Você está na página 1de 13

Analisis Pengukuran Asset Biologis Menggunakan Nilai Wajar Atau Biaya

Perolehan Pada Penerapan PSAK (Peraturan Standart Akuntansi


Keuangan) Yang Mengadopsi IFRS (International Financial Reporting
Standards)

Tugas Ujian Akhir Semester


TEORI AKUNTANSI

Disusun oleh

Sheila Alifanny
160810301270

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2018
Statement of Authorship

“Saya/kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa


makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak
ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk
makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas
bahwa saya/kami menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat
diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya
plagiarisme”
Nama :Sheila Alifanny

NIM :17081030127

Tandatangan :

Mata Kuliah : TeoriAkuntansi

Judul :Analisis Pengukuran Asset Biologis Menggunakan


Nilai Wajar Atau Biaya Perolehan Pada Penerapan
PSAK (Peraturan Standart Akuntansi Keuangan)
Yang Mengadopsi IFRS (International Financial
Reporting Standards)
Tanggal :27 Juni2018

Dosen : Dr. Yosefa Sayekti,S.E,M.Com,Ak.


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Melihat fakta yang ada bahwa sebagian besar mata pencarian penduduk
Indonesia berasal dari sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai
salah satu pilar besar perekonomian Indonesia, itulah mengapa negara kita disebut
sebagai negara agraris. Karena memang memiliki wilayah yang sangat potensial
untuk mengembangkan usaha di sektor pertanian. Sektor pertanian mempunyai
peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional.
Sektor agrikultur merupakan bagian penting dalam kegiatan perekonomian
Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari data Departemen Pertanian yang
menyebutkan bahwa pemanfaatan lahan agrikultur di Indonesia setiap tahunnya
mengalami peningkatan, baik untuk aktivitas pertanian maupun perkebunan.
Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan signifikan bagi perekonomian
Indonesia. Sektor pertanian menyerap 35.9% dari total angkatan kerja di Indonesia
dan menyumbang 14.7% bagi GNP Indonesia (BPS, 2012).
Salah satu bentuk informasi dalam bidang ekonomi adalah laporan
keuangan. Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi
keuangan utama kepada pihak-pihak di luar korporasi. Laporan ini menampilkan
sejarah perusahaan yang dikuantifikasi dalam nilai moneter (Kieso; 2002). Laporan
keuangan memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja keuangan, dan
perubahan posisi keuangan.
Kerangka konseptual Standar Akuntansi Keuangan (SAK) laporan
keuangan bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi
keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang
bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Penyusunan laporan keuangan harus dapat memberikan informasi yang benar bagi
para pemakainya, efek dari kesalahan dan penyimpangan dari informasi yang
tidak benar sangat fatal karena pengguna informasi dapat mengambil keputusan
yang menyesatkan.
Bedasarkan kerangka konseptual Standart Akuntansi Keuangan (SAK),
informasi yang berguna bagi pemakainya adalah informasi yang memiliki empat
karateristik kualitatif pokok, yaitu dapat dipahami, relevan, andal, dan dapat
diperbandingkan. Agar informasi yang diperoleh dari laporan keuangan dapat
diandalkan, maka lapora tersebut harus cukup terbebas dari kesalahan dan
penyimpangan, baik yang berhubungan dengan pengakuan, pengukuran, penyajian
maupun pengungkapannya.
Perlakuan akuntansi berbeda-beda bagi setiap elemen laporan keuangan,
perlakuan akuntansi juga berbeda bagi beberapa bidang usaha tertentu yang
memiliki karakteristik khusus bila dibandingkan dengan bidang usaha yang
umum. Pada perusahaan yang bergerak dalam industry pertanian terdapat
perbedaan dalam hal asset yang miliki.
Pada dasarnya, asset digolongkan menjadi dua jenis yaitu aset lancar dan
aset tetap (aset tidak lancar). Definisi aset menurut Weygant, et all (2007:11-
12),“Aset adalah sumber penghasilan atas usahanya sendiri; dimana karakteristik
umum yang dimilikinya yaitu memberikan jasa atau manfaat di masayang akan
datang”. Sedangkan asset tetap dibagi menjadi dua macam yaitu asset tetap
berwujud dan asset tetap tidak berwujud. Mackenzie (2012) mendefinisikan
tangible asset (asset berwujud) yang diharapkan akan digunakan selama lebih dari
satu periode, atau disimpan untuk digunakan dalam proses produksi barang/jasa
yang akan dijual, atau untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan
