Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah
cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan
Doenges, (1999) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan
tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar
serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral
subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak. Cedera
kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak
dan otak (Pierce & Neil. 2006). Adapun menurut Brain Injury
Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera
kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang
terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat
menyebabkan kematiaan.
2. Macam-macam cedera kepala
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam
yaitu:
1
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe
ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan
otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk
kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan
sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu
yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada
cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio
gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
3. Klasifikasi cedera kepala
Rosjidi (2007), trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat
berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu :
a. Ringan
1) GCS = 13 – 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang
dari 30 menit.
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma.
b. Sedang
1) GCS = 9 – 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) GCS = 3 – 8
2
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24
jam.
3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma
intrakranial.
4. Etiologi Dan Predisposisi
Rosyidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda,
dan mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.
d. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah
dimana dapat merobek otak.
e. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih
berat sifatnya.
f. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah
dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau
benda tajam.
5. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera
percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
perlambatan deselerasi adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua
kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi
badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan
trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
3
Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera
otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya
menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa
mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan
otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena
terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder
dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal
diantanya, bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya
leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena
mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume
darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi
arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo,
2002).
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan
robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak
bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain,
2009).
4
PATHWAYS Trauma kepala
6
7. Komplikasi
Rosjidi (2007), kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan
herniasi otak, komplikasi dari cedera kepala addalah;
a. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom
distress pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan
perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial
meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk memcoba
mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin kritis,
denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan
memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling
sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110
mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh
secara umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru,
perubahan permiabilitas pembulu darah paru berperan pada
proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen
akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan
TIK lebih lanjut.
b. Peningkatan TIK
Tekana intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan
perfusi rerebral. yang merupakan komplikasi serius dengan akibat
herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta
kematian.
7
c. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau
jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
penghisap. Selama kejang, perawat harus memfokuskan pada
upaya mempertahankan, jalan nafas paten dan mencegah cedera
lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk mengatasi kejang
adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang paling
banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama
pemberian diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
d. Kebocoran cairan serebrospinalis
Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal
akan merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area
drainase tidak boleh dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi
bantalan steril di bawah hidung atau telinga. Instruksikan klien
untuk tidak memanipulasi hidung atau telinga.
8. Penatalaksanaan
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi
vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol
20%, glukosa 40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidazole.
8
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian
diberikan makanan lunak.
g. Pembedahan. (Smelzer, 2001)
9. Pemeriksaan Penunjang
a. Scan CT (tanpa/denga kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI
Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi serebral
Menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pengeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
d. EEG
Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
e. Sinar X
Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya
fragmen tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
g. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukan perubahan aktifitas metabolisme pada otak.
h. Fungsi lumbal, CSS
Dapat menduka kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid.
i. GDA (Gas Darah Artery)
Mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
9
j. Kimia /elektrolit darah
Mengetahui ketidak seimbangan yang berperan dalam peningkatan
TIK/perubahan mental.
k. Pemeriksaan toksikologi
Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
l. Kadar antikonvulsan darah
Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup fektif
untuk mengatasi kejang. (Doenges, 1999)
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera
setelah kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki,
mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
2) Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat
kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
4) Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat
pasien dari keluarga.
5) Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
10
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese,
goyah dalam berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan
kehilangan tonus otot.
6) Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi),
perubahan frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan
aritmia.
7) Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung,
impulsive dan depresi
8) Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
9) Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk,
disfagia).
10) Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia,
gangguan pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan
pupil (respon terhadap cahaya), kehilangan penginderaan,
pengecapan dan pembauan serta pendengaran. Postur
(dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
11) Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
11
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang
nyeri yang hebat, gelisah
12) Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM,
tonus otot hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan
regulasi temperatur tubuh.
13) Penyuluhan/Pembelajaran
Riwayat penggunaan alcohol/obat-obatan terlarang (Doenges,
1999).
2. Diagnosa
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial (Doenges, 1999).
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan obstruksi
trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata
neuromaskuler (Doenges, 1999).
c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan pengeluaran urine dan elektrolit meningkat (Carpenito,
2000).
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
(Doenges, 1999).
e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat
traksi (Doenges, 1999).
f. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi
sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan
(Doenges, 1999).
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial (Doenges, 1999).
12
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak
dan penurunan keseadaran (Carpenito, 1999).
i. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma,
kerusakan kulit kepala. (Carpenito, 2000).
3. Intervensi
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema
serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
1) Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24
jam diharapkan perfusi jaringan serebral kembali normal
2) Kiteria Hasil:
a) Kien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
b) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
c) Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
d) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak
ada mutah
3) Intervensi dan rasional
No Intervensi Rasional
1 Kaji tingkat kesadaran. Mengetahui kestabilan
klien.
