Você está na página 1de 21

Law Review Volume __, No.

__– Bulan Tahun

Perkawinan Beda Agama Dalam Masyarakat Adat Di Bali Berdasarkan UU Nomor 1


Tahun 1974 Dan Hukum Agama Hindu

Anak Agung Ayu Cynthia Wibawa


tia_ryoma@yahoo.com
Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Pelita Harapan

Puspa Ratih Trioktavira


trioktavira@gmail.com
Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Pelita Harapan

Abstract

According to Article 1 Law No. 1 of 1974, marriage is a relationship of body and soul
between a man and a woman as husband and wife with the purpose of establishing a happy
and lasting family (household) founded on belief in God Almighty. Article 2 Section 1 stated,
“Marriage is legitimate, if it’s done according to the laws of the respective religions and
beliefs of the parties concerned.”This legal statement raised questions whether the law
applies on interfaith marriage or the couple must embosom the same religion. The Marriage
Law creates various arguments about the interfaith marriage, such as: one, The Nation
shrouded forces on its citizens to embosom a religion that’s acknowledged by the country;
two, The Nation is ambiguous on certain religions that forces the citizens to have same-
religion marriage only; third, The Nation indirectly reinforcing the citizens to proceed an
interfaith marriage outside of the Indonesia territory. The scopes of this research are how the
Marriage Law system according to Hindu customs in Bali, the rules’settings from the
Marriage Law, and how Marriage Law applies on mixed marriage for the Balinese society.
This research used descriptive and normative law research type with usage of primary and
secondary data that’s qualitatively analyzed. Legitimate marriage among the society in Bali
who embosoms Hindu religion must fulfill the requirements according to Hindu customs and
not against the Marriage Law. The statement of a legitimate marriage is fulfilled by witness
of the sulinggih or priest, not based on administrative registration.

Keywords: Marriage Law, Customary Marriage, Interfaith Marriage

Abstrak

1
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

Perkawinan menurut pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat
1 menyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu”. Pernyataan sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut
masing-masing agamanya, apakah dalam hal ini UU mengakui perkawinan beda agama, atau
apakah mempelai harus memeluk agama yang sama. Kehadiran UUP memunculkan adanya
berbagai argumentasi yang membingungkan tentang perkawinan beda agama, antara lain :
pertama, Negara melakukan pemaksaan terselubung terhadap warganegaranya untuk
memeluk agama tertentu yang diakui Negara; kedua, Negara melakukan pembiaran dan
ambigu dalam adanya upaya-upaya agama tertentu untuk memaksakan warganegaranya
untuk melakukan perkawinan dengan orang-orang yang seagama; ketiga, Negara secara tidak
langsung mendorong warganegaranya dalam hal perkawinan beda agama agar dilangsung
diluar wilayah Indonesia. Pokok permasalahan dalam penelitiuan ini yakni bagaimana sistem
hukum perkawinan menurut adat istiadat atau Agama Hindu di Bali, serta bagaimana
pengaturan perkawinan menurut UUP, dan bagaimanakah perkawinan beda agama setelah
berlakunya UUP dalam masyarakat adat Bali. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian
hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan data primer dan sekunder yang
dianalisa secara kualitatif. Sahnya perkawinan dalam masyarakat adat di Bali yang memeluk
Agama Hindu harus memenuhi syarat menurut hukum Agama Hindu dan tidak bertentangan
dengan UUP. Pernyataan sahnya suatu perkawinan bukan pada terpenuhinya unsur
pencatatan secara administratif, akan tetapi perkawinan sah apabila telah dilangsungkan di
hadapan sulinggih/pendeta agama.

Kata Kunci: Hukum Perkawinan, Perkawinan Adat, Perkawinan Beda Agama

A. Pendahuluan
Perkawinan di Bali dapat dilangsungkan antara laki-laki dan perempuan yang telah
dewasa menurut undang-undang (UU) atau apabila salah satu pasangan calon suami istri
belum cukup umur perkawinan dapat dilangsungkan setelah mendapat persetujuan dari kedua
orang tua pihak yang dinyatakan belum cukup umur atau dewasa. Sebagaimana diketahui
masyarakat Bali mayoritas memeluk Agama Hindu, perkawinan tunduk pada dua system
hukum, yaitu: 1) perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan; dan 2)
berdasarkan Hukum Adat Bali yang sangat dipengaruhi oleh Hukum Hindu. Perkawinan

2
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

dianggap sah apabila terpenuhi unsur sekala (dunia nyata atau realitas) sesuai dengan UU
Perkawinan dan unsur niskala,1 perkawinan telah dilangsungkan menurut norma Agama
Hindu dan sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku di Bali.
Dipahami Bali mengenal adanya kasta,2 yang mengelompokkan masyarakat ke dalam
4 (empat) strata, yaitu: i) brahmana; ii) ksatria; iii) wesya; dan iv) sudra. Masing-masing
strata memiliki tata cara yang berbeda terutama dalam perkawinan beda kasta. Pada masa lalu
perkawinan beda kasta, adalah merupakan permasalahan serius, tidak jarang menimbulkan
konflik fisik dan putusnya hubungan kekerabatan yang timbul karena perkawinan, terutama
apabila kasta pengantin pria lebih rendah dari pengantin wanita. Sesuai dengan
perkembangan jaman perkawinan beda kasta sudah mengalami perubahan mendasar,
perkawinan beda kasta belakangan ini tidak dipersoalkan lagi, namun tetap menjadi penentu
dalam hubungan kekerabatan berkenaan dengan sor-singgih, dan saling sumbah.
Kuatnya hubungan kekerabatan clan3 yang dipegang teguh masyarakat, menjadi
penghambat dan tembok yang sulit ditembus dalam upaya mengembangkan asas Tat Twam
Asi,4 sebagai asas universal dalam hubungan antara umat se-dharma atau dalam hubungan
dengan sesama. Sesuai perkembangan peradaban, di mana terjadi arus manusia dari Bali atau
dari luar ke Bali, apalagi mengingat Bali adalah sebagai daerah tujuan wisata. Kehadiran
pendatang baik yang bersifat kunjungan sementara atau yang kemudian menetap akan dapat
menimbulkan masalah serius di belakang hari apabila tidak dikelola secara baik dan benar.
Setiap kehadiran pendatang selalu menimbulkan kegoncangan sosial, dan dapat menurunkan
kualitas hidup masyarakat. Kegoncangan sosial tersebut terjadi karena: (1) para pendatang
masing-masing memiliki latar belakang budaya dan agama yang tidak selalu sama dan
berbeda dengan penduduk asli; (2) kualifikasi kompetensi pendatang diragukan tidak
memiliki sertifikasi keahlian tertentu; (3) ketersediaan lapangan kerja yang tersedia
sepenuhnya bukan hanya untuk pendatang; dan (4) Pendatang lebih banyak bersifat coba-
coba/untung-untungan. Terjadinya arus manusia karena berbagai alasan dan kepentingan
yang berbeda-beda juga berdampak timbulnya perkawinan beda kebangsaan (campuran) dan
perkawinan beda agama, sebagai peristiwa hukum perkawinan yang tidak terelakkan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya akan
disebutkan UUP) kenyataannya dalam persfektif masyarakat majemuk hingga kini
1
Dunia maya atau hal yang terkait dengan dunia gaib.
2
Tingkatan-tingkatan kelas atau pengelompokkan masyarakat di Bali.
3
Kelompok kekerabatan yang besar, suatu kesatuan genealogis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal
dan menunjukkan adanya integrasi sosial.
4
Ajaran moral yang bernafaskan ajaran agama Hindu, yang mengajarkan ajaran kesusilaan yang tanpa
batas, yang identik dengan perikemanusiaan dalam Pancasila.

