Você está na página 1de 7

1.

Anak Binaan Hukum Berdasarkan Kajian Psikologi Remaja


a. Pengertian dalam Psikologi

Di dalam psikologi remaja, Anak Binaan Hukum (ABH) merujuk kepada istilah

juvenile delinquency atau kenakalan remaja. Juvenile berasal dari bahasa Latin

“juvenilis” yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,

sifat-sifat khas pada periode remaja. Sementara delinquency berasal dari kata Latin

“delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya

menjadi jahat, asosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror,

tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.

Kartini Kartono (2014: 6) mendefinisikan kenakalan remaja (juvenile

delinquency) sebagai perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak

muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja

yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka

mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Perilaku ‘delinkuen remaja’

di antaranya adalah: berpesta-pora; mabuk-mabukkan dan melakukan hubungan seks

bebas; perkosaan; agresivitas seksual disertai pembunuhan; kecanduan narkotik yang

bergandeng erat dengan tindak kejahatan; dan perjudian dan bentuk-bentuk

permainan taruhan dan lainnya.

McDavid dkk (1962: 7) membedakan perilaku juvenile dengan perilaku

menyimpang lainnya melalui pembagian dua kelompok yaitu asocial behavior

(tingkah laku sosial) dan antisocial behavior (tingkah laku antisosial). Tingkah laku

asosial secara sosial tidak dapat diterima dan merupakan hasil dari kegagalan di

dalam bersosialisasi dan akulturasi individu. Sementara, perilaku antisosial


didefinisikan sebagai penyimpangan dari standar perilaku sosial yang motivasi

utamanya adalah untuk mengacaukan sistem sosial. Perilaku remaja yang tergolong

perilaku antisosial merupakan perilaku yang dinilai melanggar peraturan dan hukum

yang berlaku.

Berdasarkan uraian definisi juvenile delinquency sebelumnya maka kenakalan

pada Anak Binaan Hukum (ABH) tergolong ke dalam perilaku antisosial karena

dinilai telah melanggar peraturan dan hukum yang berlaku yang menimbulkan

kerugian bagi diri sendiri, orang lain, keamanan dan ketenangan lingkungan

masyarakat umum.

b. Karakteristik Remaja Delinkuen

Pada dasarnya tidak ada karakteristik umum yang bisa meng-gambarkan

karakteristik ‘remaja delinkuen’ (remaja yang memiliki perilaku nakal) mengingat

berbagai jenis perilaku serta motif yang mendasarinya. Remaja ini dapat berasal dari

kalangan ekonomi bawah, menengah hingga ke atas. Begitu pula tingkat

kecerdasannya ada yang memiliki kecerdasan tinggi seperti ‘delinkuensi psikopat’

namun ada remaja yang mengalami gangguan perkembangan mental seperti

‘delikuensi defek mental’. Walaupun tidak ada rumusan umum mengenai

karakteristik ‘remaja delinkuen’, namun demikian beberapa ahli telah mencoba

membuat rumusannya.

Kartini Kartono (2014: 49) merumuskan ciri-ciri remaja yang tergolong juvenile

delinquency adalah pendek pikir, sangat emosional, agresif, tidak mampu mengenal

nilai-nilai etis dan cenderung suka menceburkan diri dalam perbuatan yang

berbahaya. Sementara McDavid dkk (1962: 8) merumuskan tipe anak-anak yang


melakukan tindakan nakal memiliki kepercayaan diri yang rendah dan menganggap

tingkah laku asosialnya tersebut akan meningkatkan statusnya di mata sesama

kelompok remaja delikuen atau dalam pandangannya sendiri.

