Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penentuan Sifat Kimia
dan Mikrobiologi Daging Rajungan Kaleng Terdiskolorasi Biru” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
ABSTRAK
Perubahan mutu yang terjadi pada produk daging rajungan adalah diskolorasi
biru. Diskolorasi biru merupakan fenomena berubahnya warna daging setelah
mengalami pemasakan pada suhu tinggi. Tujuan penelitian ini yaitu menentukan
sifat kimia dan mikrobiologi produk daging rajungan kaleng terdiskolorasi biru.
Pengamatan yang dilakukan meliputi penilaian organoleptik, nilai pH, ALT, kadar
mineral Cu dan Fe, serta intensitas warna daging. Daging rajungan terdiskolorasi
memiliki kenampakan daging yang kusam, muncul warna daging putih kebiruan,
tidak menarik, tetapi masih memiliki aroma, rasa dan tekstur yang baik. Daging
rajungan terdiskolorasi memiliki nilai pH 6,5. Hasil ALT pada daging rajungan
terdiskolorasi yaitu 80-130 koloni/g. Kadar Fe dan Cu pada daging rajungan
terdiskolorasi yaitu 18,16-28,55 mg/kg dan 26,92-42,22 mg/kg.
ABSTRACT
One of the quality alterations that often happened in crab meat is blue
discoloration. Blue discoloration is color changing phenomenon that happened to
crab meat after being cooked in high temperature. The purpose of this research is
to determine chemical and microbiological characteristics of blue discoloration on
canned crab meat product. The observations were carried out through organoleptic
test, pH value, TPC, Cu and Fe mineral content, and meat color intensity.
Discolored canned crab meat characteristics were dull in appearance, bluish white
color appeared, unattractive, but still had a good flavor, taste, and texture.
Discolored canned crab meat had pH value of 6.5. TPC result of discolored canned
crab meat was 80-130 cfu/g. Iron and copper content in discolored crab meat were
18.16-28.55 mg/kg and 26.92-42.22 mg/kg.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENENTUAN SIFAT KIMIA DAN MIKROBIOLOGI DAGING
RAJUNGAN KALENG TERDISKOLORASI BIRU
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan pada
Departemen Teknologi Hasil Perairan
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
kehitaman (blue black) (Waters 1970). Kejadian diskolorasi biru pada pengolahan
rajungan cenderung terjadi pada waktu produksi yang berdekatan. Hal ini diketahui
dapat menurunkan mutu karena mempengaruhi nilai sensori produk dan kerugian
di industri (Komunikasi pribadi QC PT KML).
Vijayan dan Balachandran (1981) menyatakan bahwa faktor utama yang
mempengaruhi diskolorasi biru adalah kandungan tembaga (Cu) dalam hemosianin.
Tembaga dalam rajungan berfungsi sebagai pengikat oksigen. Pembentukan
hemosianin dan Cu pada rajungan dipengaruhi oleh fase pergantian kulit dari
rajungan. Rajungan yang mengalami fase premolt menghasilkan kandungan
hemosianin dan Cu yang lebih tinggi dibandingkan fase lainnya (Engel et al. 2001).
Pemanasan daging rajungan menyebabkan hemosianin terkoagulasi dan terikat
dengan hidrogen sulfida sehingga membentuk warna biru (Inoue 1970). Faktor lain
yang mempengaruhi diskolorasi biru yaitu kandungan besi (Fe), kadar air, pH dan
struktur daging, proses pemanasan, dan waktu penyimpanan (Requena et al. 1999).
Tindakan yang dilakukan dalam mencegah terjadinya diskolorasi biru yaitu
dengan penerapan Good Manufacturing Practices (GMP), hemosianin dibuang
sebelum pengolahan (Vijayan dan Balachandran 1981), penambahan asam askorbat
(Groninger dan Dassow 1964), penambahan asam asetat (Varga et al. 1969),
penambahan asam sitrat dan sodium klorida (Vijayan dan Balachandran 1981),
serta penghilangan hemosianin dengan pemanasan fraksional (Tanikawa 1965).
