Você está na página 1de 46

PENENTUAN SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGI DAGING

RAJUNGAN KALENG TERDISKOLORASI BIRU

RIZKA ARSYA ARISSAFIA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penentuan Sifat Kimia
dan Mikrobiologi Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2017

Rizka Arsya Arissafia


NIM C34130068

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
ABSTRAK

RIZKA ARSYA ARISSAFIA. Penentuan Sifat Kimia dan Mikrobiologi Daging


Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan
PIPIH SUPTIJAH.

Perubahan mutu yang terjadi pada produk daging rajungan adalah diskolorasi
biru. Diskolorasi biru merupakan fenomena berubahnya warna daging setelah
mengalami pemasakan pada suhu tinggi. Tujuan penelitian ini yaitu menentukan
sifat kimia dan mikrobiologi produk daging rajungan kaleng terdiskolorasi biru.
Pengamatan yang dilakukan meliputi penilaian organoleptik, nilai pH, ALT, kadar
mineral Cu dan Fe, serta intensitas warna daging. Daging rajungan terdiskolorasi
memiliki kenampakan daging yang kusam, muncul warna daging putih kebiruan,
tidak menarik, tetapi masih memiliki aroma, rasa dan tekstur yang baik. Daging
rajungan terdiskolorasi memiliki nilai pH 6,5. Hasil ALT pada daging rajungan
terdiskolorasi yaitu 80-130 koloni/g. Kadar Fe dan Cu pada daging rajungan
terdiskolorasi yaitu 18,16-28,55 mg/kg dan 26,92-42,22 mg/kg.

Kata kunci: daging rajungan, diskolorasi biru, kadar mineral, pasteurisasi

ABSTRACT

RIZKA ARSYA ARISSAFIA. Determination of Chemical and Microbiological


Properties of Blue Discoloration on Canned Crab Meat. Supervised by RUDDY
SUWANDI and PIPIH SUPTIJAH.

One of the quality alterations that often happened in crab meat is blue
discoloration. Blue discoloration is color changing phenomenon that happened to
crab meat after being cooked in high temperature. The purpose of this research is
to determine chemical and microbiological characteristics of blue discoloration on
canned crab meat product. The observations were carried out through organoleptic
test, pH value, TPC, Cu and Fe mineral content, and meat color intensity.
Discolored canned crab meat characteristics were dull in appearance, bluish white
color appeared, unattractive, but still had a good flavor, taste, and texture.
Discolored canned crab meat had pH value of 6.5. TPC result of discolored canned
crab meat was 80-130 cfu/g. Iron and copper content in discolored crab meat were
18.16-28.55 mg/kg and 26.92-42.22 mg/kg.

Key word: blue discoloration, crab meat, mineral content, pasteurization


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENENTUAN SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGI DAGING
RAJUNGAN KALENG TERDISKOLORASI BIRU

RIZKA ARSYA ARISSAFIA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Penentuan Sifat Kimia dan Mikrobiologi Daging Rajungan Kaleng
Terdiskolorasi Biru. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
1 Dr Ir Ruddy Suwandi, MS MPhil dan Dr Dra Pipih Suptijah, MBA selaku
dosen pembimbing atas segala bimbingan dan motivasi yang telah diberikan
kepada penulis.
2 Dr Ir Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl-Biol selaku dosen penguji yang telah
memberikan waktu dan masukan yang telah diberikan kepada penulis.
3 Bambang Riyanto, SPi MSi selaku perwakilan dari komisi pendidikan atas
segala saran dan masukan yang telah diberikan kepada penulis.
4 Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS selaku Ketua Program Studi Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
5 Dr Eng Uju, SPi MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
6 Pihak miniplant dan processing plant PT Kelola Mina Laut, Serang, Banten
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan
penelitian di perusahaannya.
7 Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Hasil Perairan atas
bimbingan, arahan, dan ilmu pengetahuan yang diberikan.
8 Kedua orang tua (Nandi Arisbaya dan Bellatrix Idris), serta keluarga yang
telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis.
9 Adam Kustiadi, Rima Nur Fadhilah, Bella Aprilia, Velayatri M, Rieza Putri
A, Sendy Chrisman, Tommy Fernandez, Abdul Aziz H, Clara Bella,
Lusiana F, Lisda Kusmiati, Mutiara Dirga, dan keluarga besar mahasiswa
THP 50 yang telah banyak membantu, memberikan dukungan dan saran
kepada penulis.
10 Semua pihak yang telah membantu dalam perkuliahan serta penyusunan
skripsi.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dalam
penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan
informasi kepada pembaca.

Bogor, Oktober 2017

Rizka Arsya Arissafia


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ viii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................ 2
Tujuan Penelitian ................................................................................................ 3
Manfaat Penelitian .............................................................................................. 3
Ruang Lingkup Penelitian................................................................................... 3
METODE PENELITIAN........................................................................................ 3
Waktu dan Tempat .............................................................................................. 3
Bahan dan Alat .................................................................................................... 3
Prosedur Penelitian ............................................................................................. 4
Preparasi Daging Rajungan Kaleng ................................................................ 4
Karakterisasi Daging Rajungan Kaleng .......................................................... 5
Prosedur Analisis ................................................................................................ 5
Penilaian Organoleptik Daging Rajungan Kaleng (SNI 6929:2016) .............. 5
Analisis Angka Lempeng Total (SNI 01-2332.3-2006).................................. 6
Analisis Derajat Keasaman (pH) ..................................................................... 6
Analisis Mineral Cu dan Fe (AOAC 2002) .................................................... 6
Analisis Warna (Inoue 1970 dengan modifikasi) ........................................... 7
Analisis Data ....................................................................................................... 7
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................... 8
Karakteristik Sensori Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru ................. 8
Karakteristik Mikrobiologi Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru ..... 10
Karakteristik Kimia Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru ................. 11
Derajat Keasaman (pH) ................................................................................. 11
Mineral Besi (Fe) .......................................................................................... 12
Mineral Tembaga (Cu) .................................................................................. 13
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................. 15
Kesimpulan ....................................................................................................... 15
Saran ................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16
LAMPIRAN .......................................................................................................... 21
RIWAYAT HIDUP .............................................................................................. 30
DAFTAR TABEL

1 ALT daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi ................................ 10


2 Nilai pH daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi .......................... 12
3 Kadar Fe daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi ......................... 13
4 Kadar Cu daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi ........................ 14

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir prosedur penelitian ....................................................................... 5


2 Organoleptik daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi ..................... 9

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur pembuatan daging rajungan kaleng .................................................. 22


2 Scoresheet organoleptik ................................................................................... 24
3 Hasil uji lanjut Dunn organoleptik .................................................................. 25
4 Hasil perhitungan Angka Lempeng Total ....................................................... 26
5 Hasil perhitungan kadar Fe .............................................................................. 27
6 Hasil perhitungan kadar Cu ............................................................................. 27
7 Kurva standar perhitungan warna .................................................................... 28
8 Perhitungan rekomendasi diet Cu yang diperbolehkan ................................... 28
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rajungan merupakan sebutan umum di Indonesia untuk jenis kepiting


berfamili Portunidae yang hidup sepenuhnya di air laut, sedangkan kepiting
digunakan sebagai sebutan untuk kepiting yang hidup di daerah mangrove atau
intertidal (Sunarto 2012). Rajungan dan kepiting merupakan komoditi ekspor
penting Indonesia. Ekspor kepiting dan rajungan tahun 2012 yaitu 28.211 ton
dengan nilai US$329,7 juta, meningkat pada tahun 2013 menjadi 34.172 ton dengan
nilai US$359,3 juta, dan tahun 2014 sebesar 28.090 ton dengan nilai US$414,3 juta
(KKP 2015). Jenis rajungan yang sering ditemui di Indonesia yaitu rajungan
(Portunus pelagicus), rajungan bintang (P. sanguinolenthus), rajungan karang
(Charybdis feriatus) dan rajungan angin (Podopthalmus vigil) (Nontji 1987).
Rajungan (Portunus pelagicus) dapat dikenali dengan mudah dari bentuk tubuhnya
yang memiliki karapas yang lebar dan membulat, berwarna biru cerah dengan
ornamen berbentuk titik-titik putih, memiliki kaki terakhir yang termodifikasi
menjadi kaki renang, serta memiliki capit yang memanjang (Suwignyo 1998).
Rajungan umumnya dimanfaatkan cangkangnya sebagai bahan baku kitosan,
sedangkan dagingnya dapat diolah menjadi sumber protein hewani. Rajungan segar
memiliki rendemen daging 3,77%; cangkang 51,62%, dan jeroan 12,61%.
Kandungan gizi rajungan segar (bb) terdiri atas kadar air 78,47%; kadar abu 1,65%;
kadar lemak 0,18%; kadar protein 14,66%; kadar karbohidrat 5,04%; kadar protein
larut air 8,80%; dan kadar protein larut garam 12,50% (Jacoeb et al. 2012).
Keunggulan daging rajungan yaitu memiliki daging yang lembut dan rasa yang
manis (Ristyanadi dan Hidayati 2012). Daging rajungan mengalami penurunan
mutu dengan cepat. Upaya yang dilakukan untuk mempertahankan mutunya yaitu
dengan pengukusan dan pengalengan.
Produk daging rajungan kaleng menurut definisi SNI 6929:2016 adalah
produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku rajungan yang terdiri atas satu
bagian atau kombinasi dari bagian daging: badan, bahu, lengan, dan capit yang telah
dikupas kulitnya dan dikemas dalam suatu wadah hermetis yang mengalami
perlakuan pasteurisasi (BSN 2016). Proses pengolahan daging rajungan yang baik
diharapkan dapat mencegah terjadinya perubahan mutu yang tidak diinginkan,
misalnya penurunan tingkat kesegaran, kontaminasi mikroba, dan diskolorasi.
Diskolorasi pada daging rajungan kaleng merupakan perubahan warna yang tidak
diinginkan pada daging setelah pengolahan. Requena et al. (1999) menyatakan
bahwa diskolorasi pada daging kepiting diklasifikasikan menjadi lima kategori,
yaitu warna biru (reaksi hemosianin dan proses pemanasan); warna coklat (reaksi
Maillard pada karbohidrat); warna hitam (reaksi sulfida selama pengalengan);
warna kuning (reaksi oksidasi lipid selama penyimpanan); dan warna merah
(pigmen daging yang ditemukan pada bagian kaki).
Perubahan warna yang paling sering terjadi di industri pengolahan rajungan
adalah diskolorasi biru. Diskolorasi biru merupakan fenomena berubahnya warna
daging menjadi warna kebiruan setelah mengalami pemanasan pada suhu tinggi
dengan waktu pemanasan yang lama (Requena et al. 1999). Perubahan warna yang
terjadi yaitu warna biru samar (light blue), biru keabuan (blue-gray) dan biru
2

