Você está na página 1de 11

A.

Defenisi

Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau

tidak langsung mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.

Cedera kepala adalah suatu cedera yang menimbulkan kerusakan atau perlukaan

pada kulit kepala, tulang tengkorak dan jaringan otak yang disertai perdarahan.

Cedera kepala dapat dibagi menurut berat dan ringan :

1. Cedera kepala Ringan :

Jika skala koma glasgow antara 14-15 dapat terjadi kehilangan kesadaran

antara 30 menit tidak ada penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusuo dan

hematom, serta tidak terjadi gangguan neurologis.

2. Cedera Kepala Sedang :

Jika skala koma glasgow antara 10-13, hilang kesadaran antara 30 menit – 24

jam dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan (bingung).

3. Cedera Kepala Berat :

Jika skala koma glasgow antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam

meliputi contisio cerebral, lacerasi, hematom, dan edema cerebral.

B. Klasifikasi cedera kepala

Cedera kepala bisa diklasifikasikan dalam berbagai aspek, tetapi untuk


kepentingan praktis di lapangan dapat digunakan klasifikasi berdasarkan beratnya

cedera. Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan menggunakan

Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat

kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang

dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal

respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons).

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat

diklasifikasikan menjadi:

1. Cedera kepala ringan, bila GCS 13 – 15

2. Cedera kepala sedang, bila GCS 9 – 12

3. Cedera kepala berat, bila GCS 3 – 8

Glasgow Coma Scale

Reaksi membuka mata (Eye)

4 Buka mata spontan

3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

2 Buka mata bila dirangsang nyeri

1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Reaksi berbicara (Motoric)

5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat


2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata

1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Reaksi gerakan lengan/tungkai

6 Mengikuti perintah

5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

2 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

C. Etiologi

Hal yang menyebabkan cedera kepala adalah

1. Terjatuh dari ketinggian, benturan, dan pukulan

2. Kecelakaan kerja

3. Kecelakaan lallu lintas

4. Perkelahian, dll

D. Patofisiologi

Cedera kepala diakibatkan karena adnya benturan kuat yang

mengakibatkan struktur intracranial (otak, darah, dan cairan serebrospinal)

menjadi rusak sehingga sukar diabsorbsi oleh muskuloligamentum(yang menjaga

kepala). Tulang tengkorak yang elastis pada anak-anak mengabsorbsi energi

secara langsung dan mempengaruhi kepala dan memberikan proteksi pada struktur
intracranial. Jaringan syaraf rentang tetapi biasanya untuk sampai terjadi

kerusakan berarti harus ada tekanan yang kuat. Benturan kuat dapat diakibatkan

pukulan langsung pada kepala maupun bagian tubuh lain dengan efek pantulan

keotak atau luka secara tidak langsung. Respon otak terhadap benturan adalah

berpindahnya rongga kranial kedepan otak apat mementil atau berputar pada

batang otak disebabkan oleh difusi pada luka pergerakan otak ini dapat

menyebabkan luka memar atau luka robek akibat gerakan yang berlebihan pada

permukaan kranial sebelah dalam frekuensi kerusakan terbesar terjadi pada tulang

frontal dan lobus temporal otak. Lokasi / daerah kulit kepala banyak aliran darah

pada anak dapat terjadi perdarahan yang menyebabkan kematian akibat adanya

lacerasi yang hebatpada kulit kepala.

E. Manifestasi klinis

1. Cedera Kepala Ringan

a. Cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tidak

pingsang, tidak muntah, tidak ada tanda – tanda neurologic

b. Contusio serbri ditandai dengan tidak sadar kurang dari 10 menit,

muntah, sakit kepala, tidak ada tanda – tanda nerologik kontisio cerebri

2. Cedera Kepala Sedang


Ditandai dengan pingsan ≥ 10 menit muntah dan anamnesa retrogard dan

tanda – tanda neurologik

3. Cedra Kepala Berat

a. Lacerasi cerebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-

bulan, kelumpuhan anggota gerak biasanya disertai fraktur basis cranii.

b. Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-bentar kemudian

sadar lagi kemudian pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor bradikardi,

tekanan darah menurun, suhu tubuh meningkat.

c. Perdarahan subdural ditandai dengan nyeri kepala intrakranial meningkat

dan lumpuh.

F. Pemeriksaan penunjang

1. Tes Diagnostik

CT-Scan Kepala

Foto Rontgen / Foto Kepala : untuk mengetahui perubahan struktur

tengkorak

2. Laboratorium

Leukosit, Pemeriksaan Darah Lengkap, Analisa Gas Darah, Hb, Elektrolit.

G. Penanganan
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan :

a. Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder;

b. Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu

penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan

aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya,

karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak

sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala

dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa

hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai

75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus

dilaksanakan secepatnya

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis ada 5, yaitu:

a. Terlambat penanganan awal/resusitasi;

b. Pengangkutan/transport yang tidak adekuat;

c. Dikirim ke RS yang tidak adekuat;\

d. Terlambat dilakukan tindakan bedah;

e. Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan

sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok,
hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway,

breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan

dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada,

dan pelvis.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam

brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan

refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah,

serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering

disalah tafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak

lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya

hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika

penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan

adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang

dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat

fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi

vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,

fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan

chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui

hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan

dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas
selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak

adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat

bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang

memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan

napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan

sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.

H. Penatalaksanaan

1. Bedrest total

2. Pemberian Obat-obatan :

a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis

sesuai dengan berat ringanya trauma.

b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.

c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau

glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk

infeksi anaerob diberikan metronidasol.

e. Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat

diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18

jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan

makanan lunak.
f. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami

penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit

maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8

jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.

Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui

nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure

nitrogennya.

3. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran).

4. Pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Sudarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol-2, EGC,
Jakarta, 2002.

Cholik dan Saiful, Buku Ajar Trauma Kepala Asuhan Keperawatan Klien dengan
Cidera Kepala,, Ardana Media, Yogyakarta, 2007.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis Edisi VI, EGC, Jakarta, 1996.

Santosa, Budi (editor), Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-


2006,Definisi dan Klasifikasi, Prima Medika, Jakarta, 2005.

Suriadi, Yuliani, Rita, Asuhan Keperawatan pada Anak, Fajar Interpratama,


Jakarta.

Você também pode gostar