Você está na página 1de 28

A.

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Perseteruan internal partai politik mengalami pergeseran yang sangat

tajam. Jika konflik yang dikenal saat ini hanya persoalan kaderisasi, perbedaan

pendapat dan keuangan organisasi, kali ini terjadi disintegrasi partai politik

melalui dualisme kepengurusan organisasi. Padahal Partai politik mempunyai

posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem

demokrasi. Partai memainkan peran penguhubung yang sangat strategis antara

proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang

berpendapat bahwa partai politik lah yang sebetulnya menentukan

demokrasi.1Namun, partai mulai mengalami turbulensi karena faksi-faksi yang

tumbuh dalam partai sulit menyatu dalam satu komando organisasi.

Disintegarasi partai politik akan berimplikasi pada sistem perekrutan

politik yang menjadi tugas konstitusionalnya sebuah organisasi. Partai politik

memiliki peran dalam melakukan rekrutmen politik terhadap warga Negara. Hal

ini jelas-jelas diatur dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2011 Tentang Partai

Politik tepatnya pada Pasal 29 (1) yang menjelaskan bahwa Partai Politik

melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: (a)

anggota Partai Politik; (b) bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (c) bakal calon kepala daerah dan wakil kepala

daerah; dan d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.2

1
Jimli Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah
Konstitusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006), hlm 52.
2
LihatUndang-UndangNomor 2 Tahun 2011 TentangPartaiPolitik

1
Di era pemerintahan Jokowi, perpecahan dan kepengurusan ganda partai

politik kembali terjadi. Seperti mengulang sejarah, dua kubu saling menggelar

muktamar atau musyawarah. Kali ini perpecahan dan kepengurusan ganda terjadi

pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Masing-masing

elite partai menggelar pemilihan ketua umumnya versi masing-masing. Sekjen

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuzy menggelar muktamar di

Surabaya.3

Muktamar yang melahirkan Romahurmuzy sebagai ketua umum, diklaim

paling sah dan mereka langsung mendaftarkan hasil muktamarnya ke

Menkumham untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah. Sementara Ketua

Umum PPP Suryadarma Ali juga menggelar muktamar di Jakarta dan melahirkan

Djan Faridz sebagai ketua umum, yang juga mengklaim kepengurusannya paling

sah. Akibat adanya dualisme kongres ini kemudian melahirkan kepengurusan

ganda di tubuh partai tersebut. Masing-masing kubu mengklaim merekalah yang

paling sah, paling sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, dan

paling legitimate. Lantas mana dari kepengurusan ganda ini yang paling sah.4

Sebenarnya perkara ini telah diselesaikan di Mahkamah Partai yang tugas

dan kewenangannya telah diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU Parpol menyatakan

“penyelesaian perselisihan internal parpol melalui mahkamah parpol harus

diselesaikan paling lambat 60 hari. Putusan Mahkamah Parpol atau sebutan lain

bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan

dengan kepengurusan”. Sementara pada pasal 33 UU Parpol yang berbunyi


3
http://www.kompasiana.com/edomedia/dualisme-parpol-tinjauan-dari-sisi-
hukum_551ffd39813311ea719de10d, diakses pada tanggal 6 Mei 2017
4
Ibid.,

2
“dalam hal penyelesian perselisihan secara internal tidak tercapai, maka

penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri”.

Penulis pun menilai hal yang paling rentan menimbulkan kegaduhan

adalah pada proses pergantian kepengurusan. Padahal sudah ada ketentuan yang

telah mengatur secara tegas mengenai proses transisi kepemimpinan partai politik.

Dalam hal pergantian kepengurusan di tingkat nasional sesuai AD/ART, pengurus

baru didaftarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM paling lambat 30 hari.5

Kementerian Hukum HAM menerbitkan surat keputusan tentang pengurus yang

sah paling lama 7 hari sejak diterimanya persyaratan.6 Jika terdapat keberatan dari

anggota atau pihak di internal partai dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

Selama proses sengketa di pengadilan (gugatan PTUN), kepengurusan

yang sah berdasar pada surat keputusan Menteri Hukum dan HAM RI. Apakah

putusan pengadilan baik di tingkat pengadilan negeri hingga kasasi, PTUN atau

pengesahan dari Menhukham sudah melegitimasi bahwa pengurus yang

dimenangkan dalam putusan tersebut sah dan berhak menggunakan semua hak

dan kewajiban parpol. Sebagai negara hukum, ukuran yang sah dan legitimate

adalah putusan hukum. Surat keputusan Menteri Hukum dan HAM, sebagai

subyek TUN selama belum ada putusan pengadilan yang membatalkannya adalah

sah dan legitimate.

