Você está na página 1de 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah masalah defisisensi nutrien
yang paling sering ditemukan pada anak seluruh dunia, apa lagi di Indonesia
yang notabene negara yang berkembang, ABD sering ditemukan pada
daerah-daerah yang masih minim dengan bahan pangan yang memenuhi gizi
anak. Kondisis ini disebabkn adanya kekurangan zat besi pada tubuh
penderita.

Epidemiologi anemia defisiensi besi (ADB) cukup tinggi. World


Health Organization (WHO) melaporkan terdapat lebih dari 273 juta anak
usia 6-59 bulan menderita anemia dengan 9.6 juta diantaranya merupakan
anemia berat. Anemia adalah masalah yang dihadapi secara global.1

WHO mencatat, secara global pada tahun 2011, terdapat lebih dari
273 juta anak usia 6-59 bulan menderita anemia dengan 9.6 juta diantaranya
merupakan anemia berat, lebih dari 496 juta wanita tidak hamil usia 15-49
tahun menderita anemia dengan 19.4 juta diantaranya merupakan anemia
berat, dan 32.4 juta wanita hamil usia 15-49 tahun menderita anemia dengan
800 ribu diantaranya merupakan anemia berat. Kurang lebih 50% dari angka
ini berkaitan dengan defisiensi besi (anak: 42%, wanita tidak hamil 49%, dan
wanita hamil 50%). (1,2)

Berdasarkan data dari Riskesdas tahun 2013, di Indonesia terdapat


21,7% anak ≥1 tahun, 28.1% balita 12-59 bulan, dan 37.1% ibu hamil
mengalami anemia.3

Kematian pada anemia sering kali terjadi karena komplikasi dan


anemia berat. Anemia dalam kehamilan meningkatkan resiko kematian ibu
dan neonatus. Pada tahun 2013, secara global, tercatat sekitar 3 juta kematian
kematian ibu dan bayi karena anemia. Prevalensi kematian karena anemia

1
berat pada anak dan wanita adalah 0.9%-1.5%. Salah satu studi meta-analisis
menunjukkan kenaikan Hb 1 g/dL dapat menurunkan kematian bayi sebanyak
1.8 juta. Anemia defisiensi besi sendiri menyebabkan sekitar 90.000 kematian
di negara berkembang dan menyebabkan sekitar 1,6 kematian per 100.000
penduduk di Amerika Serikat.(1,4,5)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena
kekurangan besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb).1 Anemia
defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada
akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.6 Anemia defisiensi
besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh
penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang
rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun.7

B. Etiologi
Penyebab paling umum dari ADB diamati pada anak-anak termasuk
kurangnya asupan bersama dengan pertumbuhan yang cepat, berat badan
lahir rendah serta gangguan pencernaan akibat konsumsi berlebihan susu
sapi. Pada periode intrauterine, satu-satunya sumber zat besi adalah besi yang
dialirkan melalui plasenta. Pada periode akhir kehamilan, jumlah total besi
pada janin adalah 75 mg / kg. Anemia fisiologis terjadi pada periode
postnatal dan simpanan besi yang tersedia cukup untuk melakukan
eritropoiesis dalam 6 bulan pertama kehidupan jika tidak ada kehilangan
darah yang signifikan. Pada bayi berat lahir rendah dan pada bayi dengan
kehilangan darah sebelum kelahiran, cadangan besi habis lebih awal, karena
cadangan tersebut lebih kecil. Jumlah zat besi dalam ASI berada pada tingkat
tertinggi pada bulan pertama, tetapi menurun secara bertahap dalam periode
berikutnya dan berkurang hingga 0,3 mg / L kira-kira pada bulan kelima.
Namun, jumlah ini bervariasi dari individu ke individu. Telah terbukti bahwa
diet ibu tidak mempengaruhi jumlah zat besi dalam ASI. Meskipun jumlah
zat besi yang diterima dari ASI biasanya rendah, penyerapannya cukup tinggi
(50%). Hal ini diketahui bahwa makanan lain yang diberikan selama 6 bulan