kehitaman (blue black) (Waters 1970). Kejadian diskolorasi biru pada pengolahan
rajungan cenderung terjadi pada waktu produksi yang berdekatan. Hal ini diketahui
dapat menurunkan mutu karena mempengaruhi nilai sensori produk dan kerugian
di industri (Komunikasi pribadi QC PT KML).
Vijayan dan Balachandran (1981) menyatakan bahwa faktor utama yang
mempengaruhi diskolorasi biru adalah kandungan tembaga (Cu) dalam hemosianin.
Tembaga dalam rajungan berfungsi sebagai pengikat oksigen. Pembentukan
hemosianin dan Cu pada rajungan dipengaruhi oleh fase pergantian kulit dari
rajungan. Rajungan yang mengalami fase premolt menghasilkan kandungan
hemosianin dan Cu yang lebih tinggi dibandingkan fase lainnya (Engel et al. 2001).
Pemanasan daging rajungan menyebabkan hemosianin terkoagulasi dan terikat
dengan hidrogen sulfida sehingga membentuk warna biru (Inoue 1970). Faktor lain
yang mempengaruhi diskolorasi biru yaitu kandungan besi (Fe), kadar air, pH dan
struktur daging, proses pemanasan, dan waktu penyimpanan (Requena et al. 1999).
Tindakan yang dilakukan dalam mencegah terjadinya diskolorasi biru yaitu
dengan penerapan Good Manufacturing Practices (GMP), hemosianin dibuang
sebelum pengolahan (Vijayan dan Balachandran 1981), penambahan asam askorbat
(Groninger dan Dassow 1964), penambahan asam asetat (Varga et al. 1969),
penambahan asam sitrat dan sodium klorida (Vijayan dan Balachandran 1981),
serta penghilangan hemosianin dengan pemanasan fraksional (Tanikawa 1965).
Metode tersebut dianggap mampu mencegah terjadinya diskolorasi biru, akan tetapi
dapat mengubah mutu pada daging, misalnya menurunkan bobot pada daging dan
flavor. Bahan tambahan pangan yang diperbolehkan dalam produksi daging
kepiting dan rajungan yaitu asam sitrat, asam fosfat, monosodium glutamat, EDTA
dan disodium difosfat (P2O5) dan turunannya (CAC 1981).
Pengolahan daging rajungan di Indonesia umumnya menggunakan sodium
acid pyrophosphate (SAPP). SAPP dipilih karena bersifat asam, memiliki gugus
natrium sebagai antibakteri, serta memiliki kemampuan hidrasi protein daging yang
paling baik diantara garam fosfat lainnya (Goncalves dan Ribeiro 2008).
Penambahan bahan tambahan pangan lainnya termasuk SAPP pada daging
rajungan tertentu tetap menghasilkan diskolorasi biru. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh kondisi biologis rajungan yang mengandung konsentrasi hemosianin dan Cu
yang tinggi serta reaksi hemosianin dengan gugus sulfidril dan disulfida sehingga
membentuk warna biru. Oleh sebab itu, perlu diidentifikasi sifat sensori, kimia,
dan mikrobiologi produk daging rajungan kaleng yang mengalami diskolorasi biru
sehingga dapat mencegah terjadinya perubahan mutu.

Perumusan Masalah

Salah satu permasalahan yang terjadi di industri pengolahan rajungan adalah


diskolorasi biru. Tindakan pencegahan yang sudah dilakukan yaitu penambahan
disodium difosfat pada proses pengolahan, namun diskolorasi biru setelah
pengolahan masih terus ada dan belum diketahui faktor penyebab terjadinya
diskolorasi tersebut. Informasi mengenai karakteristik diskolorasi biru pada daging
rajungan kaleng di Indonesia belum diketahui sehingga perlu diidentifikasi sifat
sensori, kimia, dan mikrobiologi daging rajungan kaleng terdiskolorasi biru
sehingga dapat mencegah terjadinya perubahan mutu yang tidak diinginkan.
3

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan sifat kimia dan mikrobiologi produk


daging rajungan kaleng terdiskolorasi biru.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik


kimia dan mikrobiologi produk daging rajungan kaleng terdiskolorasi biru terutama
dari aspek organoleptik, nilai pH, total mikroba mesofilik, kandungan mineral Cu
dan Fe, serta warna daging. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan terhadap
perusahaan pengolahan daging rajungan kaleng dan informasi terhadap konsumen.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi pengambilan sampel, preparasi dan


pengelompokan sampel, penentuan sifat organoleptik, pengukuran pH, perhitungan
angka lempeng total (ALT), analisis mineral Cu dan Fe, penentuan warna secara
spektrofotometri, analisis data, dan penulisan laporan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2017. Pengambilan dan


preparasi sampel hingga pengujian organoleptik, pH, dan ALT dilaksanakan di PT
Kelola Mina Laut-Serang. Analisis mineral Cu dan Fe dilaksanakan di
Laboratorium Kimia Terpadu IPB. Analisis warna dilaksanakan di Laboratorium
Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Lingkungan Akuakultur FPIK IPB.

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daging rajungan
kaleng jenis special. Bahan yang digunakan dalam karakterisasi sensori meliputi
scoresheet organoleptik daging rajungan rebus dingin (SNI 4224:2015) dan daging
rajungan kaleng (SNI 6929:2016). Bahan yang digunakan untuk karakterisasi
mikrobiologi yaitu media plate count agar (PCA) dan larutan buffer fosfat. Bahan
yang digunakan untuk pengukuran nilai pH yaitu kertas pH. Bahan yang digunakan
untuk pengujian kadar mineral Cu dan Fe yaitu larutan HCl 6 M, HNO3 0,1 M dan
akuades. Bahan yang digunakan untuk pengujian warna yaitu akuades, larutan
NaOH 0,05 N dan CuSO4 5%.
Alat yang digunakan untuk preparasi, karakterisasi sensori dan mikrobiologi
daging rajungan meliputi wadah, aluminium foil, inkubator, gelas ukur, cawan petri
dan pipet volumetrik. Alat yang digunakan untuk karakterisasi kimia yaitu
timbangan analitik Denver Instrument, sentrifuge Hitachi CF16RX II,
4

Spektrofotometer UV-VIS Hitachi U3900H, hot plate Digiblock ED16S, tanur


Thermolyne, Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Agilent Technologies 200AA,
oven, desikator, homogenizer, kuvet, mikrotube, labu Erlenmeyer, gelas arloji,
sudip dan kertas saring Whatmann 41.

Prosedur Penelitian

Penelitian terbagi menjadi dua tahap, yaitu preparasi dan karakterisasi daging
rajungan kaleng. Preparasi meliputi penyiapan sampel daging rajungan kaleng
jenis special seberat 450 g sebanyak 15 kaleng kemudian dikelompokkan
berdasarkan jenis, waktu produksi, dan asal bahan baku. Sampel daging rajungan
kaleng dibuka dan dinilai organoleptiknya oleh 15 panelis. Tahap karakterisasi
mikrobiologi meliputi pengambilan sampel dan penyediaan media untuk analisis
ALT. Tahap karakterisasi kimia meliputi pengambilan sampel, penyediaan kertas
indikator universal untuk uji pH dan analisis mineral Fe dan Cu dengan
spektrofotometri serapan atom (SSA). Pengujian warna terdiri atas pembacaan
absorbansi daging rajungan terdiskolorasi, pembuatan standar warna dari larutan
CuSO4, dan penentuan standar warna. Secara sistematika prosedur penelitian
disajikan pada Gambar 1.