Adanya 2 kutub kekuasaan partai menyebabkan krisis legitimasi terhadap

administrasi atau keputusan partai khususnya perihal kesahihan rekomendasi

partai politik terhadap pencalonan pemilihan kepala daerah. Disatu sisi, kubu

5
Lihat Pasal 23 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.
6
Ibid.,

3
Romahurmuzy memiliki dasar hukum yang jelas karena merujuk pada Surat

Keputusan Menteri Hukum dan HAM atas tindak lanjut hasil Muktamar Islah

Pondok Gede. Disisi lain kubu Djan Faridz begitu getol mempertahankan

kedudukan hukumnya sebagai pengurus yang sah berdasarkan amar

putusan Mahkamah Agung Nomor 601 Tahun 2015. Adanya ketidakpastian

administrasi kepartaian akibat dualisme kepemimpinan semakin menyulitkan

pengurus daerah untuk melakukan tugas dalam hal menjaring dan melakukan

rekrutmen politik. Hal ini didasari oleh saling mengklaim kekuasaan dan memicu

terbelahnya pengurus di daerah yang jelas-jelas akan mengancam kredibilitas PPP

di masyarakat.

Walaupun dalam ketentuan regulasi pencalonan pemilihan kepala daerah

telah secara eksplisit memberikan batasan, tidak dapat dipungkiri putusan MA No

601 Tahun 2015 yang menjadi dasar berlakunya kepengurusan kubu Djan Faridz

menimbulkan ketidakpastian hukum. Konflik produk hukum yaitu surat keputusan

kemenkum HAM dan putusan MA menjadi objek perdebatan yang serius terkait

keputusan manakah yang memiliki dasar hukum yang kuat untuk memberikan

rekomendasi pencalonan pemilihan kepala daerah sesuai amanat pasal 36 PKPU

No 9 Tahun 2016.

Atas dasar itulah, Peneliti tertarik mengkaji permasalahan ini kedalam

kerangka judul penelitian yaitu “Legalitas Rekomendasi Oleh Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) Sesuai Pasal 36 PKPU No 9 Tahun 2016 Tentang

Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah”.

4
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kekuatan hukum surat rekomendasi calon kepala

daerah sesuai pasal 36 PKPU No 9 Tahun 2016 Tentang

Pencalonan Pemilihan Kepala Daerah ?

2. Bagaimana konstitusionalitas surat rekomendasi yang dikeluarkan

oleh kepengurusan kubu Romahurmuzy dan kubu Djan Faridz ?

3. Bagaimana solusi untuk mengatasi dualisme kepemimpinan Partai

Persatuan Pembanguan dalam memberikan rekomendasi dan

dukungan terhadap pemilihan kepala daerah .?

B. Tinjauan Pustaka

2.2. Negara Hukum

Pengalaman menjadi negara yang terjajah adalah alasan kuat untuk

memilih tipe Negara Hukum. Hal ini dikarenakan tipe Negara Hukum pun lahir

dari penolakan terhadap kekuasaan yang absolut dan dilaksanakan secara

sewenang-wenang. Sebagai sebuah negara hukum Negara Republik Indonesia

mempunyai tujuan sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 preambule UUD

1945 yang menyatakan bahwa : yaitu ” ...untuk membentuk suatu Pemerintah

Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...” Dengan tujuan tersebut,

5
terutama tujuan “untuk memajukan kesejahteraan umum”, dapat dikatakan bahwa

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara

hukum, sangat erat kaitannya dengan Indonesia sebagai negara kesejahteraan

(welfare state).7

Komitmen Indonesia sebagai negara hukum, tercantum dalam UUD NRI

1945 pasal 1 ayat (3). Pengaturan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut

merupakan hasil amandemen ketiga UUD 1945, dimana dalam UUD 1945 naskah

asli ayat (3) dalam pasal tersebut tidak dicantumkan. Pada awalnya, pengertian

bahwa Indonesia adalah negara hukum atau rechstaat tercantum dalam penjelasan

UUD 1945 naskah asli, yang mengartikan rechstaat sebagai negara yang berdasar

atas hukum. Pemilihan tipe Negara Hukum bagi Indonesia oleh para founding

father Indonesia bukanlah tanpa latar belakang yang jelas.

Tegaknya negara hukum mesti didukung oleh regulasi yang dapat

memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Hal ini penting guna menjaga

marwah negara hukum yang menganut prinsip-prinsip keadilan kepada individu

maupun kelompok masyarakat. Tujuan hukum itu akan menjadi preseden yang

baik jika semua elemen masyarakat mampu menghargai dan menghormati norma-

norma hukum yang mengatur kehidupan masyarakat.

Negara Hukum menurut Abdul Aziz Hakim adalah, negara berlandaskan

atas hukum dan keadilan bagi warganya. Artinya adalah segala kewenangan dan

tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan

7
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 : Sesuai Dengan Urutan BAB, Pasal, dan Ayat
(Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 48

6
hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum sehingga dapat mencerminkan

keadilan bagi pergaulan hidup warganya.8

2.2. Demokrasi

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan

pemerintahannya berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi langsung)

atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa

Yunani yaitu demokratia (kekuasaan rakyat), yang dibentuk dari kata demos

(rakyat) dan kratos (kekuasaan), merujuk pada sistem politik yang muncul pada

pertengahan abad ke 5 dan ke 4 SM di kota Yunani Kuno khususnya Athena.9

Dalam pandangan Arend Lijphart (1999), pola demokrasi secara garis

besarnya bisa dibedakan ke dalam dua model: “majoritarian democracy”