administrative, dapat juga disebut sebagai fixed assets (aset tetap). PSAK No 19
Paragraf 08 mendefinisikan aset tidak berwujud (intangible asset) adalah aset
nonmoneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta
dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau
jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif.
Elemen dari laporan keuangan adalah aset. Aset merupakan aset yang
mempunyai manfaat ekonomi di masa datang yang cukup pasti, dikuasai oleh
entitas dan timbul akibat transaksi atau kejadian-kejadian masa lalu. Aset
mencerminkan kekayaan baik berwujud maupun tak berwujud yang berharga atau
bernilai pada sebuah perusahaan. Aset pada perusahaan terdiri dari aset lancar,
aset tetap, dan aset berwujud.
Jenis perusahaan yang beranekaragam memunculkan pula berbagai
kategori aset yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Sebagai
perbandingan, aset yang dimiliki perusahaan manufaktur tidak akan sama jenisnya
dengan aset yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan karena operasional yang
dilakukan kedua jenis perusahaan tersebut tidaklah sama. Perusahaan manufaktur
akan memiliki asset-aset berupa mesin-mesin produksi maupun persediaan barang
dalam proses. Sedangkan perusahaan perkebunan akan memunculkan tanaman-
tanaman perkebunan maupun hasil perkebunan sebagai aset dalam neracanya.
Pada industry pertanian ini informasi akuntansi yang disajikakan dalam
laporan keuangan berkenaan dengan asset biologis dan sector agrikultur ini
memiliki suatu asset yang berkarateristik serta terdapat keunikan yaitu: Kenaikan
aset tersebut harus melalui proses pertumbuhan dan pendapatan dikaitkan dengan
pertumbuhan aset atau pada saat penjualan, dan berbeda dari asset industi laiinya.
Dalam hal pengakuan menggunakan nilai wajar atau biaya perolehan pada
penerapan PSAK (peraturan standart akuntansi keuangan) yang mengadopsi IFRS
(International Financial Reporting Standards), yang merupakan standart
internasional yang sekarang menjadi pedoman dalam melakukan perlakuan
akuntansi asset yang ada pada industry pertanian yaitu asset biologis.
Para pengusaha perusahaan agrikultur dituntut untuk memiliki sistem
perhitungan dan penialaian tersendiri, agar data-data yang berupa aset tersebut
dapat dinilai dengan andal serta berguna jika nantinya perusahaan tersebut
memerlukan adanya investasi untuk mendorong daya produksi perusahaan.
Berdasarkan hal tersebut, maka perusahaan harus melaporkan kinerjanya dalam
suatu laporan keuangan yang comparable dengan perusahaan lain, dengan
menggunakan pedoman berlandaskan PSAK dan IFRS.
Aset biologis akan terus mengalami perubahan, mereka akan terus
mengalami pertumbuhan (bertambahnya kualitas atau peningkatan kuantitas),
penurunan kualitas atau kuantitas (degenerasi), menciptakan tumbuhan baru
(prokreasi), dan menghasilkan produk perkebunan (produksi). Akibatnya terjadi
perubahan kuantitatif dan kualitatif pada aset biologis, perubahan seperti
ini dikenal juga sebagai tranformasi biologis (IAS 41:7).
Selain itu pertumbuhan aset biologis tersebut dipengaruhi kombinasi
beberapa faktor yang berada di luar kendali manajemen, serta untuk hasil
produksi dari aset biologis tersebut juga bersifat mekanistik karena banyak faktor
yang mempengaruhinya. Aset biologis itu sendiri masih dapat disebut aset
biologis selama hewan atau tumbuhan hidup tersebut masih tumbuh dan
berkembang, tetapi apabila aset tersebut berbuah, bertelur atau diterminasi
(ditebang, dimanfaatkan sampai habis), maka penyebutan tersebut berubah
menjadi hasil pertanian atau produk pertanian (Martani, 2011).
Aset biologis memiliki karakteristik yang unik pada perusahaan industri
perkebunan. Akibat dari karakteristik unik dan berbeda inilah. Maka perusahaan
yang bergerak dalam bidang agriculture memiliki kemungkinan untuk menyajikan
informasi secara bias bila dibandingkan dengan perusahaan yang bergerak dalam
bidang lainnya (Ridwan,2011:3). Aset biologis merupakan jenis aset yang berupa
tanaman dan hewan hidup, aset biologis terus mengalami perubahan. Aset biologis
ini mengalami pertumbuhan serta kemerosotan hingga menghasilkan. Akibat
perubahan kuantitatif dan kualitatif terjadi pada aset biologis (Nuraini,2012:3).
Klasifikasi Aset Biologis, transformasi biologis (biological transformation)
terdiri dari proses pertumbuhan, degenerasi, produksi, dan prokreasi yang
mengakibatkan perubahan kualitatif atau kuantitatif aset biologis. Tanaman
produktif (bearer plant) adalah tanaman hidup yang:

a. Digunakan dalam produksi atau penyediaan produk agrikultur;


b. Diharapkan untuk menghasilkan produk untuk jangka waktu lebih dari satu
periode; dan
c. memiliki kemungkinan yang sangat jarang untuk dijual sebagai produk
agrikultur, kecuali untuk penjualan sisa yang insidental (incidental scrap).

Berikut ini bukan merupakan tanaman produktif (bearer plants):

a. Tanaman yang dibudidayakan untuk dipanen sebagai produk agrikultur


(sebagai contoh, pohon yang ditanam untuk digunakan sebagai potongan
kayu);
b. Tanaman yang dibudidayakan untuk menghasilkan produk agrikultur ketika
terdapat kemungkinan yang sangat jarang bahwa entitas juga akan memanen
dan menjual tanaman tersebut sebagai produk agrikultur, selain sebagai
penjualan sisa insidental (sebagai contoh, pohon yang dibudidayakan baik
untuk buahnya maupun potongan kayu);
c. Tanaman semusim (annual crops) (sebagai contoh, jagung dan gandum).
Ketika tanaman produktif tidak lagi digunakan untuk menghasilkan produk
agrikultur, tanaman tersebut dapat ditebang dan dijual sebagai sisa, sebagai
contoh, untuk digunakan sebagai kayu bakar. Penjualan sisa insidental
tersebut tidak akan menghalangi tanaman tersebut dari pemenuhan defi nisi
tanaman produktif (bearer plants).

Standar Akuntansi Internasional 41 (IAS 41) mendefinisikan aset biologis


sebagai “hewan yang hidup atau tanaman”. Akuntansi dan keuangan praktek
pelaporan mengkategorikan banyak aset seperti properti, mesin, peralatan,
bangunan, dan aset lainnya. “Aset biologis” adalah salah satu kategori aset. Aset
biologis termasuk tanaman dan hewan. Contoh-contoh umum dari aset biologis
termasuk binatang seperti kambing, domba, sapi, kerbau, sapi, dan ikan. Aset
biologis termasuk tanaman seperti sayuran, tanaman, kebun-kebun anggur, pohon,
dan kebun buah-buahan. Aset biologis terus mengalami perubahan. Mereka
tumbuh, merosot, dan menghasilkan. Akibatnya perubahan kuantitatif atau
kualitatif terjadi pada sifat aset biologis.

Dapat dikatakan Aset biologis adalah aset yang unik, karena mengalami
transformasi pertumbuhan bahkan setelah aset biologis menghasilkan sebuah
output. Transformasi yang terjadi pada aset biologis terdiri dari proses
pertumbuhan, degenerasi, produksi dan prokreasi yang dapat menyebabkan
berbagai perubahan secara kualitatif dan kuantitatif dalam kehidupan aset yang
berupa tumbuhan atau hewan tersebut. Aset biologis dapat menghasilkan aset baru
yang terwujud dalam agricultural produce atau berupa tambahan aset biologis
dalam kelas yang sama. Adanya transformasi biologis pada aset biologis, maka
diperlukan pengukuran yang dapat menunjukkan nilai dari aset tersebut secara
wajar sesuai dengan kesepakatan dan kontribusinya dalam menghasilkan aliran
keuntungan yang ekonomis bagi perusahaan.

Menurut IAS 41 aset biologis harus diakui dalam neraca apabila memenuhi
kriteria berikut ini terpenuhi: Bisnis mengontrol aset biologis karena peristiwa masa
lalu ini adalah kemungkinan bahwa bisnis akan mendapatkan manfaat ekonomis
masa depan dari mereka. Nilai wajar atau biaya aset biologis dapat diukur secara
andal IAS 41 mensyaratkan bahwa aset biologis harus diakui sebesar nilai wajarnya
dikurangi titik potongan biaya. Metode ini harus digunakan bila awalnya mengukur
aset biologis dan kemudian pada tanggal neraca setiap neraca. Produksi pertanian
juga harus mengukur dengan menggunakan metode di atas. Produk pertanian harus
diukur pada saat panen.