3
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

menimbulkan permasalahan di masyarakat dalam perkawinan atau belum sepenuhnya


aspiratif.5 Menurut Mudiarti Trisnaningsih, UUP yang dimaksudkan guna memfasilitasi
perkawinan yang dilangsungkan seluruh anggota masyarakat secara nasional belum
6
memenuhi aspirasi sebagian anggota masyarakat Lebih lanjut menurut Wila Chandrawila
UUP untuk beberapa segi juga dapat ditafsirkan masih bernuansa pelecehan terhadap
perempuan. Nuansa pelecehan terlihat misalnya: (1) ketentuan terhadap perempuan yang
tidak dapat memberi keturunan dapat dijadikan alasan bagi suami untuk berpoligami; dan (2)
ketentuan tentang penempatan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah
tangga.7 Pelecehan terhadap perempuan dalam konteks yang lebih luas yakni dalam praktik
ikatan perkawinan masih sering dijumpai peristiwa penganiayaan suami terhadap istri yang
dikategorikan sebagai Kekerasan Dalam Rumah tangga (KDRT) yang disebabkan perlakuan
yang dikotomis, yaitu: (1) ketaksetaraan jender istri diposisikan lebih di bawah suami atau
dalam hubungan suami istri tidak diposisikan setara dengan suami, suami diposisikan
memiliki kedudukan sentral di mana istri sepenuhnya menjadi wilayah control suami; (2)
dalam hubungan keluarga anak laki-laki diposisikan lebih dominan dari anak perempuan,
posisi ini menjadikan anak laki-laki memiliki posisi dan kedudukan yang lebih kuat; (3)
kedudukan istri sebagai ibu rumah tangga menjadikan istri tergantung kepada suami secara
ekonomi; (4) KDRT dipersepsikan sebagai ranah privat bukan ruang sosial kemasyarakatan;
(5) kekeliruan pemahaman ajaran agama yang memposisikan perempuan di bawah kuasa
laki-laki; dan (6) hukum adat yang diberlakukan berabad-abad yang lalu meletakan
hegemoni laki-laki terhadap perempuan, kemudian dilanjutkan dengan hukum formal masa
penjajahan yang memposisikan istri berada di bawah pengampuan suami.
Lahirnya UUP membawa perubahan mendasar dalam sistim perkawinan adat Bali,
memberlakukan asas monogami dan meletakkan kedudukan seimbang suami-istri dalam
kehidupan berumahtangga, namun UUP tetap melahirkan kontroversi dalam perkawinan beda

5
Republika, 24 Agustus 2003, diskusi public “Problematik Perkawinan dan Rumah Tangga” Bandung:
Institut Perempuan Bandung. Bahwa Hukum dan Agama seringkali dijadikan legitimasi secara tidak pada
tempatnya dan pada akhirnya berakibat pada domestifikasi dan diskriminasi terhadap perempuan.
6
Mudiarti Trisnaningsih, Relevansi Kepastian hukum Dalam Pencaturan Perkawinan Beda Agama Di
Indonesia, (Bandung, CV.Utomo, 2007), h. 1.
7
Wila Chandra Supriadi, Perempuan dan Kekerasan, Bandung, Mandar Maju Cetakan ke-1, 2001, h.29-31.
Lihat juga TO, Ihromi, Hukum, Jender dan Diskriminasi Terhadap Perempuan, Ujung pandang: Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Semiloka Upaya Hukum dalam Mencegah/Mengatasi Diskriminasi Terhadap
Perempuan, 30 Agustus 1999. Dengan mengutip Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36
ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkaawinan dapat disimpulkan bahwa sejak tahun 1945 negara telah
mengakui berlaku prinsip kesetaraan antara pria dan perempuan di depan hukum. Bahkan GBHN 1993-1998
secara eksplisit menyatakan “Perempuan, baik sebagai warganegara maupun sebagai sumber daya insani
pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan di
segala bidang”.

4
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

keyakinan atau agama. Mengingat masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras,
agama dan keyakinan yang berbeda-beda, keberadaan UUP telah melahirkan multi-tafsir dan
kebingungan di masyarakat. Sebagaimana dijumpai dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) UUP memberi difinisi perkawinan dan sahnya perkawinan sebagai berikut:
Pasal 1 UUP menyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam hal ini
tujuan membentuk keluarga bahagia menjadi tujuan utama bukan untuk memperoleh
keturunan sebagai penerus keluarga yang selama ini merupakan kehendak utama dalam
masyarakat Bali, tanpa keturunan identik dengan ketidakbahagiaan. Berbeda dengan
pandangan yang berkembang akhir-akhir ini dengan bahwa kebahagiaan rumah tangga dapat
diwujudkan tanpa harus memiliki anak (less child). Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) menyatakan
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu”. Pernyataan sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut masing-masing
agamanya, apakah yang dimaksudkan dengan masing-masing agamanya, apakah dalam hal
ini UU mengakui perkawinan beda agama, atau apakah mempelai harus memeluk agama
yang sama. Pernyataan ini multi tafsir dan bias interpretasi. Dapat menimbulkan berbagai
argumentasi sehingga sampai saat ini telah menimbulkan penyelundupan hukum dan sikap
“pengelakkan” melalui tindakan melangsungkan perkawinan di luar negeri. Selanjutnya
Pasal 2 ayat (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Dalam berbagai kasus, ternyata petugas pencatatan perkawinan pada Kantor
Catatan Sipil menolak mencatatkan perkawinan kalau mempelai melangsungkan perkawinan
beda (lintas) agama.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa: (1) UUP tidak
secara tegas mengatur tentang sahnya perkawinan diluar peneguhan secara agama; (2)
terdapat multi tafsir tentang kata agamanya dan kepercayaan sebagaimana diatur dalam Pasal
2 ayat (1) UUP, agama diinterpretasikan sebagai bermakna “setara” antara agama dan
kepercayaan, hal ini memposisikan penganut kepercayaan berada di bawah naungan
pembinaan institusi kebudayaan, bukan dalam lingkup pembinaan Departemen Agama; dan
(3) berbagai aliran dan kepercayaan yang ada di Indonesia belum diatur secara tegas.
Pada awal kemerdekaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Aturan Peralihan
UUD NRI 1945 “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, sehingga sejak
kemerdekaan UU Perkawinan yang berlaku sebelum UUP adalah warisan kolonial Belanda.

