Você está na página 1de 13

PENERAPAN CONTOH KASUS ETIKA PUBLIK

ATAU BIROKRASI
BAB I

Disusun Oleh :

Andhika Puspita (B01.16.0303)

JURUSAN AKUNTANSI
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI
PELITA NUSANTARA
TAHUN 2016
BAB I
“ETIKA PUBLIK”

CONTOH KASUS

Pada Harian Kompas (9/11/12), Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan
bahwa surat edaran menteri tersebut sebagai pengingat dan pembinaan kepada kepala-kepala
daerah bahwa pemecatan PNS yang korup telah diatur di dalam Undang-Undang Pokok
Kepegawaian. Disitu juga ditegaskan bahwa Mendagri akan mencabut surat keputusan
pengangkatan bekas terpidana korupsi yang menjadi pejabat struktural di pemerinta daerah.
Koran Kompas (9/11/12), melansir hingga saat ini daerah yang tercatat memberikan
jabatan kepada bekas terpidana korupsi di pemerintah daerah, antara lain Kabupaten Karimun,
Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, Kabupaten Majene, Provinsi
Maluku Utara, dan Kabupaten Buru.
Di Lingga, empat bekas terpidana tersebut diberi jabatan antara lain, kepala Dinas
Pekerjaan Umum dan Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Togi
Simanjuntak, keduanya dipidana dalam kasus korupsi pembangunan Dermaga Rejai. Kepala
Dinas Pertanian dan Perkebunan Dedy ZN yang mana dia dipenjara 16 bulan karena merugikan
negara Rp. 1,3 miliar dalam kasus pencetakan sawah di Singkep Barat. Selain itu Kepala Badan
Arsip dan Perpustakaan Jabar Ali, dipenjara 20 bulan karena terlibat korupsi proyek gedung di
dinas pendidikan, pemuda dan olahraga.
Sedangkan di Pemerintah Kabupaten Natuna, Senagip menjadi Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan. Ia juga menjadi sekretaris KPU Natuna sekaligus tengah
memimpin proyek pembangunan pabrik tapioka. Tahun ini Natuna mengalokasi Rp. 15 miliar
untuk proyek itu. ada juga Yusrizal yang menjadi Kepala Badan, dan keduanya pernah divonis
30 bulan penjara karena korupsi dana bagi hasil migas tahun 2007.
Lebih lanjut, di Karimun Yan Indra menjabat kepala dinas pemuda dan olahraga. Indra
pernah divonis 1,5 tahun penjara karena terlibat korupsi pembebasan lahan untuk PT. Saipem
Indonesia tahun 2007. Kasus itu merugikan negara Rp.1,2 miliar. Di tanjung Pinang, Raja
Faisal Yusuf yang pernah divonis 2,5 tahun penjara karena merugikan negara Rp.1,2 miliar
masih menjadi kepala badan pelayanan perizinan terpadu. Yang paling menjadi perhatian
publik mengenai korupsi di daerah adalah Bekas terpidana korupsi alih fungsi hutan lindung
Bintan, Azirwan, yang diangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan
Riau.
Sudah barang tentu kemudian, kondisi yang terjadi tersebut akan memberikan noda
hitam dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. pada gilirannya juga, kemudian
pemerintah daerah tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dimulai dari daerah.
Seperti yang dikatakan Guru Besar Hukum Tata Negara Univ. Andalas Padang, Saldi Isra
bahwa pemerintah daerah akan kehilangan legitimasi sosial. Masyarakat bisa membangkan,
bahkan sangat mungkin semua program Pemda tidak mendapat dukungan sosial (Kompas,
9/11/12).
Mengambil garis antara kasus tersebut diatas dengan pendekatan etika, kemudian akan
menghadapkan pada posisi pelaksanaan aturan melalui Undang-undang yang mengatur hal
tersebut dan konteks etika moral dimasyarakat menanggapi hal tersebut. Dalam kebudayaan
yang mengutamakan nilai-nilai luhur, kejujuran, keadilan yang kemudian diperhadapkan
dengan korupsi, maka hal ini dianggap sebagai adanya pelanggaran etika.
Secara aturan bisa jadi bahwa, pejabat bekas terpidana korupsi tidak melanggar.
Keterbatasan SDM didaerah juga bisa menjadi alasan peneguhan hal ini, karena keterbutuhan
terhadap tenaga profesional yang hanya memiliki pilihan dari pejabat bersangkutan. Walaupun
kecenderungan politis juga terdapat dalam kebijakan ini, tapi untuk itu merupakan wewenang
dari kepala daerah yang bersangkutan. Kaitannya kemudian dengan persoalan etika, secara
teknis tidak ada namun bisa jadi persoalan ini berkaitan dengan nilai moral birokrasi.
Disamping itu, persoalan tersebut diatas kemudian berhubungan dengan pejabat publik
yang merupakan teladan dalam pelayanan birokrasi, juga sebagai simbol bagaimana sebuah
oraganisasi birokrasi dijalankan. Dengan menempatkan pejabat bekas korupsi tentunya belum
ada jaminan mengenai perbaikan dalam proses pelayanan birokrasi, karena jaminan adanya
perbaikan moral individual setelah menjalani hukuman kasus korupsi pun adalah ranah
individu tersebut. Padahal ini menyangkut etika sosial kemasyarakatan mengenai pelayanan
birokrasi.
Dalam menganalisa etika yeng terlanggar dalam masalah ini, patut kiranya melihatnya
pada metode pendekatan etika diatas yakni teleologis dan deontologi. Yang kemudian akan
mengacu pada sisi manfaat pengangkatan pejabat tersebut dan juga sisi nilai moral “baik” dan
“buruk” secara etika dalam melakukan itu.
ANALISA KASUS

