Você está na página 1de 51

BAB I

PENDAHULUAN

Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal yang dikenal pula dengan nama Pott’s
disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis merupakan suatu penyakit yang
banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih 3 juta kematian terjadi setiap tahunnya
dikarenakan penyakit ini.1 Penyakit ini pertama kali dideskripsikan oleh Percival Pott pada tahun
1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura
tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga
ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut
menjadi jelas(2,3). Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5 tahun. Saat ini
dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan
sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak(3).
Terapi konservatif yang diberikan pada pasien tuberkulosa tulang belakang sebenarnya
memberikan hasil yang baik, namun pada kasus – kasus tertentu diperlukan tindakan operatif
serta tindakan rehabilitasi yang harus dilakukan dengan baik sebelum ataupun setelah penderita
menjalani tindakan operatif.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatosa
yg bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama Pott’s
disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering
ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis
tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

2.2 Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan
dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di
negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas
utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan
kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Pada negara-negara yang sudah
berkembang atau maju insidensi ini mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu
30 tahun terakhir(2,4,5,6,7). Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini
mengalami peningkatan pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan
tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980)(2,5).
Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan
terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini(8).
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutamamengenai dewasa, dengan usia
rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50%
kasus terjadi antara usia 1-20 tahun).
Pola ini mengalami perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi
tuberkulosa pada bayi dan anak-anak di Hong Kong(7,8,9).
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang
lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang
mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang
cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh
kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang

2
(kurang lebih 50% kasus), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di
kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal
bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum,
lalu dikuti dengan area servikal dan sakral(2,3,4,9,10).
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di
negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi
paraplegia non traumatik(7). Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa
dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi
tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan
keadaan ini(2,7).

2.3 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang paling
sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine tubercle
baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita HIV)(7,10).
Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-
motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakan
teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media
egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan karakteristik
Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies
lain(2). Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh,
5– 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan 1/3 dari
tipe bovin ) dan 5 – 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.

3
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius,
yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu.
Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif dengan sumber
penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan fisiknya baik, memerlukan
kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat
terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi
sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar
matahari langsung. Tetapi dalam tempat yg lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat
bertahan hidup selama beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman)
selama beberapa tahun

2.4 Patogenesis
Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan
enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri tidak
dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu.
Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga
akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang
dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif (2).
Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan
menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang cepat ;
demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat terjadi dalam hitungan hari. Respon seluler dan
kandungan protein dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi basil tuberkulosa
sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang virulen akan
menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang menimbulkan
meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi(2).
Kekuatan pertahanan pasien untuk menahan infeksi bakteri tuberkulosa tergantung dari(10):
1. Usia dan jenis kelamin

Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa
pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah.

4
Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis
milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara hematogen.
Setelah usia 1 tahun dan sebelum pubertas, anak yang terinfeksi dapat terkena penyakit
tuberkulosa milier atau meningitis, ataupun juga bentuk kronis lain dari infeksi tuberkulosa
seperti infeksi ke nodus limfatikus, tulang atau sendi. Sebelum pubertas, lesi primer di paru
merupakan lesi yang berada di area lokal, walaupun kavitas seperti pada orang dewasa dapat
juga dilihat pada anak-anak malnutrisi di Afrika dan Asia, terutama perempuan usia 10-14
tahun.
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah penyebaran
secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di paru-paru.
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita
cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat
kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia
40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan
menurunkan resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh.
Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau immunosupresan lain.
4. Penyakit

Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan
resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)

Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang
padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan
menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras

Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli,
mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.

5
2.5 Patologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari
TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya penyakit
ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson.
Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian
depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuan akan
menghalangi proses pembentukan tulang sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang
jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat
menjalar ke atas atau bawah lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan
diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan
penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior
vertebra akan menimbulkan kifosis.
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri
akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini
umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus.
Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa kaseosa
serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal.
Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini
terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra
sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi ditentukan
oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil
sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan
neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu:

6
Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh. Pada tahap ini
belum terjadi gangguan saraf sensoris.
Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas penderita
disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan miksi.
TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari
keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh
adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena
tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang progresif
dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi
destruksi tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau gibbus
bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan.

Kuman yg ”bangun” kembali dari paru-paru akan menyebar mengikuti aliran darah
ke pembuluh tulang belakang dekat dengan ginjal. Kuman berkembang biak umumnya di
tempat aliran darah yg menyebabkan kuman berkumpul banyak (ujung pembuluh). Terutama di
tulang belakang, di sekitar tulang thorakal (dada) dan lumbal (pinggang) kuman bersarang.
Kemudian kuman tersebut akan menggerogoti badan tulang belakang, membentuk kantung
nanah (abses) yg bisa menyebar sepanjang otot pinggang sampai bisa mencapai daerah lipat
paha. Dapat pula memacu terjadinya deformitas. Gejala awalnya adalah perkaratan – umumnya
disebut pengapuran – tulang belakang, sendi-sendi bahu, lutut, panggul. Tulang rawan ini akan
terkikis menipis hingga tak lagi berfungsi. Persendian terasa kaku dan nyeri, kerusakan pada