Preparasi Daging Rajungan Kaleng


Proses pengolahan daging rajungan kaleng mengacu pada SNI 6929:2016
yang tercantum pada Lampiran 1. Preparasi sampel daging rajungan meliputi
pengambilan stok daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi sebanyak 15 kaleng.
Daging rajungan kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis, waktu produksi, dan
asal bahan baku. Adapun pengelompokan sampel daging rajungan yang digunakan
sebagai berikut:
a Sampel daging rajungan rebus dingin (RD): sampel daging rajungan rebus
dingin tanpa penambahan SAPP dan tanpa proses pasteurisasi. Sampel
berperan sebagai kontrol negatif. Sampel berasal dari perairan Lampung,
Bangka Belitung, dan Tangerang. Sampel diproduksi pada 17 Mei 2017.
b Sampel daging rajungan kaleng normal (RN): sampel daging rajungan
kaleng normal. Sampel berperan sebagai kontrol positif. Sampel berasal
dari perairan Lampung, Bangka Belitung, dan Tangerang. Sampel
diproduksi pada 17 Mei 2017.
c Sampel daging rajungan terdiskolorasi B1: sampel daging rajungan
kaleng terdiskolorasi biru samar. Sampel berasal dari perairan Lampung
dan Banten. Lama penyimpanan sampel 12 bulan. Sampel diproduksi
pada 9 Mei 2016.
d Sampel daging rajungan terdiskolorasi B2: sampel daging rajungan
kaleng terdiskolorasi biru samar. Sampel berasal dari perairan Bangka
Belitung dan Kalimantan Barat. Lama penyimpanan sampel 15 bulan.
Sampel diproduksi pada 28 Februari 2016.
e Sampel daging rajungan terdiskolorasi B3: sampel daging rajungan
kaleng terdiskolorasi biru jelas. Sampel berasal dari perairan Lampung,
Banten dan Bangka Belitung. Lama penyimpanan sampel 16 bulan.
Sampel diproduksi pada 23 Januari 2016.
5

Karakterisasi Daging Rajungan Kaleng


Karakterisasi daging rajungan kaleng dilakukan dari aspek sensosi,
mikrobiologi, dan kimia. Penilaian sensori dilakukan dengan membuka daging
rajungan kaleng kemudian diambil sebanyak 200 g dan diuji organoleptiknya oleh
15 panelis. Parameter organoleptik yang diuji meliputi kenampakan, aroma, rasa,
dan tekstur. Karakterisasi mikrobiologi yang dilakukan yaitu analisis angka
lempeng total (SNI 01-2332.3-2006). Karakterisasi kimia yang dilakukan meliputi
pengukuran nilai pH, kadar mineral Fe, kadar mineral Cu (AOAC 2002) dan
intensitas warna (Inoue 1970 dengan modifikasi).

Produk daging
rajungan

Preparasi dan pengelompokan


sampel

Daging rajungan rebus Daging rajungan Daging rajungan


dingin (RD) kaleng normal (RN) terdiskolorasi biru (B)

Analisis sensori:
organoleptik

Analisis mikrobiologi:
Karakterisasi
Angka lempeng total

Analisis kimia:
- pH
- mineral Fe
- mineral Cu
- warna

Gambar 1 Diagram alir prosedur penelitian

Prosedur Analisis

Penilaian Organoleptik Daging Rajungan Kaleng (SNI 6929:2016)


Penilaian organoleptik pada daging rajungan mengacu pada SNI 4224:2015
tentang daging rajungan rebus dingin dan SNI 6929:2016 tentang daging rajungan
pasteurisasi dalam kaleng. Parameter yang diuji meliputi kenampakan, aroma, rasa,
dan tekstur. Sampel daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi masing-masing
diambil sebanyak 200 g kemudian disiapkan untuk uji organoleptik oleh 15 panelis.
Panelis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan karyawan PT KML bagian
6

produksi dan quality control. Lembar penilaian organoleptik daging rajungan


selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.

Analisis Angka Lempeng Total (SNI 01-2332.3-2006)


Angka lempeng total merupakan jumlah mikroba aerob mesofilik yang
ditemukan dalam per gram atau per mililiter contoh yang ditentukan dengan metode
standar. Analisis ALT menggunakan media plate count agar (PCA). Tahap
pertama analisis ALT adalah pembuatan larutan contoh, yaitu mencampurkan 10 g
sampel yang telah dihaluskan ke dalam Erlenmeyer yang berisi 90 mL larutan
buffer fosfat, lalu dihomogenkan. Larutan contoh kemudian diambil 1 mL dan
dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 9 mL buffer sehingga diperoleh
pengenceran 10-2. Banyaknya pengenceran disesuaikan dengan keperluan
penelitian. Media PCA kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri dan diratakan
hingga mengeras. Larutan sampel yang telah diencerkan kemudian ditambahkan
ke dalam cawan petri yang berisi media PCA. Cawan petri dalam kondisi terbalik
kemudian dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 37°C selama 48 jam.
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang ada di dalam cawan
petri dengan colony counter. Jumlah koloni dihitung dengan rumus perhitungan:
∑C
N = [(1 x n1)+(0,1 x n2)] x (d)
Keterangan:
N = Jumlah koloni sampel, dinyatakan dalam koloni/g
∑C = Jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung
n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung
n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung
d = Pengenceran pertama yang dihitung

Analisis Derajat Keasaman (pH)


Pengukuran derajat keasaman (pH) suatu bahan dilakukan dengan kertas
indikator universal. Sampel daging rajungan seberat 15 g dilarutkan dalam akuades
sebanyak 30 mL dan dihomogenkan. Kertas indikator universal kemudian
dicelupkan pada larutan tersebut dan diangkat untuk dilihat hasilnya.

Analisis Mineral Cu dan Fe (AOAC 2002)


Mineral yang diuji pada penelitian ini yaitu tembaga (Cu) dan besi (Fe).
Unsur mineral total didestruksi dengan cara pengabuan kering. Kadar mineral
diukur menggunakan spektrofotometri serapan atom (SSA). Penentuan kadar
mineral terdiri atas pre-treatment, pengeringan, pengabuan, pembuatan larutan, dan
pembacaan dengan SSA.
(a) Tahap pre-treatment, pengeringan, dan pengabuan
Sampel daging rajungan dihomogenkan dan ditimbang sebanyak 15 g.
Sampel selanjutnya dikeringkan dengan oven selama 4-5 jam dan didinginkan
dalam desikator kemudian ditimbang. Hasil penimbangan tersebut merupakan
kadar air basis kering.
(b) Tahap pembuatan larutan dan pembacaan absorban
Sampel hasil pengabuan ditimbang seberat 2,5 g, kemudian dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 3 mL akuades. Sampel dipanaskan
secara bertahap dalam hot plate pada suhu 50-100°C kemudian ditingkatkan
suhunya menjadi 200°C. Sampel yang telah dipanaskan hingga 200°C dipindahkan
7

ke dalam tanur dengan suhu 450°C dan dilakukan pengabuan selama 1-2 jam
hingga terbentuk warna putih pada cawan porselen. Cawan porselen tersebut
dibilas dengan 5 mL HCl 6 M dan diuapkan kembali dalam hot plate. Hasil residu
dari penguapan ditambahkan 10 mL HNO3 0,1 M dan dipanaskan kembali dengan
hot plate selama 2 jam. Hasil pemanasan kemudian disaring menggunakan kertas
Whatmann 41 dan akuades.
Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam SSA. Larutan tersebut
kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang dan parameter yang
sesuai untuk masing-masing mineral yang dituju. Panjang gelombang yang
digunakan untuk membaca kadar Cu dan Fe adalah 324,8 nm dan 248,3 nm. Kadar
mineral pada sampel dihitung dengan memasukkan nilai absorban sampel ke dalam
persamaan garis standar y = ax ± b, sehingga akan diperoleh nilai x yang merupakan
konsentrasi sampel. Kadar mineral dalam sampel dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
mg konsentrasi mineral × FP
kadar mineral ( . bb) =
g berat sampel (g)
Keterangan:
FP = faktor pengenceran

Analisis Warna (Inoue 1970 dengan modifikasi)


Sampel daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi diambil sebanyak 5 g lalu
dicincang hingga halus, selanjutnya daging dilarutkan dalam larutan NaOH 0,05 N
25 mL selama beberapa menit. Sampel kemudian disentrifuse dengan kecepatan
5.000 rpm selama 20 menit. Hasil sentrifuse berupa supernatant dipipet 5 mL
kemudian diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 550 nm.
Penentuan intensitas warna menggunakan kurva standar warna sebagai acuan
dalam menentukan intensitas warna dalam sampel. Kurva standar dihasilkan dari
absorbansi larutan standar warna biru yang terbaca di spektrofotometer UV-Vis.
Larutan standar diperoleh dari daging rajungan sebanyak 1 g ditambahkan dengan
larutan CuSO4 5% 5 mL kemudian diencerkan dengan larutan NaOH 0,05 N hingga
mendapatkan konsentrasi larutan 2; 4; 8; 10; 12; 16; dan 20 mg/L lalu diukur nilai
absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. Persamaan yang dihasilkan
adalah Y = 0,0418 x + 0,0161 dengan nilai R2 yaitu 0,9904.

Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu statistika deskriptif
dengan menentukan nilai tengah dan standar deviasinya. Perhitungan nilai tengah
dan standar deviasi dilakukan dengan rumus (Walpole 1982):
∑ni=1 xi √∑(x − x̅)2
x̅ = σ=
n n
Keterangan:
𝑥̅ = nilai rata-rata
𝑥𝑖 = nilai x dalam ulangan ke-i
n = jumlah data
𝜎 = standar deviasi, bernilai positif
𝑥 − 𝑥̅ = selisih nilai x dengan nilai rata-rata
8

Analisis data yang digunakan untuk mendapatkan perbandingan antara


kontrol dan perlakuan adalah uji T berpasangan (paired t-test). Perhitungan uji T
berpasangan dilakukan dengan rumus (Walpole 1982):
x̅1 − ̅̅̅
x2
t=
s12 s22 s s
√ + − 2r ( 1 ) ( 2 )
n1 n2 √ 1 √n2
n
Keterangan:
𝑥1
̅̅̅ = rata-rata sampel 1
𝑥2
̅̅̅ = rata-rata sampel 2
𝑠1 = simpangan baku sampel 1
𝑠2 = simpangan baku sampel 2
2
𝑠1 = varians sampel 1
𝑠22 = varians sampel 2
𝑟 = korelasi antara dua sampel

Data hasil uji organoleptik diolah dengan analisis non parametrik Kruskal
Wallis. Hasil uji yang menunjukkan perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji
multiple pairwise comparison melalui uji Dunn. Perhitungan uji Kruskal Wallis
dan uji Dunn dilakukan dengan rumus (Daniel 1990):
12 Ri2
H= [ ∑ ] − 3(n + 1)
n(n + 1) ni

H ∑T
H′ = FK = 1 −
FK (n − 1)n(n + 1)

∝ k(N(N 2 − 1) ∑ T)
̅ − Rj
|Ri ̅ | ≤ Z {1 − ( )} √
K(K − 1 6N(N − 1)
Keterangan:
Ri = jumlah ranking dalam contoh ke-i
Ni = jumlah pengamatan dalam perlakuan ke-i
H = kriteria yang akan diuji
T = jumlah data yang sama
H’ = H terkoreksi
Ri = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i
Rj = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j
N = banyak data
Z = perlakuan
k = banyak ulangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Sensori Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru

Penilaian organoleptik merupakan cara penilaian terhadap mutu atau sifat


suatu komoditi dengan menggunakan formulir uji organoleptik sebagai
9

instrumennya. Penilaian organoleptik bertujuan untuk memberikan suatu nilai atau


skor tertentu terhadap suatu karakteristik (Ubaidillah dan Hersoelistyorini 2012).
Penilaian mutu daging rajungan secara sensori meliputi kenampakan, aroma, rasa,
dan tekstur. Kenampakan diukur dari segi ada tidaknya pengotor, warna, dan
keseragaman daging; aroma diukur dari ketajaman dan kesegaran aroma daging;
rasa diukur dari rasa manis dan gurih pada daging; serta tekstur diukur dari
kekompakan dan kepadatan daging (Sulistyawati 2000). Hasil organoleptik daging
rajungan kontrol dan terdiskolorasi disajikan pada Gambar 2.
9 b b a
b ab ab a a b
a ab a
a
8 a a
a a
7
a
skor organoleptik

6
a
5 a

1
Kenampakan Aroma Rasa Tekstur
Parameter

Gambar 2 Organoleptik daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi


( :: RD, : RN, : B1, : B2, : B3)

Gambar 2 menunjukkan keberagaman data organoleptik daging rajungan


dengan antara kontrol dan sampel terdiskolorasi. Parameter kenampakan, aroma,
dan tekstur menghasilkan data yang berpengaruh nyata (p<0,05) sedangkan
parameter rasa tidak berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kontrol. Parameter
kenampakan menghasilkan skor yang lebih tinggi pada kontrol negatif (RD) dan
kontrol positif (RN) dibandingkan dengan sampel terdiskolorasi. Hasil scoring
organoleptik daging rajungan selengkapnya tersaji pada Lampiran 3.
Daging rajungan terdiskolorasi B1 memiliki skor kenampakan 6,07, skor
aroma 8,47, skor rasa 8,47, dan skor tekstur 7,53. Daging rajungan terdiskolorasi
B1 secara keseluruhan memiliki kenampakan bentuk utuh, banyak serpihan daging,
warna daging putih cerah, sedikit warna biru samar, cemerlang dan menarik;
memiliki aroma yang segar, rasa yang manis dan gurih, serta memiliki tekstur serat
daging yang kuat dan kompak. Daging rajungan terdiskolorasi B2 memiliki skor
kenampakan 5,27 dengan spesifikasi bentuk utuh, sedikit serpihan daging, warna
daging putih kusam, muncul warna daging biru samar, tidak cemerlang dan tidak
menarik. Daging rajungan terdiskolorasi B2 memiliki skor aroma 8,33, skor rasa
8,33 dan skor tekstur 7,40 dengan spesifikasi aroma yang segar, rasa yang manis,
serta tekstur serat daging yang kompak. Daging rajungan terdiskolorasi B3
memiliki skor kenampakan 4,73, skor aroma 8,2, skor rasa 8,07, dan skor tekstur
10

7,27. Daging rajungan terdiskolorasi B3 memiliki spesifikasi kenampakan bentuk


tidak utuh, banyak serpihan daging, warna daging sangat kusam, muncul warna
daging biru jelas, tidak cemerlang dan tidak menarik, namun memiliki aroma yang
segar, rasa yang manis dan gurih, serta tekstur serat daging yang kuat dan kompak.
Parameter aroma, rasa, dan tekstur pada perlakuan sampel terdiskolorasi dapat
dinyatakan stabil karena perbedaan waktu simpan tidak menghasilkan perbedaan
nyata antar perlakuan.
Requena et al. (1999) menyatakan bahwa selama proses pemanasan, terdapat
berbagai reaksi yang mengakibatkan perubahan pada flavor, tekstur dan warna
daging. Tekstur daging menjadi lebih baik setelah mengalami pemanasan. Protein
pada daging menjadi lebih kencang saat protein kolagen membentuk struktur gel.
Goncalves dan Ribeiro (2008) melaporkan bahwa penambahan garam fosfat pada
seafood dapat mempertahankan kelembapan dan flavor alami, menghambat proses
oksidasi lipid dengan mengikat ion logam, dan sebagai cryoprotectant untuk
memperpanjang umur simpan. Hasil penilaian sampel daging rajungan
terdiskolorasi dapat disimpulkan bahwa skor kenampakan sangat mempengaruhi
penerimaan mutu produk, serta terjadi penurunan skor organoleptik pada sampel
yang memiliki waktu penyimpanan lebih lama. Sampel daging rajungan
terdiskolorasi biru tidak memenuhi persyaratan organoleptik kenampakan dengan
nilai skor dibawah 7, sedangkan parameter aroma, rasa, dan tekstur dinyatakan
dapat memenuhi persyaratan organoleptik yang baik. Daging rajungan kaleng
menurut definisi SNI 6929:2016 harus memiliki skor organoleptik minimal 7
(tujuh) dengan spesifikasi bentuk utuh, sedikit ada serpihan daging, warna daging
putih susu cerah, sedikit sekali warna kekuningan, bersih, cemerlang, dan menarik;
memiliki aroma segar harum khas rajungan; rasa yang manis, enak dan gurih; serta
memiliki tekstur serat daging yang kuat, kompak, kenyal, dan elastis (BSN 2016).

