Você está na página 1de 13

A..

Latar Belakang

Berkowitz (1993), salah seorang yang di nilai paling kompeten dalam studi
tentang agresi, membedakan agresi sebagai tingkah laku, bagaimana diindikasikan
oleh baron, dengan agresi sebagai emosi yang bisa mengarah kepada tindakan
agresif. Perilaku agresi yang tidak terkendali dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya sifat agresif timbul karena hasil dari persepsi seseorang
terhadap seorang yang lain berinteraksi dengannya. Namun, menurut Berkowitz
kita tidak bisa selalu yakin dengan apa yang di maksudkan ketika seseorang
disebut agresif atau suatu tindakan disebut kekerasan. Sifat agresi itu sendiri dapat
dicegah atau dikurangi dengan beberapa cara salah satunya dengan memberikan
hukuman.

B. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai definisi agresi itu
sendiri, bagaimana sifat dasar agresi itu terbentuk, apa yang menyebabkan sifat
agresi itu muncul, dan bagaimana mencegah atau mengurangi agresi yang tidak
terkendali.

C. Rumusan Masalah

1. Sifat Dasar Agresi


2. Apa yang menyebabkan agresi?
3. Bagaimana pencegahan atau mengurangi agresi?

1
1.1 Sifat Dasar Agresi

Baron dan Richardson, agresif adalah segala bentuk perilaku yang


dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain. Strickland
mengemukakan bahwa perilaku agresif adalah setiap tindakan yang diniatkan
untuk melukai, menyebabkan penderitaan, dan untuk merusak orang lain. Myers
menjelaskan bahwa agresif adalah perilaku fisik maupun perilaku verbal yang
diniatkan untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresif.

Menurut Berkowitz, agresi adalah siksaan yang diarahkan secara sengaja dari
berbagai bentuk kekerasan terhadap orang lain1. maka dapat disimpulkan bahwa
tingkah laku agresi merupakan tingkah laku pelampiasan dari perasaan frustasi
untuk mengatasi perlawanan dengan kuat atau menghukum orang lain, yang
ditujukan untuk melukai pihak lain secara fisik maupun psikologis pada orang lain
yang dapat dilakukan secara fisik maupun verbal.

1.2 Perpektif Teoritis mengenai Agresi

Mengapa manusia melakukan kekerasan kepada orang lain? Apa yang


menyebabkan mereka menyerang secara brutal sesama manusia lainnya?. Hal ini
akan di jawab oleh beberapa teori agresi dari para Psikolog Sosial.

 Peran Faktor Biologis: Dari Insting hingga Perspektif Psikologi Evolusioner.


Penjelasan yang paling tua dan kemungkinan paling dikenal mengenai agresi
manusia adalah pandangan bahwa manusia “diprogram” sedemikian rupa untuk
melakukan kekerasan oleh sifat alamiah mereka. Teori-teori seperti ini
menyatakan bahwa kekerasan manusia berasal dari kecenderungan bawaan (yang
diturunkan) untuk bersikap agresif satu sama lain. Pendukung paling terkenal dari
teori ini adalah Sigmund Freud yang berpendapat bahwa agresi utama timbul dari
keinginan untuk mati (death wish/thanatos) yang kuat yang dimiliki oleh semua

1
Baron dan Richardson, 1994; Berkowitz

2
orang. Menurut Freud insting ini awalnya memiliki tujuan self-destruction, tetapi
segera arahnya diubah ke luar, kepada orang lain.
Pandangan yang berhubungan diungkapkan oleh Konrad Lorenz. Ilmuwan
pemenang Hadiah Nobel. Lorenz (1966,1974) berpendapat bahwa agresi muncul
terutama dari insting berkelahi (fighting insting) bawaan yang dimilki oleh
manusia dan spesies lainnya. Diasumsikan insting ini berkembang selama
terjadinya evolusi karena hal tersebut menolong untuk memastikan bahwa hanya
individu yang terkuat dan terhebatlah yang akan menurunkan gen mereka kepada
generasi berikutnya.
Sampai beberapa tahun yang lalu, hanya sedikit psikolog sosial yang
menerima pandangan semacam itu. Beberapa alasan keberatan mereka pada ide
bahwa agresi manusia telah diprogram secara genetis adalah:
(1) Manusia bertingkah laku agresif terhadap orang lain dalam banyak cara, mulai
dari mengabaikan orang lain atau menyebarkan rumor palsu mengenai orang
tersebut sampai pada tingkah laku brutal yang sering dilaporkan pada berita di
televisi. Bagaimana bisa rentang perilaku yang besar tersebut ditentukan oleh
faktor genetis?.
(2) Frekuensi dari tingkah laku agresif sangat bervariasai pada masyarakat, terjadi
lima puluh kali lebih sering pada beberapa masyarakat di banding pada
masyarakat yang lain.