Entitas yang memiliki aset biologis dapat mengakui aset biologis maupun
produk pertaniannya ketika dan hanya ketika entitas tersebut memegang kontrol
atas aset tersebut sebagai akibat dari kejadian masa lalu, kemungkinan akan
mendapatkan keuntungan ekonomis di masa depan yang terkait dengan aset, serta
nilai wajar atau biaya atas aset dapat diukur secara handal. Produk pertanian yang
dihasilkan dari panen aset biologis dapat diukur pada nilai wajarnya dikurangi
estimasi point-of-sale costs saat panen.

Asset biologis sendiri hanya dapat diakui hanya jika perusahaan


mengendalikan aset biologis tersebut sebagai hasil dari tranksaksi masa lalu yang
memungkinkan untuk memperoleh hasilnya di masa depan yang akan mengalir ke
dalam perusahaan dan mempunyai nilai wajar atau biaya aset dapat diukur secara
andal. Dalam aktivitas agrikultur sendiri, pengendalian dapat dibuktikan dengan
kepemilikannya terhadap aset biologis itu sendiri. Terdapat asumsi bahwa nilai
wajar dari aset biologis dapat diukur secara andal, namun asumsi tersebut dapat
dibantah hanya pada saat pengakuan awal aset biologis yang harga kuotasi pasarnya
tidak tersedia dan yang alternatif pengukuran nilai wajarnya secara jelas tidak dapat
diandalkan. Dalam laporan keuangan aset biologis dapat diakui sebagai:
a. Asset lancar, jika masa manfaat kurang dari atau sampai dengan satu
tahun
b. Asset tidak lancar, jika masa manfaat lebih dari satu tahun
Penilaian dengan menggunakan nilai wajar harus mempertimbangkan
keseimbangan antara manfaat dan biayanya. Kemudahan (simplicity) dalam
perhitungan merupakan keuntungan utama dalam menerapkan nilai wajar
dibandingkan penggunaan nilai historis. Tetapi sampai saat ini belum ada
kesepakatan dalam literatur-literatur sebelumnya dalam hal apakah terjadi
volatilitas yang abnormal dalam pendapatan dan laba, relevansi nilai, perataan
pendapatan (income smoothing) serta terjadi peningkatan atau penurunan
profitabilitas akibat penerapan nilai wajar. Yulia Rahmi (2011) Nilai wajar
didefinisikan dalam IFRS sebagai, “the amount for which an asset could be
exchanged between knowledgeable, willing parties in an arm’s length transaction.”
Fair value dinilai sebagai konsep yang paling sesuai dan relevan untuk penyusunan
laporan keuangan sebuah perusahaan atau entitas bisnis sebab bisa menggambarkan
nilai pasar yang sebenarnya terjadi