Metode tersebut dianggap mampu mencegah terjadinya diskolorasi biru, akan tetapi
dapat mengubah mutu pada daging, misalnya menurunkan bobot pada daging dan
flavor. Bahan tambahan pangan yang diperbolehkan dalam produksi daging
kepiting dan rajungan yaitu asam sitrat, asam fosfat, monosodium glutamat, EDTA
dan disodium difosfat (P2O5) dan turunannya (CAC 1981).
Pengolahan daging rajungan di Indonesia umumnya menggunakan sodium
acid pyrophosphate (SAPP). SAPP dipilih karena bersifat asam, memiliki gugus
natrium sebagai antibakteri, serta memiliki kemampuan hidrasi protein daging yang
paling baik diantara garam fosfat lainnya (Goncalves dan Ribeiro 2008).
Penambahan bahan tambahan pangan lainnya termasuk SAPP pada daging
rajungan tertentu tetap menghasilkan diskolorasi biru. Hal ini diduga dipengaruhi
oleh kondisi biologis rajungan yang mengandung konsentrasi hemosianin dan Cu
yang tinggi serta reaksi hemosianin dengan gugus sulfidril dan disulfida sehingga
membentuk warna biru. Oleh sebab itu, perlu diidentifikasi sifat sensori, kimia,
dan mikrobiologi produk daging rajungan kaleng yang mengalami diskolorasi biru
sehingga dapat mencegah terjadinya perubahan mutu.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE PENELITIAN
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daging rajungan
kaleng jenis special. Bahan yang digunakan dalam karakterisasi sensori meliputi
scoresheet organoleptik daging rajungan rebus dingin (SNI 4224:2015) dan daging
rajungan kaleng (SNI 6929:2016). Bahan yang digunakan untuk karakterisasi
mikrobiologi yaitu media plate count agar (PCA) dan larutan buffer fosfat. Bahan
yang digunakan untuk pengukuran nilai pH yaitu kertas pH. Bahan yang digunakan
untuk pengujian kadar mineral Cu dan Fe yaitu larutan HCl 6 M, HNO3 0,1 M dan
akuades. Bahan yang digunakan untuk pengujian warna yaitu akuades, larutan
NaOH 0,05 N dan CuSO4 5%.
Alat yang digunakan untuk preparasi, karakterisasi sensori dan mikrobiologi
daging rajungan meliputi wadah, aluminium foil, inkubator, gelas ukur, cawan petri
dan pipet volumetrik. Alat yang digunakan untuk karakterisasi kimia yaitu
timbangan analitik Denver Instrument, sentrifuge Hitachi CF16RX II,
4
Prosedur Penelitian
Penelitian terbagi menjadi dua tahap, yaitu preparasi dan karakterisasi daging
rajungan kaleng. Preparasi meliputi penyiapan sampel daging rajungan kaleng
jenis special seberat 450 g sebanyak 15 kaleng kemudian dikelompokkan
berdasarkan jenis, waktu produksi, dan asal bahan baku. Sampel daging rajungan
kaleng dibuka dan dinilai organoleptiknya oleh 15 panelis. Tahap karakterisasi
mikrobiologi meliputi pengambilan sampel dan penyediaan media untuk analisis
ALT. Tahap karakterisasi kimia meliputi pengambilan sampel, penyediaan kertas
indikator universal untuk uji pH dan analisis mineral Fe dan Cu dengan
spektrofotometri serapan atom (SSA). Pengujian warna terdiri atas pembacaan
absorbansi daging rajungan terdiskolorasi, pembuatan standar warna dari larutan
CuSO4, dan penentuan standar warna. Secara sistematika prosedur penelitian
disajikan pada Gambar 1.
