Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
ATAU BIROKRASI
BAB I
Disusun Oleh :
JURUSAN AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
PELITA NUSANTARA
TAHUN 2016
BAB I
“ETIKA PUBLIK”
CONTOH KASUS
Pada Harian Kompas (9/11/12), Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan
bahwa surat edaran menteri tersebut sebagai pengingat dan pembinaan kepada kepala-kepala
daerah bahwa pemecatan PNS yang korup telah diatur di dalam Undang-Undang Pokok
Kepegawaian. Disitu juga ditegaskan bahwa Mendagri akan mencabut surat keputusan
pengangkatan bekas terpidana korupsi yang menjadi pejabat struktural di pemerinta daerah.
Koran Kompas (9/11/12), melansir hingga saat ini daerah yang tercatat memberikan
jabatan kepada bekas terpidana korupsi di pemerintah daerah, antara lain Kabupaten Karimun,
Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, Kabupaten Majene, Provinsi
Maluku Utara, dan Kabupaten Buru.
Di Lingga, empat bekas terpidana tersebut diberi jabatan antara lain, kepala Dinas
Pekerjaan Umum dan Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Togi
Simanjuntak, keduanya dipidana dalam kasus korupsi pembangunan Dermaga Rejai. Kepala
Dinas Pertanian dan Perkebunan Dedy ZN yang mana dia dipenjara 16 bulan karena merugikan
negara Rp. 1,3 miliar dalam kasus pencetakan sawah di Singkep Barat. Selain itu Kepala Badan
Arsip dan Perpustakaan Jabar Ali, dipenjara 20 bulan karena terlibat korupsi proyek gedung di
dinas pendidikan, pemuda dan olahraga.
Sedangkan di Pemerintah Kabupaten Natuna, Senagip menjadi Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan. Ia juga menjadi sekretaris KPU Natuna sekaligus tengah
memimpin proyek pembangunan pabrik tapioka. Tahun ini Natuna mengalokasi Rp. 15 miliar
untuk proyek itu. ada juga Yusrizal yang menjadi Kepala Badan, dan keduanya pernah divonis
30 bulan penjara karena korupsi dana bagi hasil migas tahun 2007.
Lebih lanjut, di Karimun Yan Indra menjabat kepala dinas pemuda dan olahraga. Indra
pernah divonis 1,5 tahun penjara karena terlibat korupsi pembebasan lahan untuk PT. Saipem
Indonesia tahun 2007. Kasus itu merugikan negara Rp.1,2 miliar. Di tanjung Pinang, Raja
Faisal Yusuf yang pernah divonis 2,5 tahun penjara karena merugikan negara Rp.1,2 miliar
masih menjadi kepala badan pelayanan perizinan terpadu. Yang paling menjadi perhatian
publik mengenai korupsi di daerah adalah Bekas terpidana korupsi alih fungsi hutan lindung
Bintan, Azirwan, yang diangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan
Riau.
Sudah barang tentu kemudian, kondisi yang terjadi tersebut akan memberikan noda
hitam dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. pada gilirannya juga, kemudian
pemerintah daerah tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dimulai dari daerah.
Seperti yang dikatakan Guru Besar Hukum Tata Negara Univ. Andalas Padang, Saldi Isra
bahwa pemerintah daerah akan kehilangan legitimasi sosial. Masyarakat bisa membangkan,
bahkan sangat mungkin semua program Pemda tidak mendapat dukungan sosial (Kompas,
9/11/12).
Mengambil garis antara kasus tersebut diatas dengan pendekatan etika, kemudian akan
menghadapkan pada posisi pelaksanaan aturan melalui Undang-undang yang mengatur hal
tersebut dan konteks etika moral dimasyarakat menanggapi hal tersebut. Dalam kebudayaan
yang mengutamakan nilai-nilai luhur, kejujuran, keadilan yang kemudian diperhadapkan
dengan korupsi, maka hal ini dianggap sebagai adanya pelanggaran etika.
Secara aturan bisa jadi bahwa, pejabat bekas terpidana korupsi tidak melanggar.
Keterbatasan SDM didaerah juga bisa menjadi alasan peneguhan hal ini, karena keterbutuhan
terhadap tenaga profesional yang hanya memiliki pilihan dari pejabat bersangkutan. Walaupun
kecenderungan politis juga terdapat dalam kebijakan ini, tapi untuk itu merupakan wewenang
dari kepala daerah yang bersangkutan. Kaitannya kemudian dengan persoalan etika, secara
teknis tidak ada namun bisa jadi persoalan ini berkaitan dengan nilai moral birokrasi.