Masalah korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum
yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung
aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai
upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal
tersebut antara lain disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu: kompleksitas persoalan
korupsi, kesulitan menemukan bukti, dan adanya kekuatan yang menghalangi pemberantasan
korupsi. Konstruksi sistem hokum pidana yang dikembangkan akhir-akhir ini di Indonesia
masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelaku serta
menghukum pelaku dengan sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana kurungan.
Sementara itu, isu pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti konsepsi tentang
system pembuktian terbalik terkait tindak pidana dan instrumen hukum pidana belum menjadi
bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Selanjutnya, mengenai sistem atau
beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi, ternyata dalam praktek dijumpai banyak
kendala karena pelaku tindak pidana korupsi melakukan kejahatannya dengan sangat rapi dan
sistemik. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi keadaan tersebut adalah melalui
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010, dan Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 yang telah mencantumkan ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal
burden of proof). Persoalannya kemudian adalah apakah ketentuan tersebut telah diterapkan
secara tepat dan utuh dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sehingga
implementasinya dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan, dimana tindakan ini
kemudian memberikan implikasi negatif terhadap keberadaan etika dan moral. Saat ini korupsi
seakan akrab dengan kekuasaan, bahkan sebagian besar korupsi di Indonesia terjadi pada
wilayah birorasi oleh para pejabat. Fenomena baru yang terjadi adalah, pejabat bekas terpidana
korupsi kemudian mendapatkan promosi dan jabatan struktural di pemerintah daerah.
Kondisi ini bertolak belakang dengan reformasi birokrasi, yang berusaha menciptakan
pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Upaya
penciptaan good governance tentunya harus didukung dengan adanya pemerintahan yang
bebas korupsi, dan etika dari aparat birokrasi dalam hal ini merupakan point pokok untuk itu.
Aturan berupa undang-undang maupun surat edaran menteri dalam negeri, mengenai
usaha penangkalan pejabat korup yang kembali menjabat masih belum bisa mengakomodasi
keadaan tersebut. Padahal dalam peraturan sudah jelas mengatur bahwa pejabat bekas terpidana
korupsi tidak boleh kembali menjabat. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:

Aturan Isi
Pasal 5, UU No.28/1999 tentang Setiap penyelenggara negara dilarang untuk
Penyelenggaraan Negara yang melakukan perbuatann korupsi, kolusi dan
bersih KKN nepotisme.
Pasal 23 ayat 4, UU No.43/1999 PNS diberhentikan dengan tidak hormat
tentang perubahan atas UU karena dihukum penjara yang ancaman
No.8/1974 tentang pokok-pokok hukumannya empat tahun atau lebih dan
Kepagawaian. melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.