7
tulang rawan sendi, pelapis ujung tulang yg berfungsi sebagai bantalan dan peredam kejut bila
dua ruang tulang berbenturan saat sendi digerakkan.
Terbentuknya abses dan badan tulang belakang yg hancur, bisa menyebabkan tulang
belakang jadi kolaps dan miring ke arah depan. Kedua hal ini bisa menyebabkan penekanan
syaraf-syaraf sekitar tulang belakang yg mengurus tungkai bawah, sehingga gejalanya bisa
kesemutan, baal-baal, bahkan bisa sampai kelumpuhan.
Badan tulang belakang yg kolaps dan miring ke depan menyebabkan tulang belakang dapat
diraba dan menonjol di belakang dan nyeri bila tertekan, sering sebut sebagai gibbus
Bahaya yg terberat adalah kelumpuhan tungkai bawah, karena penekanan batang syaraf di
tulang belakang yg dapat disertai lumpuhnya syaraf yg mengurus organ yg lain, seperti saluran
kencing dan anus (saluran pembuangan).
Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan yg kronik dan destruktif yg
disebabkan basil tuberkulosis yg menyebar secara hematogen dari fokus jauh, dan hampir
selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi pri-mer atau
pasca primer. Penyakit ini sering ter-jadi pada anak-anak. Basil tuberkulosis biasanya
menyangkut dalam spongiosa tulang. Pada tempat infeksi timbul osteitis, kaseasi clan likuifaksi
dengan pembentukan pus yg kemudian dapat mengalami kalsifikasi. Berbeda dengan
osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada tuberkulosis tulang sangat sedikit
atau tidak ada sama sekali. Di samping itu, periostitis dan sekwester hampir tidak ada. Pada
tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang rawan sendi atau diskus
intervertebra.
Dari pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan refleks fisiologis normal. Ditemukan hipestesia
(raba) setinggi VT6. Tidak ditemukan adanya refleks patologis. Pada pemeriksaan nervi cranialis
tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber
infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius(2,5,7,8,10)
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru
paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan
suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya
dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna

8
vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada
kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra(3,4,10).
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis(7,9):
(1) Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum
longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat
menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
(2) Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai
tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini
dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat
terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio
torakal.
(3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya.
Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari
sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang
ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena
adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
(4) Bentuk atipikal :
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan.
Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan
granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di
pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi
intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui
tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%. Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang
cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi
ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua
atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal
anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus

9
yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi
ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.
Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada
saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous
sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten
terhadap infeksi tuberkulosa.
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang
diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis
dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari
end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang
menyebabkan tulang menjadi nekrosis
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga
kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf posterior
tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi
posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila
sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah
meluas.

10
Gambar 5.1 Patogenesis spondilitis tuberkulosa (Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In :
Pediatric Orthopedics.2nd ed. Philadelphia : W.B. Saunders, 2015 : 1450)

Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di
area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar
dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di
bagian servikal, kolaps hanyam bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena
sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular(3).
Dengan adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan
menumpuk menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest(8).

11
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi
jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi,
sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps(8).
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus
vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum
tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi
sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi
aslinya(8)

Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju lipat paha
dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal menghambat jalannya
abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform radioopak pada
atau sedikit dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang besar dapat terjadi
ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral yang menyerupai
‘sarang burung’. Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada anterior di area
parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke lateral menuju bagian
tepi leher(3). Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien
dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang

12
(kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa)
tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural granuloma, tuberculous
arachnoiditis).
Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal
dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul secara akut ataupun kronis (setelah
hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula
spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi
pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi
berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.

2.6. Pott’s Paraplegia


Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi(3,7):
(1) Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit
(2) Late onset paresis
Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit. Sementara itu Seddon dan Butler
memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe:
(1) Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut
Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan dengan
penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).
(2) Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen bahkan
walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang.
Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :
a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater

Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses, material
perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau dislokasi patologis vertebra.
Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang
bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan reflek withdrawal.
b. Invasi duramater oleh tuberkulosa

13
Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis tuberkulosa.
Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter
dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya kerusakan
korda spinalis. Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan
paraplegia.
(3) Type III / yang berjalan kronis
Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat membaik. Bisa
terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis meningen dan adanya
jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke
anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang
mensuplai corda spinalis).
Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh Hodgson menjadi (11):
I. Penyebab ekstrinsik :
(1) Pada penyakit yang aktif
a. abses (cairan atau perkijuan)
b. jaringan granulasi
c. sekuester tulang dan diskus
d. subluksasi patologis
e. dislokasi vertebra
(2) Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
a. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
b. fibrosis duramater

II. Penyebab intrinsik :


Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan
meningen dan corda spinalis.

III. Penyebab yang jarang :


(1) Trombosis corda spinalis yang infektif
(2) Spinal tumor syndrome

14
2.7 Penegakkan Diagnosa (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10)
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor(7).
Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat.
Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan
hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi
tuberkulosa.
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam yang
berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia. Pada pasien anak-
anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak
jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, maka
demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan
terlihat dengan jelas.
2. Adanya rwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada.
Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan,
dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi
yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau nyeri yang
menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan
intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian
perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan
menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena
mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu
tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris
sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan
rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi
leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga
akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi

15
medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984).
Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab
kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan
karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal.
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia
menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu
dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku
Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga
dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke
bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas
atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai
permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi
fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya
kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada
kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada
infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak
bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan
motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti pada
infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa
hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.
Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa
sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba
panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di
belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar
dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas
pus dalam cold abscess.

16
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
Perkusi :
1. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae yang
terkena, sering tampak tenderness.
Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium :
1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.
1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD) positif.
Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh
mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area berindurasi,
kemerahan dengan diameter 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan.
Hasil yang negatif tampak pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan
pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau
disertai penyakit lain)
1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas
lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.
1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins, typhoid,
paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat kesehatan dengan
peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.
1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa). Normalnya
cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan
serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan
tampak:
-Xantokrom
-Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
-Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa berupa
neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970; Traub et al 1984).
-Kandungan protein meningkat.
-Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat mendukung
diagnosis, ulangi pemeriksaan.