Dalam hal ini psikolog sosial menyimpulkan bahwa faktor genetis memainkan
peran yang kecil, jika ada, dalam agresi manusia.

 Teori Dorongan: Motif untuk Menyakiti Orang Lain


Agresi muncul terutama dari suatu dorongan (drive) yang ditimbulkan oleh
faktor-faktor eksternal untuk menyakiti orang lain. Teori ini mengemukakan
bahwa kondisi-kondisi eksternal, terutama frustasi, membangkitkan motif yang
kuat untuk menyakiti orang lain. Dorongan agresif ini, selanjutnya menimbulkan
agresi terbuka.
Sejauh ini yang paling terkenal diantara teori-teori tersebut tidak diragukan lagi
adalah hipotesis frustasi-agresi (frustration-aggression hypothesis) (Dolland dkk,

3
1939). Menurut pandangan ini, frustasi mengakibatkan terangsangnya suatu
dorongan yang tujuan utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek,
terutama yang dipersepsikan sebagai penyebab frustasi (Berkowitz, 1989).

 Teori Modern atas Agresi: Memperhitungkan Proses Belajar, Kognisi, Suasana


Hati, dan Keterangsangan
Teori modern atas agresi tidak berfokus pada faktor tunggal sebagai penyebab
utama agresi. Mereka menggunakan kemajuan dalam banyak bidang psikologi
untuk mendapatkan pemahaman tambahan mengenai faktor-faktor yang
memainkan peran dalam kemunculan perilaku tersebut.
Anderson mengajukan teori model umum afektif agresi (general affective
aggression model), menurut teori ini (dikenal dengan singkatan GAAM), agresi
dipicu oleh banyak sekali variabel input, aspek-aspek dari situasi saat ini atau
kecenderungan yang dibawa individu ketika menghadapi situasi tertentu. Variabel
yang termasuk dalam kategori yang pertama meliputi frustasi, bentuk serangan
tertentu dari orang lain (misalnya, penghinaan), pemaparan terhadap tingkah laku
agresif orang lain (model agresif), munculnya tanda-tanda yang berhubungan
dengan agresi (misalnya, senapan atau senjata lainnya), dan hampir semua hal
yang dapat menyebabkan individu mengalami ketidaknyamanan, mulai dari suhu
udara tinggi yang tidak nyaman sampai pada bor dokter gigi atau bahkan kuliah
yang sangat membosankan. Variabel dalam kategori kedua (perbedaan
individual) meliputi trait yang mendorong individu untuk melakukan agresi
(misalnya, mudah sekali marah), sikap dan belief tertentu terhadap kekerasan
(misalnya, mempercayai bahwa hal tersebut diterima dan layak), nilai mengenai
kekerasan (misalnya, pandangan bahwa itu adalah hal yang “baik”, kemungkinan
karena hal itu menunjukkan kebanggaan individu atau maskulinitas), dan
keterampilan spesifik yang terkait pada agresi (misalnya, mengetahui cara
berkelahi, mengetahui bagaimana cara menggunakan berbagai senjata).

