Você está na página 1de 2

a k a l

Catatan Pinggir Tempo, 6 Mei 2018

Benarkah akal lebih baik ketimbang okol? Dalam petuah Jawa, itulah yang sering
dikatakan: akal umumnya diartikan sebagai nalar, okol kekuatan kasar. Sebaiknya,
demikian dinasihatkan, kita gunakan nalar dalam beradu pendapat, jangan dengan
gertak dan kekerasan. Melalui nalar, orang akan bisa diyakinkan dan akan menerima
posisi kita bukan karena ketakutan.

Tapi perlu ada catatan: "akal" tak niscaya sama dengan "nalar". Tak jarang "akal"
mengacu kepada kecerdikan. "Akal-akalan" adalah kata yang menyiratkan kepintaran
memperdaya.

Mungkin sebab itu lebih baik kita bedakan "akal" dengan "akal budi", kata lain buat
nalar, yang dalam bahasa Inggris disebut reason: kapasitas membentuk makna secara
sadar dari gejala yang tampak, mempertegas fakta dan mengujinya, menggunakan
logika, dan menjelaskan dan mengoreksi cara bekerja, kebiasaan, atau keyakinan. Kata
"budi" mengandung sisi ethis: kemampuan kita memakai nalar juga kemampuan kita
membedakan mana yang baik dan mana yang keji, dan memilih yang pertama.

Sisi ethis akal budi ini yang membuat nalar bukan satu kemampuan yang unggul
tersendiri, terlepas dari totalitas diri manusia. Dalam kitab Wulangrèh, misalnya, melatih
kemampuan nalar bertautan dengan melatih "kalbu", hati nurani, dan jasmani:

Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan
néndra, kaprawiran den kaèsthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan
guling.

(Biasakanlah engkau melatih kalbu, agar tajam dan cerdas menangkap


tanda dan gejala. Jangan hanya makan-minum. Bersikap perwira adalah
menggembleng tubuh; kurangilah makan dan tidur.)

Tampak, bagi Wulangrèh, membiasakan diri sepenuhnya dalam kenikmatan jasmani


bertentangan dengan melatih kecerdasan dan mempraktikkan kearifan.

Ini agaknya ajaran yang beredar dari masa ke masa: hanya memanjakan tubuh akan
membuat kita abai dan lemah pikir. Yang paling menarik di abad ke-4 sebelum Masehi,
di Yunani Kuno: Sokrates, penganjur rasionalitas dalam hidup dan politik mengecam
kenikmatan-dan menarik: ia menentang retorika.

Retorika, baginya, cuma enak didengarkan: bisa merayu orang sedemikian rupa hingga
jauh dari susah payah mencapai kebenaran dan keadilan. Kepintaran dalam retorika
(dalam Wulangrèh disebut "sugihwuwus") bisa membuat orang terlena dan berhenti
menggunakan nalar. Seorang orator, dengan retorikanya, "tak perlu mengetahui
kebenaran", demikian Sokrates dikutip dalam Gorgias. Yang dibutuhkan hanya
"menemukan cara membujuk". Retorika, bagi Sokrates, hanya seperti membuat
masakan atau mempercantik diri. Ia bukan kiat (tèchne), melainkan cuma keterampilan
yang tumbuh karena pengalaman, empereia. Tak ada hubungannya dengan nalar, tak
pula memenuhi kebutuhan akal budi.

Sokrates-yang tak menyukai demokrasi-mengemukakan pandangannya di masa ketika


Athena memanas oleh orang-orang yang dengan pidato yang hebat mengobarkan
gelora perasaan para demos, orang ramai. Para orator itu membujuk khalayak ramai
bukan karena keinginan akan pengetahuan dan kebenaran, melainkan dengan
membuat demos merasa asyik. Mereka bertepuk dalam rapat politik, ikut marah,
memuja atau membenci dalam mahkamah.

Wulangrèh bahkan mengingatkan bahwa dengan ucapan yang seru dan memukau,
oleh para orator "kedengkian diumbar, tanpa batas", panastèné kang dèn umbar, nora
nganggo sawatawis.

Ada yang sejajar di sini: Wulangrèh adalah ajaran berkuasa (nge-rèh) bagi generasi
muda aristokrat Surakarta untuk mengikuti guru yang bukan sembarang guru; Sokrates
memajukan argumentasi untuk mengganti semangat demokratik dengan sesuatu yang
lebih perkasa: rasionalitas. Kita ingat, Sokrates anggap orang ramai dungu.

Tapi sebenarnya tak jelas benar apa yang dimaksudkan "rasionalitas" dalam politik. Kini
kita ragu bisakah perjuangan ke arah kekuasaan dan hegemoni dijalankan dengan
mempertahankan akal sehat. Asas yang diajarkan Machiavelli, yang mengutamakan
tujuan negara dengan menghalalkan bahkan cara yang busuk, juga bisa dianggap
penerapan akal "rasionalitas"-setidaknya yang disebut sebagai "rasionalitas
instrumental".

Kini suasana "pasca-kebenaran" dikukuhkan; nilai-nilai yang dulu dinyatakan universal


dianggap hanya topeng bagi pemegang hegemoni, hingga "berpihak" adalah sikap
yang diutamakan. Kini, imbauan ke arah sebuah percaturan politik dengan "akal sehat"
terdengar sumbang....

Maka apa yang bisa dilakukan?

Mungkin politik perlu lebih rendah hati tanpa mati semangat. Orang perlu mengakui
bahwa "rasionalitas" dalam politik tak punya formula yang terang dan kekal. Lebih
sering terjadi adalah "akal-akalan". Wajar bila pasca-Sokrates, Aristoteles mengakui:
"Awal pemikiran rasional... bukanlah pemikiran rasional, melainkan sesuatu yang lebih
kuat." Bukan wahyu Tuhan, melainkan hasrat akan kemerdekaan dan keadilan.

Goenawan Mohamad
Tempo, 6 Mei 2018, h.106

Você também pode gostar