(demokrasi yang lebih mengutamakan suara mayoritas) dan “consensus

democracy” (demokrasi yang lebih mengutamakan konsensus). “Consesnsus

democracy” tidaklah berbeda dengan “majoritarian democracy” dalam menerima

bahwa kekuasaan mayoritas (majority rule) lebih baik daripada kekuasaan

minoritas (minority rule). Namun demikian, model “consesnsus democracy”

menerima “majority rule” hanya sebagai suatu prasyarat minimum. Alih-alih

merasa puas hanya dengan mayoritas tipis dalam pengambilan keputusan,

consensus democracy berusaha memaksimalkan ukuran mayoritas ini, yaitu

bahwa institusi dan aturan mainnya diarahkan pada partisipasi yang luas dalam

pemerintahan dan persetujuan yang luas dalam kebijakan yang harus dikejar oleh

8
Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, 2011,
Celeban Timur (Yogyakarta), hlm 8
9
Azumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada
Media, 2005), hlm 125.

7
pemerintah. Model majoritarian mengkonsentrasikan kekuatan politik di tangan

suatu kekuatan mayoritas, sedangkan model konsensus berusaha untuk membagi,

menyebarkan, dan membatasi kekuasaan dengan pelbagai cara; seturut dengan itu,

model majoritarian bersifat eksklusif, kompetitif dan berseteru (adversarial),

sedangkan model consensus bersifat inklusif, tawar menawar (bargaining) dan

berkompromi. Dengan alasan ini, demokrasi konsensus juga dapat juga disebut

“negotiation democracy”.10

2.3. Politik Hukum

Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga

asumsi yang mendasarinya, yaitu: (1) Hukum determinan (menentukan) atas

politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan

politik. (2) Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya,

baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat

dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. (3) Politik dan hukum

terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium, “politik

tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik

akan jadi lumpuh.11

Mahfud MD berpendapat bahwa politik hukum adalah legal policy yang

akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang

meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan

pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;

10
Yudi Latif. Negara Paripurna, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utana, 2011), hlm
460
11
Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media,
1999), hlm 11-12

8
kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi

lembaga dan pembinaan para penegak hukum.12 Tujuan politik hukum adalah

demi kepentingan rakyat sehingga erat hubungannya dengan tujuan negara. 13

Politik hukum merupakan pintu masuk lembaga struktural negara dalam

mengambil kebijakan atau arah pengaturan hukum yang condong terhadap

kebutuhan hukum masyarakat. Politik hukum mestinya mengikuti pola kehidupan

masyarakat yang dinamis, sehingga kepentingan penguasa dalam melindungi

masyarakat dapat berjalan secara terukur. Adanya politik hukum mampu

membuka kran partisipasi masyarakat untuk ikut terlibat dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan, sehingga arah pengaturan hukum memiliki

sasaran yang strategis agar praktek penyusunan regulasi berbasis bottom-up

partisipatif.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, karena hendak

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.14 Perlu dinyatakan bahwa studi

yang di lakukan dalam penelitian ini bersifat kepustakaan. Yaitu dilakukan

dengan mengkaji secara kritis bahan-bahan kepustakaan seperti bahan-bahan

berupa kitab perundangundangan, buku-buku, jurnal-jurnal, yurisprudensi dan

12
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010, Hal 17
13
A.S.S Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Purposis Publishers, 2002,
hlm 15.
14
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, (Prenada Media, Jakarta, 2005), hlm 35.

9
D. Pembahasan

4.1. Pengaturan Hukum Pencalonan Kepala Daerah Oleh Partai Politik

4.1.1. Syarat dan Mekanisme Pencalonan Kepala Daerah

Menurut Joko J. Prihatmoko Pilkada langsung merupakan mekanisme

demokratis dalam rangka rekrutmen pemimpin daerah, dimana rakyat secara

menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang

didukungnya, dan calon-calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan

aturan main yang sama.15 Menurut Rush yang dikutip Fadillah bahwa di negara

berkembang, tak terkecuali Indonesia, proses rekrutmen dalam sistem politik tidak

dirumuskan secara formal, karena perkembangan organisasi partaipartai politik

kurang ekstensif dan terpecah-pecah.16

Partai politik adalah salah satu dari infrastruktur, sedangkan infrastruktur

politik di Indonesia meliputi keseluruhan kebutuhan yang diperlukan dalam

bidang politik dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas yang berkenaan dengan asal

mula, bentuk dan proses pemerintahan yang berlevelkan negara.yang anggota-

anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.17

Rektrumen yang dilaksanakan oleh Partai politik merupakan salah satu hal

wajib dalam menjaring Calon Kepala Daerah rektrumen sendiri dapat dilakukan

melalui internal partai atau dilaksanakan secara umum dengan mengijinkan calon

15
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem dan Problema
Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar Semarang, 2005, hlm 109
16
Fadillah Putra, Partai Politik dan Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm 11
17
Syafiie Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan, edisi revisi. Bandung: Mandar Maju, 2007, hlm 59

10
diluar partai politik untuk ikut seleksi dalam pencalonan Kepala Daerah adapun

yang Mekanisme dalam rektrumen Partai Politik adalah sebagai berikut: 18

Menurut Haris rekrutmen oleh partai politik secara umum mencakup tiga

tahapan penting yaitu :

1) Penjaringan calon

2) Penyaringan dan seleksi calon yang telah dijaring.

