Você está na página 1de 19

Mush’ab bin Umair, Teladan Bagi Para Pemuda Islam

Read more http://kisahmuslim.com/4799-mushab-bin-umair-teladan-bagi-para-pemuda-islam.html

Masa muda atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan merasakan
manisnya dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan pikiran
akan kematian ada di benak mereka. Apalagi bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki
fasilitas hidup yang dijamin orang tua. Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat
tinggal yang baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan
rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang
menukilkan kesan pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair
tiba di Madinah. Ia berkata,

ُ ‫ه أَ ٌَر لَمٌ ر‬
ٌ‫َجل‬ ٌُ َّ ‫ل ِمنٌ َكأَن‬
ٌُ َ‫ه ِمثل‬ ٌِ ‫ج َّن‬
ٌِ ‫ة ِرجَا‬ َ ‫ال‬

“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya. Seolah-olah dia
adalah laki-laki dari kalangan penduduk surga.”

Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika
Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.

Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya

Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih sedikit)
setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair
dilahirkan pada tahun 585 M.

Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu
Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi.

Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda
yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya
adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami,
pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum
sehingga semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri,
2014: 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٌُ ‫ة رَأَي‬
‫ت مَا‬ َّ ‫ح ًدا بم‬
ٌَ ‫َك‬ َ َ ‫ة أَح‬
ِ ٌَ ‫سنٌَ أ‬ ًٌ ‫م‬ ٌَّ ‫ة أَر‬
َّ ِ‫ ل‬، ‫َق وَال‬ ًٌ َّ‫حل‬ ٌَ ‫ة أَن َع‬
ُ ، ‫م وَال‬ ًٌ ‫م‬ ٌِ ‫ُعمَيرٌ ب‬
ٌِ ‫ن ُمص َع‬
َ ‫ب ِمنٌ نِع‬

“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus
pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR.
Hakim).

Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana makanan di


dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makana sudah ada di hadapannya.
Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang mendapatkan banyak
kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan
hidup dan kekurangan nikmat.

Menyambut Hidayah Islam

Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi Thalib,
dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum. Kemudian diikuti oleh
beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu
kian menguat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-
sembunyi di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang
berada di bukit Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.

Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr,
penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu
membedakan manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah
ajaran seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Dengan
sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.

Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang lain, untuk


menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit tersebut, ia tetap terus menghadiri
majelis Rasulullah untuk menambah pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk.
Hingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.

Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat

Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah
Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah
periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.

Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa
bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus
beridiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab
meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa
yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia
adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar,
pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan
dikurung di tempat mereka.

Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari
pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat
menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah
karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat
mengurus.

Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas satu yang ia
nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata,
“Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu
muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki
tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis
teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan
dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair
dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh.
Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab
salamnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-
baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua
orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam fasilitas
dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah
itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR.
Hakim No. 6640).

Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya,
Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang
kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas
dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan
busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad
Ashbahani, Hal: 659).

Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami


penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia
rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak
untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas
dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan siksaan
perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan
dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari
agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan
keimanannya.

Peranan Mush’ab Dalam Islam

Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang
mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk
mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.

Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan
dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di
Madinah semisal Saad bin Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk
Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah-
akan kedalaman ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap
Alquran dan sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam
berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.

Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah
berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz.
Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa
yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka
terimalah. Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya,
yang demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu
membacakannya Alquran.

Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan
apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah
mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan
kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak
memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian
shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan
Mush’ab.

Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang
kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah
pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.

Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya
wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata,
“Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya!”

Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.

Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat
pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu
dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).

