasarkan kebijakan profesional auditor
bersangkutan untuk menentukan materialitasnya
Pedoman umum penerapan tingkat materialitas :
 0.5% dari belanja/ pendapatan digunakan pada entitas nirlaba pada saat pemeriksaan yang baru
pertama kali dilakukan atau pada kondisi SPI entitas belum memadai. Pemeriksa dapat
berangsur-angsur meningkatkan tingkat materialitas yang akan digunakannya pada pemeriksaan-
pemeriksaan selanjutnya samapi dengan tingkat materialitas 5 % dari total belanja / pendapatan
 5 % - 10% dari laba sebelum pajak. Tingkat materialitas 10% digunakan pada perusahaan
nonpublic dan anak perusahaannya dan 5 % digunakan pada perusahaan publik.
 0.5% - 1% dari penjualan, apabila sebuah perusahaan telah beroperasi pada atau mendekati titik
impas dan keuntungan / kerugian bersih berfluktuasi dari tahun ke tahun.
 1% dari ekuitas pada saat hasil dari operasi sangat rendah yang menyebabkan likuiditas sebagai
perhatian utama/ pada saat pengguna laporan keuangan lebih memfokuskan perhatian pada
ekuita dari pada hasil dari operasi.
 0.5% - 1% dari total aktiva pada saat ekuitas mengalami penurunan pada titik paling rendah.

Dianjurkan : kepada pemeriksa menggunakan tingkat materialitas yang paling rendah


(paling konservatif) pada pemeriksaan atas laporan keuangan entitas yang baru kali pertama
diperiksa. Selain itu, tingkat materialitas yang konservatif juga harus digunakan pada
pemeriksaan atas laporan keuangan entitas-entitas yang mempunyai risiko pemeriksaan tinggi
atau belum mempunyai system pengendalian intern yang memadai.

Penetapan Nilai Materialitas Awal


Nilai Materialitas Awal (PM) merupakan nilai materialita awal untuk tingkat laporan
keuangan secara keseluruhan. Nilai materialitas awal yang diperoleh merupakan bearnya
kesalahan yang mempengaruhi pertimbangan pengguna Laporan Keuangan.
Ilustrasi penetapan nilai materialitas awal :

Dasar Penetapan Materialitas : Total Belanja


Tingkat Materialitas : 1%
Nilai Total Belanja pada Laporan Rp 15.560.855,20 juta
Keuangan :
PM (penetapan nilai materialitas awal) 1 % X Rp 15.560.855,20 juta = Rp
: 155.608,55 juta

Tahap 2. Menentukan Materialitas Pelaksanaan


Standar auditing (SA 320.9) merumuskan materialitas pelaksanaan sebagai suatu jumlah yang
ditetapkan oleh auditor, pada tingkat yang lebih rendah daripada materialitas untuk laporan
keuangan secara keseluruhan untuk mengurangi ke tingkat rendah yang semestinya kemungkinan
kesalahan penyajian yang tidak terkoreksi dan yang tidak terdeteksi yang secara agregat melebihi
materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan. Jika berlaku, materialitas pelaksanaan
dapat ditetapkan oleh auditor pada jumlah yang lebih rendah daripada materialitas golongan
transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu.

Tahap 3. Memperkirakan kesalahan Penyajian dan Membandingkan dengan Kebijakan awal


Pada saat auditor melaksanakan prosedur audit untuk setiap segmen audit, auditor
mendokumentasikan semua kesalahan penyajian yang ditemukannya. Kesalahan penyajian
dalam suatu akun bisa terdiri dari 2 tipe, yaitu: kesalahan penyajian diketahui (known
misstatement) dan kesalahan penyajian diperkirakan (likely misstatement). Kesalahan penyajian
diketahui adalah kesalahan penyajian dalam akun yang bisa ditentukan jumlahnya. Ada 2 tipe
kesalahan penyajian diperkirakan, yaitu:
1. Kesalahan penyajian yang timbul dari perbedaan pertimbangan yang dibuat auditor
dengan pertimbangan manajemen dalam menaksir saldo akun.
2. Proyeksi kesalahan penyajian yang didasarkan pada pengujian auditor atas suatu sampel
dari populasi.
Auditor menggunakan temuan kesalahan penyajian ini untuk menaksir total perkiraan
kesalahan penyajian dalam persediaan. Jumlah total ini disebut suatu “proyeksi” atau
“ekstrapolasi” karena yang diaudit hanya suatu sampel, tidak keseluruhan populasi. Jumlah
proyeksi kesalahan penyajian untuk setiap akun dikumpulkan dalam kertas kerja, dan
selanjutnya gabungan seluruh kesalahan penyajian ini dibandingkan dengan materialitas.