3) Penetapan calon.

4) Seleksi Kandidat

Norris mengungkapkan terdapat 4 hal penting yang dapat menunjukkan

bagaimana pengorganisasian partai politik dalam rekrutmen politik.

1) Kandidat yang dapat dinominasikan

2) Penyeleksi

3) Tempat seleksi

4) Kandidat yang dinominasikan

4.1.2. Kekuatan hukum surat rekomendasi calon kepala daerah

Kekuataan hukum surat rekomendasi calon kepala daerah oleh partai

politik bersifat final sesuai dengan AD/ART Partai Politik hal ini di amanatkan

dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, Dan Walikota pasal 39 huruf a yang berbunyi :

“Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Pasangan Calon


Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Pasangan Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai
Politik”
.

18
Irawati Hatta, “Analisis Rekrutmen Calon Walikota Dan Wakil Walikota Balikpapan Oeh Partai
Golkar Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Balikpapan Tahun 2015”, eJournal Ilmu
Pemerintahan, Volume 4, Nomor 3, 2016 hal. 3-5

11
Selanjutnya hal ini semakin dikuatkan pada pasal 40 ayat 4 yang berbunyi:

“Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) hanya dapat mengusulkan 1 (satu) pasangan calon, dan calon
tersebut tidak dapat diusulkan lagi oleh Partai Politik atau gabungan Partai
Politik lainnya”.

Praktek kepengurusan partai politik saat ini mulai mengalami degradasi

dengan munculnya dualisme kepengurusan yang berimbas pada kesahihan

kepengurusan organisasi partai politik. Faktanya bahwa dualisme ternyata

menjadi akar persoalan munculnya pertentangan rekomendasi yang dikukuhkan

oleh masing-masing kepengurusan. Seperti yang terjadi pada kasus PPP, kubu

djan fariz dan kubu romi mengklaim rekomendasi masing-masing dengan dasar

hukum kepengurusan yang sah pula. Namun, secara legal-formal telah terjawab

dalam ketentuan PKPU No 9 Tahun 2016 tentang Tahapan Pencalonan Pemilihan

Kepala Daerah bahwa ternyata yang memiliki dasar hukum yang kuat untuk

mengeluarkan rekomendasi adalah kepengurusan yang telah mendapatkan

pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM.

4.1.3. Jalan Tengah Putusan Mahkamah Konstitusi No 24/PUU-XV/2017

1) Alasan permohonan

Norma dalam undang-undang partai politik telah memberikan

kewenangan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mereduksi sebuah

putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sebagai

produk kekuasaan yudisial. Sehingga putusan hakim yang sudah berkekuatan

hukum tetap adalah produk yang belum final karena masih harus disahkan dan

ditetapkan oleh Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM sebagai lembaga

representasi dari cabang kekuasaan eksekutif.

12
Dalam prakteknya sebagaimana yang dialami oleh Pemohon, sebagai

pihak yang dinyatakan sah sebagai Pengurus DPP Partai Persatuan

Pembangunan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 601 K/Pdt.Sus-Parpol/2015 yang

telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) seharusnya Pemohon

yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM sebagai pengurus DPP

PPP. Akan tetapi Pemohon tidak mendapatkan pengesahan dan/atau Surat

Keputusan dari Menteri Hukum dan HAM. Hal tersebut dikarenakan Menteri

Hukum dan HAM justru menerbitkan Surat Keputusan Nomor M.HH-

006.AH.11.01 Tahun 2016 yang mengesahkan hasil Muktamar VIII Partai

Persatuan Pembangunan yang dilaksanakan di Pondok Gede pada tanggal 8

sampai 11 April 2016 yang bertentangan dengan isi putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap.19

Sebuah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah

sebuah sumber hukum formil yang posisinya setara dengan sumber hukum

formil lainnya termasuk undang-undang. Maka dari itu, sebuah tindakan yang

tidak tunduk pada sebuah putusan pengadilan pada dasarnya adalah tindakan

yang bertentangan dengan hukum dan oleh karenanya tindakan tersebut dapat

didefinisikan sebagai tindakan yang sewenang-wenang.

Ketentuan Pasal 33 UU Parpol dan frasa “dan didaftarkan serta

ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia” dalam Pasal 40A ayat

19
Ibid.,

13
(3) UU Pilkada senyatanya merupakan wujud norma yang telah menghilangkan

wibawa pengadilan dengan membuka ruang bagi Menteri Hukum dan HAM

untuk tidak tunduk pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Karena berdasarkan norma tersebut, sebuah putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap tidak dapat serta merta diberlakukan sebagai sebuah

sumber hukum karena masih harus didaftarkan dan ditetapkan oleh Menteri

Hukum dan HAM. Dan ini merupakan sebuah pelanggaran yang nyata terhadap

wibawa hukum dan independensi lembaga pengadilan sebagai manifestasi

kewenangan judicial dalam sebuah negara hukum.