Wafatnya

Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia
mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang
mulia ini. Ia berkata:

Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu
datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi
(yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab
dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:

َّ ‫ح‬
‫مدٌ َومَا‬ ٌَّ ِ‫َسولٌ إ‬
َ ‫ال ُم‬ ُ ‫خلَتٌ َقدٌ ر‬ ٌِ ِ‫ل َقبل‬
َ ٌ‫ه ِمن‬ ٌُ ‫س‬ ُّ ۚ
ُ ‫الر‬

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan
menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya
sambal membaca ayat yang sama:

َّ ‫ح‬
‫مدٌ َومَا‬ ٌَّ ِ‫َسولٌ إ‬
َ ‫ال ُم‬ ُ ‫خلَتٌ َقدٌ ر‬ ٌِ ِ‫ل ٌَقبل‬
َ ٌ‫ه ِمن‬ ٌُ ‫س‬ ُّ ۚ
ُ ‫الر‬
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab
gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal:
329).

Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh
Muhammad”.

Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya


yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin
Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan
kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:

ٌَ‫مؤ ِمنِينٌَ ِمن‬ ُ ‫صد َُقوا ِرجَالٌ ال‬


َ ‫ه ُدوا مَا‬ ٌَ َّ ‫ه‬
َ ‫ّللا َعا‬ ٌِ ‫من ُهمٌ ۚ َعلَي‬
ِ ‫ضىٌ مَنٌ َف‬
َ ‫ه َق‬
ٌُ َ‫ظ ٌُر مَنٌ َو ِمن ُهمٌ نَحب‬
ِ ‫َومَا ۚ يَن َت‬
‫يل بَ َّدلُوا‬
ًٌ ‫تَب ِد‬

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada
(pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di


sisi Allah.

Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah,
tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau.
Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”

Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya
ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya,
terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan
kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”

Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.

Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair

Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang
sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin
Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi
jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun
menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.

Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan
pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya,
maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun
memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan
rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).
Penutup

Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan bagi pemuda-
pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya dibanding
dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia
itu menghalanginya untuk mendapatkan ridha Allah.

Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam bersemangat menuntut ilmu,
mengamlakannya, dan mendakwahkannya. Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-
nash syariat, pandai dalam menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.

Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah:
Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa
asy-Syu-un al-Islamiyah

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)


Artikel www.KisahMuslim.com

Read more http://kisahmuslim.com/4799-mushab-bin-umair-teladan-bagi-para-pemuda-islam.html


Duta Pertama Islam: Mush’ab bin Umair
https://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/duta-pertama-islam-mush-ab-bin-
umair.htm#.WvBbuSBrE2w

Di antara sahabat Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang memiliki semangat dan
kepiawaian dalam menjalankan tugas da’wah ialah Mush’ab bin Umair. Ia terhitung salah
seorang as-Sabiqun al-Awwaluun (pionir pemeluk Islam). Sahabat yang satu ini sudah
memperlihatkan kehanifan dan kecintaannya kepada iman sejak awal kali ia mendengar soal
Muhammad bin Abdullah shollallahu ’alaih wa sallam yang mengaku sebagai Nabi terakhir
utusan Allah. Coba perhatikan bagaimana Khalid Muhammad Khalid menggambarkan soal
keislamannya di dalam buku Karakteristik Perihidup Enampuluh Shahabat Rasulullah:

Baru saja Mush’ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat al-Quran mulai mengalir dari
kalbu Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bergema melalui kedua bibirnya dan sampai
ke telinga, meresap di hati para pendengar. Di senja itu Mush’ab pun terpesona oleh untaian
kalimat Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang tepat menemui sasaran pada kalbunya.

Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru, dan serasa
terbang ia karena gembira. Tetapi Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengulurkan
tangannya yang penuh berkat dan kasih sayang dan mengurut dada pemuda yang sedang
panas bergejolak, hingga tiba-tiba menjadi sebuah lubuk hati yang tenang dan damai, tak
obah bagai lautan yang teduh dan dalam. Pemuda yang telah Islam dan Iman itu nampak
telah memiliki ilmu dan hikmah yang luas – berlipat ganda dari ukuran usianya – dan
mempunyai kepekatan hati yang mampu merubah jalan sejarah.

Memang, Mush’ab bin Umair bukan sembarang lelaki.