5
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

Hukum Perkawinan secara umum diberlakukan ke dalam lima kategori, untuk


mengakomodasi keragaman perkawinan, termasuk perkawinan campuran, yaitu:
1. Hukum Perkawinan bagi Golongan Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan
mereka, dan Golongan Timur Asing keturunan China;
2. Hukum Perkawinan bagi Golongan Pribumi dan Golongan Timur Asing Pemeluk Agama
Islam;
3. Hukum Perkawinan bagi Golongan bukan pemeluk Agama Islam maupun Agama
Kristen;
4. Hukum Perkawinan bagi Golongan yang hendak melangsungkan perkawinan campuran
5. Hukum Perkawinan bagi Golongan Pribumi pemeluk ama Kristen berlaku sejak 1933.
Perkawinan campuran, peraturan Hindia Belanda memberikan pemahaman sebagai
berikut: Pelangsungan perkawinan antara orang-orang yang di Hindia Belanda tunduk pada
hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran. Istri yang melangsungkan perkawinan
campuran mengikuti status suaminya secara hukum publik dan hukum perdata, selama
perkawinan berlangsung. Dengan demikian terdapat perbedaan antara makna perkawinan
campuran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya
UUP, yang tidak membedakan latar belakang kewarganegaraan, agama, kedudukan ataupun
domisili. Perkawinan campuran dipandang karena adanya perbedaan tatanan hukum sebagai
konsekuensi dari penggolongan penduduk. Kemudian sejak diberlakukannya UUP mengacu
pada Pasal 66, seluruh peraturan perundang-undangan perkawinan sebelum UUP dinyatakan
tidak berlaku.
Dengan berlakunya UUP, terjadi pergeseran makna perkawinan campuran, sayangnya
pergeseran pengertian kawin campuran yang berlaku sebelumnya maupun sesudah
berlakunya UUP tidak diikuti dengan pengaturan tentang perkawinan beda agama, baik
antara sesama Warga Negara Indonesia (WNI) maupun antar WNI dan Warga Negara Asing
(WNA). Kehadiran Pasal 2 ayat (1) bahwa sahnya perkawinan harus dilakukan menurut
masing-masing agamanya dan kepercayaannya menimbulkan debat yang berkepanjangan.
Pengaturan menimbulkan kesulitan bagi pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan
beda agama maupun kepercayaan.
Para akademisi dan intelektual berupaya mengeliminir kesulitan-kesulitan dalam
perkawinan beda agama dan aliran kepercayaan, dengan mengkonstruksikan bahwa sahnya
suatu perkawinan cukup berdasarkan “akta catatan sipil”. Akhirnya melalui mekanisme
yurisprudensi, kesulitan perkawinan beda agama dan perkawinan bagi penganut aliran
kepercayaan akhirnya berujung pada putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

6
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

Bandung pada tahun 2002 yang memerintahkan pejabat catatan sipil yang berwenang agar
mencatatkan perkawinan mereka secara sah. Mekanisme inipun mendapat kritikan hebat,
dianggap memiliki makna yang sama dengan hukum Belanda, dimana perkawinan dipandang
sebagai peristiwa perdata.
Setelah dicermati, ternyata Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) UUP menyiratkan peluang
terselenggaranya perkawinan beda agama bagi sesama WNI atau WNI dan WNA, asalkan
dilangsungkan tidak di bumi Indonesia.
Pasal 56 ayat (1):
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara
Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di Negara di mana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Undang-Undang ini”.

Pasal 56 ayat (2):


“Dalam 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali ke Indonesia, surat bukti
perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal mereka.”

Secara filosofis, sosiologis dan yuridis UUP telah mengapresiasi nilai-nilai Hak Asasi
Manusia (HAM) dan mengedepan bahwa perkawinan tidak dapat dilangsungkan tanpa
kesepakatan kedua calon mempelai. Hal tersebut dijumpai dalam Pasal 6 ayat (1), yang
menyatakan bahwa: “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
Pengaturan ini menyatakan bahwa dasar perkawinan adalah suatu persetujuan tanpa
persetujuan dari kedua belah pihak perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Pernyataan
tersebut dapat dimaknai sebagai wujud pengakuan terhadap nilai-nilai HAM yang
berdasarkan adanya kemauan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain yang berlandaskan
martabat manusia. Mengingat adanya usaha-usaha menutup, mempersulit, dan
mengaburkan makna perkawinan beda agama dan kepercayaan, oleh segolongan orang telah
mengingkari nilai-nilai filosofis, sosiologis dan yuridis yang dikandung dalam UUP.
Masalah pokok yang dikandung UUP adalah permasalahan yang dihadapi masyarakat
dalam perkawinan bukan karena adanya perbedaan kewarganegaraan, yang di dalam UUP
diberi definisi sebagai perkawinan campuran sebagaimana diatur dalam Pasal 57 UUP, akan
tetapi persoalan perkawinan warganegaranya karena beda agama. UUP sebagai instrument
pemberdayaan dan pengakuan hak-hak perempuan, maka salah satu pihak yang paling
berkepentingan tegaknya UUP adalah kaum perempuan, maka perkawinan beda agama

7
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

adalah isu strategis kaum perempuan dalam kesetaraan jender, dalam menghadapi
perkembangan dan abad globalisasi. Dilihat dari perkembangan sejarah perundang-undangan
dan perbandingan hukum dari jaman penjajahan Belanda sampai berlakunya UUP, ternyata
produk hukum Hindia Belanda lebih aspiratif dalam penyelenggaraan perkawinan beda
agama. Pengaturan perkawinan beda agama dalam system hukum Hindia Belanda
menunjukkan adanya apresiasi terhadap HAM dan menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa kehadiran UUP telah
memunculkan adanya berbagai argumentasi yang membingungkan tentang perkawinan beda
agama, antara lain: pertama, Negara melakukan pemaksaan terselubung terhadap
warganegaranya untuk memeluk agama tertentu yang diakui Negara; Kedua, Negara
melakukan pembiaran dan ambigu dalam adanya upaya-upaya agama tertentu untuk
memaksakan warganegaranya untuk melakukan perkawinan dengan orang-orang yang
seagama, atau dalam hal salah satu calon mempelai yang beda agama atau kepercayaannya
terlebih dahulu agama atau kepercayaannya disamakan. Ketiga, Negara secara terselubung
mendorong warganegaranya terutama dalam hal perkawinan beda agama agar dilangsung
diluar wilayah Indonesia.
Kelemahan-kelemahan yang dikandung dalam UUP merupakan masalah serius dan
legitimasinya sangat diragukan terutama dikaitkan dengan konsep HAM dan konsep Negara
Kepastian Hukum. Sekalipun HAM dan Kepastian Hukum itu sendiri mengandung
kelemahan mendasar karena kelahirannya dari latar belakang kultur yang berbeda. Sehingga
tetap melahirkan interpretasi dan konstruksi yang berbeda dilihat dari perspektif kultural dan
sosiologis. Namun suatu fakta bahwa perkawinan beda agama tetap merupakan isu sentral
dan perkembangan ke depan persoalan perkawinan beda agama dalam konteks HAM tetap
merupakan problema hukum. Maka legalitas dan kepastian hukum menjadi titik sentral dalam
upaya menegakkan kesetaraan jender.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka masalah yang dibahas dalam tulisan
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem hukum perkawinan menurut adat-istiadat atau Agama Hindu di
Bali?
2. Bagaimanakah perkawinan beda agama setelah berlakunya UUP dalam masyarakat adat
Bali?