Karakteristik Mikrobiologi Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru

Angka lempeng total (ALT) adalah jumlah mikroba aerob mesofilik yang
ditemukan dalam per gram atau per milliliter yang ditentukan melalui metode
standar. Mikroba yang dimaksud yaitu bakteri, kapang, dan ragi (BSN 2009). ALT
digunakan sebagai indikator proses sanitasi dan higiene produk jadi dan dasar
kecurigaan dapat atau tidak diterimanya produk berdasarkan kualitas
mikrobiologinya (Puspandari dan Isnawati 2015). Hasil pengujian ALT pada
sampel daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 ALT daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi


Sampel perlakuan Angka Lempeng Total (koloni/g)
Daging rajungan rebus dingin (RD) 16.000b
Daging rajungan kaleng normal (RN) 70a
Daging rajungan terdiskolorasi B1 80a
Daging rajungan terdiskolorasi B2 130a
Daging rajungan terdiskolorasi B3 120a
a
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Hasil ALT pada sampel daging rajungan menunjukkan adanya perbedaan


nyata antara kontrol dan sampel terdiskolorasi (p<0,05). Hasil ALT kontrol negatif
11

(RD) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan pada kontrol positif (RN)
dan sampel terdiskolorasi B1, B2, dan B3 tidak berbeda nyata. Perbedaan hasil
dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan dan kondisi produk yang dihasilkan.
Perhitungan ALT pada sampel daging rajungan disajikan pada Lampiran 4.
Hasil ALT kontrol negatif (RD) dinyatakan tinggi karena hanya dilakukan
satu kali pengolahan, yaitu rebus dingin. Nilai ALT pada kontrol negatif (RD)
sebesar 1,6 x 103 koloni/g, sesuai dengan SNI 4224:2015 yaitu batas maksimal ALT
pada daging rajungan rebus dingin adalah 2,0×104 koloni/g (BSN 2015). Hasil ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya, yaitu pertumbuhan mikroba pada
pengalengan kepiting Callinectes sapidus menunjukkan bahwa bahan baku
memiliki nilai ALT sebesar 12.882 koloni/g, kemudian menurun setelah
pengukusan menjadi 12,02-70,79 koloni/g dan kembali meningkat setelah
pengupasan daging menjadi 3.548-31.622 koloni/g (Olgunoglu 2010).
Tahapan rebus dingin meliputi pencucian rajungan, pengukusan, penirisan,
pengupasan daging, dan penyimpanan dingin. Pengukusan secara umum bertujuan
mendapatkan konsistensi daging yang baik, memudahkan pengupasan,
menginaktivasi enzim dan membunuh bakteri dalam pangan (Suharto et al. 2016).
Winarno (2004) menyatakan bahwa proses pendinginan yang lambat pada rajungan
matang setelah dikukus menyebabkan produk berada di suhu hangat sehingga spora
bakteri mesofilik dan termofilik mampu bergerminasi dan berkembang biak. Suhu
ruang proses yang panas, waktu pengupasan yang lama serta sanitasi dan higiene
yang kurang baik turut memicu perkembangan mikroba.
Hasil kontrol positif (RN) dibandingkan dengan daging terdiskolorasi B1, B2,
dan B3 dapat dinyatakan tidak berbeda nyata karena pada sampel ini dilakukan
pengolahan lanjutan yang sama yaitu pengalengan. Nilai ALT dari kontrol positif
(RN) dan sampel terdiskolorasi B1, B2 dan B3 sesuai dengan SNI 6929:2016 yaitu
batas ALT pada daging rajungan kaleng yaitu 1×103 koloni/g (BSN 2016). Nilai
ALT pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya,
yaitu pada produk akhir daging kepiting Callinectes sapidus kaleng memiliki nilai
ALT sebesar 23,44-75,85 koloni/g (Olgunoglu 2010).
Pasteurisasi adalah perlakuan panas pada produk pangan yang dapat
menginaktifkan bentuk vegetatif jasad renik, namun tidak mematikan spora bakteri
yang tahan panas (Widhiastuti 2010). Bakteri yang bersifat termofilik dalam
pasteurisasi diantaranya bakteri patogen pembentuk toksin, Clostridium botulinum
tipe E dan bakteri lain yang tidak membentuk spora. Proses pasteurisasi tidak
mematikan semua mikroba, sehingga perlu diberi perlakuan lain yang dapat
meminimalkan pertumbuhan mikroba, antara lain pendinginan, penambahan
pengawet, penurunan pH, pengaturan aw, serta MAP (modified atmosphere
packaging) (Muchtadi 1989, Aeni 2012). Penurunan ALT akibat pasteurisasi
diimbangi dengan adanya penambahan SAPP, proses pengalengan dan pendinginan
diharapkan dapat meminimalkan pertumbuhan mikroba.

Karakteristik Kimia Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru

Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman (pH) merupakan satuan ukur yang menguraikan tingkat
keasaman atau kadar alkali dari suatu larutan. Nilai pH suatu bahan ditunjukkan
12

oleh banyaknya ion hidrogen yang terdapat dalam larutan. Bahan yang asam
banyak mengandung hidrogen sehingga memiliki pH rendah (Sugiyono 2004).
Perubahan nilai pH pada suatu bahan dapat terjadi akibat adanya interaksi dengan
bahan lain. Nilai pH pada daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi disajikan pada
Tabel 2.

Tabel 2 Nilai pH daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi


Sampel perlakuan Nilai pH
Daging rajungan rebus dingin (RD) 7,5 ± 0,00a
Daging rajungan kaleng normal (RN) 7,0 ± 0,00b
Daging rajungan terdiskolorasi B1 6,5 ± 0,00b
Daging rajungan terdiskolorasi B2 6,5 ± 0,00b
Daging rajungan terdiskolorasi B3 6,5 ± 0,00b
a
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Derajat keasaman (pH) daging rajungan kontrol dengan sampel terdiskolorasi


menunjukkan perbedaan yang signifikan. Nilai pH pada sampel terdiskolorasi
sesuai dengan penelitian sebelumnya, yaitu nilai pH pada daging kepiting
Paralithodes camtscatica terdiskolorasi bernilai 5,8-6,8 (Inoue 1970). Nilai pH
pada sampel terdiskolorasi maupun kontrol sesuai dengan standar pH daging
kepiting terpasteurisasi yaitu 6,5-7 (FDA 2007). Zamir et al. (1998) menyatakan
bahwa perubahan konsentrasi ion hidrogen dalam daging dapat digunakan sebagai
indikator kualitas produk dan umur simpannya. Produk dengan pH <7,7
digolongkan memiliki kualitas prima; produk dengan pH 7,7-7,9 digolongkan
masih dapat diterima; dan produk dengan pH >7,9 dianggap sudah rusak.
Kesesuaian nilai pH pada daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi
dibandingkan dengan standar dapat dijadikan kesimpulan bahwa produk daging
rajungan masih memiliki mutu yang baik.
SAPP secara umum merupakan kelompok garam fosfat dengan rumus kimia
Na2H2P2O7, memiliki nilai pH 4,4 (larutan SAPP 1%), kelarutan 13 g/100g, kadar
P2O5 sebesar 63% dan total Na2O sebesar 28% (Dziezak 1990). Penurunan nilai
pH pada sampel daging rajungan kaleng merupakan efek dari proses pelarutan
protein daging oleh SAPP. Hal ini disebabkan oleh transfer ion hidrogen ke dalam
daging selama pemasakan sehingga pH daging menurun. Penurunan pH daging
juga disebabkan oleh perubahan mutu. Perubahan mutu daging mengakibatkan
produksi asam laktat dan penurunan pH, menurunnya ATP, serta perubahan
struktur sel akibat aktivitas enzim proteolitik (Goncalves dan Ribeiro 2008).

Mineral Besi (Fe)


Besi merupakan logam esensial yang keberadaannya dalam jumlah tertentu
sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah berlebih dapat
menimbulkan efek racun. Tingginya kadar Fe akan berdampak terhadap kesehatan
manusia (Supriyantini dan Endrawati 2015). Besi merupakan mineral mikro yang
berperan dalam mentransportasikan oksigen di sel darah merah manusia, serta
digunakan dalam protein dan enzim untuk kesehatan tubuh (Moronkola et al. 2011).
Keberadaan Fe pada rajungan terletak di cangkang, daging, serta hepatopankreas.
Kumari et al (2015) menyatakan bahwa besi pada rajungan berfungsi membantu
aktivasi enzim dan katalis oksidasi lipid. Besi pada rajungan tidak dibutuhkan
13

dalam jumlah besar dan digunakan berulang sehingga kadar Fe dalam tubuh
rajungan cenderung stabil (Swasthikawati et al. 2014). Kadar Fe pada daging
rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi tersaji pada Tabel 3.