Ketika di masa jahiliyyah, ia dikenal sebagai pemuda dambaan kaum wanita. Ia adalah
seorang pemuda ganteng yang dikenal sangat perlente. Bila ia menghadiri sebuah
perkumpulan ia segera menjadi magnet pemikat semua orang terutama kaum wanita.
Gemerlap pakaiannya dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun sesudah
memeluk Islam, ia berubah samasekali. Beginilah gambaran penulis buku yang sama:
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk
sekeliling Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama
menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah
karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal,
padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak
obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang
wangi.

Adapun Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, menatapnya dengan pandangan penuh arti,
disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia
seraya bersabda :

“Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan
dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan
Rasul-Nya.”

Demikianlah, Mush’ab menjadi seorang yang


meninggalkan kebanggan palsu dunia dan menggantikannya dengan kemuliaan hakiki
akhirat. Tidak mengherankan bila akhirnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam
menunjuknya untuk menjadi duta pertama Islam berda’wah di Madinah. Beginilah
gambarannya:

Suatu saat Mush’ab dipilih Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam untuk melakukan suatu
tugas maha penting saat itu. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk
mengajarkan seluk beluk Agama kepada orang – orang Anshar yang telah beriman dan baiat
kepada Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam di bukti Aqabah. Disamping itu mengajak
orang-orang lain untuk menganut agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk
menyambut hijrah Rasul sebagai peristiwa besar.

Sebenarnya di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh
dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush’ab. Tetapi
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang
baik”. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat
penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib
agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tempatan
atau kota hijrah, pusat dari dai dan dakwah, tempat berhimpunnya penyebar Agama dan
pembela al-Islam.

Mush’ab memikul amanat itu dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa fikiran yang
cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil
melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk
Islam.

Sesampainya di Madinah, didapatinya Kaum Muslimin di sana tidak lebih dari dua belas
orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Tetapi tiada sampai
beberapa bulan kemudian, meningkatlah orang yang sama-sama memenuhi panggilan Allah
dan Rasul-Nya.

Pernah ia menghadapi beberapa peristiwa yang


mengancam keselamatan diri serta sahabatnya, yang nyaris celaka kalau tidak karena
kecerdasan akal dan kebesaran jiwanya. Suatu hari, ketika ia sedang memberikan petuah
kepada orang-orang, tiga-tiba disergap Usaid bin Hudlair kepala suku kabilah Abdul Asyhal
di Madinah. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main
marah dan murkanya Usaid, menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan
menyelewengkan anak buahnya dari agama mereka, serta mengemukakan Allah Yang Maha
Esa yang belum pernah mereka kenal dan dengar sebelum itu. Padahal menurut anggapan
Usaid, tuhan-tuhan mereka yang bersimpuh lena di tempatnya masing-masing mudah
dihubungi secara kongkrit. Jika seseorang memerlukan salah satu diantaranya, tentulah ia
akan mengetahui tempatnya dan segera pergi mengunjunginya untuk memaparkan kesulitan
serta menyampaikan permohonan. Demikianlah yang tergambar dan terbayang dalam fikiran
suku Abdul Asyhal. Tetapi Tuhannya Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam – yang
diserukan beribadah kepada-Nya – oleh utusan yang datang kepada mereka itu, tiadalah
yang mengetahui tempat-Nya dan tak seorangpun yang dapat melihat-Nya.

Demi dilihat kedatangan Usaid bin Hudlair yang murka bagaikan api sedang berkobar kepada
orang-orang Islam yang duduk bersama Mush’ab, mereka pun merasa kecut dan takut. Tetapi
“Mush’ab yang baik” tetap tinggal tenang dengan air muka yang tidak berubah.

Bagaikan singa hendak menerkam, Usaid berdiri di depan Mush’ab dan Sa’ad bin Zararah,
bentaknya: “Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi
rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini, jika tak ingin segera nyawa kalian
melayang!”