4
1.3 Penyebab Pribadi Dari Agresif

a. Pola Perilaku Tipe A: Mengapa Huruf “A” Dalam Tipe Kepribadian A Dapat
Berarti Agresi
Pola perilaku tipe A adalah seseorang yang memiliki karakter (1) sangat
kompetitif (2) selalu terburu-buru (3) mudah tersinggung dan agresif ( Glass,
1977; strube, 1989) pada ujung sisi lain dari kontinum ini terdapat orang-orang
yang tidak menunjukkan karakteristik tersebut, individu-individu yang tidak
kompetitif, yang tidak selalu bertanding melawan waktu, dan yang tidak mudah
kehilangan kendali;orang-orang yang dideskripsikan seperti ini menunnjukkan
pola perilaku tipe b.
Melihat karakteristik yang disebutkan diatas tampak sangat masuk akal
untuk menganggap bahwa tipe a cenderung lebih agresif dari pada tipe b dalam
banyak situasi. Temuan-temuan tambahan mengindikasikan bahwa tipe a adalah
individu yang benar-benar hostile; mereka tidak melakukan agresi pada orang lain
hanya karena ini merupakan alat yang bermanfaat untuk mencapai tujuan seperti
memenangkan kontes atau meneruskan karir. Melainkan mereka lebih cenderung
dari pada Tipe B untuk terlibat dalam apa yang dikenal sebagai agresi hostile
(aggression hostile), dimana tujuan nya adalah untuk melakukan suatu kekerasan
pada korban (Strube dkk, 1984). Tipe A lebih cenderung daripada B untuk terlibat
dalam perilaku-perilaku seperti kekerasan pada anak atau pada pasangan (strube
dkk, 1984). Sebaliknya tipe A lebih cenderung untuk terlibat dalam agresi
instrumental (instrumental aggression) daripada tipe B, agresi yang dilakukan
terutama untuk mendapatkan tujuan lain disamping menyakiti kaorban, tujuan
seperti mengontrol sumber-sumber daya yang berharga atau pujian dari orang lain
karena telah bersikap “tegas”.

b. Mempersepsikan Maksud Jahat Dalam Diri Orang Lain: Bias Atribusional Hostile
Fakta bahwa atribusi memainkan peran penting dalam reaksi kita terhadap
perilaku orang lain dan terutama terhadap provokasi nyata adalah titik mula bagi
karakteristik pribadi penting lain yang mempengaruhi agresi, yaitu bias

5
atribusional hostile( hostile atributional bias) (misalnnya, Dodge dkk, 1986).
Istilah ini mengacu pada tendensi untuk mempersepsikan maksud atau motif
hostile , dalam tindakan orang lain ketika tindakan ini dirasa ambigu. Dengan kata
lain orang-orang yang memiliki bias atribusional hostile yang tinggi jarang
empersepsikan tindakan hostile dalam tindakan orang lain sebagai
ketidaksengajaan, namun segera mengasumsikan bahwa tindakan provokasi
manapun dari orang lain tersebut sebagai disengaja, dan mereka segera bereaksi
melawan atau membalasnya. Hasil dari banyak penelitian menegaskan dampak
potensial dari faktor ini (misalnya, Dodge & Coie, 1987), jadi tampak bahwa bias
atribusioal hostile merupakan salah satu faktor pribadi (perbedaan individu) yang
penting dalam terjadinya agresi.

c. Narsisme, Ancaman Ego Dan Agresi : Bahaya Dari Keinginan Untuk Menjadi
Superior
Ada cerita tentang Narcissus, ia adalah karakter dalam mitologi Yunani
yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri di air dan tenggelam saat mecoba
meraihnya. Namanya saat ini menjadi sinonim untuk self-love yang berlebihan,
memiliki pandangan yang berlebihan terhadap kebaikan dan keberhasilan diri
sendiri. Temuan penelitian mengindikasi bahwa trait ini berhubungan dengan
agresi dalam cara-cara yang penting. Secara spesifik, penelitian oleh Brushman
dan Baumeister (1988) menyatakan bahwa orang dengan narsisme yang tinggi
(orang yang setuju dengan pernyataaan seperti “ Jika saya memerintah dunia akan
menjadi tepat yang jauh lebih baik”) bereaksi dengan tingkat agresi yang sangat
tinggi terhadap penghinaan dari orang lain, umpan balik yang mengancam self-
image mereka yang tinggi. Mengapa? Mungkikarena orang-prang seperti ini
memiliki keraguan yang mengganggu mengenai kebenaran ego mereka yang besar
sehingga bereaksi dngan kemarahan yang intens pada siapa pun yang mncam
untuk menjatuhkan mereka.
Temuan-temuan ini memiliki implikasi yang penting karena, pada saat ini,
banyak sekolah Amerika serikat yang berfokus pada pembangunan self-esteem
yang tinggi diantara murid-muridnya. Pada satu titik, hal ini mungkin

6
mengantungkan. Tetapi jika taktik pembangunan self-esteem tersebut diterapkan
terlalu jauh dan menghasilkan anak yang memandang dirinya sendiri sangat tinggi
(narsistik), hasilnya mungkin adalah potensi kekerasan yang pantas untuk diteliti
lebih lanjut.

d. Perbedaan Gender Dalam Agresi: Apakah Memang Ada?