Pasal 5, UU No.100/2000 tentang Persyaratan untuk dapat diangkat dalam


Pengangkatan PNS dalam Jabatan jabatan struktural, antara lain prestasi kerja
Struktural sekurang-kurangnya bernilai baik selam dua
tahun terakhir.

Surat edaran Mendagri Terhadap pegawai negeri sipil yang telah


800/4329/SJ tanggal 29 Oktober menjalani hukuman pidana disebabkan tindak
2012 tentang Pengangkatan pidana korupsi atau kejahatan jabatan lainnya
Kembali PNS dalam Jabatan agar tidak diangkat dalam jabatan struktural.
Struktural

Sumber : Litbang Kompas

Berdasarkan permasalahan yang terjadi saya menganalisis adanya kecenderungan


pelanggaran etika pada fenomena mantan pejabat terpidana korupsi yang kembali menjabat,
yaitu :
 Pelanggaran pada etika sosial, mengenai kepatutan dan kepantasan. Dimana
pengangkatan pejabat tersebut memang secara hukum formal bukanlah sebuah pelanggaran.
Yang mana pada Pasal 23 ayat 4, UU No.43/1999 tentang perubahan atas UU No.8/1974
tentang pokok-pokok Kepagawaian menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak
hormat karena dihukum penjara yang ancaman hukumannya empat tahun atau lebih dan
melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat. Dari aturan ini, belum bisa memberikan sangsi
kepada pejabat terpidana tersebut karena rata-rata terpidana dihukum paling lama adalah 2, 5
tahun penjara.Walaupun demikian, tetap saja hal tersebut adalah pelanggaran terhadap etika.
Dalam etika sosial bahwa pelaku korupsi adalah pelaku tindakan kriminal, walaupun telah
dihukum maupun dikenai denda kejahatan korupsi tetaplah kejahatan. Merit system dalam
pengangkatan pejabat dalam hal ini tidak ada, dimana PNS mesti memiliki nilai keteladanan,
kejujuran dan integritas sebagai seorang pejabat publik tentunya telah rusak oleh perilaku ini.
 Pelanggaran terhadap etika politik, dimana etika politik didasarkan pada kondisi moral
yang berdasar pada kepentingan publik. hal ini menyangkut terhadap keputusan pejabat
ataupun pemimpin politik. Etika politik kemudian terlanggar dalam fenomena ini karena politik
dijadikan sebagai penggunaan kekuasaan diatas kepentingan pribadi. Fenomena pengangkatan
pejabat daerah yang merupakan bekas terpidana korupsi, disenarai didasarkan pada adanya
kepentingan kepala daerah terhadap pejabat tersebut. Bisa jadi kemudian aspek kedekatan dan
alasan pilkada, yang mana pejabat tersebut adalah tim sukses kepala daerah maupun donatur
dalam pilkada. Disini kemudian legitimasi politik kepala daerah yang didapat dari pilihan
politik masyarakat didaerah, dilanggar dengan menempatkan pejabat korup di jabatan
struktural dan hal ini tentu bentuk pengabaian amanat rakyat.
 Pelanggaran etika birokrasi, dimana dengan promosi dan pengangkatan pejabat bekas
terpidana korupsi ini memberikan gambaran tidak adanya integritas dalam birokrasi, juga
kemudian tidak adanya keteladanan, kejujuran dalam aparatnya. Tidak berjalannya proses
merit sistem menjadikan birokrasi yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan besar
dipengaruhi oleh politik, yang semestinya birokrasi adalah netral. Dari peristiwa ini juga,
kemudian melanggar etika promosi jabatan. Dimana tidak memberikan peluang kepada pejabat
bersih dan memiliki dedikasi tinggi untuk membentuk birokrasi yang bersih dan akuntabel serta
berkeadilan sosial. Tentunya hal ini sejalan dengan pelayanan publik yang baik kepada
masyarakat.
Kemudian mengapa pejabat korup tersebut tetap dianggkat menjadi pejabat, meskipun
pernah terjerat kasus korupsi. Jawabannya adalah karena adanya kepentingan dan pengaruh
dari politik, adanya memanipulasi dalam lembaga pemerintah, dan adanya pengaruh
administrasi yang buruk.
PEMBAHASAN KASUS
Etika birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat birokrasi itu
sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat
dia terikat dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi
landasan etika dalam bertindak dan berprilaku dalam melaksanakan tugasnya. Etika birokrasi
bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan oleh pemerintah,akan tetapi bagaimana
aplikasinya dalam berprilaku sebagai aparat birokrasi. Dan bagaimana hukuman atau sanksi
perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu.
Birokrasi diharapkan menjadi pelayan masyarakat, abdi negara dan teladan bagi
masyarakat. Namun pada prakteknya, reformasi birokrasi yang bertujuan luhur tersebut belum
sepenuhnya berhasil diterapkan dalam pemerintahan kita. Rendahnya kualitas pelayanan
publik dan praktek-praktek korupsi masih berlangsung hingga saat ini. Michael Lipsky (1980)
menjelaskan bahwa birokrasi street – level mempraktekkan pemberian diskresi atas dispensasi
manfaat atau alokasi sanksi. Lipsky berargumen bahwa praktek birokrasi bawahan tersebut
merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit, yakni sebagai upaya untuk keluar