Seperti tenang dan mantapnya samudera dalam, laksana terang dan damainya cahaya fajar,
terpancarlah ketulusan hati ”Mush’ab yang baik”, dan bergeraklah lidahnya mengeluarkan
ucapan halus, katanya “Kenapa anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Seandainya anda
menyukai nanti, anda dapat menerimanya. Sebaliknya jika tidak, kami akan menghentikan
apa yang tidak anda sukai itu!”
Sebenarnya Usaid seorang berakal dan berfikiran
sehat. Dan sekarang ini ia diajak oleh Mush’ab untuk berbicara dan meminta pertimbangan
kepada hati nurani sendiri. Yang dimintanya hanyalah agar ia bersedia mendengarkan dan
bukan lainnya. Jika ia menyetujui, ia akan membiarkan Mush’ab, dan jika tidak, maka
Mush’ab berjanji akan meninggalkan kampung dan masyrakat mereka untuk mencari tempat
dan masyarakat lain, dengan tidak merugikan ataupun dirugikan orang lain.

“Sekarang saya insaf”, ujar Usaid, lalu menjatuhkan lembingnya ke tanah dan duduk
mendengarkan. Demi Mush’ab membacakan ayat-ayat Al-Quran dan mengajarkan dakwah
yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah shollallahu ’alaih wa sallam, maka dada Usaid
pun mulai terbuka dan bercahaya, beralun berirama mengikuti naik turunnya suara serta
meresapi keindahannya. Dan belum lagi Mush’ab selesai dari uraiannya. Usaidpun berseru
kepadanya dan kepada sahabatnya, ”Alangkah indah dan benarnya ucapan itu! Dan apakah
yang harus dilakukan oleh orang yang hendak masuk Agama ini?” Maka sebagai
jawabannya gemuruhlah suara tahlil, serempak seakan hendak menggoncangkan bumi.
Kemudian ujar Mush’ab, ”Hendaklah ia mensucikan diri, pakaian dan badannya, serta
bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah”

Beberapa lama Usaid meninggalkan mereka, kemudian kembali sambil memeras air dari
rambutnya, lalu ia berdiri sambil menyatakan pengakuannya bahwa tiada Tuhan yang haq
diibadahi melainkan Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.

Secepatnya berita itu pun tersiar. Keislaman Usaid disusul oleh kehadiran Sa’ad bin Mu’adz.
dan setelah mendengarkan uraian Mush’ab, Sa’ad merasa puas dan masuk Islam pula.

Langkah ini disusul pula oleh Sa’ad bin Ubadah. Dan dengan keislaman mereka ini, berarti
selesailah persoalan dengan berbagai suku yang ada di Madinah. Warga kota Madinah saling
berdatangan dan tanya bertanya sesama mereka, “Jika Usaid bin Hudlair, Saad bin ‘Ubadah
dan Sa’ad bin Mu’adz telah masuk Islam, apalagi yang kita tunggu. Ayolah kita pergi kepada
Mush’ab dan beriman bersamanya! Kata orang, kebenaran itu terpancar dari celah-celah
giginya!”

Saudaraku, sungguh kehidupan Mush’ab bin Umair sangat sesuai dengan kehidupan
teladannya Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Rasulullah shollallahu ’alaih wa
sallam digambarkan di dalam Al-Qur’an sebagai seseorang yang berambisi ”menginginkan
keimanan dan keselamatan” atas manusia. Sehingga kesibukan utamanya adalah senantiasa
mengajak manusia untuk mendekat, beriman dan taat kepada Allah.
ٌ ‫سو ٌل ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ُك ْم َع ِز‬
‫يز َعلَ ْي ِه َما َعنِت ْم‬ ُ ‫لَقَدْ َجا َء ُك ْم َر‬

ٌ ‫يص َعلَ ْي ُك ْم ِب ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ُء‬


‫وف َر ِحي ٌم‬ ٌ ‫َح ِر‬

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (QS At-Taubah ayat 128)
Di Mana Bisa Kita Temukan Pemuda
Berkelas Mush’ab Bin Umair Di Zaman
Ini? (1)
https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2014/11/01/32409/di-mana-bisa-kita-
temukan-pemuda-berkalas-mushab-bin-umair-di-zaman-ini-1.html

SUATU ketika pemuda Quraisy Arab memperhatikan gerak-gerik Rasulullah Muhammad


secara diam-diam. Kekagumannya terhadap Islam dan Muhammad membawanya
mengucapkan dua kalimah syahadat tanpa diketahui orangtuanya yang dikenal tokoh
penyembah berhala.