Disamping itu, persoalan tersebut diatas kemudian berhubungan dengan pejabat publik
yang merupakan teladan dalam pelayanan birokrasi, juga sebagai simbol bagaimana sebuah
oraganisasi birokrasi dijalankan. Dengan menempatkan pejabat bekas korupsi tentunya belum
ada jaminan mengenai perbaikan dalam proses pelayanan birokrasi, karena jaminan adanya
perbaikan moral individual setelah menjalani hukuman kasus korupsi pun adalah ranah
individu tersebut. Padahal ini menyangkut etika sosial kemasyarakatan mengenai pelayanan
birokrasi.
Dalam menganalisa etika yeng terlanggar dalam masalah ini, patut kiranya melihatnya
pada metode pendekatan etika diatas yakni teleologis dan deontologi. Yang kemudian akan
mengacu pada sisi manfaat pengangkatan pejabat tersebut dan juga sisi nilai moral “baik” dan
“buruk” secara etika dalam melakukan itu.
ANALISA KASUS
Masalah korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum
yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung
aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai
upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal
tersebut antara lain disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu: kompleksitas persoalan
korupsi, kesulitan menemukan bukti, dan adanya kekuatan yang menghalangi pemberantasan
korupsi. Konstruksi sistem hokum pidana yang dikembangkan akhir-akhir ini di Indonesia
masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelaku serta
menghukum pelaku dengan sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana kurungan.
Sementara itu, isu pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti konsepsi tentang
system pembuktian terbalik terkait tindak pidana dan instrumen hukum pidana belum menjadi
bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Selanjutnya, mengenai sistem atau
beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi, ternyata dalam praktek dijumpai banyak
kendala karena pelaku tindak pidana korupsi melakukan kejahatannya dengan sangat rapi dan
sistemik. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi keadaan tersebut adalah melalui
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010, dan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 yang telah mencantumkan ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal
burden of proof). Persoalannya kemudian adalah apakah ketentuan tersebut telah diterapkan
secara tepat dan utuh dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sehingga
implementasinya dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan, dimana tindakan ini
kemudian memberikan implikasi negatif terhadap keberadaan etika dan moral. Saat ini korupsi
seakan akrab dengan kekuasaan, bahkan sebagian besar korupsi di Indonesia terjadi pada
wilayah birorasi oleh para pejabat. Fenomena baru yang terjadi adalah, pejabat bekas terpidana
korupsi kemudian mendapatkan promosi dan jabatan struktural di pemerintah daerah.
Kondisi ini bertolak belakang dengan reformasi birokrasi, yang berusaha menciptakan
pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Upaya
penciptaan good governance tentunya harus didukung dengan adanya pemerintahan yang
bebas korupsi, dan etika dari aparat birokrasi dalam hal ini merupakan point pokok untuk itu.
Aturan berupa undang-undang maupun surat edaran menteri dalam negeri, mengenai
usaha penangkalan pejabat korup yang kembali menjabat masih belum bisa mengakomodasi
keadaan tersebut. Padahal dalam peraturan sudah jelas mengatur bahwa pejabat bekas terpidana
korupsi tidak boleh kembali menjabat. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:
Aturan Isi
Pasal 5, UU No.28/1999 tentang Setiap penyelenggara negara dilarang untuk
Penyelenggaraan Negara yang melakukan perbuatann korupsi, kolusi dan
bersih KKN nepotisme.
Pasal 23 ayat 4, UU No.43/1999 PNS diberhentikan dengan tidak hormat
tentang perubahan atas UU karena dihukum penjara yang ancaman
No.8/1974 tentang pokok-pokok hukumannya empat tahun atau lebih dan
Kepagawaian. melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.
https://dedeandreas.blogspot.com/2015/03/etika-birokrasi-para-pejabat-mantan.html
BAB II
“PELAYANAN PUBLIK”
CONTOH KASUS
Pemerintah juga harus melakukan pendidikan dan pelatihan secara berkala bagi aparatur
pemerintahan, sehingga memiliki kapabilitas dan profesionalitas tinggi dalam melayani
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
http://dedetzelth.blogspot.com/2013/10/contoh-masalah-pelayanan-publik-dan.html