Produk daging
rajungan
Analisis sensori:
organoleptik
Analisis mikrobiologi:
Karakterisasi
Angka lempeng total
Analisis kimia:
- pH
- mineral Fe
- mineral Cu
- warna
Prosedur Analisis
ke dalam tanur dengan suhu 450°C dan dilakukan pengabuan selama 1-2 jam
hingga terbentuk warna putih pada cawan porselen. Cawan porselen tersebut
dibilas dengan 5 mL HCl 6 M dan diuapkan kembali dalam hot plate. Hasil residu
dari penguapan ditambahkan 10 mL HNO3 0,1 M dan dipanaskan kembali dengan
hot plate selama 2 jam. Hasil pemanasan kemudian disaring menggunakan kertas
Whatmann 41 dan akuades.
Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam SSA. Larutan tersebut
kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang dan parameter yang
sesuai untuk masing-masing mineral yang dituju. Panjang gelombang yang
digunakan untuk membaca kadar Cu dan Fe adalah 324,8 nm dan 248,3 nm. Kadar
mineral pada sampel dihitung dengan memasukkan nilai absorban sampel ke dalam
persamaan garis standar y = ax ± b, sehingga akan diperoleh nilai x yang merupakan
konsentrasi sampel. Kadar mineral dalam sampel dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
mg konsentrasi mineral × FP
kadar mineral ( . bb) =
g berat sampel (g)
Keterangan:
FP = faktor pengenceran
Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu statistika deskriptif
dengan menentukan nilai tengah dan standar deviasinya. Perhitungan nilai tengah
dan standar deviasi dilakukan dengan rumus (Walpole 1982):
∑ni=1 xi √∑(x − x̅)2
x̅ = σ=
n n
Keterangan:
𝑥̅ = nilai rata-rata
𝑥𝑖 = nilai x dalam ulangan ke-i
n = jumlah data
𝜎 = standar deviasi, bernilai positif
𝑥 − 𝑥̅ = selisih nilai x dengan nilai rata-rata
8
Data hasil uji organoleptik diolah dengan analisis non parametrik Kruskal
Wallis. Hasil uji yang menunjukkan perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji
multiple pairwise comparison melalui uji Dunn. Perhitungan uji Kruskal Wallis
dan uji Dunn dilakukan dengan rumus (Daniel 1990):
12 Ri2
H= [ ∑ ] − 3(n + 1)
n(n + 1) ni
H ∑T
H′ = FK = 1 −
FK (n − 1)n(n + 1)
∝ k(N(N 2 − 1) ∑ T)
̅ − Rj
|Ri ̅ | ≤ Z {1 − ( )} √
K(K − 1 6N(N − 1)
Keterangan:
Ri = jumlah ranking dalam contoh ke-i
Ni = jumlah pengamatan dalam perlakuan ke-i
H = kriteria yang akan diuji
T = jumlah data yang sama
H’ = H terkoreksi
Ri = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-i
Rj = rata-rata nilai ranking perlakuan ke-j
N = banyak data
Z = perlakuan
k = banyak ulangan
6
a
5 a
1
Kenampakan Aroma Rasa Tekstur
Parameter
Angka lempeng total (ALT) adalah jumlah mikroba aerob mesofilik yang
ditemukan dalam per gram atau per milliliter yang ditentukan melalui metode
standar. Mikroba yang dimaksud yaitu bakteri, kapang, dan ragi (BSN 2009). ALT
digunakan sebagai indikator proses sanitasi dan higiene produk jadi dan dasar
kecurigaan dapat atau tidak diterimanya produk berdasarkan kualitas
mikrobiologinya (Puspandari dan Isnawati 2015). Hasil pengujian ALT pada
sampel daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi disajikan pada Tabel 1.
(RD) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan pada kontrol positif (RN)
dan sampel terdiskolorasi B1, B2, dan B3 tidak berbeda nyata. Perbedaan hasil
dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan dan kondisi produk yang dihasilkan.
Perhitungan ALT pada sampel daging rajungan disajikan pada Lampiran 4.