Takdir Allah, suatu hari Usman Thalhah melihatnya sedang mengerjakan shalat, sebagaimana
shalatnya Muhammad dan sahabat-sahabat Nabi lainnya. Kabar ini membuat ibunya marah
besar dan terpaksa harus memenjarakkanya karena dinilai telah melanggar agama para
leluhur mereka.

Pemuda itu adalah Mush’ab bin Umar. Lahir lahir di Makkah dari ayahnya Umair bin
Hisyam bin Abdi Manaf, keluarga bangsawan utama dan konglomerat Quraisy. Ibunya
Khanas binti Malik bin al-Madhrib, wanita kaya-raya di Kota Makkah. Tak ada kafilah yang
datang ke Makkah yang tidak membawa dagangan ke rumahnya. Tidak ada pula kafilah yang
pergi ke Syam (sekarang Suriah) yang tidak membawa dagangan padanya.

Semua fasilitas Mush’ab dicabut semenjak ia memilih bergabung dengan Islam. Ia bahkan
berkali-kali menerima hukuman kurungan dan penjara dari ibunya sendiri agar rela keluar
dari agama Islam.

Mush’ab dikenal sebagai pemuda tampan dan wangi. Tubuhnya tegap, kulitnya lembut.
Senyum manis selalu menghias bibirnya menambah banyak gadis-gadis yang terpaut hati.

Ibnu Sa’ad dalam Kita Thabaqat mengataka, ibu Mush’ab adalah wanita paling kaya dan
paling mewah di zaman itu. Pakaiannya paling indah dan mewangiannya melebihi penduduk
Makkah di zaman itu. Rasulullah pernah bersabda, “Aku tidak melihat Makkah sahabat
paling baik, pakaian paling indah dan kehidupan paling mewah, lebih daripada Mush’ab bin
Umair.”

Mush’ab bin Umair bukan sembarang lelaki. Tak ada wanita Qurasy tak tak mengenal
namanya. Di masa jahiliyyah, ia dikenal sebagai pemuda dambaan kaum wanita. Bila
menghadiri sebuah perkumpulan ia segera menjadi magnet pemikat semua orang terutama
kaum wanita. Gemerlap pakaiannya dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun
sesudah memeluk Islam, ia berubah sama sekali. Ia kini seorang pemuda zuhud dan jauh dari
hiruk-pikuk dunia.

Khalid Muhammad dalam buku “Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah“


menggambarkan Mush’ab sebagai berikut:
“Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama
menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah
karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal,
padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak
obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang
wangi.”

Namun Rasulullah memujinya dengan mengatakan, “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada
yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orangtuanya, kemudian
ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Usai Bai’at Al ‘Aqabah, Rasulullah menugasinya pergi ke Madinah untuk berdakwah. Saat
itu, di Madinah hanya ada 12 orang yang memeluk Islam, sisanya masih pemuja patung dan
penyembah berhala. Namun belum genap setahun, pemeluk Islam di Madinah telah
berkembang menjadi 70 orang. Bahkan dalam kurung waktu itu, Mush’ab berhasil
mengislamkan beberapa tokoh Anshar, seper ti Sa’ad bin Mu’adz (pemimpin Suku Aus),
Sa’ad bin Ubada (pemimpin suku Khazraj) dan Usaid bin Khudhair (putra pemuka suku Aus
sebelum Sa’ad bin Mu’adz).

Sejarah mencatat, Mush’ab adalah duta dai pertama Islam di Kota Madinah (dulu bernama
Yastrib) untuk berdakwah di kaum Anshar sebelum Nabi Muhammad Hijrah ke kota itu.
Hasil dakwahnya terlihat nyata, bahkan ketika Rasulullah memutuskan berhijrah ke Madinah,
kota itu telah menjadi “Islam” dan siap menyambut kedatangan Rasulullah.