dari situasi frustatif antara besarnya permintaan pelayanan dan keterbatasan sumber daya yang
dimiliki. Hanya saja, teori tersebut relatif gagal menjelaskan fenomena terungkapnya kasus
korupsi dan makelar kasus yang melibatkan aparat Direktorat Jenderal Pajak, kejaksaan, MA,
serta kepolisian. Bila sumber daya yang dimaksud berkaitan dengan fasilitas institusi dan gaji,
pegawai di instansi-instansi tersebut telah mengalami perbaikan remunerasi, pengembangan
sumber daya manusia, dan reformasi ketatalaksanaan dalam beberapa tahun terakhir. Artinya,
gaji besar bukanlah merupakan faktor frustratif yang menjadikan para pelaku tersebut
melakukan diskresi bagi pihak- pihak yang berperkara. Masih ada faktor lain yang
menyebabkan mereka berbuat demikian. Etika birokrasi seharusnya diterapkan aparatur negara
dalam menjalankan tugasnya.
Dalam memahami konsep etika, kita harus berangkat dari pemahaman mengenai moral.
Moral menyangkut persoalan manusia dengan manusia. Misalnya seseorang yang disukai
banyak orang karena kebaikan hatinya meskipun ia kurang dalam segi kualitas profesinya akan
tetap dianggap sebagai orang yang baik. Etika politik sendiri menyangkut tanggung jawab dan
kewajiban dari manusia sebagai manusia.
Aristoteles mengatakan bahwa identitas manusia yang baik dan warga negara yang baik
hanya terdapat bila warga negaranya baik. Jadi seseorang yang tidak menyukai tindakan amoral
dia akan baik sebagai manusia tetapi akan buruk sebagai warga negara bila negara mensahkan
tindakan amoral tersebut. Contohnya adalah perjudian dsb (Suseno, 2003).
Peradaban manusia bukan hanya ditentukan oleh tingginya nilai seni dari artefak yang
diciptakannya, luasnya ilmu pengetahun yang dijangkaunya, maupun aplikasi teknologi yang
ditemukannya. Dalam banyak segi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu justeru
mendorong manusia untuk bertindak korup dan melawan nuraninya. Itulah sebabnya Rousseau
menganjurkan supaya manusia kembali ke alam, retour a lanature. Bahwa moralitas yang asli
dan benar-benar manusiawi justeru ditemukan dalam manusia yang masih alamiah. Bahwa
manusia harus identik dengan dirinya sendiri untuk mencari kebaikan dan kebenaran sejati
(Kumorotomo, 1994, hal. 2).
Ketika membahas mengenai etika atau moralitas dalam penyelenggaraan negara,
pemikiran Rousseau ini agaknya masih relevan. Setiap aparat birokrasi seharusnya kembali ke
alam (retour a lanature), yang berarti bahwa aparat birokrasi seharusnya bekerja berlandaskan
pada moralitas yang asli dan manusiawi. Moralitas yang asli dan manusiawi itu merupakan
perwujudan dari ide-ide agung.
Membahas mengenai birokrasi dan etika yang berkaitan dengan itu, tentu kemudian
birokrasi dilihat sebagai sebuah organisasi publik dengan etika yang tercermin dalam aturan
yang berlaku dalam birokrasi. Namun juga, bahwa birokrasi tidak terlepas pada keberadaan
etika individu atau yang sering disebut sebagai etika kebajikan. Etika ini berkenaan dengan
individu dalam birokrasi, disini kemudian berkenaan terhadap moral dari para birokrat tersebut.
Dengan terciptanya nilai-nilai kebajikan dalam individu birokrasi (aparat birokrasi),
kemudian mendukung dalam penciptaan layanan dan tata pemerintahan yang baik dalam
birokrasi dan kepada masyarakat. Selanjutnya administrator yang bajik (virtuous
administrator) adalah yang berusaha, seperti dikatakan oleh Hart (1995, dalam Kartasasmita,
1996) agar kebajikan menjadi sentral dalam karakternya sendiri, yang akan membimbingnya
dalam perilakunya dalam organisasi. Akhirnya, etika profesional bagi aparat birokrasi sangat
ditekankan disini, dimana aparat birokrasi sebagai pengabdi masyarakat tentunya
menempatkan etika sebagai bagian dari proses pelayanan publik.
Saat ini menjadi permasalahan pokok di birokrasi kita adalah menurunya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap proses birokrasi, persoalan pelik lainnya adalah korupsi yang
menggerogoti tubuh birokrasi. Beberapa waktu lalu, santer terdengar kemudian pejabat
terpidana korupsi kembali dipromosikan bahkan diberikan jabatan struktural di pemerintah
daerah.
Setidaknya terdapat 153 pejabat yang dipidana korupsi, dan telah selesai menyelesaikan
hukumannya kembali diberikan jabatan struktural didaerah. Dalam pengangkatan dan promosi
bagi pegawai di daerah dalam jabatan struktural, Kemendagri sebenarnya telah mengeluarkan
surat edaran Mendagri nomor 800/4329/SJ tentang pengangkatan kembali PNS dalam Jabatan
Struktural. Surat edaran tersebut menegaskan bahwa bekas terpidana dilarang jadi pejabat.
Sedangkan mereka yang sudah diangkat harus diberhentikan. Namun dalam prosesnya surat
edaran tersebut disebutkan oleh beberapa pihak bukan merupakan aturan yang memiliki
kekuatan hukum yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA

https://dedeandreas.blogspot.com/2015/03/etika-birokrasi-para-pejabat-mantan.html
BAB II
“PELAYANAN PUBLIK”

CONTOH KASUS

· Contoh Masalah Pelayanan Publik dalam proses “PEMBUATAN KARTU KELUARGA”


Masalah pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintahan menjadi keluhan
utama masyarakat. Ini disebabkan karena dalam proses pelayanan sering kali tidak sesuai
dengan prosedur yang sudah ditetapkan. Padahal standar pelayanan minimal (SPM) dalam
setiap instansi pemerintahan pasti ada. Inilah permasalahan dari implementasi penyelenggara
pemerintahan.
Hal-hal yang sering dikeluhkan masyarakat terhadap proses pelayanan publik, khususnya
mengenai masalah pembuatan kartu keluarga, adalah sebagai berikut:
1. Terjadinya Diskriminasi dalam Memberikan Pelayanan
Ini memang bukan rahasia lagi, karena hal ini sudah biasa dan sering terjadi di lapangan.
Banyak masyarakat sudah menjadi korban dari adanya diskriminasi dalam pelayanan publik.
Diskriminasi ini bisa menyangkut hubungan kekerabatan, pertemanan, keluarga, etnis, status
sosial dan lain sebagainya.
Bisa dilihat bagaimana seorang aparatur pemrintahan masih padang bulu dalam
memberikan pelayanan. Misalnya, dalam memberikan pelayanan dalam pembuatan KK akan
berbeda sikap dan tata cara aparatur pemerintahan menerima orang berdasi dengan orang tidak
berdasi. Kalau kepada orang berdasi biasanya para petugas sangat ramah, tetapi kalau orang
biasa raut mukanya bisa berubah 180 derajat.