A. 1 Metode Penelitian

8
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif (normative law research)
yaitu hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas8. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan adat-istiadat
perkawinan di Bali dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum
yang dihadapi berhubungan dengan objek penelitian dengan tujuan untuk mempelajari
norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian dimana teori atau pengetahuan objek
yang akan diteliti sudah ada dan ingin memberi gambaran mengenai objek tersebut.
Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika deduktif, artinya adalah
metode menarik kesimpulan yang bersifat khusus dari pernyataan–pernyataan yang sifatnya
umum. Metode ini dilakukan dengan cara menganalisis pengertian atau konsep–konsep
umum, antara lain mengenai perkawinan beda agama dalam hukum Hindu serta peraturan
yang terdapat pada Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

B. Pembahasan

B. 1. Hak Untuk Kawin Dalam Masyarakat Bali


Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, baru dikatakan sebagai perkawinan yang sah apabila memenuhi syarat-syarat
perkawinan, (i) apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya; serta (ii)
dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan. Perkawinan adalah peristiwa hukum,
agama, kekerabatan dan kemartabatan di mana seorang laki-laki dan seorang perempuan
menyatakan kehendak bersatu dalam hubungan suami istri dalam satu keluarga.
Persekutuan ini menimbulkan akibat hukum hak dan kewajiban di bidang waris,
kepemilikan dan tanggungjawab terhadap keturunan. Dilihat dari sudut Hukum Adat,
perkawinan di Bali meletakkan perempuan ke dalam keluarga suami. Persoalan pelik dan
tidak jarang menimbulkan konflik berkepanjangan atau konflik horizontal di masyarakat,
bahwa melakukan perkawinan beda agama akan dapat mengganggu keseimbangan apabila
salah satu dari pasangan suami istri tetap bersikokoh untuk mempertahankan keyakinannya
masing-masing. Hal ini dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 16 Deklarasi Universal tentang
Ha-hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa:

8 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004), h.118.

9
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

1. Pria dan wanita dewasa, tanpa pembatasan apa pun yang disebabkan oleh ras,
kewarganegaraan atau agama, berhak kawin dan membangun keluarga. Mereka berhak
atas hak-hak yang sama mengenai perkawinan, selama perkawinan dan sampai saat
perceraiannya.
2. Perkawinan harus dilaksanakan hanya dengan persetujuan yang bebas dan penuh dari
kedua calon mempelai”.9
Lebih jauh dinyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan tertentu, undang-undang dan
praktik-praktik kuno mengenai perkawinan dan keluarga adalah bertentangan dengan prinsip-
prinsip yang ditentukan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Deklarasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia. Deklarasi juga mewajibkan kepada semua Negara, termasuk
pemikul tanggungjawab administrasi wilayah perwalian untuk mengambil semua langkah
dengan tujuan menghapus kebiasaan undang-undang dan praktik-praktik kuno dengan
menjamin antara lain: (1) kebebasan sempurna dalam pemilihan seorang suami atau istri; (2)
menghapus dengan tuntas perkawinan anak-anak dan pertunangan wanita muda sebelum
umur pubertas; (3) membuat hukuman yang tepat apabila diperlukan, dan (4) membentuk
suatu pencatatan sipil atau pencatat lain di mana semua perkawinan akan dicatatkan. Hal
tersebut tercantum dalam Pasal 3 yang menyatakan “Semua perkawinan akan dicatat dalam
catatan resmi yang tepat oleh penguasa yang berwenang’.

B.1.1 Landasan Perkawinan Hindu


Sering kita mendengar pertanyaan, mengapa hukum itu ditaati, apakah karena dia
mempunyai daya ikat atau karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Secara normatif kita
memahami sumber hukum dikategorikan menjadi sumber hukum materil dan sumber hukum
formil. Sumber hukum dalam arti material biasanya digunakan untuk mengetahui dasar,
sumber (kekuatan) hukum itu sehingga memiliki kekuatan mengikat. Sedangkan sumber
hukum formil dalam arti formal, digunakan menjawab pertanyaan, di mana hukum itu bisa
dijumpai atau terdapat aturan-aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia,
Untuk menemukan sumber materil dalam hukum Hindu, dapat dilakukan melalui
pendekatan historis, sosiologis, dan filosofis. Peninjauan dalam arti historis, dapat dilihat dari
sejarah keberadaan Hindu di Indonesia, dan khususnya Hindu di Bali. Hindu hadir di Bali,
tidak lepas dari berdirinya kerajaan-kerajaan di Bali, dan hadir para rohaniawan Hindu,

9
Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Penyunting Peter Baehr, dkk (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001) h. 941