2 Pantau status neurologis Mengkaji adanya
secara teratur, catat kecendeungan pada
adanya tingkat kesadaran dan
nyeri kepala, pusing. resiko TIK meningkat.
3 Tinggikan posisi kepala Untuk menurunkan
15- 30 derajat tekanan vena jugularis.
4 Pantau TTV, TD, suhu, Peningkatan tekanan
nadi, input dan output, darah sistemik yang diikuti
lalu catat hasilnya. dengan penurunan
tekanan darah diastolik
13
serta napas yang tidak
teratur merupakan tanda
peningkatan TIK.
5 Kolaborasi pemberian Mengurangi keadaan
Oksigen. hipoksia
6 Anjurkan orang terdekat Ungkapan keluarga yang
untuk berbicara dengan menyenangkan klien
klien. tampak mempunyai efek
relaksasi pada beberapa
klien koma yang akan
menurunkan TIK.
14
3) Intervensi dan Rasional
No Intervensi Rasional
1 Kaji kecepatan, Hipoventilasi biasanya
kedalaman, frekuensi, terjadi atau menyebabkan
irama nafas, adanya akumulasi/ atelektasi atau
sianosis. Kaji suara pneumonia (komplikasi
nafas tambahan yang sering terjadi).
(rongki, mengi,
krekels).
2 Atur posisi klien Meningkatkan ventilasi
dengan posisi semi semua bagian paru,
fowler 30o Berikan mobilisasi serkret
posisi semi prone mengurangi resiko
lateral/ miring, jika tak komplikasi, posisi tengkulup
ada kejang selama 4 mengurangi kapasitas vital
jam pertama rubah paru, dicurigai dapat
posisi miring atau menimbulkan peningkatan
terlentang tiap 2 jam. resiko terjadinya gagal
nafas.
15
menggunakan ventilator
mekanis.
5 Lakukan section Penghisapan yang rutin,
dengan hati-hati beresiko terjadi hipoksia,
(takanan, irama, lama) bradikardi (karena respon
selama 10-15 detik, vagal). Trauma jaringan
catat, sifat, warna dan oleh karenanya kebutuhan
bau penghisapan didasarkan
Secret pada adanya
ketidakmampuan untuk
mengeluarkan sekret.
16
2) Kriteria Hasil:
a) Menunjukan membran mukosa lembab
b) Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas
oedema.
3) Intervensi dan Rasional
No Intervensi Rasional
1 Kaji tanda klinis dehidrasi Deteksi dini dan intervensi
atau kelebihan cairan. dapat mencegah
kekurangan/ kelebihan
fluktuasi keseimbangan
cairan.
2 Catat masukan dan Kehilangan urinarius dapat
haluaran, hitung menunjukan terjadinya
keseimbangan cairan, dehidrasi dan berat jenis
ukur berat jenis urine. urine adalah indikator
hidrasi dan fungsi renal.
3 Berikan air tambahan Dengan formula kalori lebih
sesuai indikasi tinggi, tambahan air
diperlukan untuk
mencegah dehidrasi.
4 Kolaborasi pemeriksaan Hipokalimia/ fofatemia
lab. kalium/fosfor serum, dapat terjadi karena
Ht dan albumin serum. perpindahan intraselluler
selama pemberian makan
awal dan menurunkan
fungsi jantung bila tidak
diatasi
17
d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
melemahnya otot yang digunakan untuk mengunyah dan menelan
1) Tujuan : Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah
dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam dengan
2) Kiteria Hasil:
a) Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab.
Dalam rentang normal.
b) Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
3) Intervensi dan Rasional
No Intervensi Rasional
1 Kaji kemampuan pasien Faktor ini menentukan
untuk mengunyah dan terhadap jenis makanan
menelan, batuk dan sehingga pasien harus
mengatasi sekresi. terlindung dari aspirasi.
2 Auskultasi bising usus, Bising usus membantu
catat adanya penurunan/ dalam
hilangnya atau suara menentukan respon untuk
hiperaktif. makan atau
berkembangnya
komplikasi seperti paralitik
ileus.
3 Jaga keamanan saat Menurunkan regurgitasi
memberikan makan dan
pada pasien, seperti terjadinya aspirasi.
meninggikan kepala
selama makan atatu
selama pemberian
makan lewat NGT.
18
4 Berikan makan dalam Meningkatkan proses
porsi kecil dan sering pencernaan dan toleransi
dengan teratur. pasien terhadap nutrisi
yang diberikan dan dapat
meningkatkan kerjasama
pasien saat makan
5 Kolaborasi dengan ahli Metode yang efektif untuk
gizi. memberikan kebutuhan
kalori..
19
2 Catat kemungkinan Pemahaman terhadap
patofisiologi yang khas, penyakit yang
misalnya adanya infeksi, mendasarinya membantu
trauma servikal. dalam memilih intervensi
yang sesuai.