Hasil ALT kontrol negatif (RD) dinyatakan tinggi karena hanya dilakukan
satu kali pengolahan, yaitu rebus dingin. Nilai ALT pada kontrol negatif (RD)
sebesar 1,6 x 103 koloni/g, sesuai dengan SNI 4224:2015 yaitu batas maksimal ALT
pada daging rajungan rebus dingin adalah 2,0×104 koloni/g (BSN 2015). Hasil ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya, yaitu pertumbuhan mikroba pada
pengalengan kepiting Callinectes sapidus menunjukkan bahwa bahan baku
memiliki nilai ALT sebesar 12.882 koloni/g, kemudian menurun setelah
pengukusan menjadi 12,02-70,79 koloni/g dan kembali meningkat setelah
pengupasan daging menjadi 3.548-31.622 koloni/g (Olgunoglu 2010).
Tahapan rebus dingin meliputi pencucian rajungan, pengukusan, penirisan,
pengupasan daging, dan penyimpanan dingin. Pengukusan secara umum bertujuan
mendapatkan konsistensi daging yang baik, memudahkan pengupasan,
menginaktivasi enzim dan membunuh bakteri dalam pangan (Suharto et al. 2016).
Winarno (2004) menyatakan bahwa proses pendinginan yang lambat pada rajungan
matang setelah dikukus menyebabkan produk berada di suhu hangat sehingga spora
bakteri mesofilik dan termofilik mampu bergerminasi dan berkembang biak. Suhu
ruang proses yang panas, waktu pengupasan yang lama serta sanitasi dan higiene
yang kurang baik turut memicu perkembangan mikroba.
Hasil kontrol positif (RN) dibandingkan dengan daging terdiskolorasi B1, B2,
dan B3 dapat dinyatakan tidak berbeda nyata karena pada sampel ini dilakukan
pengolahan lanjutan yang sama yaitu pengalengan. Nilai ALT dari kontrol positif
(RN) dan sampel terdiskolorasi B1, B2 dan B3 sesuai dengan SNI 6929:2016 yaitu
batas ALT pada daging rajungan kaleng yaitu 1×103 koloni/g (BSN 2016). Nilai
ALT pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya,
yaitu pada produk akhir daging kepiting Callinectes sapidus kaleng memiliki nilai
ALT sebesar 23,44-75,85 koloni/g (Olgunoglu 2010).
Pasteurisasi adalah perlakuan panas pada produk pangan yang dapat
menginaktifkan bentuk vegetatif jasad renik, namun tidak mematikan spora bakteri
yang tahan panas (Widhiastuti 2010). Bakteri yang bersifat termofilik dalam
pasteurisasi diantaranya bakteri patogen pembentuk toksin, Clostridium botulinum
tipe E dan bakteri lain yang tidak membentuk spora. Proses pasteurisasi tidak
mematikan semua mikroba, sehingga perlu diberi perlakuan lain yang dapat
meminimalkan pertumbuhan mikroba, antara lain pendinginan, penambahan
pengawet, penurunan pH, pengaturan aw, serta MAP (modified atmosphere
packaging) (Muchtadi 1989, Aeni 2012). Penurunan ALT akibat pasteurisasi
diimbangi dengan adanya penambahan SAPP, proses pengalengan dan pendinginan
diharapkan dapat meminimalkan pertumbuhan mikroba.
oleh banyaknya ion hidrogen yang terdapat dalam larutan. Bahan yang asam
banyak mengandung hidrogen sehingga memiliki pH rendah (Sugiyono 2004).
Perubahan nilai pH pada suatu bahan dapat terjadi akibat adanya interaksi dengan
bahan lain. Nilai pH pada daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi disajikan pada
Tabel 2.
dalam jumlah besar dan digunakan berulang sehingga kadar Fe dalam tubuh
rajungan cenderung stabil (Swasthikawati et al. 2014). Kadar Fe pada daging
rajungan kontrol dan sampel terdiskolorasi tersaji pada Tabel 3.
Hasil pengujian pada Tabel 3 menunjukkan rerata nilai kadar mineral Fe pada
perlakuan kontrol dan diskolorasi tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0,05).