Dalam cerita-cerita rakyat mengungkapkan bahwa pria memang lebih
agresif dibanding wanita, dan temuan penelitian menyatakan bahwa, dalam hal ini
observasi informal benar: jika ditanyakan apakah mereka terlibat dalam beberapa
dari jumlah besar perilaku agresif, pria melaporkan lebih banyak melakukan
perilaku agresif daripada wanita (Harris, 1994, 1996). Namun dalam pemeriksaan
rinci, gambaran mengenai perbedaan gender dalam agresi menjadi lebih
kompleks. Di satu sisi pria secara umum lebih cenderung daripada wanita untuk
melakukan perilaku agresif dan menjadi target dari perilaku tersebut ( Bogard,
1990; Harris, 1992,1994; Walker Richardson & Green, 2000).
Pertama, perbadaan gender dalam agresi menjadi lebih besar dengan tidak
adanya provokasi daripada ketika ada provokasi. Dengan kata lain, pria secara
signifikan lebih cenderung daripada wanita untuk melakukan agresi terhadap
orang lain, ketika orang lain tersebut tidak memprovokasi mereka dalam cara
apapun (Betancourt & Miller, 1996) dalam situasi-situasi di mana provokasi
memang terjadi, dan terutama ketika provokasinya intens, wanita, sama agresifnya
dengan pria.
Kedua, ukuran bahkan dari arah dari perbedaan gender dalam agresi
tampaknya sangat bervariasi sesuai dengan tipe agresi yang terkait. Temuan
peneltian mengindikasikan bahwa pria cenderung daripada wanita untuk terlibat
dalam berbagai bentuk agresi langsung –tindakan yang ditujukan secara langsung
pada target dan yang secara jelas datang dari agresor (misalnya, kekerasan fisik,
mendorong, menampik, melempar sesuatu pada orang lain, berteriak, mengejek;
Bjorkqvist, Osterman & Hjelt-Back, 1994). Namun, wanita lebih cenderung
daripada pria untuk terlibat dalam berbagai bentuk agresi tidak langsung –
tindakan yang memungkinkan agresor untuk menutupi identitasnya dari korban

7
sehingga pada beberapa kasus, membuat korban sulit mengetahui bahwa mereka
telah menjadi target dari tindakan kekerasan yang disengaja.
Kesimpulannya, perbedaan gender yang terkait dengan agresi memang
muncul dan bisa menjadi subtansial dalam beberapa konteks. Tapi secara
keseluruhan, sifat dasar, dari perbedaan semacam itu jauh lebih kompleks dari
pada yang bisa dibayangkan oleh akal sehat.

1.4 Pencegahan dan Pengendalian Agresi

Agresi bukanlah suatu bentuk perilaku yang tidak dapat dihindari atau tidak
dapat diubah. Sebaliknya kognisi, dan karakteristik pribadi, hal itu dapat dicegah
atau dikurangi. Dalam bagian akhir ini, kami akan mempertimbangkan beberapa
prosedur yang ketika digunakan secara tepat, dapat efektif dalam mengurangi
frekuensi atau intensitas agresi manusia.

Hukuman: Apakah Hukuman Merupakan Bentuk Pencegahan yang Efektif


terhadap Kekerasan?
Hukuman (punishment), yaitu pemberian konsekuensi yang
menyakitkan untuk mengurangi perilaku tertentu sebagai suatu teknik untuk
mengurangi agresi.
Pertama-tama, kita harus perhatikan bahwa, dilihat secara keseluruhan,
bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa hukuman dapat berhasil dalam
mencegah individu untuk terlibat di banyak bentuk perilaku. Namun, dampak
seperti ini tidak pasti dan tidak otonomis. Bila hukuman yang diberikan tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar, maka hukuman dapat menjadi tidak efektif
untuk tujuan ini. Empat hal yang paling penting: (1) Harus segera, harus
mengikuti tindakan agresif secepat mungkin. (2) harus pasti, probabilitas bahwa
hukuman akan menyertai agresi haruslah sangat tinggi. (3) harus kuat, cukup kuat
untuk dirasa sangat tidak menyenangkan bagi penerimannya. Dan (4) harus
dipersepsikan oleh penerimannya sebagai justifikasi atau layak diterima.
Sayangnya, seperti yang dapat anda lihat, kondisi-kondisi ini sering kali
tidak terdapat dalam sistem keadilan di banyak Negara. Dalam banyak
masyarakat, pemeberian hukuman untuk tindakan agresif ditunda selama
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Melihat kondisi-kondisi ini tidaklah mengejutkan bahwa ancaman hukuman
bahkan hukuman yang paling parah (hukuman mati) sekalipun tampaknya tidk
efektif dalam mencegah kejahatan. Kondisi-kondisi yang dibutuhkan agar
hukuman dapat menjadi efektif tidaklah ada. Hal ini memunculkan pertanyaan