3 Berikan tindakan Menfokuskan kembali
kenyamanan, misal perhatian, meningkatkan
pedoman imajinasi, rasa kontrol dan dapat
visualisasi, latihan nafas meningkatkan koping.
dalam, berikan aktivitas Tindakan alternatif
hiburan, kompres mengontrol Nyeri
4 Kolaborasi dengan Dibutuhkan untuk
pemberian obat anti menghilangkan
nyeri, spasme/nyeri otot atau
sesuai indikasi misal, untuk menghilangkan
dentren (dantrium) ansietas dan
analgesik; antiansietas meningkatkan istirahat.
misal
diazepam (valium).
20
c) Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan
dilakukannya
3) Intervensi dan Rasional
No Intervensi Rasional
1 Periksa kembali Mengidentifikasi kerusakan
kemampuan secara
dan keadaan secara fungsional dan
fungsional pada mempengaruhi pilihan
kerusakan yang terjadi. intervensi yang akan
dilakukan.
2 Berikan bantu untuk Mempertahankan mobilitas
latihan rentang gerak dan fungsi sendi/ posisi
normal ekstrimitas dan
menurunkan terjadinya vena
statis.
3 Bantu pasien dalam Proses penyembuhan yang
program latihan dan lambat seringakli menyertai
penggunaan alat trauma kepala dan
mobilisasi. Tingkatkan pemulihan fisik merupakan
aktivitas dan partisipasi bagian yang sangat penting.
dalam merawat diri Keterlibatan pasien dalam
sendiri sesuai program latihan sangat
kemampuan penting untuk meningkatkan
kerja sama atau
keberhasilan program
21
g. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
1) Tujuan : Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah
dilakukan perawatan selama 3x 24 jam
2) Kriteria Hasil :
a) Mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
b) Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.
3) Intervensi dan Rasional
No Intervensi Rasional
1 Kaji kesadaran sensori Semua sistem sensori
dengan sentuhan, panas/ dapat terpengaruh
dingin, benda dengan adanya
tajam/tumpul dan perubahan yang
kesadaran terhadap melibatkan peningkatan
gerakan. atau penurunan
sensitivitas atau
kehilangan sensasi untuk
menerima dan berespon
sesuai dengan stimuli.
2 Evaluasi secara teratur Fungsi cerebral bagian
perubahan orientasi, atas biasanya
kemampuan berbicara, terpengaruh lebih
alam perasaan, sensori dahulu oleh adanya
dan proses pikir. gangguan sirkulasi,
oksigenasi. Perubahan
persepsi sensori motorik
dan kognitif mungkin
akan berkembang dan
22
menetap dengan
perbaikan respon
secara bertahap
23
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak
dan penurunan keseadaran.
1) Tujuan: Kerusakan komunikasi verbal tidak terjadi.
2) Kriteria hasil:
a) Mengidentifikasi pemahaman tentang masalah komunikasi
dan klien dapat menunjukan komunikasi dengan baik
3) Intervensi dan Rasional
No Intervensi Rasional
1 Kaji derajat disfungsi Membantu menentukan
daerah atau derajat
kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien
dalam proses komunikasi.
2 Mintalah klien untuk Melakukan penelitian
mengikuti perintah terhadap adanya kerusakan
sensori
3 Anjurkan keluarga Untuk merangsang
untuk berkomunikasi komunikasi pasien,
dengan klien mengurangi isolasi sosial dan
meningkatkan penciptaan
komunikasi yang efektif
24
3) Intervensi dan Rasional
No Intervensi Rasional
1 Berikan perawatan aseptic Cara pertama untuk
dan antiseptik, menghindari nosokomial
pertahankan teknik cuci infeksi, menurunkan
tangan jumlah kuman patogen .
2 Observasi daerah kulit Deteksi dini
yang mengalami perkembangan infeksi
kerusakan, kaji keadaan memungkinkan untuk
luka, catat adanya melakukan tindakan
kemerahan, bengkak, pus dengan segera dan
daerah yang terpasang pencegahan terhadap
alat invasi dan TTV komplikasi selanjutnya,
monitoring adanya infeksi.
3 Anjurkan klien untuk Meningkatkan imun tubuh
memenuhi nutrisi dan terhadap Infeksi
hidrasi yang adekuat.
4 Batasi pengunjung yang Menurunkan pemajanan
dapat menularkan infeksi terhadap pembawa
kuman infeksi.
5 Pantau hasil pemeriksaan Leukosit meningkat pada
lab, catat adanya keadaan Infeksi
leukositosis
6 Kolaborasi pemberian Menekan pertumbuhan
atibiotik sesuai indikasi. kuman pathogen.
25
DAFTAR PUSTAKA
26