Berdasarkan uraian ciri-ciri juvenile delinquency sebelumnya maka maka Anak

Binaan Hukum adalah remaja yang mengalami hambatan dalam perkembangan

moral mereka. Minimnya stimulasi yang mengasah penalaran moral, kondisi

lingkungan yang tidak memberikan dukungan dan suasana yang sehat menjadi faktor

yang mempengaruhi hambatan tersebut.

c. Teori-teori Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal yang

keduanya saling memberikan kontribusi terhadap perilaku yang ditampilkan remaja

tersebut. Beberapa pakar dengan berbagai pedekatan mencoba untuk menjelaskan

mengenai bagaimana munculnya kenakalan remaja yang bisa berasal dari faktor

internal maupun eksternal.

Kvaraceus (1964) mengemukakan berbagai teori yang menjelaskan kenakalan

remaja atau perilaku delinkuen remaja seperi berikut ini.

1. Psychoanalysis memandang bahwa perilaku delinkuen remaja merupakan hasil

pengalaman yang menimbulkan frustrasi di masa kanak-kanak. Hubungan antara

ibu dan anak di masa awal perkembangan sebagai faktor utama kenakalan remaja.

2. An Expression of Rebellion menganggap bahwa perilaku delinkuen remaja

merupakan ekspresi dari “membangkang” untuk melawan sesuatu. Terdapat

perbedaan yang dirasakan oleh anak, apa yang ada di alam bawah sadarnya serta

ketidakpastian cinta dari orangtuanya.


3. Identity Failure menyatakan kenakalan remaja merupakan kegagalannya di dalam

melakukan identifikasi terhadap “male authority figure” yang disebabkan karena

ketidakhadiran ayah, atau ayah jarang di rumah atau kalau pun ada dirasakan

tidak cukup.

4. Deprived of Father’s Affection beranggapan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kenakalan remaja dengan hubungan anak laki-laki dan ayahnya

(Kvaraceus, 1964). Remaja-remaja ini memiliki kepuasan yang lebih rendah

terhadap ayahnya dibandingkan terhadap ibunya. Anak yang mendapatkan

perlakuan buruk dari ayahnya maka secara bertahap anak akan “merencanakan

permusuhan” terhadap keluarganya sendiri bahkan “meluas” terhadap dunia di

luar keluarganya.

Kemudian Kvaraceus (1964: 7) juga mengumukakan teori tentang perlaku

kenakalan remaja sebagai berikut.

1) The need for love. Bila anak merasa bahwa cinta orangtuanya tidak konsisten dan

berubah disebabkan banyak hal. Perasaan kurang dicintai atau merasa bahwa cinta

adalah sebuah imbalan yang dijanjikan dan tidak tulus maka anak mungkin akan

merasa takut yang disebut “overpowering fear”. Perilaku agresif yang didasari

oleh rasa takut tersebut.

2) A search for identity. Pada masa remaja seorang anak berupaya menemukan

identitas dirinya. Remaja dalam waktu yang lama atau tiba-tiba mencoba untuk

menjadi apa yang diinginkan oleh “significant people” terhadap mereka. Ada

kalanya mereka mencoba sesuatu yang ekstrem yaitu kenakalan.


3) The outside world. Lingkungan sosial anak merupakan faktor yang sangat besar

pengaruhnya pada kehidupannya seperti sekolah, geng dan media massa. Oleh

sebab itu bagaimanapun keluarga harus berupaya memberikan lingkungan yang

baik untuk anak.

4) Anxietas of adolescence. Banyak pakar sosiologi dan antropologi menyatakan

bahwa remaja menghadapi permasalahan atau tekanan terutama anak laki-laki pada

saat transisi atau perubahan dari perilaku anak menjadi perilaku pria dewasa.

Berdasarkan uraian teori mengenai kenakalan remaja sebelumnya maka dapat

disimpulkan berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku kenakalan remaja. Faktor

keluarga merupakan faktor utama yang memberikan konstribusi paling besar. Setelah

itu, faktor lingkungan seperti sekolah masyarakat dan kondisi sosial dan ekonomi,

psikologis menjadi faktor yang memberikan konstribusi penting bagi terbentuknya

kenakalan tersebut. Pada suatu kasus, beberapa faktor bersama secara simultan

memberikan pengaruh yang besar bagi seorang remaja sehingga membentuk perlikau

nakalnya.