Kadar Fe pada kontrol negatif (RD) lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya, yaitu kadar Fe pada daging rajungan di Teluk Mersin, Turki sebesar
21,92-23,90 ppm (jantan) dan 13,15-16,53 ppm (betina) (Ayas dan Ozogul 2011).
Kadar Fe yang lebih rendah pada kontrol positif (RN) dan sampel terdiskolorasi
disebabkan oleh proses pengolahan lanjutan yaitu penambahan garam fosfat dan
pengalengan. Tingginya kadar Fe pada B1, B2 dan B3 dibandingkan dengan
kontrol positif (RN) kemungkinan disebabkan oleh pengikatan ion Fe dengan SAPP
yang tidak sempurna, interaksi dengan kaleng, serta perbedaan kondisi biologis
bahan baku. Hasil kadar Fe pada sampel daging rajungan kontrol dan terdiskolorasi
memenuhi rekomendasi diet bagi kesehatan tubuh manusia, yaitu 5-20 mg/hari dan
tidak melebihi 60 mg/kg (Mulyaningsih 2009). Contoh perhitungan kadar Fe pada
daging rajungan disajikan pada Lampiran 5.
Trout dan Dale (1990) menyatakan bahwa fungsi garam fosfat termasuk
SAPP yaitu mencegah perubahan flavor pada daging. Penurunan flavor disebabkan
oleh adanya kadar Fe bebas dari heme selama pemasakan yang dapat mempercepat
oksidasi lipid. Goncalves dan Ribeiro (2008) melaporkan bahwa garam fosfat dapat
mengikat ion logam Ca2+, Mg2+, Fe2+ dan Fe3+ bebas selama proses pemasakan.
Pengikatan ion logam dapat menghambat proses oksidasi lipid, menjaga kestabilan
warna, dan meningkatkan kapasitas retensi air. Kadar mineral krustasea dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor musim dan kondisi biologis
(spesies, ukuran, umur, jenis kelamin, sexual maturity), sumber makanan, dan
lingkungan (kandungan kimia air, salinitas, suhu, dan kontaminan). Musim dan
perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang paling mempengaruhi produksi
dan metabolisme krustasea (Kucukgulmez et al. 2006).
hidrogen sulfida akan membentuk warna hijau kebiruan disertai aroma tidak sedap.
Hasil pada penelitian ini berbeda, yaitu diskolorasi biru semakin jelas terlihat pada
produk yang disimpan lebih lama, terdapat pada daging di bagian atas dan bawah
kaleng, menghasilkan warna putih kebiruan dan tidak disertai aroma tidak sedap.
Hal ini diduga disebabkan oleh oksidasi hemosianin yang berikatan dengan gugus
sulfidril dan disulfida dari asam amino yang mengandung sulfat. Ikatan yang
terbentuk menghasilkan warna daging yang putih kusam dan biru samar tanpa
terjadi perubahan flavor.
Mineral tembaga pada manusia berfungsi sebagai komponen sejumlah
metaloenzim yang berperan dalam reduksi-oksidasi molekul oksigen.
Rekomendasi diet yang diperbolehkan (recommended dietary allowance/RDA)
untuk pria dan wanita dewasa adalah 0,9 mg/hari, sedangkan asupan rata-rata
tembaga dari makanan pada konsumen pria dan wanita dewasa di Amerika Serikat
sebesar 1,0-1,6 mg/hari. Batas maksimal konsumsi tembaga adalah 10 mg/hari
(Institute of Medicine Panel on Micronutrients 2001). Berdasarkan nilai RDA
tersebut dapat diasumsikan bahwa seorang konsumen yang akan mengkonsumi
daging rajungan kaleng terdiskolorasi biru dengan kriteria biru samar (misalnya
kadar Cu 36,39 mg/kg) disarankan untuk tidak mengkonsumsi daging tersebut lebih
dari 25 g/hari atau setara dengan ± 1 sendok makan per hari. Perhitungan nilai
rekomendasi diet selengkapnya tersaji pada Lampiran 8.