Tabel 3 Kadar Fe daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi


Sampel perlakuan Kadar Fe (mg/kg)
Daging rajungan rebus dingin (RD) 26,77 ± 0,27a
Daging rajungan kaleng normal (RN) 16,72 ± 0,13a
Daging rajungan terdiskolorasi B1 18,16 ± 0,51a
Daging rajungan terdiskolorasi B2 20,58 ± 0,39a
Daging rajungan terdiskolorasi B3 28,55 ± 0,01a
a
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Hasil pengujian pada Tabel 3 menunjukkan rerata nilai kadar mineral Fe pada
perlakuan kontrol dan diskolorasi tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0,05).
Kadar Fe pada kontrol negatif (RD) lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya, yaitu kadar Fe pada daging rajungan di Teluk Mersin, Turki sebesar
21,92-23,90 ppm (jantan) dan 13,15-16,53 ppm (betina) (Ayas dan Ozogul 2011).
Kadar Fe yang lebih rendah pada kontrol positif (RN) dan sampel terdiskolorasi
disebabkan oleh proses pengolahan lanjutan yaitu penambahan garam fosfat dan
pengalengan. Tingginya kadar Fe pada B1, B2 dan B3 dibandingkan dengan
kontrol positif (RN) kemungkinan disebabkan oleh pengikatan ion Fe dengan SAPP
yang tidak sempurna, interaksi dengan kaleng, serta perbedaan kondisi biologis
bahan baku. Hasil kadar Fe pada sampel daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi
memenuhi rekomendasi diet bagi kesehatan tubuh manusia, yaitu 5-20 mg/hari dan
tidak melebihi 60 mg/kg (Mulyaningsih 2009). Contoh perhitungan kadar Fe pada
daging rajungan disajikan pada Lampiran 5.
Trout dan Dale (1990) menyatakan bahwa fungsi garam fosfat termasuk
SAPP yaitu mencegah perubahan flavor pada daging. Penurunan flavor disebabkan
oleh adanya kadar Fe bebas dari heme selama pemasakan yang dapat mempercepat
oksidasi lipid. Goncalves dan Ribeiro (2008) melaporkan bahwa garam fosfat dapat
mengikat ion logam Ca2+, Mg2+, Fe2+ dan Fe3+ bebas selama proses pemasakan.
Pengikatan ion logam dapat menghambat proses oksidasi lipid, menjaga kestabilan
warna, dan meningkatkan kapasitas retensi air. Kadar mineral krustasea dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor musim dan kondisi biologis
(spesies, ukuran, umur, jenis kelamin, sexual maturity), sumber makanan, dan
lingkungan (kandungan kimia air, salinitas, suhu, dan kontaminan). Musim dan
perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang paling mempengaruhi produksi
dan metabolisme krustasea (Kucukgulmez et al. 2006).

Mineral Tembaga (Cu)


Tembaga merupakan logam yang diperlukan dalam jumlah tertentu dan
memainkan peranan fundamental dalam proses biokimia makhluk hidup sebagai
trace element. Tembaga dibutuhkan oleh makhluk hidup namun dalam jumlah
yang sangat sedikit (Effendi 2003). Linder (1991) melaporkan bahwa keberadaan
Cu di krustasea terletak di hemosianin dan sitoplasma sel. Tembaga di krustasea
berperan dalam memproduksi hemosianin untuk membawa oksigen ke dalam
jaringan dan katalis oksidasi lipid. Hemosianin memiliki warna dasar biru
14

diketahui dapat mempengaruhi perubahan warna pada daging rajungan akibat


proses pemanasan (Vijayan dan Balachandran 1981). Hasil pengujian kadar Cu
sebagai dasar komponen hemosianin pada daging rajungan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Kadar Cu daging rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi


Kadar Cu Nilai Warna daging tampak
Sampel perlakuan (mg/kg) absorbansi
Daging rajungan rebus dingin (RD) 17,92 ± 0,16a 0,023 Putih cemerlang
Daging rajungan kaleng normal (RN) 9,41 ± 0,20a 0,061 Putih cemerlang
Daging rajungan terdiskolorasi B1 26,92 ± 0,33b 0,242 Putih cerah, sedikit biru
samar
Daging rajungan terdiskolorasi B2 36,39 ± 0,42b 0,304 Putih kusam, sedikit biru
samar
Daging rajungan terdiskolorasi B3 42,22 ± 0,15b 0,503 Putih sangat kusam, biru
jelas
a
Angka pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Hasil pengujian pada Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar Cu pada daging


rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi berbeda nyata (p<0,05). Kadar Cu pada
kontrol sesuai dengan penelitian sebelumnya, yaitu pada bahan baku Scylla serrata
normal yaitu 0,9-56,96 mg/kg, dan menurun menjadi 0,6-16,2 mg/kg setelah
penambahan asam sitrat. Kadar Cu pada kisaran 0,6-16,2 mg/kg tidak
menunjukkan perubahan warna daging (Vijayan dan Balachandran 1981). Adapun
contoh perhitungan kadar Cu pada daging rajungan disajikan pada Lampiran 6.
Kadar Cu pada sampel terdiskolorasi B1, B2, dan B3 menunjukkan bahwa
adanya korelasi antara waktu penyimpanan dan intensitas warna yang dihasilkan.
Diskolorasi yang muncul pada daging rajungan semakin jelas dan meningkat pada
sampel terdiskolorasi yang diproduksi lebih lama. Pengelompokan intensitas warna
yaitu kadar Cu sebesar 18,2 mg/kg menghasilkan warna biru sangat samar; kadar
Cu sebesar 20,43 mg/kg menunjukkan warna biru samar; kadar Cu 28,9 mg/kg
menunjukkan warna biru agak jelas, dan kadar Cu lebih dari 33,4 mg/kg
menunjukkan warna biru jelas. Hubungan antara kadar Cu dan daging
terdiskolorasi menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas warna daging maka
kadar Cu juga semakin tinggi (Vijayan dan Balachandran 1981). Hasil ini dapat
dibuktikan dengan kurva standar warna pada Lampiran 7.
Titik terpaparnya diskolorasi pada sampel daging terdiskolorasi secara
keseluruhan terpusat pada bagian atas dan bawah kaleng. Hal ini disebabkan oleh
interaksi antara daging yang memiliki kadar Cu tinggi dan kaleng sehingga potensi
terjadi diskolorasi lebih tinggi pada titik tersebut. Requena et al. (1999)
menyatakan bahwa daging yang berlokasi di bagian bawah kaleng cenderung
memiliki warna biru yang lebih gelap dibandingkan dengan daging di bagian atas
dan tengah. Kadar air yang tinggi pada sampel terdiskolorasi mempengaruhi
tingkat pemanasan suatu bahan sehingga dapat mempercepat terjadinya perubahan
warna menjadi lebih gelap.
Inoue (1970) melaporkan bahwa diskolorasi biru terjadi apabila kadar Cu
pada daging king crab melebihi 20 mg/kg. Daging capit dan kaki lebih sering
terdiskolorasi dibandingkan dengan daging dada. Daging king crab yang
dipanaskan mengakibatkan hemosianin dalam daging terkoagulasi dan membentuk
koagulum berwarna putih. Apabila hemosianin terkoagulasi dan bereaksi dengan
15

hidrogen sulfida akan membentuk warna hijau kebiruan disertai aroma tidak sedap.
Hasil pada penelitian ini berbeda, yaitu diskolorasi biru semakin jelas terlihat pada
produk yang disimpan lebih lama, terdapat pada daging di bagian atas dan bawah
kaleng, menghasilkan warna putih kebiruan dan tidak disertai aroma tidak sedap.
Hal ini diduga disebabkan oleh oksidasi hemosianin yang berikatan dengan gugus
sulfidril dan disulfida dari asam amino yang mengandung sulfat. Ikatan yang
terbentuk menghasilkan warna daging yang putih kusam dan biru samar tanpa
terjadi perubahan flavor.
Mineral tembaga pada manusia berfungsi sebagai komponen sejumlah
metaloenzim yang berperan dalam reduksi-oksidasi molekul oksigen.
Rekomendasi diet yang diperbolehkan (recommended dietary allowance/RDA)
untuk pria dan wanita dewasa adalah 0,9 mg/hari, sedangkan asupan rata-rata
tembaga dari makanan pada konsumen pria dan wanita dewasa di Amerika Serikat
sebesar 1,0-1,6 mg/hari. Batas maksimal konsumsi tembaga adalah 10 mg/hari
(Institute of Medicine Panel on Micronutrients 2001). Berdasarkan nilai RDA
tersebut dapat diasumsikan bahwa seorang konsumen yang akan mengkonsumi
daging rajungan kaleng terdiskolorasi biru dengan kriteria biru samar (misalnya
kadar Cu 36,39 mg/kg) disarankan untuk tidak mengkonsumsi daging tersebut lebih
dari 25 g/hari atau setara dengan ± 1 sendok makan per hari. Perhitungan nilai
rekomendasi diet selengkapnya tersaji pada Lampiran 8.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Daging rajungan kaleng terdiskolorasi biru memiliki karakteristik


kenampakan daging yang kusam, muncul warna biru samar, tidak cemerlang dan
tidak menarik, namun tetap memiliki aroma, rasa dan tekstur yang baik. Daging
rajungan terdiskolorasi memiliki nilai pH 6,5. Hasil ALT pada daging rajungan
terdiskolorasi yaitu 80-130 koloni/g. Kadar mineral Fe dan Cu pada daging
rajungan terdiskolorasi yaitu 18,16-28,55 mg/kg dan 26,92-42,22 mg/kg.
Hubungan antara Cu dan warna daging menunjukkan bahwa semakin tinggi
intensitas warna daging terdiskolorasi maka kadar Cu juga semakin tinggi.