3
pertama selain ASI mengganggu penyerapan zat besi dalam ASI. Oleh karena
itu, makanan ini harus diberikan pada waktu makan yang terpisah. Dikayini
bahwa penyerapannya tinggi, tetapi lebih rendah dari jumlah yang diperlukan
untuk pertumbuhan. Dengan demikian, bayi menggunakan besi dari cadangan
besi yang ada dalam 6 bulan pertama sampai jumlah zat besi yang diterima
dari makanan meningkat.8
Makanan padat yang diberikan setelah bulan ke-6 harus kaya terutama
zat besi, zinc, fosfor, magnesium, kalsium dan vitamin B6. Menurut data
WHO, 98% dari kebutuhan zat besi pada bayi berusia 6-23 bulan harus
dipenuhi oleh makanan padat. Makanan padat harus mencakup produk yang
kaya seperti daging, ikan, telur dan vitamin C untuk memenuhi kebutuhan zat
besi ini. Kesalahan lain yang terjadi pada bayi menyusui yaitu memberikan
susu sapi yang berlebihan pada waktu awal. Pada bayi, kehilangan darah
kronis dapat diamati dalam kaitannya dengan protein yang sensitif terhadap
pabas yang terdapat dalam susu sapi. Selain itu, penyerapan zat besi dalam
susu sapi jauh lebih rendah dibandingkan dengan ASI. Susu sapi akan
menggantikan makanan kaya besi, oleh sebab itu kalsium dan
caseinophosphopeptides dalam susu sapi dapat mengganggu penyerapan zat
besi. Jika bayi diberi makan dengan makanan dengan kandungan besi yang
rendah setelah bulan ke-6 ketika mereka menguras hampir semua cadangan
besi mereka, kekurangan zat besi berkembang dengan mudah.8
Pada pasien dan terutama pada anak-anak yang lebih tua, kehilangan
darah sebagai penyebab harus dipertimbangkan, jika asupan yang tidak
memadai dapat disingkirkan atau ada respon yang memadai untuk
pengobatan besi oral. Anemia defisiensi besi kronis yang berkembang dengan
perdarahan tersembunyi diamati dengan tingkat yang relatif rendah pada
anak-anak dan dapat terjadi sebagai akibat dari masalah pencernaan termasuk
ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma atau penyakit
inflamasi usus. Kehilangan darah yang tidak disadari mungkin jarang
berhubungan dengan penyakit celiac, diare kronis atau hemosiderosis paru;
diagnosis banding dapat dibuat dengan melihat riwayat penyakit. Perlu

4
diingat bahwa parasitosis juga dapat berkontribusi untuk kekurangan zat besi
terutama di negara-negara berkembang. Anemia defisiensi besi diamati pada
2% dari remaja perempuan dan sebagian besar terkait dengan percepatan
pertumbuhan dan kehilangan darah akibat menstruasi. Riwayat menstruasi
yang rinci harus diperoleh pada remaja perempuan dan mendasari gangguan
perdarahan termasuk penyakit von-Willebrand harus diingat pada anak
perempuan yang telah perdarahan lebih dari yang diharapkan. 8

Penyebab anemia defisiensi besi jika dilahat dari umur, yaitu: 9

1. Bayi dibawah umur 1 tahun


 Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah dan
bayi kembar.
2. Anak umur 1-2 tahun
 Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat
makanan tambahan (hanya minum susu)
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang
 Malabsorbsi
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infeksi
parasit dan divertikulum Meckeli
3. Anak berumur 2-5 tahun
 Masukan besi berkurang karena jenis makanan kurang
mengandung Fe-heme
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena
infestasi parasit dan divertikulum Meckeli
4. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena
infestasi parasit dan poliposis
5. Usia remaja – dewasa.
 Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.
Pengetahuan mengenai klasifikasi penyebab menurut umur ini penting
untuk diketahui, untuk mencari penyebab berdasarkan skala prioritas dengan
tujuan menghemat biaya dan waktu. 9

5
C. Patofisiologi
Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan
hemoglobin. Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari
hemoglobin eritrosit tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem
retikuloendotelial. Pada kondisi seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara
dengan 25 mg besi yang difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi
sebanyak itu pula eritrosit yang akan dibentuk dalam sumsum tulang atau
besi yang dilepaskan oleh makrofag ke dalam sirkulasi darah setiap hari.10
Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2 mg,
sebanyak itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin
dan tinja. Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama
terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal
transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik sering diukur sebagai
protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal
25–45% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi
transferin. Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari
total besi tubuh.10
Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di
sumsum tulang yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak
4% digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim
pernafasan seperti sitokrom C dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan
dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor
transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis.
Sebanyak 80–90% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit
akan dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi,
sedangkan transferin akan kembali ke dalam sirkulasi. Besi yang telah
dibebaskan dari endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses
menjadi hem setelah bergabung dengan protoporfirin, sisanya tersimpan
dalam bentuk feritin. Dalam keadaan normal 30–50% prekursor eritrosit
mengandung granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi
eritrosit, baik reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam

6
peredaran darah. Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan
setelah proses hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi
darah. Ketika eritrosit berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem
retikuloendotelial terutama yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi
terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis
makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain
yang lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses
penghancuran eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi hem dan
globin.10
Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan
diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan
cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag
pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, yang
selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Maka
molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk disimpan
oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke dalam
sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower pathway).
Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi melalui
proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi
ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma. Reaksi oksidasi
tersebut dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan besi ke dalam
sirkulasi oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar besi
plasma menunjukkan variasi diurnal.10
Keadaan anemia defisiensi besi ditandai dengan saturasi transferin
menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang.
Menurut Walmsley et al. Secara berurutan perubahan laboratoris pada
defisiensi besi sebagai berikut: (1) penurunan simpanan besi, (2) penurunan
feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai meningkatnya transferin
serum, (4) peningkatan Red cell Distribution Width (RDW), (5) penurunan
Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin.
Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri atas

7
tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron
depletion), kemudian tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan tahap
anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).
Pada tahap pertama terjadi penurunan feritin serum kurang dari
12μg/L dan besi di sumsum tulang kosong atau positif satu, sedangkan
komponen yang lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron binding
capacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI), saturasi transferin, RDW,
MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam batas normal, dan
disebut tahap deplesi besi.
Pada tahap kedua terjadi penurunan feritin serum, besi serum, saturasi
transferin dan besi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBC meningkat
>390 μg/dl. Komponen lainnya masih normal, dan disebut eritropoesis
defisiensi besi.
Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi
ialah tahap defisiensi besi yang berat dari dan ditandai selain kadar feritin
serum serta hemoglobin yang turun. Semua komponen lain juga akan
mengalami perubahan seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik
hipokromik, sedangkan RDW dan TIBC meningkat >410 μg/dl.10

D. Manifestasi Klinis
1. Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik.
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium yaitu penurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dan
kadar besi serum. Pada ADB gejala klinis terjadi secara bertahap.
Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya
gangguan kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB akan
menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan
gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini dapat
menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang
berkurang, sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB. Anak yang
menderita ADB lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat

8
menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T
yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh
berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda tertentu antara lain
kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul sebagai akibat
adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini disebabkan
karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut yang
mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi tampak pula pada
kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan mudah patah.
Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut
sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB. Pada saluran
pencernaan, kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam
proses epitialisasi. Papil lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat,
lidah akan memperlihatkan permukaan yang rata karena hilangnya papil
lidah. Mulut memperlihatkan stomatitis angularis dan ditemui gastritis
pada 75% kasus ADB.9

E. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia
berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan
dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan
minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III.
b. Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan
flowcytometri atau menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia
mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi

9
yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis
disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka
sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan
makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah
merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel
darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg
dan makrositik > 31 pg.
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-
35% dan hipokrom < 30%.
c. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada
kolom morfology flag.
d. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah
yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter
lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi
dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang
tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi
paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,
jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan
naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi,
dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik. Nilai normal 15 %.

10
e. Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak
terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi
eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan
besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang
luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam
praktik klinis masih jarang.
f. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta
menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin
jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan
spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan
setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum
dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak
status besi yang spesifik.
g. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama
dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada
kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan
akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
h. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi
ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks
kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan
eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan.
Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai

11
dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang
menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum
dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi
yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
i. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif
untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas
dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin <
12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti
kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai
diagnostik untuk kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan
zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena
variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin
terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk
usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih
rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih
rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua,
dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada
wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat
sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini
mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada
wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l
selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan
suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada
inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum
feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris

12
(IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben
(Elisa).
2. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan
besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis
sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel
retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada
besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga
tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan
teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik
invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam
populasi umum.11

F. Diagnosis
1. Anamnesis
1) . Riwayat faktor predisposisi dan etiologi:
a. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa
pertumbuhan yang cepat, menstruasi, dan infeksi kronis.
b. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak
adekuat malabsorpsi besi.
c. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung,
penyakit Crohn, colitis ulserativa)
2) . Pucat, lemah, lesu, gejala pika.