IAS (International Accounting Standard) No. 41 membawa perdebatan-


perdebatan ini ke dalam ruang lingkup akuntansi agrikultur. Banyak pihak
yang bersikap kritis terhadap persyaratan penerapan nilai wajar terhadap aset
biologis. Bermunculan perdebadatan yang berkaitan dengan nilai wajar atau biaya
perolehan seperti pada beberapa pendapat dari para pemuka akuntansi. Perdebatan
yang belum terselesaikan juga masih muncul dalam dunia akademis tentang value
relevance dari penerapan nilai wajar ini. Saat ini Dewan Standar Akuntansi
Keuangan (DSAK) sedang dalam proses mengadopsi IAS 41 tentang Akuntansi
Agrikultur kedalam PSAK. Argiles & Soft (2001) dapat menerima pengukuran
menggunakan nilai wajar untuk aset biologis karena hal tersebut menghindari
kompleksitas dalam menghitung biaya. Hal ini dikarenakan banyak pertanian-
pertanian keluarga di negara-negara barat terutama di Uni Eropa, yang tidak
memiliki sumber daya dan kemampuan untuk melaksanakan prosedur- prosedur
dan perhitungan akuntansi. Sifat industri pertanian membuat perhitungan
berdasarkan nilai historis untuk aset biologis menjadi sulit karena aset mengalami
proses kelahiran, perkembangan, kematian, demikian pula kerumitan dalam hal
alokasi biaya bersama (joint costs).
Alokasi biaya tidak langsung juga merupakan salah satu sumber lain
kompleksitas perhitungan biaya di pertanian. Kroll (1987) menyatakan bahwa
kompleksitas dalam penilaian aset dengan menggunakan nilai historis
merupakan suatu halangan utama dalam penilaian dengan basis nilai historis.
Penttinen et al. (2004) menyatakan ba hwa penerapan nilai wajar akan
menyebabkan fluktuasi yang tidak realistis pada laba bersih perusahaan-
perusahaan kehutanan.
(Rianto, 2012:4), menunjukan bahwa terdapat perbedaan angka yang
dihasilkan dengan pengukuran yang dilakukan oleh perusahaan yaitu adanya selisih
dianggap sebagai penurunan nilai akibat perubahaan fair value IAS 41 mengatur
bahwa setiap penurunan nilai akibat perubahan fair value, harus diakui sebagai
kerugian di laporan laba rugi komprehensif pada periode terjadinya.
(Kurniasari,2015: 14) menyatakan terdapat perbedaan dalam hal perlakuan untuk
pengakuan, pengukuran, dan penyajian. Perbedaan terletak dari segi pengakuan dan
pengukuran yaitu pada metodenya yang menggunakan metode biaya atau sebesar
biaya perolehan untuk mnegukur aset biologisnya sedangkan pengukuran aset
biologis menurut IAS 41 yaitu menggunakan nilai wajar dikurangi biaya untuk
menjual.
Pembahasan ini bermaksud untuk menyediakan bukti empiris pengukuran
aset biologis menggunakan nilai wajar dalam ruang lingkup industri agrikultur,
dengan menggunakan sampel perusahaan-perusahaan agrikultur yang
menggunakan nilai wajar dalam perhitungan aset biologis. Tetapi sampai saat ini
belum ada kesepakatan dalam literatur-literatur sebelumnya dalam hal apakah
terjadi peningkatan atau penurunan profitabilitas akibat penerapan nilai wajar.
Serta berdasarkan dari banyaknya pendapat yang berselisih mengenai
penggunaan nilai wajar dengan penerapan PSAK (peraturan standart akuntansi
keuangan) yang mengadopsi IFRS (International Financial Reporting Standards).
Pada penulisan ini akan mengevaluasi perlakuan akuntansi terutama mengenai
pengukuran asset biologis menggunakan nilai wajar atau biaya perolehan pada
penerapan PSAK (peraturan standart akuntansi keuangan) yang mengadopsi IFRS
(international financial reporting standards), karena banyak pendapat yang
bersimpangan dan tidak menemukan titik temu, haruskah menggunakan nilai
wajar atau menggunakan cara lain dalam pengukuran asset biologis pada bidang
pertanian atau agrikultur. Penulis mengabil judul “Evaluasi Pengukuran Asset
Biologis Menggunakan Nilai Wajar Atau Biaya Perolehan Pada Penerapan
PSAK (Peraturan Standart Akuntansi Keuangan) Yang Mengadopsi IFRS
(International Financial Reporting Standards)”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana pengukuran asset biologis menggunakan nilai wajar atau
biaya perolehan pada penerapan PSAK (peraturan standart akuntansi
keuangan) yang mengadopsi IFRS (international financial reporting
standards)?
b. Apakah ada asumsi lain tentang standart dalam pengukuran asset
biologis?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dilaksanakannya pembahasan ini guna untuk:
a. Mengetahui cara pengukuran asset biologis menggunakan nilai wajar atau
biaya perolehan pada penerapan PSAK (peraturan standart akuntansi
keuangan) yang mengadopsi IFRS (international financial reporting
standards)
b. Mengetahui adakah asumsi lain mengenai pengukuran asset biologi?

1.4 Manfaat
Manfaat dilakukan pembahasan kembali atau mengevaluasi tentang
pengukuran asset biologis yang menggunakan nilai wajar dan biaya perolehan pada
penerapan PSAK (peraturan standart akuntansi keuangan) yang mengadopsi IFRS
(international financial reporting standards), yaitu agar dapat menemukan hasil
dari perdebatan yang selama ini saling berselisih paham mengenai penggunaan
nilai wajar. Serta dapat memperoleh wawasan luas mengenai penerapan PSAK
(peraturan standart akuntansi keuangan) yang mengadopsi IFRS (international
financial reporting standards) mengenai asset biologis. Sesuai dengan standart
yang berada di luar negeri yang sama dengan standart yang dipakai di Indonesia
apakah dapat diterapkan di Indonesia mengenai pengukuran asset biologi.
Daftar Pustaka

https://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/3888/Bab
%202.pdf?sequence=7

ELA Tyas, N Fachriyah- Malang: Universitas Brawijaya, 2012 - academia.edu

Você também pode gostar