Você está na página 1de 10

Sejarah Rezim Politik Soeharto

Oleh :

Yosep Purwanto E1032181023

Jamie Osbourne Enternate E1032181010

Yuliansyah E1032181030

Program Studi Ilmu Pemerintahan

Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Orde Baru hadir dengan semangat “koreksi total” atas penyimpanan yang
dilakukn oleh Soekarno pada masa Orde Lama. Orde Baru berlangsung dari tahun
1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajarela
di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar.

Pada bulan September 1991, Indonesia terpilih sebagai Presiden Gerakan Non-
Blok dan tahun berikutnya diadakan konferensi puncak di Jakarta. Pada tahun
yang sama, Soeharto pergi ke makkah. Setelah itu dia menyandang nama Haji
Muhammad Soeharto. Dia menceri dukungan para pengusaha pribumi terkemuka,
yang biasanya menunjukkan rasa identitas keislaman yang kuat. Soeharto
menghimbau para cukong dan perusahaan besar untuk memberikan saham kepada
pengusaha pribumi. Usaha-usaha ini tidak memiliki dampak luas dan mungkin
hanya bisa semakin menyadarkan betapa besar peranan cukong dan semakin
membuat orang Indonesia beretnis Cina menjadi sasaran kritik utama.

Soeharto juga mempunyai anak didik yang bernama Dr. Bacharuddin Jusuf
Habibie yang nantinya menjadi presiden Indonesia ketika dipenghujung dekade.
Habibie lahir di Sulawesi dan berdarah campuran Jawa Bugis. Habibie tampil
menonjol di sekolah. Dia digambarkan sebagai jenius oleh para pengagumnya.
Habibie merupakan kombinasi unik dari latar belakang sipil, kecerdasan akademis
kesalehan islami dan kedekatan kepada Soeharto yang membuatnya sebagai kunci
menuju masa depan bagi banyak kaum intelektual-kelas-menengah Islam.

Atas kecerdasannya, Habibie ditunjuk menjadi ketua ICMI. Yang mengubah


konteks politik dan religius di Indonesia. ICMI merupakan lambang rekonsiliasi
antara negara dan Islam Medornis yang tidak terbayangkan sebelumnya. Namun,
terjadi perdebatan panjang tentang siapa yang mengooptasi siapa dengan
dibentuknya ICMI.

Pada bulan Agustus 1992, ICMI memiliki 11.000 anggota dan bertambah menjadi
40.000 tujuh bulan kemudian. Namun, Abdurrahman Wahid menolak bergabung
dan dengan konsisten mencela ICMI sebagai organisasi elitis sektarian yang bisa
mengancam Indonesia yang Pluralis.

Meningkatnya rasa keislaman didorong antara lain oleh korupsi elit dan
pemameran kekayaan perang-perangan yang dimungkinkan oleh korupsi itu.
Korupsi rezim sudah begitu menggurita dan menjadi rahasia umum didalam dan
luar negeri. Semua anak Soeharto menumpuk kekayaan : putrinya Siti Hardiyanti
Rukmana, Siti Hediyadi Hariyadi, dan Siti Endang Adiningsih, serta putranya
Sigit Haryoyudanto, Bambang Triatmojo, dan Hutomo Mandala Putra. Mereka
menjalankan perusahaan pengumpul uang berskala besar. Perusahaan Hutomo
diperkirakan mengumpulkan pendapatan lebih dari US$ 500 juta. Anak-anak
Soeharto menikmati transakasi istimewa dalam jalan tol impor komoditas
strategis, eksplorasi sumber daya alam, dan dalam banyak bidang lain. Bebepara
cukong yang dulu mendapatkan kekayaan kotor hasil kerjasama dengan Soeharto
kini dengan sukses mengubah bisnisnya menjadi bisnis yang legal.

Kekayaan berlebih keluarga Soeharto, para kroni dan cukong, jelas melukai rakyat
jelata Indonesia dan usahawan pribumi, sehingga memicu respon bersentimen
agama.

Hal yang lebih signifikan lagi adalah berdirinyaBank Muamalat Indonesia pada
tahun 1991 yang dijalankan berdasarkann prinsip-prinsip Islam, ddengan tidak
memberlakukan bunga dan beroperasi dengan orrtodoks bagi-hasil dan bagi-rugi.
ICMI mendukung inisiatif ini dan Soeharto membantu dengan uang dari salah
satu yayasan yang ia kendalikan.