Dengan adanya Pasal 33 UU Parpol yang tidak mewajibkan Menteri

Hukum dan HAM melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

tetap dan adanya frasa “dan didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan

menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan

hak asasi manusia” dalam Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada menimbulkan

ketidakpastian hukum yang adil karena rumusannya dapat menimbulkan

banyak interpretasi. Interpretasi tersebut antara lain, putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap dengan amar yang jelas dan pasti, dapat

diabaikan apalagi dengan adanya rangkaian kalimat “dan didaftarkan serta

ditetapkan dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia”, karena putusan

pengadilan tersebut masih harus digantungkan pada adanya pendaftaran oleh

Kementerian Hukum dan HAM.

Makna lain dari norma tersebut adalah menteri yang menyelenggarakan

14
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat memiliki

pilihan lain dalam menentukan pengurus partai politik yang berselisih selain

yang telah diputuskan oleh pengadilan dengan putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap yaitu mengabaikan putusan pengadilan dan mendaftarkan

pimpinan partai politik yang oleh putusan pengadilan dinyatakan tidak sah.

2) Pendapat Mahkamah

Persilisihan Pengurus Partai Politik Antara kubu H. Djan Faridz dan

Romahurmuziy telah menjadi polemik yang cukup panjang dalam hal ini

Mahkamah Konstitusi dalam Mengambil Keputusan menyatakan beberapa

pendapatan antara lain:20

1. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak

mengecualikan bagi Partai Politik yang sedang terjadi perselisihan

internal yang diselesaikan oleh Mahkamah Partai Politik atau

diselesaikan melalui pengadilan;

2. Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

20
Ibid, hlm 21-22

15
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak

dimaknai "dalam hal terjadinya perselisihan internal Partai Politik,

setelah diterimanya putusan Mahkamah Partai Politik atau putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”;

3. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

"putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah

berkekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh Menteri dan susunan

pengurus sesuai putusan Mahkamah Partai Politik atau putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang tidak dilaksanakan oleh

Menteri dalam waktu 7 hari setelah diterimanya putusan dinyatakan

sebagai susunan pengurus yang sah".

4. Menyatakan Pasal 40A ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016

Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi

Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “dan

didaftarkan serta ditetapkan dengan keputusan menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi

16
manusia”;

Pendapat Mahkamah diatas pada prinsipnya mengakui Mahkamah

Partai sebagai salah lembaga Internal partai dalam menyelesaikan Konflik

Internal Partai Politik dan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai

kekuataan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh Mentri hukum dan HAM dan

jajaran Pengurus Partai Politik.

1) Arah Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara harus didasarkan pada

UUD NRI 1945 dengan berpegang pada alat bukti dan keyakinan masing-

masing hakim konstitusi. Alat bukti yang dimaksud sekurang-kurangnya 2

(dua) seperti hakim dalam memutus perkara tindak pidana. Dalam putusan

Mahkamah Konstitusi harus memuat fakta yang terungkap dalam persidangan

dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan apakah putusannya

menolak permohonan, permohonan tidak diterima atau permohonan

dikabulkan.

Kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon sebagai

perseorangan warga negara Indonesia terkait erat dan bahkan tidak dapat

dilepaskan dari dalil Pemohon sebagai Ketua Umum DPP PPP yang merasa

dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya konflik kepengurusan partai

politik.

Mahkamah Konstitusi dalam hal ini Berpendapat bahwa:21

“Mahkamah melalui beberapa putusan sebelumnya, yaitu Putusan


Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, Putusan

21
Ibid, hal. 25.

17
Nomor 73/PUU- XII/2014, bertanggal 29 September 2014, Putusan
Nomor 85/PUU-XII/2014, bertanggal 24 Maret 2015, dan Putusan
Nomor 35/PUU-XII/2014, bertanggal 26 Mei 2015, telah memberikan
pertimbangan hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa partai
politik yang turut serta membahas dan mengambil keputusan atas
pengesahan suatu Undang-Undang di DPR, maka partai politik tersebut
tidak dapat mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang
dimaksud ke Mahkamah Konstitusi. Bahwa pasal dan/atau ayat yang
dimohonkan pengujian adalah pasal dan/atau ayat dalam UU 2/2011 dan
UU 10/2016. Kedua Undang-Undang tersebut masing-masing dibahas
dan disahkan pada tahun 2011 dan tahun 2016, yang pada saat itu PPP
memiliki wakil di DPR yang ikut membahas rancangan Undang-
Undang dimaksud hingga disahkannya menjadi Undang-Undang.
Karena telah ikut membahas dan menyetujui Undang-Undang
dimaksud, maka Mahkamah menilai PPP sebagai partai politik tidak
lagi memiliki kedudukan hokum untuk mengajukan permohonan a
quo”.