8
yang menarik: Dapatkah dibuktikan bahwa hukuman akan efektif sebagai
pencegah kejahatan jika digunakan secara lebih efektif? Kita dapat memastikan,
tetapi bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa hukuman dapat, secara potensial,
memunculkan efek-efek seperti itu jika digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip
yang digambarkan sebelumnya.

Katarsis: Apakah Mengekspresikan Perasan Anda Secara Terbuks Benar-benar


Bermanfaat?
Hipotesis Katarsis (catharsis hypothesis) yaitu pandangan bahwa jika
individu mengekspresikan kemarahan dan hostility mereka dalam cara yang
relative tidak berbahaya, tendensi mereka untuk terlibat dalam tipe agresi yang
lebih berbahaya akan berkurang (Dollard dkk, 1939).
Berlawanan dengan belief umun, bukti-bukti yang ada menunjukan
gambaran yang campur aduk. (Feshbach, 1984; Geen, 1991b). di satu sisi,
partisipasi dalam berbagai aktifitas yang tidak berbahaya untuk orang lain
(misalnya, aktivitas olahraga keras, berteriak-teriak dalam ruangan yang kosong)
dapat mengurangi keterangsangan emosional yang berasal dari frustasi atau
provokasi (Zilmanan, 1979). Sayangnya, ternyata, efek seperti ini hanya
sementara. Keterangsangan emosi berasal dari provokasi dapat segera muncul
kembali ketika individu mengingat kejadian yang membuat mereka marah
(Capcara dkk., 1994). Dengan kata lain, faktor-faktor kognitif sering kali
membuat dampak katarsis, jika ada, banya berumur pendek.
Berlawanan dengan belief popular katarsis bukan merupakan suatu alat
yang sangat efektif untuk mengurangi agresi. Berpartisipsi dalam bentuk agresi
yang “aman” atau dalam aktivitas keras yang menguras energy dapat
menghasilkan pengurangan keterangsangan untuk sementara, tetapi perasaan
marah dapat segera kembali ketika individu bertemu, atau hanya memikirkan
mengenai, orang yang sebelumnya mengganggu mereka. Dan perasaan-perasaan
seperti ini dapat benar-benar ditingkatkan jika individu berpikir mengenai orang
tersebut ketika sedng terlibat dalam aktivitas katarsis. Untuk alasan-alasan ini,
katarsis menjadi kurang efektif dalam mengurangi agresi daripada yang
sebelumnya dipercaya.

Intervensi Kognitif: Permintaan Maaf dan Mengatasi Defisit Kognitif


Permintaan maaf, yaitu pengakuan kesalahan-kesalahan yang meliputi
permintaan ampun/maaf sering kali sangat bermanfaat untuk mengurangi agresi.
Sama halnya, alasan-alasan yang baik (good excuses) yang merujuk pada faktor-
faktor di luar control pemberi alasan juga dapat efektif dalam mengurangi amarah
dan agresi terbuka dari orang-orang yang telah diprovokasi dalam kadar tertentu.

9
Ketika kita merasa sangat marah kemampuan kita untuk berpikir jelas
misalnya, untuk mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi dari tindakan kita sendiri
dapat berkuramg secara drastic. Ketika ini terjadi, hambatan yang biasanya
menahan agresi (misalnya, ketakutan mendapatkan balasan) juga dapat
menghilang. Sebagaimana ditekankan oleh Lieberman dan Greenberg (1999)
proses informasi secara cepat dan gegabah. Hal ini kemudian, dapat meningkatkan
kemungkinan bahwa kita akan “kehilangan kendali pada” orang lain termasuk
orang lain yang bukan merupakan penyebab kemarahan kita.
Maka prosedur apapun yang dapat menolong kita menghindari atau
mengatasi defisit kognitif juga dapat mengurangi agresi salah satu teknik
Preattribution yaitu mengatribusikan tindakan menggangu yang dilakukan orang
lain pada penyebab tidak disengaja sebelum provakasi benar-benar terjadi. Teknik
yang lain adalah mencegah diri anda sendiri (atau orang lain) dari terhanyut pada
kesalahan sebelumnya baik yang nyata atau yang diimajinasikan.