III. JENIS-JENIS RISIKO AUDIT


A. Risiko Deteksi Terencana
Risiko deteksi terencana (planned detection risk) merupakan ukuran risiko bahwa bukti audit atas
segmen tertentu akan gagal mendeteksi keberadaan salah saji yang melebihi suatu nilai salah saji
yang masih dapat ditoleransi, andaikan salah saji semacam itu ada. Terdapat dua poin utama
tentang risiko deteksi terencana ini yaitu sebagai berikut :
1. Risiko ini tergantung pada ketiga faktor lainnya yang terdapat dalam model. Risiko deteksi
terencana hanya akan berubah jika auditor melakukan perubahan pada salah satu dari ketiga
faktor lainnya tersebut.
2. Risiko ini menentukan nilai substantif yang direncanakan oleh auditor untuk dikumpulkan, yang
merupakan kebalikan dari ukuran risiko deteksi terencana itu sendiri.
Jika nilai risiko deteksi terencana berkurang, maka auditor harus mengumpulkan
lebih banyak bukti audit untuk mencapai nilai risiko deteksi yang berkurang ini.

B. Risko inheren
Risko inheren (inheren risiko) merupakan suatu ukuran yang dipergunakan oleh
auditor dalam menilai adanya kemungkinan bahwa terdapat sejumlah salah saji yang material
(kekeliruan atau kecurangan) dalam suatu segmen sebelum ia mempertimbangkan keefektifan
dan pengendalian intern yang ada. Dengan mengasumsikan tiadanya pengendalian intern, maka
risiko inheren ini dapat dinyatakan sebagai kerentanan laporan keuangan terhadap timbulnya
salah saji yang material. Jika auditor, dengan mengabaikan pengendalian intern, menyimpulkan
bahwa terdapat suatu kecenderungan yang tinggi atas keberadaan sejumlah salah saji, maka
auditor akan menyimpulkan bahwa tingkat risiko inherennya tinggi. pengendalian intern
diabaikan dalam menetapkan dalam menetapkan nilai risiko inheren karena pengendalian intern
ini dipertimbangkan secara terpisah dalam model risiko audit sebagai risiko pengendalian.
Penilaian ini cenderung didasarkan atas sejumlah diskusi yang telah dilakukan dengan pihak
manajemen, pemahaman yang dimiliki akan perusahaan, serta hasil-hasil yang diperoleh dari
tahun-tahun sebelumnya.
Hubungan antara risiko dengan risiko deteksi terencana serta dengan bukti audit yang
direncanakan adalah sebagai berikut : risiko inheren saling berlawanan dengan risiko deteksi
terencana serta memiliki hubungan yang searah dengan bukti audit.
Selain semakin meningkatnya bukti audit yang diperlukan untuk suatu tingkat risiko
inheren yang lebih tinggi dalam suatu area audit tertentu, merupakan hal yang umum dilakukan
pula untuk menugaskan staf yang telah memiliki lebih banyak pengalaman untuk melakukan
audit pada area tersebut serta melakukan riview yang lebih mendalam pada kertas kerja yang
telah selesai dibuat. Sebagai contoh : jika risiko inheren atas keusangan persediaan sanagt tinggi,
maka sangatlah masuk akal bila kantor akuntan publik memilih staf yang berpengalaman untuk
melakukan sejumlah tes yang lebih mendalam atas keusangan persediaan ini dan melakukan
review yang lebih cermat atas hasil-hasil yang diperoleh dari audit ini.
C. Resiko pengendalian
Resiko pengendalian (control risk) merupakan ukuran yang digunakan oleh auditor
untuk menilai adanya kemungkina bahwa terdapat sejumlah salah saji material yang melebihi
nilai salah saji yang masi dapat ditoleransi atas segmen tertentu akan tidak terhadang atau tidak
terdeteksi oleh pengendalian intern yang dimiliki klien. Resiko pengendalian ini memperhatikan
2 hal berikut:
1. Penilaian tentang apakah pengendalian intern yang dimiliki klien efektif untuk mencegah atau
mendeteksi terjadinya salah saji.
2. Kehendak auditor membuat penilaian tersebut senantiasa berada di bawah nilai maksimum (100
persen) sebagai bagian dari rencana audit yang dibuatnya.
Model resiko audit menunjukan hubungan yang erat antara resiko inheren dan resiko
pengendalian.