“Di setiap kampung-kampung di kota Madinah pasti ada penduduknya yang telah memeluk
agama Islam walaupun hanya satu orang sehingga dapat dikatakan, bahwa tidak ada satu
kampungpun di Madinah yang tida ada ruh Islamnya”, (KH. Moenawar Chalil dalam
Kelengkapan Tarikh, edisi Istimewa Jilid 2).*/AU Shalahuddin, bersambung… “Pengibar
Panji Islam yang Namanya Diabadikan Al-Quran..”
Mush'ab bin Umair Syahid Pertahankan
Panji Islam
http://www.republika.co.id/berita/ramadhan/sirah-sahabat/13/07/16/mq1aa0-mushab-bin-
umair-syahid-pertahankan-panji-islam

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam Perang Uhud, Mush'ab bin Umair adalah salah seorang
pahlawan dan pembawa bendera perang. Ketika situasi mulai gawat karena kaum Muslimin
melupakan perintah Nabi, maka ia mengacungkan bendera setinggi-tingginya dan bertakbir
sekeras-kerasnya, lalu maju menyerang musuh.

Targetnya, untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan Rasulullah SAW.
Dengan demikian ia membentuk barisan tentara dengan dirinya sendiri.

Tiba-tiba datang musuh bernama Ibnu Qumaiah dengan menunggang kuda, lalu menebas
tangan Mush'ab hingga putus, sementara Mush'ab meneriakkan, "Muhammad itu tiada lain
hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."

Maka Mush'ab memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk


melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula.

Mush'ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke
dada sambil berucap, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya
telah didahului oleh beberapa Rasul."

Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya
hingga tombak itu pun patah. Mush'ab pun gugur, dan bendera jatuh. Ia gugur sebagai
bintang dan mahkota para syuhada.

Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan
perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush'ab,
bercucuranlah dengan deras air matanya.

Tak sehelai pun kain untuk menutupi jasadnya selain sehelai burdah. Andai ditaruh di atas
kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan di kakinya,
terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Tutupkanlah ke bagian kepalanya,
dan kakinya tutuplah dengan rumput idzkhir!"

Kemudian sambil memandangi burdah yang digunakan untuk kain penutup itu, Rasulullah
berkata, "Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan
lebih rapi rambutnya daripadanya. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai,
hanya dibalut sehelai burdah."

Setelah melayangkan pandang, ke arah medan laga serta para syuhada, kawan-kawan
Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru, "Sungguh, Rasulullah akan menjadi
saksi nanti di hari kiamat, bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah!"
Kisah Sahabat Nabi: Mush'ab bin Umair,
Duta Islam yang Pertama
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/08/23/lqdi5w-kisah-sahabat-nabi-
mushab-bin-umair-duta-islam-yang-pertama

REPUBLIKA.CO.ID, Mush'ab bin Umair salah seorang diantara para sahabat Nabi. Ia
seorang remaja Quraisy terkemuka, gagah dan tampan, penuh dengan jiwa dan semangat
kemudaan. Para ahli sejarah melukiskan semangat kemudaannya dengan kalimat: "Seorang
warga kota Makkah yang mempunyai nama paling harum."

Mush'ab lahir dan dibesarkan dalam kesenangan, dan tumbuh dalam lingkungannya.
Mungkin tak seorang pun di antara anak-anak muda Makkah yang beruntung dimanjakan
oleh kedua orang tuanya sebagaimana yang dialami Mush'ab bin Umair.

Mungkinkah kiranya anak muda yang serba kecukupan, biasa hidup mewah dan manja,
menjadi buah-bibir gadis-gadis Makkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan,
akan meningkat menjadi tamsil dalam semangat kepahlawanan?

Suatu hari, anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga
Makkah mengenai Muhammad Al-Amin, yang mengatakan dirinya telah diutus Allah sebagai
pembawa berita suka maupun duka, sebagai dai yang mengajak umat beribadah kepada Allah
Yang Maha Esa.

Di antara berita yang didengarnya ialah bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa
mengadakan pertemuan di suatu tempat yang terhindar jauh dari gangguan gerombolan
Quraisy dan ancaman-ancamannya, yaitu di bukit Shafa di rumah Arqam bin Abil Arqam.