Teknik-teknik Lain untuk Mengurangi Agresi: Pemaparan terhadap Model


Nonagresif, Pelatihan dalam Keterampilan Sosial, dan Respons yang Tidak Tepat
 PEMAPARAN TERHADAP MODEL NONAGRESIF: PERTAHANAN
YANG MENULAR. Jika pemaparan terhadap tindakan agresif yang dilakukan
orang lain di media atau secara langsung dapat meningkatkan agresi, tampaklah
memungkinkan bahwa pemaparan terhadap perilaku nonagresif menghasilkan
dampak yang sebaliknya. Bahkan, hasil dari beberapa penelitian menunjukan
bahwa hal ini memang benar. Ketika individu-individu yang telah diprovakasi
diperlihatkan pada gambaran orang lain yang sedang mendemontrasikan atau
mengusahakan pertahanan diri, tendensi untuk terjadinya agresi berkurang.
Temuan-temuan ini menunjukan bahwa mungkin saja ada gunanya untuk
menempatkan model nonagresif yang berusaha menahan diri dalam berbagai
situasi tegang yang berpotensi untuk menjadi berbahaya, keberadaan model
nonagresif dapat berfungsi sebagai penyeimbang kekerasan terbuka terjadi.
 PELATIHAN DALAM KTERAMPILAN SOSIAL: BELAJAR UNTUK
MEMILIH HUBUNGAN BAIK DENGAN ORANG LAIN. Salah satu alasan
mengapa banyak orang yang terlibat dalam tanggapan agresif adalah karena
mereka tidak memiliki keterampilan sosial dasar. Mereka tidak mengetahui
bagaimana merespons provokasi dari orang lain dalam cara yang akan
menenangkan orang lain ini alih-alih menggagu mereka. Memiliki keterampilan
sosial dasar tampak terlibat dalam kekerasan dengan proposrsi yang cukup tinggi
dibanyak masyarakat (Toch, 1985), jadi membekali orang-orang seperti ini
dengan keterampilan sosial yang lebih baik dapat sangat bermanfaat untuk
mengurangi agresi.

10
 RESPONS YANG TIDAK TEPAT: SULIT UNTUK MARAH JIKA
ANDA TERSENYUM. Teknik Respons yang tidak tepat (infocompatible
response techniques) (misalnya, Baron, 1993b). Teknik ini menyatakan bahwa
agresi akan berkurang jika imdividu di paparkan pada kejadian atau stimulus yang
menyebabkan mereka mengalami keadaan afeksi yang tidak tepat dengan
kemarahan atau agresi.
Stimulus atau pengalaman apakah yang dapat menghasilkan keadaan afeksi
yang tidak tepat ini? Temuan penelitin memperlihatkan bahwa humor,
keterangsangan seksual ringan dan perasaan empati pada korban semuanya afektif
untuk menghasilkan efek ini. Tentu saja, teknik ini dapat gagal: mencoba untuk
membuat seseorang tertawa ketika mereka sedang sangat marah dapat memicu
dan membuat mereka tambah marah. Tetapi jika digunakan sesegera mungkin
dalam proses sebelum individu menjadi murka usaha untuk mengganti keadaan
emosi internal yang negatif, seperti rasa terganggu, sengan yang ppositif dapat
cukup efektif.

11
KESIMPULAN

Agresif adalah bentuk perilaku yang dimaskudkan dengan tujuan untuk menyakiti
atau melukai orang lain. Sifat dasar agresif dijelaskan dalam 3 perspektif, karena
faktor biologis, teori dorongan, dan teori modern atas agresi yang tidak berfokus
pada faktor tunggal. Salah satu penyebab agresi adalah mempersepsikan maksud
jahat orang lain. Agresi tidak dapat dihilangkan, namun dapat dikurangi salah
satunya dengan cara memberikan punishment

12
DAFTAR PUSTAKA

Baron dan Richardson, 1994; Berkowitz

13

Você também pode gostar