2. Sering Terjadinya Pungli


Dalam memberikan pelayanan publik biasanya para petugas menawarkan dua cara kepada
masyarakat, yaitu cara cepat dan lambat. Cara cepat inilah yang kita maksud sebagai proses
pungli. Biasanya cara cepat ini membutuhkan biaya yang tinggi. Dalam hal ini yang menjadi
korban adalah masyarakat yang tidak memiliki uang atau masyarakat miskin.
Dalam pembuatan KK biasanya pungli sering dilakukan. Dengan beribu alasan para
petugas menyatakan proses pembuatan KK membutuhkan waktu yang lama. Padahal
pembuatan KK hanya membutuhan berapa jam saja.

3. Tidak Adanya Kepastian


Dalam memberikan pelayanan publik juga, instansi pemerintahan biasanya tidak
memberikan kepastian, baik itu dari waktu dan biaya yang dibutuhkan. Dengan ketidak ada
pastian inilah maka aparat pemerintah sering melakukan KKN. Ini merupakan peluang bagi
aparatur pemerintahan untuk meningkatkan income dengan cara tidak baik.
Dalam pembuatan KK biasanya petugas meminta uang supaya waktu penyelesaiannya
cepat. Inilah potret dari pelayanan publik di negeri ini.
Tiga masalah di ataslah yang menjadi inti dari keluhan masyarakat dalam proses pelayanan.
Tidak hanya terjadi pada proses pebuatan KK, tetapi ini terjadi di semua proses pelayanan
public lainnya.
PENYELESAIAN DARI PERMASALAHAN
· Solusi Masalah Pelayanan Publik
Dalam memperbaiki pelayanan publik kepada masyarakat, pemerintah harus segera bisa
mengubah paradigma para aparatur dari mau dilayani menjadi pelayan, karena fungsi utama
dari pemerintahan adalah memberikan pelayanan. Fungsi pelayanan inilah yang sering
dilupakan oleh para birokrat.
Hal-hal yang harus dilakukan untuk memperbaiki pelayanan publik, khususnya
pembuatan KK, diantaranya:
1. Memperbaiki Sistem Rekrutmen
Sistem rekrutmen sangat penting, karena inilah awal dari adanya aparatur pemerintahan.
Seleksi aparatur pemerintahan harus diperketat lagi dan tesnya harus diperbaiki, sehingga
mampu menghasilkan pegawai yang professional.
2. Memberikan Sangsi yang Tegas
Dalam proses pelayanan sering kali petugas tidak melakukan apa yang sudah diatur dalam
aturan, sehingga masyarakat tidak mendapatkan kepuasan. Petugas yang sering melanggar
harus diberikan sangsi yang tegas, kalau perlu dipecat. Dengan adanya sangsi yang tegas ini
diharapkan para aparatur pemerintahan tidak berani melakukan tindakan yang melanggar
aturan.
3. Mempermudah Proses
Proses pembuatan KK yang bisa dikatakan berbelit-belit sering mengundang untuk
terjadinya pungli. Jadi dalam pembuatan KK harus disederhanakan, supaya masyarakat senang
mengurus dan membuat KK.
4. Pelatihan dan Pendidikan Berkala

Pemerintah juga harus melakukan pendidikan dan pelatihan secara berkala bagi aparatur
pemerintahan, sehingga memiliki kapabilitas dan profesionalitas tinggi dalam melayani
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

http://dedetzelth.blogspot.com/2013/10/contoh-masalah-pelayanan-publik-dan.html

Você também pode gostar