Saran

Saran penulis untuk penelitian selanjutnya yaitu pengujian perubahan warna


secara enzimatis, pengujian kadar mineral tembaga dan besi sebelum dan sesudah
diberi perlakuan SAPP dan uji toksisitas. Saran lainnya yaitu mengidentifikasi
diskolorasi warna lainnya sehingga diharapkan dapat membedakan karakteristik
diskolorasi pada daging rajungan.
16

DAFTAR PUSTAKA

Aeni N, Nurhidajah. 2012. Analisis kecukupan panas pada proses pasteurisasi


daging rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Pangan dan Gizi. 3(5):57-67.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2002. Official Method of
Analysis of the Association of Official Analytical of Chemist. Washington
DC (US): The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Ayas D, Ozogul Y. 2011. The chemical composition of sexually mature blue
swimmer crab (Portunus pelagicus) in the Mersin Bay. Journal Fish
Sciences. 5(4):308-316.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. SNI 01-2332.3-2006 tentang Cara uji
mikrobiologi-Bagian 3: Penentuan angka lempeng total (ALT) pada produk
perikanan. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2015. SNI 4224:2015 tentang Daging
rajungan (Portunus pelagicus) rebus dingin. Jakarta (ID):Badan
Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2016. SNI 6929:2016 tentang Daging
rajungan (Portunus pelagicus) pasteurisasi dalam kaleng. Jakarta
(ID):Badan Standardisasi Nasional.
[CFIA] Canadian Food Inspection Agency. 2007. Animal Products Directorate,
Fish, Seafood and Production: List of Permitted Additives in Fish and Fish
Products. Tersedia pada:
http://active.inspection.gc.ca/eng/anima/fispoi/product/additi/fispoiadd_db
e.asp (diakses tanggal 10 Oktober 2016).
[CAC] Codex Alimentarius. 1981. Codex Standard for Canned Crab Meat CODEX
STAN 90-1981 rev 1995. Rome (IT): FAO.
Daniel WW. 1990. Applied Nonparametric Statistics. Boston (US): PWS-Kent.
Dziezak JD. 1990. Phosphates improve many foods. Food Technology. 80-92.
Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius.
Engel DW, Brouwer M, Mercaldo-Allen R. 2001. Effects of molting and
environmental factors on trace metal body-burdens and hemocyanin
concentrations in the American lobster, Homarus americanus. Marine
Environmental Research. 52(1): 257-269.
[FDA] Food and Drug Administration. 2007. Acidified and Low-Acid Canned
Foods. New York (US): US Food and Drug Administration.
Goncalves AA, Jose LDR. 2008. Do phosphates improve the seafood quality?
Reality and legislation. Pan-American Journal of Aquatic Sciences. 3(3):
237-247.
Groninger HS, JA Dassow. 1964. Observations of The Blueing of King Crab
(Paralithodes camtscatica). New York (US): US Fish Wildlife Service.
17

Inoue N. 1970. Studies on the Blue Discoloration in the Meat of Canned Crab.
Hokkaido (JP): Laboratory of Marine Food Technology, Faculty of
Fisheries, Hokkaido University.
Institute of Medicine Panel on Micronutrients. 2001. Dietary Reference Intakes for
Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron,
Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc.
Washington DC (US): National Academies Press.
Jacoeb AM, Nurjanah, Lenni ABR. 2012. Karakteristik protein dan asam amino
daging rajungan (Portunus pelagicus) akibat pengukusan. Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 15(2): 156-163.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Produksi Benih Kepiting dan
Rajungan BPBAP Takalar Mendukung Perikanan yang Berkelanjutan.
Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.

Kucukgulmez A, Mehmet C, Yasemen Y, Beyza E, Mustafa C. 2006. Proximate


composition and mineral contents of the blue crab (Callinectes sapidus)
breast meat, claw meat and hepatopancreas. International Journal of Food
Science and Technology. 41: 1023-1026.

Kumari ASI, Shankar AM, Jaganathan K, Soundarapandian P. 2015.


Determinations of minerals in marine crab Charybdis lucifera (Fabricius
1798). International Letters of Natural Sciences. 45(1): 1-8.
Lampila LE. 2013. Application and functions of food grade phosphates. Annals of
The New York Academy of Sciences. 37-44.
Linder MC. 1991. Biochemistry of Copper. California (US): Springer
Science+Business Media, LLC.
Moronkola BA, Olowu RA, Tovide OO, Ayejuyo OO. 2011. Determination of
proximate and mineral contents of crab (Callinectes amnicola) living on the
shore of Ojo river, Lagos, Nigeria. Scientific Reviews & Chemical
Communications. 1(1): 1-6.
Muchtadi TR. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut
Pertanian Bogor.
Mulyaningsih TR. 2009. Kandungan unsur Fe dan Zn dalam bahan pangan produk
pertanian, peternakan dan perikanan dengan metode k0-AANI. Jurnal Sains
dan Teknologi Nuklir Indonesia. 10(2): 71-80.
Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Penerbit Djambatan.
Olgunoglu IA. 2010. Determination of microbiological contamination sources of
blue crab meat (Callinectes sapidus Rathbun, 1896) during pasteurization
process. Pakistan Journal of Zoology. 42(5): 545-550.
Puspandari N, Ani I. 2015. Deskripsi hasil uji Angka Lempeng Total (ALT) pada
beberapa susu formula bayi. Jurnal Kefarmasian Indonesia. 5(2): 106-112.
18

Requena DD, Hale SA, Greem DP, McClure WF, Farkas BE. 1999. Detection of
discoloration in thermally processed blue crab meat. Journal of the Science
Food and Agriculture. 79(5): 786-791.
Ristyanadi B, Darimiyya H. 2012. Kajian penerapan Good Manufacturing Practice
(GMP) di industri rajungan PT Kelola Mina Laut Madura. AGROINTEK.
6(1): 55-64.
Sugiyono. 2004. Kimia Pangan. Yogyakarta (ID): Fakultas Teknik Universitas
Negeri Yogyakarta.
Suharto S, Romadhon, Redjeki S. 2016. Analisis susut bobot pengukusan dan
rendemen pengupasan rajungan berukuran berbeda dan rajungan bertelur.
Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology. 12(1): 47-51.
Sulistyawati YID. 2000. Pengaruh metode pemasakan dan pendinginan terhadap
rendemen dan mutu rajungan (Portunus pelagicus). [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Sunarto. 2012. Karakteristik bioekologi rajungan (Portunus pelagicus) di perairan
laut Kabupaten Brebes. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Supriyantini E, Hadi E. 2015. Kandungan logam berat besi (Fe) pada air, sedimen
dan kerang hijau (Perna viridis) di perairan Tanjung Emas, Semarang.
Jurnal Kelautan Tropis. 18(1): 38-45.
Suwignyo S, Bambang W, Yusli W, dan Majarianti K. 1998. Avertebrata Air Jilid
1. Jakarta: Penebar Swadaya.
Swasthikawati S, Pratiwi R, Trijoko. 2014. Kandungan lemak total, kalsium (Ca),
besi (Fe), dan seng (Zn) pada kepiting (Scylla serrata, Forskal) selama
proses ekdisis. JSV. 32(2): 242-249.
Tanikawa E. 1965. Marine Products of Japan. Hokkaido (JP): Laboratory of
Marine Food Technology, Faculty of Fisheries, Hokkaido University.
Trout G, Dale S. 1990. Prevention of warmed-over flavor in cooked beef: effect of
phosphate type, phosphate concentration, a lemon juice/phosphate blend,
and beef extract. Journal. Agricultural Food Chemistry. 38:665.
Ubaidillah A, Hersolistyorini W. 2012. Kadar protein dan sifat organoleptik nugget
rajungan dengan substitusi ikan lele (Clarias gariepinus). Jurnal Pangan
dan Gizi. 1(2): 45-54.
Varga S, Dewar AB, Anderson WE. 1969. Effect of postmortem spoilage on the
quality of frozen and heat processed red crab meat. Canadian Fisheries
Reports. Issues 12-13.
Vijayan PK, Balachandran KK. 1981. Studies on Blue Discoloration in Canned
Body Meat of Crab (Scylla serrata). Fish Technology. 18: 117-122.
Walpole RE. 1982. Pengantar Statistik. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Waters ME. 1970. Blueing of Processed Crab Meat Part II: Identification of Some
Factors Involved in the Blue Discoloration of Canned Crab Meat
(Callinectes sapidus). Seattle (US): National Marine Fisheries Service.
19

Widhiastuti I. 2010. Analisis rantai pasokan rajungan studi kasus PT Windika


Utama Semarang, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG. 2004. Sterilisasi Pangan. Bogor (ID): Mbrio Press.
Zamir R, Qasim R, Ullah A. 1998. Changes in physical and chemical constituents
of crab meat during storage at refrigerator temperature. Pakistan Journal of
Pharmaceutical Sciences. 11(1): 27-33.
20
21

LAMPIRAN
22
23

Lampiran 1 Prosedur pembuatan daging rajungan kaleng (SNI 6929:2016 dan data
internal QC PT KML)

Rajungan Kaleng SAPP

Pencucian dengan air

Pengukusan
(15 menit,suhu 95-100°C)

Pendinginan
(30 menit, suhu ±30°C

Pengupasan dan sortasi Penyimpanan


daging

Penimbangan rendemen

Penyimpanan
Rajungan rebus
dingin

Sortasi dan final checking

Deteksi fragmen logam

Pengisian dan
penimbangan daging ke
dalam kaleng

Penambahan SAPP

Penutupan kaleng

Pasteurisasi
(155 menit,suhu 85-87°C)