Sama dengan yang terjadi pada resiko inheren, hubungan antara resiko pengendalian
dan resiko deteksi terencana adalah saling berlawanan, sementara hubungan antara resiko
pengendalian dan bukti substantif merupakan hubungan yang searah. Sebagai contoh, jika
auditor menyimpulkan bahwa pengendalian intern bersifat efektif, maka nilai resiko deteksi
terencana dapat meningkat sehingga jumlah bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan
akan turun. Auditor dapat meningkatkan resiko deteksi terencana pada saat pengendalian intern
bersifat efektif karena pengendalian intern yang efektif akan mengurangi kemungkinan hadirnya
salah saji dalam laporan keuangan.
Sebelum auditor dapat menetapkan nilai resiko pengendalian kurang dari 100 persen,
auditor harus memahami pengendalian intern yang ada, dan berdasarkan pemahaman itu, auditor
melakukan evaluasi tentang bagaimana seharusnya fungsi pengendalian intern tersebut, serta
melakukan uji atas efektifitas pengendalian intern tersebut. Hal pertama dari semua ini adalah
keharusan untuk memahami semua jenis audit. Dua hal terakhir adalah langkah-langkah
penilaian resiko pengendalian yang diperlukan jika auditor memilih untuk memberikan nilai atas
resiko pengendalian supaya berada di bawah nilai maksimum.
D. Resiko akseptibilitas audit
Resiko akseptibilitas audit (acceptable audit risk) merupakan ukuran atas tingkat
kesediaan auditor untuk menerima kenyataan bahwa laporan keuangan mungkin masih
mengandung salah saji yang material setelah audit selesai dilaksanakan serta suatu laporan audit
wajar tanpa syarat telah diterbitkan. Ketika auditor memutuskan untuk menetapkan suatu tingkat
resiko akseptibilitas audit yang lebih rendah, hal tersbut berarti bahwa auditor ingin memperoleh
tingkat keyakinan yang lebih tinggi bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang
material. Resiko nol berarti yakin sekali, dan suatu tingkat resiko sebesar 100 persen berarti
benar-benar tidak yakin.
Dalam audit terdapat istilah audit assurance atau tingkat keyakinan, yaitu merupakan
pelengkap dari resiko akseptibilitas audit. Audit assurance dihitung dengan perhitungan satu
dikurangi resiko akseptibilitas audit. Sebagai contoh, tingkat resiko akseptibilitas audit sebesar 2
persen sama dengan tingkat audit assurance sebesar 98 persen.
Dengan mempergunakan model audit, akan terlihat adanya hubungan yang searah
antara resiko akseptibilitas audit dan resiko deteksi terencana, serta hubungan yang saling
berlawanan antara resiko akseptibilitas audit dan bukti audit yang direncanakan. Sebagai contoh,
jika auditor memutuskan akan mengurangi nilai resiko akseptibilitas audit, maka akan
mengurangi pula resiko deteksi terencana serta bukti audit yang direncanakan akan dikumpulkan
harus ditingkatkan. Auditor pun seringkali harus menugaskan staf yang lebih berpengalaman
atau mereview kertas kerja dengan lebih cermat bagi klien dengan tingkat resiko akseptibilitas
audit yang lebih rendah.
E. Resiko kecurangan
Resiko kecurangan merupakan resiko selain 4 resiko di atas dan resiko ini biasanya di
perhitungkan di luar dari model resiko audit. Karena resiko kecurangan secara konsep dan
praktek sangat sulit untuk dipisahkan faktor-faktornya ke dalam 4 jenis resiko di atas.
Kecurangan sendiri memiliki arti kesalahan penyajian yang dilakukan secara sengaja dalam
bentuk penggelapan aktiva dan kecurangan pelaporan keuangan.
Untuk menilai resiko kecurangan, auditor mengumpulkan informasi untuk
menentukan luasnya keberadaan kondisi kecurangan. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya
resiko kecurangan antara lain tekanan yang diterima manajemen baik kelompok maupun
individual, kesempatan yang tercipta, dan perilaku manajemen untuk membiarkan terjadinya
tindakan ketidakjujuran tersebut.