10
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

seperti Mpu Kuturan, Mpu Makandya dan lain-lain. Kemudian peninggalan monumen
Hukum peradilan di Kerthagosa Kelungkung.
Dalam arti sosiologis, hukum Hindu bersumber dari pemikiran atau perenungan
berbagai kaidah hukum yang terkait dengan pandangan-pandangan masyarakat setempat,
karena hukum bersifat dinamis, tumbuh dan berkembang di masyarakatnya dalam nilai-nilai
yang hidup dan menuntun manusia, membangun sistem nilai dalam mencapai tujuan-tujuan
filosofis. Pemikiran-pemikiran ini kemudian mendorong seseorang mentaati dan patuh
kepada hukum. Sanksi, menjadi salah satu faktor ditaatinya hukum, baik sanksi sekala yaitu
sanksi hukum positif yang diberlakukan Negara dan sanksi masyarakat akibat berlakunya
hukum adat maupun sanksi niskala (hukum Tuhan) seperti karmaphala yang diyakini akan
dapat terjadi pada siapapun sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Inilah yang
menjadi dasar lahirnya aliran teori hukum alam, yang bersumber dari hukum agama,
kemudian berlanjut dengan munculnya aliran pemikiran positivisme yang melahirkan
pemikiran hukum bahwa orang mentaati hukum, karena hukum merupakan kehendak
penguasa dan dapat dipaksakan. Dengan demikian, hukum Hindu bersumber dari nilai-nilai
universal kebaikan, yang bersumber dari ajaran Weda, seperti Karmaphala, Trikaya
Parisudha, Tattwamasi dan ajaran-ajaran lainnya.
Tat Twam Asi (TTA), “aku adalah kamu”, yang merupakan landasan filosofis
universalitas keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan, bermakna sebagai
kesetaraan, kebersamaan, keadilan, pengakuan, penghargaan dan keseimbangan hidup. Hindu
di dalam aspek kekinian memiliki nilai mendasar dalam kehidupan masyarakat yang pluralis.
Dalam hukum perkawinan Hindu TTA, menjadi jawaban dari berbagai pertanyaan dari
masalah perkawinan para penganut ajaran Hindu. Adakah kata-kata yang memiliki makna
lebih dalam lagi dari TTA, inilah puncak peradaban manusia. dalam membangun
kemartabatan, kekeluargaan, dan kekerabatan. Hukum Hindu mengajarkan kedamaian, jauh
dari hiruk-pikuk konflik dan keserakahan. Dasar-dasar hukum bersumber dari Weda,
UU, kebiasaan, keputusan-keputusan pengadilan, traktat atau perjanjian dan pendapat
ahli hukum terkemuka menjadi sumber hukum formal. Sumber formal hukum Hindu
terdapat dalam Weda Smrti (Manawa Dharma Sastra). Perkembangan hukum Hindu tidak
dapat dilepaskan dari Agama Hindu, karena hukum Hindu bersumber dari Weda, baik weda
smrti dan weda Sruti. Dalam Bab II Pasal 6 Kitab Manawa Dharmasastra, disebutkan sumber

11
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

hukum Hindu sebagai berikut:10 “Idanim dharma pramanaya ha, wedo’khilo dharmamulam
smerticile ca tadwidam, acaraccaiwa sadhunam atmamastustirewa ca” yang artinya seluruh
pustaka suci weda adalah sumber pertama dari pada hukum, kemudian baru smrt, adat
istiadat, tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami pustaka suci
weda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci serta kupuasan diri sendiri. Dengan
demikian dapat disimpulkan sumber hukum Hindu adalah sruti (wahyu) smrti (tertulis),
sadacara /acara adat kebiasaan), sila dan Atmastusti (rasa puas diri)

B.1.2 Perkawinan Masyarakat Adat Bali


Perkawinan dalam masyarakat hukum adat Bali identik dengan perkawinan menurut
Agama Hindu. Perkawinan Masyarakat Hukum Adat Bali tidak akan sama atau tidak dapat
disamakan dengan perkawinan Hindu di luar Bali, atau yang berlaku di daerah-daerah atau
Negara lain. Hal tersebut disebabkan agama Hindu dalam perkembangannya selalu
menyesesuaikan dengan adat-istiadat dan budaya yang berlaku di masyarakat lokal.
Perkawinan Hindu di Bali memiliki nilai religious magis yang sangat kental dengan budaya
masyarakat Adat Bali. Setiap prosesi upacara memiliki nilai kearifan lokal, dan pelambang
kehidupan masyarakat adat Bali, yang mencerminkan perpaduan dunia skala dan niskala.
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin, jadi bukan hanya sekedar penyalur nafsu sex,
atau hubungan sex sesaat untuk menyalurkan birahi. Perkawinan pada hakikatnya adalah
hubungan batin seorang laki-laki dan perempuan yang memiliki makna ada ikatan batiniah
yang berdampak pada pertanggunganjawaban, akan akibat-akibatnya yang timbul. Baik
pertanggungjawaban hukum, moral, hubungan sosiologis, dan kultural antara seseorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari ketentuan tersebut dapat
ditarik unsur-unsur perkawinan, yaitu:
1. Ikatan lahir batin
UUP memberi dasar pijakan yang jelas mengenai asas perkawinan, sebagai suatu ikatan
lahir batin, antara seorang pria dengan seorang wanita. Ikatan lahir batin tersebut
bersumber dari adanya perasaan yang dilandasi unsur perasaan dari dalam batin
seseorang, yang dilandasi keinginan luhur untuk meneruskan keturunan yang suputra,
bermoral dan berakhlak mulia. Perkawinan menurut agama Hindu adalah prosesi sakral
dan religious, sehingga hampir seluruh rangkaian upacara dipenuhi oleh symbol-simbol

10
I Putu Gelgel, Hukum Perkawinan Hindu, Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, 2013. h.
16-17

12
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

kehidupan yang bermoral, bermakna dan religious berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.
Unsur Tuhan menjadi penentu, maka itu syarat sahnya perkawinan sesuai dengan
agamanya menjadi selaras dengan ajaran agama Hindu.
2. Ikatan suami istri, pasangan tersebut diikat dalam hukum perkawinan yang memiliki hak
dan kewajiban yang jelas diatur dalam UU. Ikatan perkawinan dalam agama Hindu,
bukan hanya ikatan perdata, akan tetapi sebuah ikatan yang melahirkan hubungan yang
terkait dengan kekerabatan, kekeluargaan, kewajiban melanjutkan keturunan dan
memelihara khayangan pemerajan, sebagai pemujaan terhadap leluhur, di mana arwah
para leluhur disemayamkan. Kebahagiaan seorang Hindu adalah terletak dari
pengabdiannya terhadap leluhur, bukan pada jumlah harta kekayaan yang melimpah.
Ikatan ini melahirkan kuatnya sistem soroh dan kekerabatan yang turun-temurun.
Kewajiban inilah yang mengikat orang Bali, tetap teguh memeluk agama Hindu.
3. Tujuan membentuk keluarga, sebagai pembentuk sistem kekerabatan patrilineal (purusa),
jadi inilah yang mendorong ikatan yang timbul dalam masyarakat Bali demikian kuatnya,
karena unsur magis dan keiklasan atau penyerahan diri yang tulus kehadapan Tuhan Yang
Maha Esa. Keluarga dalam masyarakat Hindu di Bali, adalah keniscayaan, kekerabatan
purusa membentuk karakter kekerabatan dominasi laki-laki, dengan pengertian bisa saja
seorang perempuan justru yang memegang posisi purusa yang lahir dari lembaga
nyentana.
4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tiada kekuatan yang lebih besar dan kuasa
diatas muka bumi ini, hak-hak milik termasuk jiwa manusia adalah kuasa Tuhan.
Pemikiran ini melahirkan masyarakat Hindu, semakin religious dan segalanya menjadi
kuasa Tuhan. Ajaran agama yang memuat hukum kehidupan untuk hidup baik, semakin
mendapat tempat, melahirkan seni, adat-istiadat dan kebudayaan yang identik dengan
sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Kuatnya pengaruh ajaran agama dalam
masyarakat Hindu dalam kehidupannya yang kental nuansa agama, dalam berbagai
persembahan, yadnya dan bhakti masyarakatnya menjadi daya tarik masyarakat dunia.