Mahkamah Konstitusi berpendapat tidak ada kerugian konstitusional

yang dialami oleh Pemohon dengan berlakunya Pasal 40A ayat (3) UU Pilkada

dan Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 33 UU Parpol yang dimohonkan

pengujian konstitusionalitasnya sehingga Pemohon tidak memenuhi syarat

kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Karena itu Mahkamah tidak

mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon.22

4.2. Polemik Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Oleh

Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

4.2.1. Konstitusionalitas Surat Rekomendasi Pencalonan Kepala Daerah

Konflik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) antara Djan Faridz

Muhammad Romahurmuziy bukan hanya berdampak pada perpecahan internal

partai PPP akan tetapi yang lebih penting adalah tentang legalitas rekomendasi

22
Lihat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 93/PUU XIV/2016. Hal 65

18
Partai PPP kepada Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam Pemilihan

Kepala Daerah karena PPP terjadi dualisme dalam kepengurusan pusat pastinya

akan berdampak pada kepengurusan didaerah dalam hal ini rekemendasi Calon

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Dualisme rekomendasi Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah

Partai PPP secara eksplisit telah mengakui PPP versi Ketua Umum

Romahurmuziy adalah yang sah setelah dikeluarkan keputusan Putusan di tingkat

peninjauan kembali No. 79/2017 dari MA yang membatalkan Putusan MA

sebelumnya di tingkat kasasi No. 601/2015 hal ini dikuatkan dengan adanya

putusan dari PTUN Nomor: 58/ B/2017/PT.TUN.JKT dalam amar putusannya,

PTTUN Jakarta menyatakan, perselisihan kepengurusan PPP, berdasarkan Pasal

32 Ayat (1) beserta penjelasannya dari Undang Undang No 2 Tahun 2011 tentang

Partai Politik, seharusnya diselesaikan melalui forum Mahkamah Partai Politik.

Putusan Mahkamah Agung tingkat Peninjauan Kembali dan adanya

Putusan PTUN Jakarta tingkat Kasasi telah memberikan kekuataan hukum bagi

Partai PPP Versi Ketua Umum Romahurmuziy adalah sah dan telah meiliki

kekuataan hukum tetap dalam menjalankan roda organisasi karena pemberian

rekomendasi Calon Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah dari PPP Versi Ketua

Umum Romahurmuziy adalah sah sebagai kepengurusan yang resmi.

4.2.2. Putusan Mahkamah Agung Peninjauan Kembali

Permohonan Peninjaun kembali yang diajukan oleh Romahurmuziy sesuai

dengan pasal 263 ayat 2 KUHP pada poin 3 yaitu adanya kekhilafan hakim atau

kekeliruan yang nyata dalam putusan kasasi No. 601/2015 yang merugikan

19
pemohonon. Salah satu poin utama Hakim Mahkamah Agung dalam

Menyelesaikan Perkara ini adalah adanya fakta tujuh bukti baru yang diajaukan

pemohon sebagai salah satu pertimbangan ntuk mengabulkan permohonan dari

pemohon. Melihat fakta diatas PK dari pemohon dikabulkan salah satu alasan kuat

dari 7 bukti baru adalah adanya kesalahan hakim kasasi yang menyatakan:23

“Bahwa meneliti dengan seksama posita dan petitum gugatan baik dalam
konvensi, rekonvensi maupun intervensi, ternyata bahwa pokok persoalan
dalam perkara a quo adalah mengenai Susunan Kepengurusan Partai
Persatuan Pembangunan hasil Muktamar VIII di Surabaya dan mengenai
Susunan Kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan hasil Muktamar
VIII di Jakarta pada tanggal 30 Oktober-2 November 2014”.

Bahwa pertimbangan hukum sebagaimana dikutip di atas menunjukkan

adanya kekhilafan dan kekeliruan yang nyata dari Majelis Hakim Kasasi MA RI,

sebagai berikut:24

1. Apabila dibaca secara teliti dan seksama, maka pokok persoalan

(utama) dalam perkara ini baik yang terurai dalam posita bagian

konvensi, rekonvensi dan intervensi adalah mengenai (i) keabsahan

Muktamar-nya, baik Muktamar VIII PPP yang di Surabaya

maupun Muktamar VIII PPP yang di Jakarta, dan (ii) keabsahan

amar Nomor 5 (lima) Putusan Mahkamah Partai DPP PPP a quo;

Poin (i) tersebut dapat dilihat dari petitum gugatan konvensi

maupun gugatan intervensi dimana Penggugat Konpensi maupun

Penggugat Intervensi (Temohon PK) sama-sama menempatkan

petitum yang berkaitan dengan (keabsahan) kedua Muktamar VIII

23
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 79 PK/Pdt.Sus-Parpol/2016, hal. 101.
24
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 79 PK/Pdt.Sus-Parpol/2016, hal. 101-102

20
PPP a quo lebih dahulu atau pada bagian depan/atas dari petitum

mereka. Sedangkan mengenai poin (ii) di atas dapat dilihat dari

petitum gugatan rekonvensi yang menuntut pembatalan atau tidak

sah-nya amar Nomor 5 (lima) Putusan Mahkamah Partai DPP PPP

a quo;

2. Mengenai (keabsahan) Susunan Kepengurusan Partai Persatuan

sesungguhnya merupakan pokok persoalan “turutan (acessoir)”,

oleh karenanya baik dalam posita dari gugatan konvensi maupun

gugatan intervensi ditempatkan setelah uraian posita mengenai

persoalan Muktamar VII PPP. Demikian pula urutan dalam bagian

petitum, tuntutan tentang keabsahan Susunan Kepengurusan

Muktamar VIII PPP a quo ditempatkan setelah petitum yang

menyangkut keabsahan Muktamar VIII di Jakarta pada tanggal 30

Oktober-2 November 2014”.