17
-Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal akan menunjukkan
genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein
menggambarkan suatu blok spinal yang mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis.
Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini. Kandungan protein cairan serebrospinal
dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.
-Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi
hal ini tergantung dari pengalamanpemeriksa dan tahap infeksi.
2. Radiologis (6,8,12,14):
- Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi. Foto rontgen
dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3
kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
- Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu
onset penyakit.
- Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral. Tahap awal tampak
lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus vertebrae,
osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus
intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk
scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.
- Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus
spinosus.
- Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita
scoliosis (jarang)
- Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang sudah
lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya
(vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap tingginya). Bentuk ini
dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi karena adanya stress
biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra menjadi lebih tinggi.
Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus
vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra
torakal.

18
- Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak
bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas
akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas
dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses
epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi
(tergantung ukuran abses).

3. Computed Tomography – Scan (CT)


Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat
pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan
CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang
bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk :
- Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau
operatif.
- Membantu menilai respon terapi.

Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.
5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin diperlukan
pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik
(untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50% kasus).
6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral yang
diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian
dapat diinokulasi di dalam guinea babi.

2.8 Diagnosa Banding(6,8,10,14)


1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).
2. Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya
infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan
lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa daripada infeksi bakterial lain.

19
3. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan
laboratorium.
4. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma,
aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma)
5. Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda
dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara
radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk
tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.
6. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak
adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian
anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.
7. Fraktur kompresi traumatik akibat tumor medulla spinalis.
8. Metastasis tulang belakang dengan tidak mengenai diskus dan terdapat karsinoma prostat.
9. Osteitis piogen dengan demam yang lebih cepat timbul.
10. Poliomielitis dengan paresis atau paralisis tungkai dan skoliosis.
11. Skoliosis idiopatik tanpa gibbus dan tanda paralisis.
12. Kifosis senilis berupa kifosis tidak lokal dan osteoporosis seluruh kerangka.
13. Penyakit paru dengan bekas empiema tulang belakang bebas penyakit.
14. Infeksi kronik non tuberkulosis seperti infeksi jamur (blastomikosis).
15. Proses yang berakibat kifosis dengan atau tanpa skoliosis

2.9 Komplikasi(4,10,6,13)
1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus
intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :
menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda
dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan
paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.
2. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam pleura.

20
2.10 Manajemen terapi(2,7,8)
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa(4,2,7,9)
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh
kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara
signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga
obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka
menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen
terapi ini merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus
menunda pemberian terapi.
Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat
selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa
memakan waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga
situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa bukti
konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberculosa
juga merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik(7,8).
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi :
(1) Resistensi primer
Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat pada pasien yang sebelumnya
belum pernah diterapi. Resistensi primer terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM ataupun
INH. Jarang terjadi resistensi terhadap RMP atau EMB). Regimen dengan dua obat yang biasa
diberikan tidak dapat dijalankan pada kasus ini.
(2) Resistensi sekunder
Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien dengan infeksi yang awalnya
masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut. The Medical Research Council telah

21
menyimpulkan bahwa terapi pilihan untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang
adalah kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 – 9 bulan.
Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya dini atau terbatas tanpa
disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto
rontgen menunjukkan adanya resolusi tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi
ini adalah masalah kepatuhan pasien.
Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner masih merupakan hal yang kontroversial.
Terapi yang lama, 12-18 bulan, dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi,
sementara bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan
dapat mengalami resistensi sekunder.
Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide
(PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB).
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine,
kanamycin dan capreomycin.
Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa yang primer:
Isoniazid (INH)
- Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler
- Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.
- Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.
- Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
- Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih banyak pasien berusia
lanjut usia, peripheral neuropathy karena defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat
reversibel dengan pemberian suplemen piridoksin).
- Relatif aman untuk kehamilan
- Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari

Rifampin (RMP)
- Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun lambat dari basil, baik
di intra ataupun ekstraseluler.
- Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang paling rendah (seperti
pada nekrosis perkijuan).

22
- Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia dalam bentuk sediaan
oral dan intravena.
- Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal.
- Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus gastrointestinal,
cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose dependent peripheral neuritis.
Hepatotoksisitas meningkat bila dikombinasi dengan

INH.
- Relatif aman untuk kehamilan
- Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.

Pyrazinamide (PZA)
- Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan yang bersifat asam
dan paling efektif di intraseluler (dalam makrofag) atau dalam lesi perkijuan.
- Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.
- Efek samping :
1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang dipergunakan dalam
jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah bila diberikan dalam jangka pendek.
2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang tampak. Arthralgia dapat
timbul tetapi tidak berhubungan dengan kadar asam urat.
- Dosis : 15-30mg/kg/hari

Ethambutol (EMB)
- Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler
- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
- Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya kondisi buta warna,
berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya central scotoma.
- Relatif aman untuk kehamilan
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
- Dosis : 15-25 mg/kg/hari

Streptomycin (STM)
- Bersifat bakterisidal

23
- Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga dipergunakan untuk
melengkapi pemberian PZA.
- Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal
- Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan vertigo (terutama sering
mengenai pasien lanjut usia)
- Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal
- Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini
membantu pasien yang terancam mengalami spinal block disamping mengurangi oedema
jaringan.
Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis,
radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.
3. Istirahat tirah baring (resting)(3,4,7,8,9,13)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame /
plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia
keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior, atau bila
terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai
gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang
akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu,
sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan
laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot
paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris
menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan
radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.
Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan
jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan
body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan
immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi
panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita

24
diperbolehkan berobat jalan.
Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu immobilisasi di plaster
shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini perawatan selama tirah baring untuk mencegah
timbulnya kontraktur pada kaki yang mengalami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah
harus dalam posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti ini
maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan. Hal ini disebabkan
oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang menyebabkan dekompresi.
Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol
secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan
kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika,
jaringan kaseonekrotik dan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi
kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami
perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien
yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan
neurologis. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu(2,10).
Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat
antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon
yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul
untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang
terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat(9,13).
Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan
bila(4,6,7,12) :
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis
berat saat ini