B. 2. Perkawinan Campuran Menurut Masyarakat Adat Bali dan UUP


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa perkawinan campuran terdapat
beberapa perbedaan pengertian, di antaranya yang dinyatakan dalam perundang-undangan
dan yang sering dinyatakan dalam kenyataan di masyarakat. Khusus di dalam perundang-
undangan terdapat perbedaan pengertian di antara yang dinyatakan dalam UUP yang berlaku

13
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

sekarang dengan peraturan perkawinan campuran yang terdapat dalam RGH 29 Mei 1896,
No.23 Stb. 1898 No.158. Di dalam RGH 1898 yang dimaksud dengan perkawinan campuran,
ialah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang
berlainan, yang dimaksudkan ialah jika terjadi perkawinan antara orang yang termasuk
golongan hukum Eropa dengan orang-orang golongan hukum pribumi atau antara orang
Eropa dengan orang-orang Timur Asing, atau antara golongan orang Timur Asing dengan
dengan Pribumi (Indonesia), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 163 ayat (2)
RGH 1898 No. 158, Pasal 1 menyatakan dengan jelas perkawinan campuran
merupakan perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum
yang berlainan, yang dimaksud ialah jika terjadi perkawinan antara orang dengan golongan
hukum Eropa dengan orang golongan hukum pribumi (Indonesia) atau antara orang Eropa
dengan orang Timur Asing., atau antara orang Timur Asing dengan Pribumi (Indonesia) dan
sebagainya.
Perkawinan campuran yang dipahami oleh masyarakat dalam pergaulan sehari-hari,
adalah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa yang beragam, atau karena
perbedaan agama antara calon pasangan suami istri. Misalnya perkawinan perbedaan adat
istiadat antara pria/wanita Jawa dengan Bali, pria/wanita Batak dengan Sunda, dan
sebagainya. Sedangkan perkawinan campuran antara agama, misalnya antara pria/wanita
beragama Kristen dengan pria/wanita beragama Islam, pria/wanita Hindu dengan pria/wanita
Islam dan lain-lain. Sedangkan perkawinan campuran yang dimaksudkan oleh UUP adalah
perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan. Jadi terdapat 3(tiga) pengertian perkawinan
campuran, yaitu (i) perkawinan antar kewarganegaraan, (ii) perkawinan beda adat dan
budaya, dan (iii) perkawinan beda agama.
Demikian kompleksnya tata cara dan prosesi perkawinan adat, dalam ajaran Hindu
sebagai maha karya yang mengikat setiap insan Hindu sebagai manifestasi Ketuhanan
(agama), keperdataan, kehidupan hubungan sosial, adat-istiadat dan budaya. Pasal 60 ayat (1)
menyatakan “Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-
masing telah dipenuhi” selanjutnya dalam Pasal 60 ayat (2) “Perkawinan hanya dapat
dilangsungkan setelah terlebih dahulu petugas pencatat perkawinan diberikan surat
keterangan bahwa syarat-syarat perkawinan telah terpenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan
menolak memberikan surat keterangan itu, maka Pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang pemberian surat keterangan
itu beralasan atau tidak.

14
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

Perkawinan campuran dapat dikelompokkan kedalam 3 kategori, yaitu:


1. Perkawinan beda kewarganegaraan
Perkawinan campuran sebagaimana dimaksudkan Pasal 57, adalah perkawinan antara
orang Bali dengan orang yang memiliki kewarganegaraan berbeda, baik dengan calon
suami atau calon istri, atau salah satu calon pengantin laki-laki atau perempuan tunduk
pada hukum yang berbeda. Perbedaan tersebut muncul karena perbedaan
kewarganegaraan, salah satu warga Negara Indonesia, dan yang lain warga Negara asing.
Akibat hukum dari perkawinan campuran adalah: (i) dapat terjadinya peralihan
kewarganegaraan salah satu suami atau istri beralih kewarganegaraan, dan (ii) masing-
masing pihak tetap berpegang pada kewarganegaraan masing-masing. Pasal 7 ayat (1)
UU Kewarganegaraan menyatakan “seorang perempuan asing yang kawin dengan
seorang pria warganegara Indonesia memperoleh kewarganegaraan Indonesia atau tidak,
apabila dalam satu tahun setelah perkawinannya berlangsung menyatakan keterangan
untuk melepaskan atau tidak melepaskan kewarganegaraannya”.
Selanjutnya Pasal 7 ayat (2) menyatakan “ dengan kekecualian tersebut dalam ayat (1)
perempuan asing yang kawin dengan warganegara Indonesia, satu tahun setelah
perkawinan berlangsung, apabila suaminya tidak menyatakan keterangan untuk
melepaskan kewarganegaraannya. Kemudian seorang perempuan warganegara Indonesia
yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan Indonesia apabila dan
pada waktu ia dalam satu tahun setelah perkawinan berlangsung menyatakan keterangan
untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan Indonesia itu menjadi
tanpa kewarganegaraan. Dampak hukum dari perkawinan campuran beda
kewarganegaraan apakah suami atau istri akan ikut kewarganegaraan suami atau istri
atau tetap pada kewarganegaraan masing-masing sebelum perkawinan berlangsung.
Pasal 8 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 menyatakan seorang perempuan warga Negara
Indonesia yang kawin dengan seorang asing kehilangan kewarganegaraan Indonesia
apabila dan pada waktu ia dalam satu tahun setelah perkawinannya berlangsung
menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila ia dengan kehilangan kewarganegaraan
Indonesia itu menjadi tanpa kewarganegaraan.
2. Perkawinan Antar adat (campuran)
Perkawinan campuran menurut pengertian hukum adat atau hukum kekerabatan adat,
merupakan “perkawinan antara adat” yaitu perkawinan yang terjadi antara suami dan
istri yang memiliki adat-istiadatnya yang berlainan, baik dalam kesatuan masyarakat
hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota masyarakat adat yang daerah