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Inoue N. 1970. Studies on the Blue Discoloration in the Meat of Canned Crab.
Hokkaido (JP): Laboratory of Marine Food Technology, Faculty of
Fisheries, Hokkaido University.
Institute of Medicine Panel on Micronutrients. 2001. Dietary Reference Intakes for
Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron,
Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc.
Washington DC (US): National Academies Press.
Jacoeb AM, Nurjanah, Lenni ABR. 2012. Karakteristik protein dan asam amino
daging rajungan (Portunus pelagicus) akibat pengukusan. Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 15(2): 156-163.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Produksi Benih Kepiting dan
Rajungan BPBAP Takalar Mendukung Perikanan yang Berkelanjutan.
Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
Requena DD, Hale SA, Greem DP, McClure WF, Farkas BE. 1999. Detection of
discoloration in thermally processed blue crab meat. Journal of the Science
Food and Agriculture. 79(5): 786-791.
Ristyanadi B, Darimiyya H. 2012. Kajian penerapan Good Manufacturing Practice
(GMP) di industri rajungan PT Kelola Mina Laut Madura. AGROINTEK.
6(1): 55-64.
Sugiyono. 2004. Kimia Pangan. Yogyakarta (ID): Fakultas Teknik Universitas
Negeri Yogyakarta.
Suharto S, Romadhon, Redjeki S. 2016. Analisis susut bobot pengukusan dan
rendemen pengupasan rajungan berukuran berbeda dan rajungan bertelur.
Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology. 12(1): 47-51.
Sulistyawati YID. 2000. Pengaruh metode pemasakan dan pendinginan terhadap
rendemen dan mutu rajungan (Portunus pelagicus). [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Sunarto. 2012. Karakteristik bioekologi rajungan (Portunus pelagicus) di perairan
laut Kabupaten Brebes. [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Supriyantini E, Hadi E. 2015. Kandungan logam berat besi (Fe) pada air, sedimen
dan kerang hijau (Perna viridis) di perairan Tanjung Emas, Semarang.
Jurnal Kelautan Tropis. 18(1): 38-45.
Suwignyo S, Bambang W, Yusli W, dan Majarianti K. 1998. Avertebrata Air Jilid
1. Jakarta: Penebar Swadaya.
Swasthikawati S, Pratiwi R, Trijoko. 2014. Kandungan lemak total, kalsium (Ca),
besi (Fe), dan seng (Zn) pada kepiting (Scylla serrata, Forskal) selama
proses ekdisis. JSV. 32(2): 242-249.
Tanikawa E. 1965. Marine Products of Japan. Hokkaido (JP): Laboratory of
Marine Food Technology, Faculty of Fisheries, Hokkaido University.
Trout G, Dale S. 1990. Prevention of warmed-over flavor in cooked beef: effect of
phosphate type, phosphate concentration, a lemon juice/phosphate blend,
and beef extract. Journal. Agricultural Food Chemistry. 38:665.
Ubaidillah A, Hersolistyorini W. 2012. Kadar protein dan sifat organoleptik nugget
rajungan dengan substitusi ikan lele (Clarias gariepinus). Jurnal Pangan
dan Gizi. 1(2): 45-54.
Varga S, Dewar AB, Anderson WE. 1969. Effect of postmortem spoilage on the
quality of frozen and heat processed red crab meat. Canadian Fisheries
Reports. Issues 12-13.
Vijayan PK, Balachandran KK. 1981. Studies on Blue Discoloration in Canned
Body Meat of Crab (Scylla serrata). Fish Technology. 18: 117-122.
Walpole RE. 1982. Pengantar Statistik. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Waters ME. 1970. Blueing of Processed Crab Meat Part II: Identification of Some
Factors Involved in the Blue Discoloration of Canned Crab Meat
(Callinectes sapidus). Seattle (US): National Marine Fisheries Service.