25
5. Penyakit yang rekuren
Pott’s paraplegia sendiri selalu merupakan indikasi perlunya suatu tindakan operasi (Hodgson)
akan tetapi Griffiths dan Seddon mengklasifikasikan indikasi operasi menjadi(11) :
A. Indikasi absolut
1. Paraplegia dengan onset selama terapi konservatif; operasi tidak dilakukan bila timbul
tanda dari keterlibatan traktur piramidalis, tetapi ditunda hingga terjadi kelemahan
motorik.
2. Paraplegia yang menjadi memburuk atau tetapi statis walaupun diberikan terapi
konservatif
3. Hilangnya kekuatan motorik secara lengkap selama 1 bulan walaupun telah diberi terapi
konservatif
4. Paraplegia disertai dengan spastisitas yang tidak terkontrol sehingga tirah baring dan
immobilisasi menjadi sesuatu yang tidak memungkinkan atau terdapat resiko adanya
nekrosis karena tekanan pada kulit.
5. Paraplegia berat dengan onset yang cepat, mengindikasikan tekanan yang besar yang
tidak biasa terjadi dari abses atau kecelakaan mekanis; dapat juga disebabkan karena
trombosis vaskuler yang tidak dapat terdiagnosa
6. Paraplegia berat; paraplegia flasid, paraplegia dalam posisi fleksi, hilangnya sensibilitas
secara lengkap, atau hilangnya kekuatan motorik selama lebih dari 6 bulan (indikasi
operasi segera tanpa percobaan pemberikan terapi konservatif)

B. Indikasi relatif
1. Paraplegia yang rekuren bahwa dengan paralisis ringan sebelumnya
2. Paraplegia pada usia lanjut, indikasi untuk operasi diperkuat karena kemungkinan
pengaruh buruk dari immobilisasi
3. Paraplegia yang disertai nyeri, nyeri dapat disebabkan karena spasme atau kompresi
syaraf
4. Komplikasi seperti infeksi traktur urinarius atau batu

C. Indikasi yang jarang


1. Posterior spinal disease
2. Spinal tumor syndrome

26
3. Paralisis berat sekunder terhadap penyakit servikal
4. Paralisis berat karena sindrom kauda ekuina

Pilihan pendekatan operasi dilakukan berdasarkan lokasi lesi, bisa melalui pendektan dari
arah anterior atau posterior. Secara umum jika lesi utama di anterior maka operasi dilakukan
melalui pendekatan arah anterior dan anterolateral sedangkan jika lesi di posterior maka
dilakukan operasi dengan pendekatan dari posterior. Saat ini terapi operasi dengan menggunakan
pendekatan dari arah anterior (prosedur HongKong) merupakan suatu prosedur yang dilakukan
hampir di setiap pusat kesehatan(9,13).
Walaupun dipilih tindakan operatif, pemberian kemoterapi antituberkulosa tetaplah penting.
Pemberian kemoterapi tambahan 10 hari sebelum operasi telah direkomendasikan. Pendapat lain
menyatakan bahwa kemoterapi diberikan 4-6 minggu sebelum fokus tuberkulosa dieradikasi
secara langsung dengan pendekatan anterior. Area nekrotik dengan perkijuan yang mengandung
tulang mati dan jaringan granulasi dievakuasi yang kemudian rongga yang ditinggalkannya diisi
oleh autogenous bone graft dari tulang iga. Pendekatan langsung secara radikal ini mendorong
penyembuhan yang cepat dan tercapainya stabilisasi dini tulang belakang dengan memfusikan
vertebra yang terkena. Fusi spinal posterior dilakukan hanya bila terdapat destruksi dua atau
lebih korpus vertebra, adanya intabilitas karena destruksi elemen posterior atau konsolidasi
tulang terlambat serta tidak dapat dilakukan pendekatan dari anterior(3,9).
Pada kasus dengan kifosis berat atau defisit neurologis, kemoterapi tambahan dan bracing
merupakan terapi yang tetap dipilih, terutama pada pusat kesehatan yang tidak mempunyai
perlengkapan untuk operasi spinal anterior(6). Terapi operatif juga biasanya selain tetap disertai
pemberian kemoterapi, dikombinasikan dengan 6-12 bulan tirah baring dan 18-24 bulan
selanjutnya menggunakan spinal bracing (9).
Operasi pada kondisi tuberculous radiculomyelitis tidak banyak membantu. Pada pasien
dengan intramedullary tuberculoma, operasi hanya diindikasikan jika ukuran lesi tidak
berkurang dengan pemberian kemoterapi dan lesinya bersifat soliter.

2.9 Pencegahan
Vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) merupakan suatu strain Mycobacterium bovis
yang dilemahkan sehingga virulensinya berkurang. BCG akan menstimulasi immunitas,