Sebagaimana telah diuraikan diatas, maka kekhilafan Hakim dan/atau

kekeliruan yang nyata dan paling fatal, dengan menunjuk pertimbangan hukum

Judex Lurex dalam menanggapi keberadaan Pemohon Kasasi II yang

menyatakan:25

"Bahwa karena pokok persoalan dalam perkara a quo adalah mengenai


Susunan Kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan maka sesuai
penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2011 adalah
merupakan perselisihan Partai Politik oleh karenanya Mahkamah Agung
berwenang untuk mengadili perkara ini";

25
Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 79 PK/Pdt.Sus-Parpol/2016, hal. 109

21
Penulis berpendapat hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 2

Tahun 2011 tentang Partai Politik Pasal 32 Ayat 5 yang berbunyi: “Putusan

Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara

internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan”.

Maka Judex Lurex seharusnya memutuskan untuk menolak atau

setidaknya menyatakan gugatan Penggugat dan Penggugat Intervensi tidak dapat

diterima (niet ontvankelijk verklaard), oleh karena bukan menjadi kewenangan

Peradilan (Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung) untuk memeriksa

perselisihan Kepengurusan Partai Politik (kompontensi absolut) yang sudah final

dan mengikat dengan putusan Mahkamah Partai DPP PPP tersebut.

Atas Dasar beberapa Fakta diatas Mahkamah Agung memutuskan untuk

Menerima Peninjaun Kembali Romahurmuziy dengan membatalkan Kasasi

Mahkamah Agung Nomor 504 K/TUN/2015 Tahun 2015 yang dimenangkan oleh

Djan faris.

E. Penutup

5.1. Kesimpulan

1. Ketentuan Pasal 36 PKPU No 9 Tahun 2016 menjelaskan bahwa

dalam hal keputusan terakhir dari Menteri tentang kepengurusan

Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

ayat (1) masih dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan,

KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota menerima

pendaftaran Bakal Pasangan Calon berdasarkan keputusan terakhir

dari Menteri tentang penetapan kepengurusan Partai Politik.

22
Dengan demikian kekuatan surat rekomendasi yang sesuai legal-

formal adalah kepengurusan Romahurmuziy dan dapat dipastikan

kepengurusan yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan adalah kepengurusan Romahurmuziy.

2. Dualisme Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terjadi telah

menimbulkan Ketidakpastian Hukum terkait dengan Calon Kepala

Daerah dari PPP yang mengakibatkan adanya upaya hukum untuk

mendapatkan legal standing Kubu Partai yang berhak mengusung

Calon dalam Kepala Daerah yang pada akhirnya Mahkamah

Agung mengabulkan Peninjauan Kembali Kubu Romahurmuziy

dengan membatalkan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 504

K/TUN/2015 Tahun 2015 yang sebelumnya dimenangkan oleh

Djan fariz. Atas dasar putusan Mahkamah Agung itulah, Kubu

Romahurmuziy adalah kepengurusan yang memiliki kewenangan

untuk mengeluarkan rekomendasi pencalonan kepala daerah dan

wakil kepala daerah.

5.2. Saran

Penulis berpendapat solusi untuk mengatasi dualisme kepemimpinan

Partai Persatuan Pembanguan dalam memberikan rekomendasi dan dukungan

terhadap pemilihan kepala daerah yaitu Penguatan Mahkamah Partai Politik.

Mahkamah Partai Politik harus diberikan Kekuataan hukum yang lebih kuat dan

keputusan yang mengikat karena pada dasarnya tugas dan fungsi dari Mahkamah

Partai Politik adalah menyelesaikan persoalan internal Partai karena itu

23
Penguataan Mahkamah Partai Persatuan Pembangunan menurut Peneliti adalah

sebagai berikut:

a. Melembagakan Mahkamah Partai Politik menjadi lembaga yang

permanen bukan ad hoc.

b. Pembentukannya diforum tertinggi partai.

c. Hakim harus capable, berwibawa, arif bijaksana, dan dapat

diterima semua pihak

d. Penegasan putusan yang bersifat final dan mengikat untuk sengketa

kepengurusan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Buku

A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara,
Jakarta, 1987

Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia, Penerbit


Pustaka Pelajar, 2011, Celeban Timur (Yogyakarta).

Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Penegakan


Hukum dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010

Amin Suprihatini,Partai Politik di Indonesia. Klaten: Cempaka Putih,2008.

Azumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani


(Jakarta: Prenada Media, 2005).