15
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

asal/suku bangsanya berlainan, dalam masyarakat adat atau budaya yang berbeda akan
tetapi masih dalam kewarganegaraan Indonesia, contoh seorang laki-laki dari Bali
melangsungkan perkawinan dengan wanita Jawa, yang sama-sama beragama Hindu.
Penyelesaian perkawinan campuran antara adat ini, sering menimbulkan perselisihan
yang berakibat mengganggu kerukunan kehidupan keluarga/kerabat baik dari pihak laki-
laki maupun perempuan, sekalipun suami istri berlangsung dengan bahagia, namun
hubungan kekerabatan perbesanan bisa terganggu. Hal-hal yang dapat menimbulkan
perselisihan, adalah tentang kedudukan suami istri setelah perkawinan, misalnya bentuk
perkawinan nyeburan di Bali, pihak perempuan yang memiliki kasta yang lebih tinggi,
sedangkan pihak laki-laki adalah dari keluarga sudra (kasta yang lebih rendah).
Perkawinan ini tidak jarang menimbulkan konflik yang serius, dan berakibat tidak
berlangsungnya tata-cara perkawinan secara normal. Padahal kalau disimak, akar budaya
antara pengantin laki-laki dan perempuan adalah sama, namun faktor kasta ikut
berpengaruh. Contoh perkawinan antara antara sesama orang Lampung, si calon suami
beradat pepadun yang pantang melakukan perkawinan semanda, karena menganut adat
perkawinan jujur, sedangkan calon isteri beradat peminggir menganut adat semanda. Pada
keluarga Lampung modern diatasi dengan “semanda raja-raja” atau penyelesaian adat
ditangguhkan dan perkawinan berlangsung menurut hukum agama Islam. Dengan
demikian hukum agama dapat mengatasi perselisihan hukum hukum adat. Demikian juga
halnya di Bali, perselisihan dapat diselesaikan secara kekeluarga dengan melepaskan
ikatan kekerabatan dari pihak perempuan.
Perselisihan dalam perkawinan campuran antara adat yang berlatar belakang perbedaan
martabat adat, antara golongan yang membanggakan keturunan/kasta antara golongan
ksatrya dengan golongan sudra di kalangan masyarakat adat Bali belakangan ini tidak
lagi menjadi masalah yang sulit, dan tidak menimbulkan masalah yang signifikan.
Kecuali masing-masing pihak sistem kekrabatannya berbeda, namun hukum adat Bali
selalu menyediakan solusi/jalan keluar.
3. Perkawinan Beda Agama
Perkawinan campuran akibat beda agama menjadi topik hangat akhir-akhir ini. Banyak
anak-anak muda yang berpandangan bahwa UUP telah melakukan pengekangan terhadap
hak-hak universal seseorang, dalam menentukan pilihan pasangan hidup dalam bentuk
perkawinan beda agama. UUP sebagai produk hukum Negara, telah melakukan
pengekangan dan menghilangkan hak-hak dasar untuk tetap memeluk agamanya masing-
masing dalam kehidupan suami istri. Mereka beranggapan perkawinan beda agama

16
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

bukanlah penghalang untuk hidup bahagia dan tidak ada jaminan mereka yang hidup
bersama dalam rumah tangga dengan latar belakang agama yang sama tidak ada jaminan
untuk bisa langgeng selamanya atau hidup bahagia.
Kita menyadari perkawinan dalam agama yang sama, karena beda budaya, adat-
istiadat, kasta, dan aliran seringkali menimbulkan perselisihan atau ketidakseimbangan
dalam kehidupan keluarga/kerabat. Di Bali bentuk perkawinan nyentana sering membawa
masalah yang cukup rumit, sering menimbulkan problem hukum, yang disebabkan ternyata
suami yang nyentana masih tetap melakukan kewajiban ngaturang bhakti terhadap leluhur
kerabatnya dan dapat pula terjadi kesulitan mengenai pewarisan dikemudian hari, apabila
istri meninggal terlebih dahulu, atau apabila terjadi peceraian akibat suami istri tidak
menghasilkan keturunan. Permasalahan-permasalahan terakumulasi sedikit-demi sedikit
dapat muncul menjadi masalah besar dan menghancur rumah tangga, menjadi perceraian.
Tujuan perkawinan yang semula untuk membentuk rumah tangga bahagia ternyata hancur
karena sistem kekerabatan adat dan unsur agama yang tidak dipahami secara utuh.
Penyelesaian gangguan keseimbangan dalam keluarga nyentana tidak serumit apabila
terjadi perkawinan beda agama. Masing-masing suami maupun isteri bersikukuh memeluk
agamanya masing-masing. Pasal 2 ayat (1) UUP menyatakan sahnya perkawinan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. UUP mengharuskan bagi mereka
yang ingin melangsungkan perkawinan, UUP mewajibkan bagi pasangan yang ingin
melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya, artinya celah untuk melangsungkan
perkawinan tidak dianggap sah bila dilangsungkan menurut agama masing-masing (beda
agama). Praktik ini sering menimbulkan penyelundupan hukum, misalnya pria beragama
Hindu sedang perempuan beragama Islam, upacara bisa saja dilakukan di rumah kerabat
pihak perempuan kemudian dilanjutkan dengan upacara perkawinan dengan didahului
upacara sudhi widdani. Pelaksanaan perkawinan ini tampaknya sah, tetapi tetap mengandung
problematika yang tidak mudah dikemudian hari.
Di dalam hukum adat Bali, yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, perkawinan
beda agama dapat berakibat, sebagai berikut: (i) kedudukan hukum seorang laki-laki Bali
sebagai purusa adalah sebagai penerus keturunan kekerabatan, sehingga memiliki posisi
kokoh. Dengan demikian isteri akan mengikuti agama suami, sehingga dalam hal ini pihak
perempuan melakukan penundukan hukum, isteri ikut suami. Permasalahan muncul ketika
isteri tetap kokoh memeluk agama/keyakinannya, misalnya agama Islam/Kristen, dan justru
menarik laki-laki masuk ke dalam kekerabatan istri. Dalam hal ini, pihak laki-laki secara
sukarela telah melepaskan haknya sebagai perusa, dan menimbulkan akibat hukum

17
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

kehilangan hak mewaris. Persoalannya, apakah kedudukan hukum dalam hal sebagai
nyentana sebagaimana berlaku dalam hukum adat Bali, posisi seperti ini juga sering
menimbulkan masalah pewarisan dikemudian hari. (ii) seorang wanita kawin dengan laki-laki
yang bukan memeluk agama Hindu. Dalam hukum adat Bali, bagi mereka yang kawin keluar
dari lingkaran hukum adat Bali, kehilangan hak untuk mewaris, memakai martabat keluarga
asal dan secara otomatis melepaskan segala hak yang melakat selama ini.
Dalam agama Hindu, dalam hal laki-laki Hindu kawin dengan perempuan yang
memeluk agama bukan Hindu, dapat terjadi beberpa kemungkinan, antar lain: (i) calon isteri
yang memeluk agama selain Hindu, terlebih dahulu akan disahkan sebagai pemeluk agama
Hindu, melalui proses sudhi widdani, kemudian barulah upacara perkawinan (wiwaha)
dilangsungkan menurut agama Hindu dan menurut adat Bali. Perkawinan seperti ini
dilangsungkan menurut tatacara dan norma-norma agama Hindu. Istri akan menempati posisi
sebagai pradana, dan masuk sistem kekerabatan suami. Dalam hal suami berkasta satrya, istri
akan mendapat tambahan nama baru atau mendapat tambahan nama “jro” atau kalau kastanya
Brahmana, mendapat tambahan “griya” di depan namanya. (ii) Laki-laki hindu kawin dengan
perempuan non Hindu, laki-laki Hindu ikut agama istri, maka segala haknya sebagai pewaris
akan hilang, pewarisan dapat dilakukan kepada adiknya, saudara kandung, atau saudara yang
patut secara hukum untuk mewaris. Hak-hak yang melekat sebagai purusa, menjadi lenyap.
(iii) Perempuan Hindu kawin dengan laki-laki non Hindu, maka laki-laki di sudhi widdani
terlebih dahulu, sesudah itu baru dilanjutkan dengan upacara perkawinan.
Perkawinan menurut Hindu, lebih menekankan unsur keyakinan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, orang atau siapa saja boleh menyatakan tidak memeluk agama tertentu, tetapi
keyakinan dalam hati dan batin lebih bermakna daripada ucapan. Sebagaimana paparan
diatas, tampak hukum perkawinan Hindu tidak bertentangan dengan UUP. Pemeluk agama
Hindu, laki-laki yang menikah dengan wanita non Hindu, akan tetap berjalan harmonis,
sepanjang agama bukan permasalahan dalam perkawinan.