27
meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menimbulkan hal-hal yang membahayakan. Vaksinasi ini
bersifat aman tetapi efektifitas untuk pencegahannya masih kontroversial.
Percobaan terkontrol di beberapa negara Barat, dimana sebagian besar anakanaknya cukup gizi,
BCG telah menunjukkan efek proteksi pada sekitar 80% anak selama 15 tahun setelah pemberian
sebelum timbulnya infeksi pertama. Akan tetapi percobaan lain dengan tipe percobaan yang
sama di Amerika dan India telah gagal menunjukkan keuntungan pemberian BCG. Sejumlah
kecil penelitian pada bayi di negara miskin menunjukkan adanya efek proteksi terutama terhadap
kondisi tuberkulosa milier dan meningitis tuberkulosa. Pada tahun 1978, The Joint Tuberculosis
Committee merekomendasikan vaksinasi BCG pada seluruh orang yang uji tuberkulinnya negatif
dan pada seluruh bayi yang baru lahir pada populasi immigran di Inggris(2,10).
Saat ini WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease tetap
menyarankan pemberian BCG pada semua infant sebagai suatu yang rutin pada negara-negara
dengan prevalensi tuberkulosa tinggi (kecuali pada beberapa kasus seperti pada AIDS aktif).
Dosis normal vaksinasi ini 0,05 ml untuk neonatus dan bayi sedangkan 0,1 ml untuk anak
yang lebih besar dan dewasa. Oleh karena efek utama dari vaksinasi bayi adalah untuk
memproteksi anak dan biasanya anak dengan tuberkulosis primer biasanya tidak infeksius, maka
BCG hanya mempunyai sedikit efek dalam mengurangi jumlah infeksi pada orang dewasa.
Untuk mengurangi insidensinya di kelompok orang dewasa maka yang lebih penting adalah
terapi yang baik terhadap seluruh pasien dengan sputum berbasil tahan asam (BTA) positif
karena hanya bentuk inilah yang mudah menular. Diperlukan kontrol yang efektif dari infeksi
tuberkulosa di populasi masyarakat sehingga seluruh kontak tuberkulosa harus diteliti dan
diterapi.
Selain BCG, pemberian terapi profilaksis dengan INH berdosis harian 5mg/kg/hari
selama 1 tahun juga telah dapat dibuktikan mengurangi resiko infeksi tuberkulosa(2,10).

2.11 Prognosa(7)
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi
kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.
a. Mortalitas

28
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan
ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh
dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis
saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara
signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan
pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.

Rajasekaran dan Soundarapandian dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat hubungan


nyata antara sudut akhir deformitas dan jumlah hilangnya corpus vertebra. Untuk
memprediksikan sudut deformitas yang mungkin timbul peneliti menggunakan rumus :
Y = a + bX
dengan keterangan :
Y = sudut akhir dari deformitas
X = jumlah hilangnya corpus vertebrae
a dan b adalah konstanta dengan a = 5,5 dan b= 30, 5.
Dengan demikian sudut akhir gibbus dapat diprediksi, dengan akurasi 90% pada pasien
yang tidak dioperasi. Jika sudut prediksi ini berlebihan, maka operasi sedini mungkin harus
dipertimbangkan.
d. Defisit neurologis
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara
spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik
dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen
spondilitis tuberkulosa.

29
STATUS ORANG SAKIT BAGIAN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DR. PIRNGADI

I. Anamnesa Pribadi O.S


Nama : REGGIA OPUSUNGGU
Umur : 70 tahun 6 bulan 12 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak
Alamat : Pardomuan III, Aceh Tenggara
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perkawinan : Janda
Tanggal Masuk : 13 DesemberJanuari 2019
No RM : 01.07.60.31

II. Anamnesa Penyakit


Keluhan Utama : Nyeri Pinggang (+)
Telaah: Hal ini dialami os kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dan
memberat 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan pasien menjalar hingga
ke bahu. Keluhan ini timbul secara mendadak dan pasien merasa lebih baik jika
dalam posisi tidur. Keluhan ini semakin memberat jika pasien duduk ataupun berdiri
sehingga pasien tidak dapat beraktivitas seperti biasa. Keluhan dirasakan bersamaan
dengan adanya perasaan mual dan muntah (+) .riwayat kenaikan suhu badan ketika
malam hari ditemuan dan belum buang air besar sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. riwayat penurunan pendengaran disangkal, riwayat telinga berdengung
disangkal, riwayat trauma kepala disangkal.
RPT :-
RPO :-

Anamnesa Traktus
Traktus Sirkulatorius : Dalam batas normal

30
Traktus Respiratorius : Dalam batas normal
Traktus Digestive : Dalam batas normal
Traktus Urogenitalis : Dalam batas normal

III. Anamnesa Keluarga


Faktor Herediter : Tidak jelas
Faktor Familial : Tidak jelas

IV. Anamnesa Sosial


Kelahiran dan Pertumbuhan
Imunisasi : Tidak jelas
Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Tidak ada
Perkawinan : Janda

V. Pemeriksaan Jasmani
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E:4 V:6 M:5
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 89x/i
Frekuensi Nafas : 23x/i
Suhu : 36,7oC

Kepala dan Leher


Bentuk dan Posisi : Dalam batas normal
Gerakan dada dan abdomen : Dalam batas normal
VI. Pemeriksaan Neurologis
a. Sensorium : CM (E:4 V:6 M:5)
b. Cranium
Bentuk : Dalam batas normal
Palpasi : Dalam batas normal

31
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Transluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

c. Rangsangan meningeal
Kaku Kuduk : Tidak dijumpai
Brudzinsky I : Tidak dijumpai
Brudzinsky II : Tidak dijumpai
Tanda Kernig : Tidak dijumpai

d. Peningkatan tekanan intracranial


Sakit Kepala : Tidak dijumpai
Muntah : Tidak dijumpai
Kejang : Tidak dijumpai

e. Saraf-saraf otak
a. Nervus I (Olfactorius)

Normosomia

b. Nervus II (Opticus)

Nervus1 Dextra Sinistra


(Olfaktorius)
Visus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan

Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan


pemeriksaan pemeriksaan

Refleks cahaya + +

c. Nervus III (Oculomotorius)

Nervus III OD OS

32
(Oculomotorius)
Gerakan bola mata ke Normal Normal
medial
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
Lateral Normal Normal
Nistagmus Tidak Dijumai Tidak Dijumpai
Strabismus Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Ptosis Tidak dijumpai Tidak dijumpai
Pupil Normal Normal
Bentuk Isokor Isokor
RC langsung Dijumpai Dijumpai
RC tidak langsung Dijumpai Dijumpai

d. Nervus IV (Trochlearis)

Nervus IV OD OS
(Trochlrearis)
Pergerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal
bawah dan lateral

e. Nervus V (Trigeminus)