Ketika muncul tuntutan akan adanya masyarakat yang lebih adil dan ketika
perilaku rezim semakin menyimpang, pendekatan represif ABRI terhadap segala
masalah menimbulkan insiden heboh yang berdampak internasional. Pada tanggal
12 November 1991, iring-iringan jenazah dipemakaman Santa Cruz di ibu kota
Timor Timur, Dili, berubah menjadi demonstrasi pro-kemerdekaan. Di hadapan
kamera televisi internasional dan para fotografer, ABRI tampak menembaki
kerumunan massa. Militer kemudian mengakui ada 19 orang terbunuh, sebuah
investigasai pemerintah memperkirakan ada sekitar 50, dan sumber-sumber lain
mengatakan korban sejumlah 100 orang atau lebih. Satu laporan dari Portugal
mengatakan : 271 orang tewas, 382 orang luka-luka, dan 250 orang hilang.
Pembantaian ini menempatkan kekuasaan Indonesia atas Timor-Timur dalam
agenda hak asasi manusia internasional. Dan dampak dari peristiwa tersebut,
Pemerintah Kanada, Belanda, dan Denmark membatalkan program-program
bantuan.

Soeharto memerintahkan penyelidikan terhadap pembantaian Dili yang kemudian


direspon antara skeptis dan terkejut. Penyelidikan ini mengkritik ABRI atas
penggunaan kekerasan secara berlebihan, dua jenderral dicopot dari kedudukan
mereka, dan beberapa prajurit dihukum. Ali Alatas mengunjungi beebagai negara
untuk meredakan isu ini.

Secara umum, sebagian besar pemerintahan dunia tetap mengancam Timor-Timur


sebagai isu pinggiran-meskipun sangat tidak menyenangkan-sedangkan kalangan
LSM, intelektual, dan aktivis HAM menganggapnya sebagai prioritas utama.

Militer menangkap pemimpin Timor-Timur, Ray Kala Xanana Gusmao, pada


bulan November 1992 dan memutuskan dia dari hubungan dengan pihak lain,
namun anehnya militer tidak membunuhnya. Xanana dituduh melakukan
pemberontakan, diadili, dan dihukum penjara seumur hidup, yang tak lama
kemudian diubah menjadi 20 tahun.

Seiring dengan ABRI yang terus memberikan bukti kepada dunia mengenai
betapa rezim ini begitu mengendalkan kekerasan, semakin meningkat pula
tekanan terhadap pemerintahan demokrasi Barat untuk menghukum Indonesia
karena alasan HAM. Namun, selama perekonomian masih stabil dan kekuasaan
Soeharto tampak masih langgeng, kebanyakan pemerintah asing bersikap hati-hati
untuk mengutuk pelanggaran HAM Jakarta. Kebanyakan ekonom yang tertarik
dengan Indonesia terus meyakinkan duniabahwa fundamental ekonomi Indonesia
baik-baik saja. Dan represi rezim pun tampak efektif meskkipun sebenarnya
bersifat gegabah dan berpikiran pendek.

Pemilu Juni 1992 lagi-lagi dimenangkanGolkar, namun tetap membunyikan


peringatan bahaya dalam koridor kekuasaan Jakarta. Golkar meraih 68,1% suara,
atau turun 5,1% dibandingkan pemilu 1987. PPP tampaknya meraih 1%
perpindahan suara ini, naik dari 16% tahun 1987 menjadi 17% tahun 1992. PDI
memperoleh kenaikan suara yang paling besar, naik dari 10,9% menjadi 14,9%.

ABRI dibentuk pada prinsipnya sebagai satu angkatan bersenjata dan kekuatan
polisi untuk keamanan dalam negeri, dan bukan sebagai kekuatan pertahanan luar.
Pada tahun 1993, angkatan darat memiliki 211.000 personel, ditambah 99.000
pegawai sipil, dan direncanakan akan meningkat menjadi 243.000. polisi memiliki
180.000 personel, ditambah 24.000 orang sipil , dan direncanakan akan meningkat
menjadi 192.000 pada tahun 1999.

Sebaliknya , pada tahun 1993, angkatan laut hanya memiliki 42.000 personel
ditambah 15.000 orang sipil, sedangkan angkatan udara memiliki 19.000 personel
ditambah 10.000 pegawai sipil.

Hubungan ABRI-Soeharto merupakan kombinasi dari saling ketergantungan dan


ketidakpercayaan. Saling ketidakpercayaan itu menjadi lebih kuat setelah hasil
sidang MPR Maret 1993 yang kembali memilih Soeharto sebagai presiden untuk
keenam kalinya. Soeharto selalu bisa memilih wakil presiden yang akan
mendampinginya, dimana wakil presiden terakhir yang dipilihnya adalah
sudharmonoyang tidak disukai ABRI. Sekarang militer betrtindak untuk
memastikan hasil yang lebih dengan cara cepat mengumumkan bahwa ABRI
mencalonkan jenderal Try Sutrisno.

Krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia.
Bahkan, krisis itu menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997,
Presiden meminta bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor
keuangan dan menyatakan badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap
tabah dalam menghadapi gejolak krisis moneter (29 November 1997).