2. Pemeriksaan fisis
a. Anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati .
b. Stomatitis angularis, atrofi papil lidah.
c. Ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran
jantung.

13
3. Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun.
b. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik.
c. Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi
menurun.
d. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP)
meningkat.
e. Sumsum tulang: aktifitas eritropoitik meningkat.

G. Pengobatan

Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus


segera dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri
atas pemberian preparat besi secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat,
fumarat dan lain-lain), pengobatan ini tergolong murah dan mudah
dibandingkan dengan cara lain. Pada bayi dan anak, terapi besi elemental
diberikan dengan dosis 3-6 mg/kg bb/hari dibagi dalam dua dosis, 30 menit
sebelum sarapan pagi dan makan malam; penyerapan akan lebih sempurna
jika diberikan sewaktu perut kosong. Penyerapan akan lebih sempurna lagi
bila diberikan bersama asam askorbat atau asam suksinat. Bila diberikan
setelah makan atau sewaktu makan, penyerapan akan berkurang hingga 40-
50%.8 Namun mengingat efek samping pengobatan besi secara oral berupa
mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka untuk mengurangi
efek samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah makan.
Penggunaan secara intramuskular atau intravena berupa besi dextran dapat
dipertimbangkan jika respon pengobatan oral tidak berjalan baik misalnya
karena keadaan pasien tidak dapat menerima secara oral, kehilangan besi
terlalu cepat yang tidak dapat dikompensasi dengan pemberian oral, atau
gangguan saluran cerna misalnya malabsorpsi. Cara pemberian parenteral
jarang digunakan karena dapat memberikan efek samping berupa demam,
mual, ultikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas, artralgia, bronkospasme

14
sampai reaksi anafilatik. Respons pengobatan mula-mula tampak pada
perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-24 jam. Hiperplasi seri
eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-48 jam yang
ditandai oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam, yang
mencapai puncak dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan
didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3
bulan setelah pengobatan. Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka
jangka waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan. Transfusi darah hanya
diberikan sebagai pengobatan tambahan bagi pasien ADB dengan Hb 6g/dl
atau kurang karena pada kadar Hb tersebut risiko untuk terjadinya gagal
jantung besar dan dapat terjadi gangguan fisiologis. Transfusi darah
diindikasikan pula pada kasus ADB yang disertai infeksi berat, dehidrasi
berat atau akan menjalani operasi besar/ narkose. Pada keadaan ADB yang
disertai dengan gangguan/kelainan organ yang berfungsi dalam mekanisme
kompensasi terhadap anemia yaitu jantung (penyakit arteria koronaria atau
penyakit jantung hipertensif ) dan atau paru (gangguan ventilasi dan difusi
gas antara alveoli dan kapiler paru), maka perlu diberikan transfusi darah.
Komponen darah berupa suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara bertahap
dengan tetesan lambat.

Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab defisiensi besi ialah


kurang gizi. Besi di dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme.
Besi non-heme yang antara lain terdapat di dalam beras, bayam, jagung,
gandum, kacang kedelai berada dalam bentuk senyawa ferri yang harus
diubah dulu di dalam lambung oleh HCL menjadi bentuk ferro yang siap
untuk diserap di dalam usus. Penyerapan Fe-non heme dapat dipengaruhi
oleh komponen lain di dalam makanan. Fruktosa, asam askorbat (vitamin C),
asam klorida dan asam amino memudahkan absorbsi besi sedangkan tanin
(bahan di dalam teh), kalsium dan serat menghambat penyerapan besi.
Berbeda dengan bentuk non-heme, absorpsi besi dalam bentuk heme yang
antara lain terdapat di dalam ikan, hati, daging sapi, lebih mudah diserap.