Nervus V (Trigeminus) Kanan Kiri

- Motorik

33
Membuka mata dan Dalam batas normal Dalam batas normal
menutup mulut
Palpasi kekuatan otot Dalam batas normal Dalam batas normal
masester
Kekuatan gigitan Dalam batas normal Dalam batas normal

Pergerakan rahang Dalam batas normal Dalam batas normal

- Sensorik

Kulit (nyeri, raba, suhu) Dalam batas normal Dalam batas normal

Refleks kornea Dalam batas normal Dalam batas normal

Refleks masester Dalam batas normal Dalam batas normal

Refleks bersin Tidak dilakukan Tidak dilakukan


pemeriksaan pemeriksaan

f. Nervus VI (Abducens)

Gerakan bola mata ke Dalam batas normal Dalam batas normal


lateral

g. Nervus VII (Facialis)

a. Motorik

Kanan Kiri

Mimik wajah Dalam batas normal Dalam batas normal

Kerut kening Dalam batas normal Dalam batas normal

Menutup mata Dalam batas normal Dalam batas normal

Mengangkat alis Dalam batas normal Dalam batas normal

34
Memperlihatkan gigi Dalam batas normal Dalam batas normal

Meniup sekuat-kuatnya Dalam batas normal Dalam batas normal

b. Sensorik

Pengecapan 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan


lidah pemeriksaan pemeriksaan

Produksi kelenjar lidah Dalam batas normal Dalam batas normal

h. Nervus VIII (Vestibulocochlearis)

Auditorik Kanan Kiri


Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Tes Berbisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Vestibulum
Test romberg Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan
Test melangkah di Tidak dapat dilakukan Tidak dapat dilakukan
tempat (stepping test) pemeriksaan pemeriksaan
Past pointing test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan

35
Manuver dix hallpike Tidak dilakukan Tidak dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan

i. Nervus IX (Glosofaringeus)

Pengecapan 1/3 Tidak dilakukan pemeriksaan


lidah belakang Simetris
Palatum molle Berada ditengah
Uvula Tidak dilakukan pemeriksaan
Disatria Dalam batas normal

j. Nervus X (Vagus)

Disfagia Tidak dilakukan pemeriksaan

Refleks Muntah Tidak dilakukan pemeriksaan

k. Nervus XI (Asesorius)

Kanan Kiri

Mengangkat bahu Normal Agak sulit

Menolehkan kepala Normal Normal

i. Nervus XII (Hipoglosus)

Lidah Lidah kotor


Tremor Tidak dijumpai
Atrofi Tidak dijumpai
Ujung lidah saat istirahat Normal

36
Ujung lidah saat dijulurkan Dalam batas normal

VII. Sistem motorik

Kanan Kiri
Trofi Normotropi hipotropi
Tonus Otot Normotonus hipotonus

Kekuatan Otot
55555 4444
55555 2222
Sikap
a. Duduk : Sulit harus di bantu
b. Berdiri : Tidak bisa
c. Berbaring : dirasakan nyeri daerah pinggang

Gerakan spontan abnormal


a. Tremor : Tidak dijumpai
b. Chorea : Tidak dijumpai
c. Balismus : Tidak dijumpai
d. Mioklonus : Tidak dijumpai
e. Atetosis : Tidak dijumpai
f. Distonia : Tidak dijumpai
g. Spasme : Tidak Dijumpai
h. Tic : Tidak dijumpai

VIII. Sistem Sensibilitas

Tes Sensibilitas

Eksteroseptik

37
Nyeri Dalam batas normal

Suhu Dalam batas normal

Raba Dalam batas normal

Propioseptik
Gerak Dalam batas normal

Posisi Dalam batas normal

Getaran Dalam batas normal

Tekanan Dalam batas normal

IX. Refleks
a. Refleks Fisiologis
Kanan Kiri

Biceps Dijumpai Dijumpai

Triceps Dijumpai Dijumpai

KPR Dijumpai Dijumpai

APR Dijumpai Dijumpai

b. Refleks Patologis
Kanan Kiri

Babinsky Tidak dijumpai Tidak dijumpai

38
Chaddok Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Oppenheim Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Gordon Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Schaeffer Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Hofman Tromner Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Klonus Lutut Tidak dijumpai Tidak dijumpai

X. Koordinasi
Bicara Dalam batas normal

Menulis Tidak dilakukan pemeriksaan

Percobaan Apraksia Tidak dilakukan pemeriksaan

Tes telunjuk hidung Tidak dilakukan pemeriksaan

Tes Romberg Tidak dilakukan pemeriksaan

XI. Vegetatif
Miksi : Dalam batas normal
Defekasi : sulit defekasi
Potensi dan Libido : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pilo erector : Tidak dilakukan pemeriksaan
Vasomotorik : Dalam batas normal
Sudomotorik : Dalam batas normal

XII. Vertebrae
Bentuk : Dalam batas normal
Pergerakan : ada batasan gerakan dan nyeri
39
XIII. Tes Rangsangan Radikuler
Laseque : Tidak dijumpai
Cross Laseque : Tidak dijumpai
Lhermitte : Tidak dijumpai
Nafziger : Tidak dijumpai

XIV. Gejala-gejala Serebellar


Ataksia : Tidak dijumpai
Disartria : Tidak dijumpai
Nistagmus : tidak dijumai
Fenomena Rebound : Tidak dijumpai
Vertigo : tidak dijumpai

XV. Gejala Ekstrapiramidal


Tremor : Tidak dijumpai
Rigiditas : Tidak dijumpai
Bradikiniesia : Tidak dijumpai

XVI. Fungsi Luhur


Kesadaran Kualitatif : E:4 M:6 V:5
Ingatan Baru : dalam batas normal
Ingatan Lama : dalam batas normal
Orientasi : dalam batas normal
Reaksi Emosi : dalam batas normal
Agnosia : dalam batas normal