Bagir Manan. Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi
Daerah. Fakultas Hukum Unpad. Bandung, 2000.

CFG Sunaryati Hartono, Membangun Hukum Nasional Indonesia Menjadi


Hukum yang Progresif dan Sesuai Dengan Kebutuhan dan Tuntutan Masa
Kini dan Masa Depan, dalam Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran
Hukum Progresif (Yogyakarta: Thafa Media, 2013)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai


Pustaka, 2005).

Fadillah Putra, Partai Politik dan Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003

Firmanzah,Mengelola Partai Politik (Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik


di Era Demokrasi), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Seoharto, (Yogyakarta:


Pondok Edukasi, 2004).

Jimli Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan


MahkamahKonstitusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
MKRI, 2006).

Hesel Nogi Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, Yogyakarta :Yayasan


Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2003.

25
Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah
Akademik (Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008).

I ketut Putra Erawan, Riswanda Imawan et.al.,Draft Modul Organisasi dan


ManajemenKepartaian: Bab I Manajemen Sumberdaya Manusia Politik,
2010.

IchlasulAmal,Edisi Teori-teori Mutakhir Partai Politik Edisi Revisi. Yogyakarta:


Tiara Wacana Yogyakarta, 1996.

Indroharto. Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha


Negara. Jakarta: Pustaka Harapan. 1993.

Jazim Hamidi, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dalam Sorotan:


Undang-UndangNo. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Jakarta: PT Tatanusa, 2005).

Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem dan


Problema Penerapan di Indonesia, Pustaka Pelajar Semarang, 2005

Kamal Hidjaz. Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem


Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Pustaka Refleksi. Makasar. 2010.

Maftuh Efffendi, Mengkaji Model dan Rumusan Acara (Ius Constituendum)


Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang oleh
Mahkamah Agung, (Jakarta: Balitbangdiklatkumdil Mahkamah Agung,
2014)

Mahkamah Konstitusi, Modul Pendidikan Negara Hukum Dan Demokrasi, Pusat


Pendidikan Pancasila Dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi 2016.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan


UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 : Sesuai
Dengan Urutan BAB, Pasal, dan Ayat (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR
RI, 2008).

Marbun S.F, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di


Indonesia, Cetakan Keempat, (Yogyakarta: FH UII Press, 2015).

Maria Farida Indrati (1), Ilmu Perundang-Undangan Jilid 2: Dasar-Dasar dan


Pembentukannya (Yogyakarta : Kanisius, 1998).

Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi, cet. IV, (Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2010).

26
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar1945, cet-II, (Jakarta :
Prapanca, 1971).

Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia, Yogyakarta : UII


Press, 2010.

Nurmayani Hukum Administrasi Daerah. Universitas Lampung : Bandar


lampung. 2009.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum, (Prenada Media, Jakarta, 2005).

Philipus M Hadjon, et. al., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia,


Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1993.

Sahid Gatara, Sosiologi Politik:Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian.


Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Syafiie Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan, edisi revisi. Bandung: Mandar Maju,
2007
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
2013.

Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan ke-11, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009).

Yudi Latif. Negara Paripurna, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utana,
2011).

Jurnal

B. Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, dalam Jentera


(Jurnal Hukum), “Rule of Law”, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
(PSHK), Jakarta, edisi 3 Tahun II, November 2004.

Irawati Hatta, “Analisis Rekrutmen Calon Walikota Dan Wakil Walikota


Balikpapan Oeh Partai Golkar Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota
Balikpapan Tahun 2015”, eJournal Ilmu Pemerintahan, Volume 4, Nomor
3, 2016

Inosentius Samsul, Pengkajian Hukum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi,


Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI,
Jakarta, 2009

27
Kusnu Goesniadhie S., “Prinsip Pengawasan Independensi Hakim”, Jurnal
Hukum No. 3 Vol 14 Juli 2007

Mei Susanto, “Memperkuat Kelembagaan Mahkamah Partai politik : Upaya


Mencegah Dualisme Partai Politik”, Jurnal ETIKA & PEMILU. Vol. 3,
Nomor 1. MARET 2017.
Tri Cahya Indra Perman, Model Penyelesaian Perselisihan Partai PolitikSecara
Internal Maupun Eksternal, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 ,
Nomor 1, Maret 2016 : 35 – 52.

Undang-Undang/Yurisprudensi

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik


Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 24/PUU-XV/2017
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 78/PUU-XllU2015
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 93/PUU XIV/2016
Putusan Mahkamah Agung Nomor 79 PK/Pdt.Sus-Parpol/2016

Internet :

http://www.kompasiana.com/edomedia/dualisme-parpol-tinjauan-dari-sisi-
hukum_551ffd39813311ea719de10d, diakses pada tanggal 6 Mei 2017

http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/244/236,
diakses pada tanggal 6 Mei 2017

http://print,kompas.com/baca/2o1510al2ol Menyemp-ur-nakan- I\4a hka mah-


Parta i, diakses 30 oktober 2017.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171010163910-32-247440/ppp-kubu-
djan-tak-sah-daftar-jadi-peserta-pemilu/, diakses pada tanggal 10
November 2017

28

Você também pode gostar