19
LAMPIRAN
22
23
Lampiran 1 Prosedur pembuatan daging rajungan kaleng (SNI 6929:2016 dan data
internal QC PT KML)
Pengukusan
(15 menit,suhu 95-100°C)
Pendinginan
(30 menit, suhu ±30°C
Penimbangan rendemen
Penyimpanan
Rajungan rebus
dingin
Pengisian dan
penimbangan daging ke
dalam kaleng
Penambahan SAPP
Penutupan kaleng
Pasteurisasi
(155 menit,suhu 85-87°C)
Pendinginan
(120 menit, suhu 0-3°C)
Pengepakan
Daging rajungan
kaleng
24
Hipotesis
H0 = Tidak ada perbedaan pengaruh taraf perlakuan terhadap parameter
H1 = Ada perbedaan pengaruh taraf perlakuan terhadap parameter
a. Kenampakan
Perlakuan Frekuensi Jumlah dari peringkat peringkat rata-rata Pengelompokan
Kenampakan | B3 15 250.0000 16.6667 A
Kenampakan | B2 15 331.0000 22.0667 A
Kenampakan | B1 15 469.0000 31.2667 A
Kenampakan | RD 15 864.5000 57.6333 B
Kenampakan | RN 15 935.5000 62.3667 B
b. Aroma
Perlakuan Frekuensi Jumlah dari peringkat peringkat rata-rata Pengelompokan
Aroma | RD 15 396.0000 26.4000 A
Aroma | B3 15 526.5000 35.1000 A B
Aroma | B2 15 570.0000 38.0000 A B
Aroma | B1 15 613.5000 40.9000 A B
Aroma | RN 15 744.0000 49.6000 B
c. Rasa
Perlakuan Frekuensi Jumlah dari peringkat peringkat rata-rata Pengelompokan
Rasa | RD 15 450.0000 30.0000 A
Rasa | B3 15 500.0000 33.3333 A
Rasa | B2 15 580.0000 38.6667 A
Rasa | B1 15 620.0000 41.3333 A
Rasa | RN 15 700.0000 46.6667 A
d. Tekstur
Perlakuan Frekuensi Jumlah dari peringkat peringkat rata-rata Pengelompokan
Tekstur | RD 15 460.0000 30.6667 A
Tekstur | B3 15 482.0000 32.1333 A
Tekstur | B2 15 520.5000 34.7000 A
Tekstur | B1 15 559.0000 37.2667 A
Tekstur | RN 15 828.5000 55.2333 B
Pengenceran ALT
Sampel perlakuan
10-1 10-2 10-3 10-4 (koloni/g)
Daging rajungan rebus dingin (RD) TBUD 167/161 11/13 0 16.000
Daging rajungan kaleng normal (RN) 7/7 0 0 0 70
Daging rajungan terdiskolorasi B1 9/7 0 0 0 80
Daging rajungan terdiskolorasi B2 16/10 0 0 0 130
Daging rajungan terdiskolorasi B3 12/12 0 0 0 120
27
Contoh perhitungan
Diketahui:
Absorbansi yang terbaca = 0,1084
Bobot sampel = 3,0151 g
Volume sampel = 100 mL
y = 0,1269x + 0,0057
0,1084 = 0,1269x + 0,0057
Maka x = 0,809 mg/L
Contoh perhitungan
Diketahui:
Absorbansi yang terbaca = 0,134
Bobot sampel = 3,1174 g
Volume sampel = 100 mL
y = 0,2322x + 0,0058
0,134 = 0,2322x + 0,0058
Maka x = 0,554 mg/L
Diketahui:
1 kaleng = 454 g
Kandungan Cu terdiskolorasi biru = 36,39 mg/kg bahan
Nilai RDA = 0,9 mg/hari
Kandungan Cu dalam 1 kaleng sebesar 16,40 mg. Jumlah daging yang boleh
dikonsumsi dalam 1 kaleng daging rajungan terdiskolorasi biru yaitu 25 g.
30
RIWAYAT HIDUP