Você está na página 1de 5

Bakso Ayam

A. Pengertian
Daging merupakan salah satu sebagai sumber protein yang akan mengalami
proses pengolahan sebelum dikonsumsi. Tujuan pengolahan bahan pangan tersebut
disamping meningkatkan nilai tambah juga dapat memperpanjang masa simpan.
Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna protein, juga dapat
menurunkan nilai gizinya. Peningkatan daya cerna protein pada proses pemasakan
dapat terjadi akibat terdenaturasinya protein dan terhentinya aktivitas senyawa-
senyawa anti nutrisi. Penurunan nilai gizi protein daging dapat disebabkan oleh
perlakuan suhu yang tidak terkontrol yang dapat merusak asam-asam amino protein
daging.
Daging ayam merupakan salah satu jenis daging yang dapat diolah menjadi
bakso, sosis, abon, dendeng maupun daging panggang. Pengolahan daging ayam
dengan berbagai cara, diduga dapat meningkatklan atau bahkan menurunkan nilai gizi
protein yang dikandungnya. Bakso merupakan produk olahan daging dimana daaging
tersebut telah diolah terlebih dahulu dan di campur oleh bumbu-bumbu dan kemudian
dibuat seperti bola-bola kecil dan di rebus dalam air mendidih. Secara tekbnis,
pengolahan bakso sangat mudah dan dilakukan oleh siapa saja. Bila ditinjau dari
kecukupan gizi masyarakat, bakso dapat digunakan sebagai sarana yang tepat kerna
bernilai gizi tinggi dan disukai oleh semua lapisan masyarakat (Widyaningsih dan
wartini, 2016).
Penggunaan atau takaran daging dalam pembuatan bakso adalah campuran
daging ternak (kadar daging minimal 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa
penambahan bahan makanan yang diizinkan. Kadar protein bakso minimal 9%. Kadar
protein bakso dipengaruhi oleh jumlah penambahan tepung. Semakin tinggi
penambahan tepung maka kadar protein bakso semakin menurun (Octaviani, 2012).
B. Proses Pembuatan
Dalam pembuatan bakso daging, kesegaran dan jenis daging sangatlah
mempengaruhi mutu dari bakso tersebut. Oleh karena itu, digunakan jenis daging
yang baik dan bermutu tinggi. Sebaikknya dipilih jenis daging yang masih segar,
berdaging tebal, dan tidak banyak lemak sehingga rendemennya tinggi. Selain itu,
cara pengolahan bakso juga sangat mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan,
misalnya jika lemak atau kulit terambil, warna bakso yang dihasilkan kotor atau agak
abu-abu.
Pembuatan bakso menurut Wibowo (2009), pada prinsipnya terdiri atas empat
tahapan :
1. Penghancuran daging
2. Pembuatan adonan
3. Pencetakan bakso
4. Pemasakan bakso
Tujuan dari penghancuran daging adalah untuk memecahkan serabut otot daging,
sehingga memudahkan protein larut garam seperti aktin dan myosin terekstrak keluar.
Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling
(grinding) atau mencincang (chipping). Sampai halus atau lumat.
Pembuatan bakso dilakukan dengan mencampur seluruh bahan kemudian
menghancurkannya dengan cara mencincang atau menghancurkan daging terlebih
dahulu. Kemudian mencampurkannya dengan bumbu-bumbu dan bahan lainnya.
Kenaikan suhu akibat panas yang dihasilkan selama proses penggilingan perlu
diperhatikan dalam pembuatan bakso. Stabilitas emulsi perlu dijaga dengan cara
mempertahankan suhu dibawah 20oC. Jika suhu diatas 20oC akan menyebabkan
terjadinya denaturasi protein sehingga sebagian emulsi akan pecah. Percetakan bakso
umumnya dilakukan dengan cara membentuk adonan menjadi bulatan-bulatan
sebesar kelereng atau lebih dengan menggunakan manual dengan tangan atau dengan
mesin pencetakan bakso. Selanjutnya proses akhir adalah proses pemasakan bakso
dengan cara memasukkan bulatan-bulatan bakso pada air yang sudah direbus
mendidih agar memudahkan proses pemasakan pada bakso tersebut.
C. Reaksi yang Terjadi
Kualitas bakso dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan pengisi,
kadar air, lemak, dan protein bakso. Penurunan kadar air terjadi akibat mekanisme
interaksi pati dan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna karena
ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk interaksi pati dan
protein.Penurunan kadar protein dapat disebabkan banyaknya jumlah protein
berbentuk globular di dalam bakso. Protein berbentuk globular lebih mudah untuk
terdenaturasi saat proses pemanasan dibandingkan protein berbentuk fibriler.
Farahita, dkk., (2012) menyatakan bahwa perusakan protein menjadi ikatan peptida
yang pendek dan asam amino yang selanjutnya menjadi senyawa amin dan amonia
yang memberikan bau tajam dan cita rasa yang khas.
Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan.
Hal-hal yang mempengaruhi kualitas rasa adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi,
dan interaksi dengan komponen rasa yang lain. Air juga dapat melarutkan berbagai
macam bahan seperti garam, vitamin yang larut dalam air, mineral, dan senyawa-
senyawa cita rasa. Winarno (2010) menyatakan bahwa penggunaan tapioka sebagai
bahan pengisi juga dapat mempengaruhi rasa, sebab amilosa dalam tepung dapat
membentuk inklusi dengan senyawa cita rasa seperti garam dan bumbu-bumbu.
Winarno (2010) menyatakan bahwa aroma dari suatu bahan pangan baru dapat
dikenali bila terbentuk uap yang bersifat volatil dan molekul-molekul komponen
tersebut harus sempat menyentuh silia sel olfaktori yang kemudian diteruskan ke otak
dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori. Pengggunaan tepung
juga akan mempengaruhi aroma bakso yang dihasilkan, dimana tepung akan
menutupi aroma dari daging. Warna mempengaruhi penerimaan suatu bahan pangan,
karena umumnya penerimaan bahan yang pertama kali dilihat adalah warna. Warna
yang menarik akan meningkatkan penerimaan produk. Warna yang kompak dan
seragam merupakan tanda bahwa bahan pangan tersebut segar dan matang.
DAFTAR PUSTAKA

Widyaningsih, T.D. dan E.S. Murtini. 2016. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Surabaya :Trubus Agrisarana.
Octaviani, Y. 2012. Kandungan gizi dan palatabilitas bakso campuran daging dan
jantung sapi . Skripsi. Bogor :Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Wibowo, S. 2009. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Ayam. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Farahita, Y., Junianto, dan N. Kurniawati. 2012. Karakteristik kimia caviar nilem
dalam perendaman campuran larutan asam asetat dengan larutan garam
selama penyimpanan suhu dingin (5-10oC). Jurnal Perikanan dan Kelautan.
3(4):165-170.
Winarno, F.G. 2010. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Você também pode gostar