Maka pada suatu senja, didorong oleh kerinduannya, pergilah ia ke rumah Arqam menyertai
rombongan itu. Di tempat itu Rasulullah SAW sering berkumpul dengan para sahabatnya,
mengajarkan mereka ayat-ayat Alquran dan mengajak mereka beribadah kepada Allah Yang
Maha Akbar.

Baru saja Mush'ab mengambil tempat duduknya, ayat-ayat Alqur'an mulai mengalir dari
kalbu Rasulullah bergema melalui kedua bibirnya dan sampai ke telinga, meresap di hati para
pendengar. Di senja itu Mush'ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah yang tepat
menemui sasaran di kalbunya.

Khunas binti Malik yakni ibunda Mush'ab, adalah seorang yang berkepribadian kuat dan
pendiriannya tak dapat ditawar atau diganggu gugat, Ia wanita yang disegani bahkan ditakuti.
Ketika Mush'ab memeluk Islam, tiada satu kekuatan pun yang ditakuti dan dikhawatirkannya
selain ibunya sendiri.

Bahkan walau seluruh penduduk Makkah beserta berhala-berhala para pembesar dan padang
pasirnya berubah rupa menjadi suatu kekuatan yang menakutkan yang hendak menyerang
dan menghancurkannya, tentulah Mush'ab akan menganggapnya enteng. Tapi tantangan dari
ibunya, bagi Mush'ab tidak dapat dianggap kecil. Ia pun segera berpikir keras dan mengambil
keputusan untuk menyembunyikan keislamannya sampai terjadi sesuatu yang dikehendaki
Allah.

Demikianlah ia senantiasa bolak-balik ke rumah Arqam menghadiri majelis Rasulullah,


sedang hatinya merasa bahagia dengan keimanan dan sedia menebusnya dengan amarah
murka ibunya yang belum mengetahui berita keislamannya.

Tetapi di kota Makkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana seperti itu.
Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri
setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Utsman bin Thalhah melihat Mush'ab
memasuki rumah Arqam secara sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia
shalat seperti Muhammad SAW. Secepat kilat ia mendapatkan ibu Mush'ab dan melaporkan
berita yang dijamin kebenarannya.

Berdirilah Mush'ab di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Makkah yang
berkumpul di rumahnya. Dengan hati yang yakin dan pasti dibacakannya ayat-ayat Alquran
yang disampaikan Rasulullah untuk mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah
dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.

Ketika sang ibu hendak membungkam mulut putranya dengan tamparan keras, tiba-tiba
tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai, ketika melihat cahaya yang
membuat wajah putranya berseri cemerlang itu kian berwibawa. Karena rasa keibuannya,
ibunda Mush'ab tak jadi menyakiti putranya. Dibawalah puteranya itu ke suatu tempat
terpencil di rumahnya, lalu dikurung dan dipenjarakannya dengan rapat.

Demikianlah beberapa lama Mush'ab tinggal dalam kurungan sampai saat beberapa orang
Muslimin hijrah ke Habasyah. Mendengar berita hijrah ini Mush'ab pun mencari muslihat,
dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habasyah melindungkan
diri. Ia tinggal di sana bersama saudara-saudaranya kaum Muslimin, lalu pulang ke Makkah.
Kemudian ia pergi lagi hijrah kedua kalinya bersama para sahabat atas titah Rasulullah dan
karena taat kepadanya.

Pada Suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang Muslimin yang sedang duduk sekeliling
Rasulullah SAW. Demi memandang Mush'ab, mereka menundukkan kepala dan
memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat
Mush'ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal, padahal belum lagi hilang dari
ingatan mereka—pakaiannya sebelum masuk Islam—tak ubahnya bagaikan kembang di
taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi.

Adapun Rasulullah, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan
syukur dalam hati. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia, seraya berkata,
"Dahulu aku lihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan
dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan
Rasul-Nya."