15
Disini tampak bahwa bukan hanya jumlah yang penting tetapi dalam bentuk
apa besi itu diberikan. Anak yang sudah menunjukkan gejala ADB telah
masuk ke dalam lingkaran penyakit, yaitu ADB mempermudah terjadinya
infeksi sedangkan infeksi mempermudah terjadinya ADB. Oleh karena itu
antisipasi sudah harus dilakukan pada waktu anak masih berada di dalam
stadium I & II. Bahkan di Inggris, pada bayi dan anak yang berasal dari
keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah dianjurkan untuk diberikan
suplementasi besi di dalam susu formula.9

H. Pencegahan
Usaha sederhana mencegah ADB adalah dengan mengonsumsi
makanan yang kaya akan zat besi. Usahakan bayi mendapat air susu ibu
eksklusif. Setelah usia 6 bulan apabila tidak mendapat air susu ibu sebaiknya
diberi susu formula yang difortifikasi zat besi. Pemberian tambahan zat besi
dianjurkan pula sejak bayi sampai usia remaja, diberikan sebagai usaha
pencegahan terhadap anemis.12

Banyak bahan makanan di sekitar kita yang kaya kandungan zat besi.
Sayuran berdaun hijau seperti selada air, kangkung, brokoli, bayam hijau,
buncis dan kacang-kacangan kaya akan zat besi. Bahan makanan hewani
seperti daging merah dan kuning telur juga kaya zat besi dan lebih mudah
diserap oleh tubuh dibandingkan sumber nabati. Dalam proses pengolahan
bahan makanan, sangat perlu diperhatikan pengolahan yang baik dan benar
sehingga kandungan zat makanan misalkan zat besi tidak berkurang dari
bahan makanan tersebut. Usahakan anak banyak mengonsumsi makanan
yang kaya zat besi untuk mencegah ADB.12

Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi (DB).


Kelompok usia yang paling tinggi mengalami DB adalah usia balita (0-5
tahun) sehingga kelompok usia ini menjadi prioritas pencegahan DB.
Kekurangan besi dengan atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama
dan terjadi pada usia 0-2 tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak,

16
antara lain menimbulkan defek pada mekanisme pertahanan tubuh dan
gangguan pada perkembangan otak yang berdampak negatif terhadap kualitas
sumber daya manusia pada masa mendatang.13

Rekomendasi suplementasi besi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Sumber gambar: Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, & Hendarto, A.
(2011). Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

17
BAB III
KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah masalah defisisensi nutrien
yang paling sering ditemukan pada anak seluruh dunia, apa lagi di Indonesia
yang notabene negara yang berkembang, ABD sering ditemukan pada
daerah-daerah yang masih minim dengan bahan pangan yang memenuhi gizi
anak. Kondisis ini disebabkn adanya kekurangan zat besi pada tubuh
penderita.

Untuk mendiagnosis harus tetap dengan anamesis terlebih dahulu,


dilanjutkan dengan peperiksaan selanjutnya. Pengobatan dan pencegahan
perlu diedukasi kepada keluarga pasien, karena kita masih negara
berkembang dan banyak keluarga yang masih dengan ekonomi rendah,
sebagai dokter harus mengerti apa saja makanan yang perlu diedukasi kepada
keluarga pasien.

18

Você também pode gostar

  • Ini Itu
    Ini Itu
    Documento2 páginas
    Ini Itu
    Nuraga Dwi Pratapa
    Ainda não há avaliações
  • Evolusi ST Elevasi
    Evolusi ST Elevasi
    Documento4 páginas
    Evolusi ST Elevasi
    Nuraga Dwi Pratapa
    Ainda não há avaliações
  • Sampul Osler
    Sampul Osler
    Documento4 páginas
    Sampul Osler
    Nuraga Dwi Pratapa
    Ainda não há avaliações
  • HHHJJ
    HHHJJ
    Documento7 páginas
    HHHJJ
    Nuraga Dwi Pratapa
    Ainda não há avaliações
  • Sampul Osler
    Sampul Osler
    Documento4 páginas
    Sampul Osler
    Nuraga Dwi Pratapa
    Ainda não há avaliações
  • Cover Referat Egi Ikm
    Cover Referat Egi Ikm
    Documento4 páginas
    Cover Referat Egi Ikm
    Nuraga Dwi Pratapa
    Ainda não há avaliações
  • BAB II Cts
    BAB II Cts
    Documento18 páginas
    BAB II Cts
    Nuraga Dwi Pratapa
    Ainda não há avaliações
  • Dasi Ikm
    Dasi Ikm
    Documento4 páginas
    Dasi Ikm
    Nuraga Dwi Pratapa
    Ainda não há avaliações