XVII. Kesimpulan pemeriksaan


Pada pemeriksaan dijumpai:
a. Pemeriksaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E:4 V:6 M:5
Tekanan Darah : 120/80 mmHg

40
Frekuensi Nadi : 96/xi
Frekuensi Nafas : 23x/i
Suhu : 36,7oC

b. Pemeriksaan Neurologi
Nervus I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nervus II (Opticus) : Rc +/+, pupil isokor
Nervus III (Oculomotorius) : Mata kiri dan kanan dapat
digerakkan kearah superior,
inferior dan medial
Nervus IV (Trochlearis) : Mata kiri dan kanan dapat
digerakkan
Nervus V (Trigeminus) : Dapat membuka dan menutup
mulut
Nervus VI (Abducens) : Mata kiri dan kanan dapat
digerakkan
Nervus VII (Facialis) : dalam batas normal
Nervus VIII (Vestibulokoklearis) : dalam batas normal
Nervus IX (Glossopharyngeus) : Palatum mole simetris, uvul
ditengah
Nervus X (Vagus) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nervus XI (Asesories) : dalam batas normal
Nervus XII (Hipoglosus) : Tidak dijumpai tremor dan
atropi pupil

c. Tonus Otot : Normotropi/ hipotropi


d. Kekuatan Otot : Normotonus/ hipotonus
5555 4444
5555 2222

41
e. Refleks
Kanan Kiri

Refleks Fisiologis

Biceps Dijumpai Dijumpai

Triceps Dijumpai Dijumpai

KPR Dijumpai Dijumpai

APR Dijumpai Dijumpai

Refleks Patologis

Babinski Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Oppenheim Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Chaddock Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Gordon Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Schaeffer Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Hoffman Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Tromner Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Klonus Kaki Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Klonus Lutut Tidak dijumpai Tidak dijumpai

f. Sensibilitas
a. Eksteroseptif : Tidak dilakukan pemeriksaan
b. Propioseptik : Tidak dilakukan pemeriksaan
g. Tanda Rangsangan Meningeal : Tidak dijumpai
h. Tanda Rangsangan Radikuler : Tidak dijumpai

42
i. Gejala Serebellar : Tidak dijumpai
j. Gejala Ekstrapiramidal : Tidak dijumpai
k. Fungsi Luhur : dalam batas normal

Gadjah Mada Score


c. Penurunan kesadaran : Tidak dijumpai
d. Nyeri kepala : Tidak dijumpai
e. Refleks Patologis : Tidak dijumpai

XVIII. DIAGNOSA BANDING


1. Spondilitis TB
2. HNP
XIX. DIAGNOSA KERJA
Spondilitis TB

XX. TERAPI
- IVFD Nacl 0.9% 20 gtt/i
- Inj Tramadol 1 gr/ 8 jam/drips dalam NaCL 0,9%100cc
- Inj. Ranitidine 1 gr/12 jam
- Inj Dexamethason 1 mg/8jam/iv
- Inj. Cyanocobalamin 2cc/12 jam dalam NaCL 0,9% 500cc.
- Alpenthin 100mg 2x1
- Paracetamol 500 mg 3x1
- Calac 1x1
- Sucralfat syr 3xcII
- Vit B comp 3x1

43
XXI. RENCANA PEMERIKSAAN SELANJUTNYA
a. Pemeriksaan Laboratorium

Darah Lengkap dan Kimia Hasil


Klinik
WBC 6.17x103/uL
RBC 3.54x106/uL
HGB 9.3 g/dL
HCT 28.4%
PLT 165x103

KIMIA KLINIK HASIL


SGPT 53,00 u/l
SGOT 22,00 u/l
Alkaline Phosphate 217,00 u/l
Total bilirubin 0,23 mg/dl
Direct Bilirubin 0,07 mg/dl
Ureum 36,00 mg/dl
Creatinin 0,95 mg/dl
Uric acid 4.90 mg/dl
Glukosa ad random 111,00 mg/dl
Natrium 143,00 mmol/L
Kalium 3,80 mmol/L
Klorida 109,00 mmol/L

ICT Salmonella Thypoid IgM: Skala 6

b. Pemeriksaan Penunjang
1. Head CT-Scan : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. EEG : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Radiologi:

44
a. Foto Thorax: TB Paru
b. Foto Lumbosacral: Fraktur kompresi L3-L4

XXIII. Prognosa

a. Qua ad vitam : dubia ad bonam


b. Qua ad functionam : dubia ad bonam
c. Qua ad sanationam : dubia ad bonam

45
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING

13-01-2019 - Nyeri pinggang Sens: Compos LBP ec - IVFD Nacl 0.9%


(+) Mentis Spondilitis TB gtt/i
TD : 110/70 - Inj. Ketorolac
mmHg /8jam
HR : 72 x/i - Inj Ranitidin 1
RR : 20 x/i g/12 jam
T : 37.4oC - Alpentin 100mg
2x1
- Dzp 2mg 2x1
- PCT 500 mg 3x1
- B comp 3x1
- Sucralfat Syr
3xc1

R/ Konsul Interna
Konsul Ortopedi
Konsul Paru
Konsul fisioterapi

14-01-2019 - Nyeri pinggang Sens: Compos Spondilitis TB + - IVFD Nacl 0.9%


(+) Mentis Thypoid fever gtt/i
- Sulit menelan (+) TD : 120/70 - Inj. Ketorolac
- Sulit BAB mmHg /8jam
HR : 78 x/i - Inj Ranitidin 1
RR : 20 x/i g/12 jam
T : 37.8oC - Alpentin 100mg
2x1
- Dzp 2mg 2x1
- PCT 500 mg 3x1

46
- B comp 3x1
- Sucralfat Syr
3xc1
- Vit C 3x1
- Nystatin Drop
- Levofloxacin
500mg 1x1
- RHZE
450/300/500/500