IV. HUBUNGAN MASING-MASING RISIKO AUDIT


Baik resiko pengendalian maupun resiko inheren umumnya ditentukan bagi
setiap siklus, setiap akun, dan seringkali pula bagi setiap tujuan audit, bukan bagi keseluruhan
penugasan audit, dan kemungkinan besar akan sangat bervariasi dari satu siklus ke siklus
lainnya, sari satu akun ke akun lainnya, serta dari satu tujuan audit ke tujuan audit lainnya untuk
suatu penugasan audit saja. Pengendalian intern barangkali memiliki tingkat keefektifan yang
lebih tinggi untuk sejumlah akun yang terkait dengan saldo daripada atas akun-akun yang terkait
dengan aktiva tetap. Selanjutnya, resiko pengendalian pun akan berbeda bagi akun-akun yang
berbeda.
Resiko akseptibilitas audit umumnya ditetapkan oleh auditor selama fase
perencanaan dan ditetapkan pada tingkat yang sama bagi setiap siklus dan akun utama. Para
auditor umumnya mempergunakan tingkat resiko akseptibilitas audit yang sama bagi setiap
segmen karena berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat resiko akseptibilitas audit terkait
dengan seluruh aspek penugasan audit, bukan pada masing-masing akun.
Tetapi, pada beberapa kasus, tingkat resiko akseptibilitas audit yang lebih
rendah barangkali akan lebih tepat bagi suatu akun daripada akun-akun lainnya. Dalam contoh
terdahulu, walaupun auditor memutuskan untuk menggunakan suatu tingkat resiko akseptibilitas
audit yang menengah bagi keseluruhan penugasan audit, auditor dapat saja memutuskan untuk
mengurangi tingkat resiko akseptibilitas audit hingga tingkat yang rendah bila ternyata
persediaan tersebut dipergunakan sebagai jaminan atas suatu kredit jangka pendek.
Beberapa auditor menggunakan tingkat resiko akseptibilitas audit yang sama
dengan tingkat resiko akseptibilitas audit atas keseluruhan penugasan audit bagi setiap segmen
auditnya, sementara sejumlah auditor lain menggunakan suatu tingkat resiko akseptibilitas audit
yang lebih tinggi bagi setiap segmen.
Karena tingkat resiko pengendalian dan tingkat resiko inheren sangat bervariasi
dari satu siklus ke siklus lainnya, dari satu akun ke akun lainnya, atau dari satu tujuan audit ke
tujuan audit lainnya, maka tingkat resiko deteksi terencana serta jumlah bukti audit yang
direncanakan pun semakin bervariasi. Setiap penugasan didasari oleh situasi-situasi yang
berbeda, serta rentang bukti audit yang diperlukan akan tergantung pada sejumlah situasi yang
unik. Sebagai contoh, pada suatu penugasan audit, akun persediaan barangkali akan
membutuhkan pengujian yang ekstensif akibat dari lemahnya pengendalian intern serta akibat
dari pertimbangan tentang tingkat keusangan yang terjadi dari sejumlah perubahan teknologi
yang terdapat dalam industry. Dalam penugasan audit yang sama, akun piutang dagang
barangkali hanya memerlukan sedikit pengujian saja karena efektifnya tingkat pengendalian
intern yang ada, tingkat penagihan piutang yang tinggi, serta temuan audit yang baik pada
penugasa audit tahun-tahun sebelumnya. Maka bagi suatu audit atas persediaan, auditor dapat
menetapkan suatu penilaian bahwa di dalam akun tersebut terdapat suatu tingkat resiko inheren
yang tinggi atas suatu salah saji dalam nilai yang terealisasi akibat dari tingginya potensi
keusangan persediaan, tetapi menetapkan suatu tingkat resiko inheren yang rendah atas suatu
salah saji dalam klasifikasi karena pada klien tersebut hanya terdapat persediaan yang dibeli dari
pihak ketiga saja.
DAFTAR PUSTAKA

Halim, Abdul. 2008. Auditing 1 (Dasar-dasar audit laporan keuangan). Yogyakarta : Sekolah
Tinggi Ilmu Manajemen YKPN
Jusup, Al. Haryono (2001). Pengauditan. Buku 1. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN

Você também pode gostar