Suatu saat Mush'ab dipilih Rasulullah untuk melakukan suatu tugas maha penting saat itu. Ia
menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan agama Islam kepada orang-
orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasulullah di bukit Aqabah. Di
samping itu, ia juga mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijrah Rasulullah
sebagai peristiwa besar.
Sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh
dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah daripada Mush'ab. Tetapi
Rasulullah menjatuhkan pilihannya kepada Mush'ab. Dan bukan tidak menyadari sepenuhnya
bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu dan
menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah.

Mush'ab memikul amant itu dengan bekal karunia Allah kepadanya, berupa pikiran yang
cerdas dan budi yang luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran dan kesungguhan hati, ia berhasil
melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk
Islam. Ketika tiba di Madinah pertama kali, ia mendapati kaum Muslimin tidak lebih dari dua
belas orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit Aqabah. Namun beberapa
bulan kemudian, meningkatlah jumlah orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan
Rasul-Nya.

Mush'ab memahami tugas dengan sepenuhnya, hingga tak terlanjur melampaui batas yang
telah diterapkan. Ia sadar bahwa tugasnya adalah menyeru kepada Allah, menyampaikan
berita gembira lahirnya suatu agama yang mengajak manusia mencapai hidayah Allah,
membimbing mereka ke jalan yang lurus. Akhlaknya mengikuti pola hidup Rasulullah SAW
yang diimaninya yang mengemban kewajiban hanya menyampaikan belaka. Demikianlah
duta Rasulullah yang pertama itu telah mencapai hasil gemilang yang tiada taranya, suatu
keberhasilan yang memang wajar dan layak diperolehnya.

Dalam Perang Uhud, Mush'ab bin Umair adalah salah seorang pahlawan dan pembawa
bendera perang. Ketika situasi mulai gawat karena kaum Muslimin melupakan perintah Nabi,
maka ia mengacungkan bendera setinggi-tingginya dan bertakbir sekeras-kerasnya, lalu maju
menyerang musuh. Targetnya, untuk menarik perhatian musuh kepadanya dan melupakan
Rasulullah SAW. Dengan demikian ia membentuk barisan tentara dengan dirinya sendiri.

Tiba-tiba datang musuh bernama Ibnu Qumaiah dengan menunggang kuda, lalu menebas
tangan Mush'ab hingga putus, sementara Mush'ab meneriakkan, "Muhammad itu tiada lain
hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul."

Maka Mush'ab memegang bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk


melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush'ab
membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil
berucap, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului
oleh beberapa Rasul."

Lalu orang berkuda itu menyerangnya ketiga kali dengan tombak, dan menusukkannya
hingga tombak itu pun patah. Mush'ab pun gugur, dan bendera jatuh. Ia gugur sebagai
bintang dan mahkota para syuhada.

Rasulullah bersama para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk menyampaikan
perpisahan kepada para syuhada. Ketika sampai di tempat terbaringnya jasad Mush'ab,
bercucuranlah dengan deras air matanya.

Tak sehelai pun kain untuk menutupi jasadnya selain sehelai burdah. Andai ditaruh di atas
kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan di kakinya,
terbukalah kepalanya. Maka Rasulullah SAW bersabda, "Tutupkanlah ke bagian kepalanya,
dan kakinya tutuplah dengan rumput idzkhir!"
Kemudian sambil memandangi burdah yang digunakan untuk kain penutup itu, Rasulullah
berkata, "Ketika di Makkah dulu, tak seorang pun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan
lebih rapi rambutnya daripadanya. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai,
hanya dibalut sehelai burdah."

Setelah melayangkan pandang, ke arah medan laga serta para syuhada, kawan-kawan
Mush'ab yang tergeletak di atasnya, Rasulullah berseru, "Sungguh, Rasulullah akan menjadi
saksi nanti di hari kiamat, bahwa kalian semua adalah syuhada di sisi Allah!"

Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, Rasulullah bersabda, "Hai
manusia, berziarahlah dan berkunjunglah kepada mereka, serta ucapkanlah salam! Demi
Allah yang menguasai nyawaku, tak seorang Muslim pun sampai hari kiamat yang memberi
salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya."

Você também pode gostar