2. Pola Pembinaan terhadap Anak Binaan Hukum

a. Dasar-dasar Penanganan Juvenile Deliquency

Pemahaman dan pendekatan yang lebih humanis terhadap juvenile delinquency

(kenakalan remaja) telah banyak dilakukan. Kvaraceus (1964: 9). Ia menyarankan

untuk pencegahan dan penanganan perilaku kenakalan remaja dapat dilakukan yaitu:

1) The role of the school. Bagaimanapun kenakalan remaja tidak bisa diatasi

dengan metode tunggal saja akan tetapi harus melibatkan seluruh komunitasnya.
Sekolah diharapkan mampu menciptakan sebuah pogram komunitas yang

melibatkan seluruh personel sekolah.

2) Help for the family. Permasalahan di dalam keluarga menjadi faktor penyebab

yang tidak bisa dijangkau hanya di sekolah saja. Keluarga hendaknya dilibatkan

dalam melakukan perbaikan yang dapat diakukan dengan dua cara. Pertama,

membantu orang tua menjadi lebih bijaksana dan lebih efektif Kedua, anak

diberikan pelatihan untuk memiliki kebiasaan, keterampilan, pemahaman dan

sikap yang dapat membuat orangtuanya lebih baik di masa datang.

3) Asking why it happened. Ketika perilaku delinkuen muncul, pada dasarnya anak

sedang membutuhkan pemahaman, pengertian dan perhatian maka salah satu

upaya untuk mengatasinya yaitu dengan memberikan apa yang sesungguhnya

mereka inginkan.

4) Punishment or probation. Kenakalan anak dapat ditanggulangi dengan hukuman

masuk penjara anak. Di beberapa negara masih menjadi cara untuk memberikan

efek jera bagi remaja delinkuen.

5) The police. Penugasan polisi khusus menghadapi kenakalan remaja merupakan

upaya yang banyak dilakukan di beberapa negara maju. Polisi dilatih untuk

menangani anak-anak nakal ini karena menghadapi anak-anak bebeda dengan

orang dewasa.

6) The real world of work. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin biasanya

tidak bisa meneruskan pendidikannya serta tidak memiliki perkejaaan sehingga

menjadi penganguran. Anak-anak seperti inilah yang memilik mood atau suasana

hati “hopeless” yang bisa berujung kepada kenakalan remaja. Melatihkan dan
melibatkan mereka ke dalam dunia kerja yang sesuai dengan kemampuan

mereka adalah solusinya.

Kartini Kartono (2014: 34) menyarankan agar masyarakat dan pemerintah secara

bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas penanganan terhadap masalah

kenakalan remaja. Upaya tersebut di antaranya adalah: 1) mendirikan panti

rehabilitasi; 2) membentuk peradilan khusus anak-anak; 3) merancang dan

menentapkan undang-undang khusus pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan

anak dan remaja; 4) mendirikan rumah tahanan khusus anak dan berbagai lembaga

nonformal lainnya yang bertujuan untuk mendorong perkembangan mental dan

moral anak-anak dan para remaja tersebut.

Berbagai pendekatan dapat diterapkan dalam penanganan ABH yaitu pendekatan

internal dan pendekatan eksternal. Pendekatan internal dapat dilakukan one to one

yang dilakukan oleh psikolog atau konselor. Pendekatan eksternal dilakukan dengan

menciptakan lingkungan yang sehat bagi remaja bekerja sama dengan keluarga,

sekolah dan masyarakat. Kedua pendekatan tersebut pada dasarnya tidak dapat

berdiri sendiri. Hendaknya kedua pendekatan tersebut dilakukan secara bersaman

dan saling melengkapi.

Você também pode gostar