15-01-2019 - Nyeri pinggang Sens: Compos Spondilitis TB + - IVFD Nacl 0.9%


(+) Mentis Thypoid fever gtt/i
- TD : 110/70 - Inj. Ketorolac
mmHg /8jam
HR : 84 x/i - Inj Ranitidin 1
RR : 20 x/i g/12 jam
T : 36.5 oC - Alpentin 100mg
2x1
- Dzp 2mg 2x1
- PCT 500 mg 3x1
- B comp 3x1
- Sucralfat Syr
3xc1
- Vit C 3x1
- Nystatin Drop
- Levofloxacin
500mg 1x1
- RHZE
450/300/500/500

47
16-01-2019 - Nyeri pinggang Sens: Compos Spndilitis TB + - IVFD Nacl 0.9%
(+) Mentis Thypoid Fever gtt/i
TD : 110/70 - Inj. Ketorolac
mmHg /8jam
HR : 72 x/i - Inj Ranitidin 1
RR : 20 x/i g/12 jam
T : 37.4oC - Inj.
Dexamethason 1
mg/12 jam
- Alpentin 100mg
2x1
- Dzp 2mg 2x1
- PCT 500 mg 3x1
- B comp 3x1
- Sucralfat Syr
3xc1
- Levofloxacin
500mg 1x1
- RHZE
450/300/500/500

r/ anjuran
pemasangan
korset dari
fisioterapi

23-01-2019 - Nyeri pinggang Sens: Compos Spondilitis TB + - IVFD Nacl 0.9%


(+) berkurang Mentis Thypoid fever gtt/i
TD : 120/70 - Inj. Ketorolac
mmHg /8jam
HR : 76 x/i - Inj Ranitidin 1
RR : 22 x/i g/12 jam

48
T : 36.8oC - Alpentin 100mg
2x1
- Dzp 2mg 2x1
- PCT 500 mg 3x1
- B comp 3x1
- Sucralfat Syr
3xc1
- Vit C 3x1
- RHZE
450/300/500/500

25-01-2019 - Nyeri pinggang Sens: Compos Spondilitis TB + - IVFD Nacl 0.9%


berkurang (+) Mentis Thypoid fever gtt/i
TD : 120/80 - Inj. Ketorolac
mmHg /8jam
HR : 80 x/i - Inj Ranitidin 1
RR : 20 x/i g/12 jam
T : 36.5oC - Alpentin 100mg
2x1
- Dzp 2mg 2x1
- PCT 500 mg 3x1
- B comp 3x1
- Sucralfat Syr
3xc1
- Vit C 3x1
- RHZE
450/300/500/500

49
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Walaupun insidensi spinal tuberkulosa secara umum di dunia telah berkurang pada
beberapa dekade belakangan ini dengan adanya perbaikan distribusi pelayanan kesehatan dan
perkembangan regimen kemoterapi yang efektif, penyakit ini akan terus menjadi suatu masalah
kesehatan di negara-negara yang belum dan sedang berkembang dimana diagnosis dan terapi
tuberkulosa sistemik mungkin dapat tertunda.
Kemoterapi yang tepat dengan obat antibuberkulosa biasanya bersifat kuratif, akan tetapi
morbiditas yang berhubungan dengan deformitas spinal, nyeri dan gejala sisa neurologis dapat
dikurangi secara agresif dengan intervensi operasi, program rehabilitasi serta kerja sama yang
baik antara pasien, keluarga dan tim kesehatan.

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity. In : Fundamentals of


Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Saddle River, 2015: 132,151
2. Savant C, Rajamani K. Tropical Diseases of the Spinal Cord. In : Critchley E, Eisen A.,
editor. Spinal Cord Disease : Basic Science, Diagnosis and Management. London :
Springer-Verlag, 2014 : 378-87.
3. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders, 2016 : 1449-54
4. Lindsay, KW, Bone I, Callander R. Spinal Cord and Root Compresion. In : Neurology
and Neurosurgery Illustrated. 2nded. Edinburgh : Churchill Livingstone, 2015 : 388.
5. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD.,
editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-Year Book,
Inc., 2015 : 387-90.
6. Lauerman WC, Regan M. Spine. In : Miller, editor. Review of Orthopaedics. 2nd ed.
Philadelphia : W.B. Saunders, 2016 : 270-91
7. Currier B.L, Eismont F.J. Infections of The Spine. In : The spine. 3rd ed. Rothman
Simeone editor. Philadelphia : W.B. Sauders, 2016 : 1353-64
8. Ombregt L, Bisschop P, ter Veer H.J, Van de Velde T. Non Mechanical Disorders of The
Lumbar Spine. In : A System of Orthopaedic Medicine.Philadelphia : W.B. Saunders,
2015 : 615-32.
9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In : http:/www.bonetumour
org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedics and traumatoloty.
10. Miller F, Horne N, Crofton SJ. Tuberculosis in Bone and Joint. In : Clinical
Tuberculosis.2nd ed.: London : Macmillan Education Ltd, 2015 : 62-6.
11. Wood.G.W. Infections of Spine. In : Campbell’s Operative Orthopaedics. 7th ed.
Crenshaw A.H editor. St. Louis : C.V. Mosby Company, 2014 : 3323-45.
12. Terry R. Y, Lindsay R. Infection : Non Suppurative Osteomyelitis (tuberkulosis). In :
Essential of Skeletal Radiology. 2nd ed. Baltiomore : Williams and Wilkins, 2017 : 1227.
13. Salter R.B.Tuberculous Osteomyelitis. In : Textbook of Disorders and Injuries of The
Musculoskeletal System. 3rd ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 2016: 228-31
14. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In : Musculoskeletal Imaging
: A Concise Multimodality Approach. New York : Thieme, 2015 : 150, 334-36.

51

Você também pode gostar