B.2.1 Perkawinan Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri


Perkawinan yang dilangsungkan di luar wilayah hukum Indonesia, antara dua orang
Warga Negara Indonesia (WNI), atau seorang WNI dengan warga Negara asing (WNA)
adalah sah bila dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di Negara di mana perkawinan
tersebut dilangsungkan sekalipun masing-masing pihak memeluk agama dan keyakinan yang
berbeda. Perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum perkawinan yang berlaku di
Negara di mana perkawinan dilangsungkan adalah sah menurut UUP. Asalkan satu tahun

18
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

setelah pasangan tersebut kembali atau wajib melaporkan perkawinan tersebut di kantor
pendaftaran perkawinan di perwakilan yang ada di luar negeri.
Dengan demikian perkawinan bagi mereka yang memeluk agama Hindu dengan
seorang istri atau suami yang beragama lain, di luar negeri tidak bertentangan dengan UUP.
Sebaliknya perkawinan itu menjadi tidak sah jika perkawinan itu dilangsungkan hanya
melalui pencatatan formal, pada kantor pencatatan perkawinan, tanpa melalui prosesi
keagamaan dianggap tidak sah, karena UUP mensyaratkan sahnya perkawinan harus menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing, karena UUP menganut asas Ketuhanan.

C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
kesimpulan yang dapat ditarik terhadap ketiga permasalahan yang dibahas adalah:
1. Sahnya Perkawinan dalam masyarakat adat di Bali yang memeluk Agama Hindu, (i) harus
memenuhi syarat menurut hukum Agama Hindu; (ii) tidak bertentangan dengan UUP.
Agama Hindu mensyaratkan seseorang dapat melangsungkan perkawinan, apabila telah
melewati proses pendewasaan secara spiritual, dan memenuhi syarat-syarat keagamaan
yang dilangsungkan oleh seorang pendeta/sulinggih. Apabila proses tersebut sudah
dilaksanakan barulah calon pengantin dapat melangsungkan pernikahan dan pada setiap
bentuk pernikahan yang berbeda juga harus dengan perlakuan yang berbeda. Untuk
pemenuhan syarat-syarat normatif sesuai dengan UUP, perkawinan dihadiri oleh para
saksi-saksi tokoh, petugas desa adat dan dinas atau para pejabat pencatat perkawinan hadir
ditengah prosesi perkawinan.
2. UUP merupakan landasan hukum perkawinan Indonesia Pasal 2 ayat (1) menyatakan:
“sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Pengaturan ini, menimbulkan kesulitan bagi pihak-pihak yang akan
melangsungkan perkawinan beda agama maupun kepercayaannya, syarat dapat
“melangsungkan perkawinan” asalkan dilakukan di luar sistem hukum Indonesia.
Selanjutnya Pasal 56 ayat (1) menyatakan Perkawinan yang dilangsungkan di luar
Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia
dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku
di Negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini”. Kemudian ayat (2) menyatakan satu
tahun kemudian dapat didaftar pada Kantor Pencatatan Perkawinan. Ini menandakan
pemerintah mendorong warganegaranya untuk melakukan perkawinan beda agama di luar

19
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

yurisdiksi UUP. Hal ini menandakan Negara membiarkan warganegaranya menentukan


pilihan hukum diluar sistem hukum nasional, menunjukkan Negara tidak
bertanggungjawab untuk menyelesaikan masalah warganegaranya dalam bidang
perkawinan, memiliki kehendak terselubung dan menerapkan politik penyeragaman
agama tertentu. UUP meniadakan penggolongan warganegara yang berdasarkan asal-usul
dan beralih pengelompokan warganegara berdasarkan agama. Disatu sisi menunjukkan
adanya pemikiran baru, dengan menghilangkan stigmatisasi kelompok, tetapi melahirkan
disisi lain stigmatisasi mayoritas agama dalam sistem hukum nasional. UUP berupaya
menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan berdasarkan nilai-nilai kultural dan
sesuai dengan aspirasi masyarakat, berdasarkan prinsip-prinsip HAM. UUP dalam
beberapa pasal tidak secara eksplisit menyatakan bahwa perkawinan beda agama dan
keyakinannya adalah suatu instrument pemberdayaan, pengakuan, penghargaan hak-hak
demokrasi kaum wanita. Hukum Hindu hanya mengenal sahnya suatu perkawinan apabila
telah dilangsungkan prosesi mebiyu-kaonan, dan melalui prosesi sudhi widdani apabila
seorang mempelai beragama dan keyakinannya berbeda. Mebiyu-kaonan sebagai bentuk
legitimasi-spritual ditinjau dari aspek agama sebagaimana disyaratkan oleh UUP.
Pernyataan sahnya suatu perkawinan bukan pada terpenuhinya unsur pencatatan secara
administratif, akan tetapi perkawinan sah apabila telah dipuput (dilangsungkan) dihadapan
sulinggih/pedeta agama. Pencatatan adalah proses administratif, tidak memiliki nilai
yuridis yang dapat membatalkan perkawinan.

20
Law Review Volume __, No. __– Bulan Tahun

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019

Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h.118.
I Putu Gelgel, Hukum Perkawinan Hindu, Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia,
Denpasar, 2013.
Mudiarti Trisnaningsih, Relevansi Kepastian hukum Dalam Pencaturan Perkawinan Beda
Agama Di Indonesia, Bandung, CV.Utomo, 2007.
Peter Baehr, dkk Penyunting “Instrumen Internasionall Pokok Hak-Hak Asasi Manusia,
Yayasan obor Indonesia, 2001.
Wila Chandra Supriadi, Perempuan dan Kekerasan, Bandung, Mandar Maju Cetakan ke-1,
2001.

Majalah
Republika, 24 Agustus 2003, diskusi public “Problematik Perkawinan dan Rumah Tangga”
Bandung: Institut Perempuan Bandung. Bahwa Hukum dan Agama seringkali
dijadikan legitimasi secara tidak pada tempatnya dan pada akhirnya berakibat pada
domestifikasi dan diskriminasi terhadap perempuan.

21

Você também pode gostar