Di tengah krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam,
pada 10 Maret 1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh
kalinya. Kali ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret
1998, ia menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan
meminta kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya
selama satu tahun dalam rangka krisis moneter.

Menghadapi tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan


bahwa reformasi akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13
Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat
menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan
senjata. Sebelas menteri bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet
Pembangunan VII mengundurkan diri (20 Mei 1998). Krisis moneter dan
ekonomi benar-benar menggerogoti sistem kepemimpinannya. Dampaknya,
Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan negeri.

Hanya berselang 70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode
yang ketujuh kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Presiden Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu
Indonesia Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca
televisi saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran
dirinya.
Tanggal 12-20 Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun,
masa-masa itu kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa.
Aksi mahasiswa menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi
keprihatinan di berbagai tempat. Mahasiswa Trisaksi, Jakarta mengelar aksinya
tidak jauh dari kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus
dan memasuki jalan artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang
memang sangat stategis. Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita
meninggalnya empat mahasiswa Trisakti.

Sehari kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas
diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan
lagu Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui
pemberitaan radio, televise, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa
seakan sebagai ledakan suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998,
ibukota negara (Jakarta) dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat
yang membawa Presiden Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul
05.00 WIB pagi di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari
kunjungan ke Kairo, Mesir untuk mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT)
Kelompok 15 (Group 15/G-15).

Tanggal 16 Mei 1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk


berkonsultasi dengan unsure pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri
Pariwisata, Seni, dan Budaya Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri
sebagai menteri. Tanggal 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung
MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto
pada 21 Mei 1998.

Mereka yang tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa
angkatan 1996. Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik
Industri Jurusan Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri
Jurusan Mesin). Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah Elang
Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan
Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen) .

Soeharto membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal


Nasution menjadi konsep dwifungsi untuk memperoleh dukungan basis teoritis
bagi militer untuk memperluas pengaruhnya melalui pejabat-pejabat
pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di parlemen dan pos-pos utama
dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah peran militer di bidang politik
yang permanen.

Sepak terjang Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam


Soeharto. Persaingan antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan untuk
menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan
kendali Kopkamtib dipegang langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial
mengancam. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar
ditutup dan ratusan rakyat Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan
dipenjarakan.

Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya


NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan
kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.

Mulut pers pun dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982.
UU ini mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan
ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin
pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang
diperbolehkan berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang
Orde Baru.

Kemudian pada tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira


tinggi angkatan bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang
tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang mengeluhkan
sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai
pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai
balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak
pernah mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap
pemerintahan Orde Baru.

Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan


ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak
teknokrat dan ahli ekonomi yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden
Soekarno yang cenderung bersifat sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya
berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat adalah lulusan
Berkeley sehingga mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia
Berkeley di kalangan Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya,
Indonesia mendapatkan bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor
(negara-negara maju) yang tergabung dalan IGGI yang diseponsori oleh
pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah
Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia,
khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI ini
digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu,
Indonesia mendapat bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada
dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya,
kegagalan manajemen ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect
(menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi
pada segelintir kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan
industri dan keuangan (EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya
bergantung pada donor Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang
ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984.
Namun prestasi itu ternyata tidak dapat dipertahankan pada tahun-tahun
berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi Indonesia saat itu dianggap sangat
signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati
negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand,
selain Singapura, Republik Cina, dan Korea Selatan.

Di bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik


sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia
sebagai akibat dari politik masa presiden Soekarno yang menggunakan sistem
multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab
mandeknya pembangunan. Kemudian dikeluarkannnya UU Politik dan Asas
tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam
perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik di mana muncullah
istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR dijadikan partai utama dan
mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap penyelenggaraan PEMILU.
Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh sistem pada masa itu.

Seiring dengan naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena


pertumbuhan ekonomi, muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas
ketimpangan ketimpangan dalam pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan
politik memunculkan kalangan yang tidak puas dan menuntut perbaikan.
Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat muncul peristiwa kekerasan di
masyarakat yang umumnya sarat kepentingan politik, selain memang karena
ketidakpuasan dari masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa pada masa orde baru dalam pemerintahan presiden
Soeharto terjadi perombakan besar berpengaruh besar pada majunya Negara
Indonesia, namun seiring dengan banyaknya korupsi merajalela pada zaman itu
ada pula pengaruh negatifnya.
DAFTAR PUSTAKA

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/politik-pada-masa-orde-baru/
http://sananiria.blogspot.com/2011/02/sejarah-perkembangan-perekonomian.html
http://indonesiaindonesia.com/f/53571-indonesia-1990-1995-a/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25286/4/Chapter%20II.pdf

http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto

Você também pode gostar