Pendinginan
(120 menit, suhu 0-3°C)

Pengepakan

Daging rajungan
kaleng
24

Lampiran 2 Scoresheet organoleptik

Scoresheet SNI 4224:2015 tentang Daging rajungan rebus dingin


25

Scoresheet SNI 6929:2016 tentang Daging rajungan pasteurisasi dalam kaleng

Lampiran 3 Hasil uji lanjut Dunn organoleptic

Hipotesis
H0 = Tidak ada perbedaan pengaruh taraf perlakuan terhadap parameter
H1 = Ada perbedaan pengaruh taraf perlakuan terhadap parameter

Tes statistik Kruskal Wallis:


Parameter Kruskal-Wallis
Kenampakan 0,0001
Aroma 0,0175
Rasa 0,1112
Tekstur 0,0005
Apabila nilai p<0,05 maka tolak H0, artinya terdapat perbedaan pengaruh taraf
perlakuan terhadap parameter.
26

Perbedaan tersebut dapat diketahui melalui uji lanjut Dunn:

a. Kenampakan
Perlakuan Frekuensi Jumlah dari peringkat peringkat rata-rata Pengelompokan
Kenampakan | B3 15 250.0000 16.6667 A
Kenampakan | B2 15 331.0000 22.0667 A
Kenampakan | B1 15 469.0000 31.2667 A
Kenampakan | RD 15 864.5000 57.6333 B
Kenampakan | RN 15 935.5000 62.3667 B

b. Aroma
Perlakuan Frekuensi Jumlah dari peringkat peringkat rata-rata Pengelompokan
Aroma | RD 15 396.0000 26.4000 A
Aroma | B3 15 526.5000 35.1000 A B
Aroma | B2 15 570.0000 38.0000 A B
Aroma | B1 15 613.5000 40.9000 A B
Aroma | RN 15 744.0000 49.6000 B

c. Rasa
Perlakuan Frekuensi Jumlah dari peringkat peringkat rata-rata Pengelompokan
Rasa | RD 15 450.0000 30.0000 A
Rasa | B3 15 500.0000 33.3333 A
Rasa | B2 15 580.0000 38.6667 A
Rasa | B1 15 620.0000 41.3333 A
Rasa | RN 15 700.0000 46.6667 A

d. Tekstur
Perlakuan Frekuensi Jumlah dari peringkat peringkat rata-rata Pengelompokan
Tekstur | RD 15 460.0000 30.6667 A
Tekstur | B3 15 482.0000 32.1333 A
Tekstur | B2 15 520.5000 34.7000 A
Tekstur | B1 15 559.0000 37.2667 A
Tekstur | RN 15 828.5000 55.2333 B

Lampiran 4 Hasil perhitungan Angka Lempeng Total

Pengenceran ALT
Sampel perlakuan
10-1 10-2 10-3 10-4 (koloni/g)
Daging rajungan rebus dingin (RD) TBUD 167/161 11/13 0 16.000
Daging rajungan kaleng normal (RN) 7/7 0 0 0 70
Daging rajungan terdiskolorasi B1 9/7 0 0 0 80
Daging rajungan terdiskolorasi B2 16/10 0 0 0 130
Daging rajungan terdiskolorasi B3 12/12 0 0 0 120
27

Contoh perhitungan angka lempeng total


∑C
N = [(1 x n1)+(0,1 x n2)] x (d)
167+161+11+13 352
N = [(1 x 2)+(0,1 x 2)] x = 0,022 = 16.000 koloni/g
(0,01)

Lampiran 5 Hasil perhitungan kadar Fe

Penentuan kurva standar


Sampel Konsentrasi Absorbansi
standar (mg/l)
blk 0 0,0022
std-1 0,1 0,0164
std-2 0,2 0,0313
std-3 0,4 0,0567
std-4 0,6 0,0857
std-5 0,8 0,1112
std-6 1 0,1337
std-7 1,2 0,1583
std-8 1,6 0,2044

Contoh perhitungan
Diketahui:
Absorbansi yang terbaca = 0,1084
Bobot sampel = 3,0151 g
Volume sampel = 100 mL

y = 0,1269x + 0,0057
0,1084 = 0,1269x + 0,0057
Maka x = 0,809 mg/L

Kadar Fe = (0,809 ×100)/3,0151 = 26,84 mg/kg

Lampiran 6 Hasil perhitungan kadar Cu

Penentuan kurva standar Sampel Konsentrasi Absorbansi


standar (mg/l)
blk 0 0,0004
std-1 0,1 0,027
std-2 0,2 0,0509
std-3 0,4 0,1001
std-4 0,6 0,1495
std-5 0,8 0,1966
std-6 1 0,2426
std-7 1,2 0,2848
std-8 1,6 0,3696
28

Contoh perhitungan
Diketahui:
Absorbansi yang terbaca = 0,134
Bobot sampel = 3,1174 g
Volume sampel = 100 mL

y = 0,2322x + 0,0058
0,134 = 0,2322x + 0,0058
Maka x = 0,554 mg/L

Kadar Cu = (0,554 ×100)/3,1174=17,77 mg/kg

Lampiran 7 Kurva standar perhitungan warna

Penentuan kurva standar


Sampel konsentrasi Absorbansi
standar (mg/l)
blk 0 0.013
std-1 2 0.063
std-2 4 0.22
std-3 8 0.328
std-4 10 0.448
std-5 12 0.561
std-6 16 0.669
std-7 20 0.839

Nilai absorbansi dan konsentrasi warna daging rajungan


Sampel perlakuan Absorbansi Konsentrasi (mg/L)
Daging rajungan rebus dingin (RD) 0,023 0,16
Daging rajungan kaleng normal (RN) 0,061 1,07
Daging rajungan terdiskolorasi B1 0,242 5,40
Daging rajungan terdiskolorasi B2 0,304 6,88
Daging rajungan terdiskolorasi B3 0,503 11,64

Lampiran 8 Perhitungan rekomendasi diet Cu yang diperbolehkan

Diketahui:
1 kaleng = 454 g
Kandungan Cu terdiskolorasi biru = 36,39 mg/kg bahan
Nilai RDA = 0,9 mg/hari

Kandungan Cu dalam 1 kaleng:


bobot dalam kaleng (g) mg
Cu (dalam kaleng) = 1000 (mg)
× kandungan Cu ( kg )
450
Cu (dalam kaleng) = 1000
× 36,39 = 16,3755 ~ 16,40 mg
29

Jumlah daging yang boleh dikonsumsi dalam 1 kaleng daging rajungan


terdiskolorasi biru:
nilai RDA×bobot kaleng
jumlah daging (g) = jumlah Cu dalam kaleng
0,9×450
jumlah daging (g) = 16,40
= 24,6~25 g

Kandungan Cu dalam 1 kaleng sebesar 16,40 mg. Jumlah daging yang boleh
dikonsumsi dalam 1 kaleng daging rajungan terdiskolorasi biru yaitu 25 g.
30

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Rizka Arsya Arissafia dilahirkan di Bandung pada


tanggal 23 Mei 1995. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Bapak Nandi Arisbaya dan Ibu Bellatrix Idris. Penulis memulai
pendidikan formal di MI Zakaria 3 Bandung (2001-2007), SMP Negeri 7 Bandung
(2007-2010), dan SMA Negeri 14 Bandung (2010-2013). Penulis diterima sebagai
mahasiswa di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SBMPTN pada tahun 2013.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kepanitiann.
Penulis aktif di Human Resources Department IAAS LC IPB (2013-2014) dan
Divisi Informasi dan Komunikasi HIMASILKAN (2014-2016). Penulis memiliki
minat di bidang jurnalistik dan publikasi, hal ini terlihat dari keaktifan penulis
sebagai anggota divisi publikasi dalam acara-acara besar yang diselenggarakan
IAAS, seperti The 59th IAAS World Congress, The 1st International Youth
Symposium of Creative Agriculture, dan The 6th IAAS Olympic. Penulis merupakan
delegasi dari IPB dalam kegiatan Youth Leadership Programme-Great Leader
Great Nation yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga RI
tahun 2016. Pada kegiatan akademik penulis aktif mengikuti Pekan Kreatifitas
Mahasiswa (PKM) sebagai ketua dibidang gagasan tertulis (PKM-GT) dan
penelitian (PKM-P) pada tahun 2016.
Penulis melaksanakan praktik lapangan pada tahun 2016 dengan judul
“Penyusunan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Plan Rajungan
Kaleng pada PT Kelola Mina Laut, Serang, Banten.” Penulis juga menjadi
koordinator asisten praktikum Teknologi Transportasi Produk Hasil Perairan
THP314 (2017). Penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Penentuan Sifat
Kimia dan Mikrobiologi Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru” sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Dr Ir Ruddy Suwandi, MS
MPhil dan Dr Dra Pipih Suptijah, MBA.

Você também pode gostar