Você está na página 1de 10

ASBABUN NUZUL

MATA KULIAH:

KAIDAH PENAFSIRAN

PROGRAM: MAGISTER (S2)

STUDI ILMU AL QUR‟AN DAN TAFSIR

Penulis:

Buya Kharismawanto

12.402.1.003

Dosen Pengampu:

Dr. Moh Abdul Kholiq Hasan, M.A., M.Ed.

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )


SURAKARTA

2013
BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur‟an adalah kitab suci dan merupakan sumber ajaran agama islam yang utama yang
harus kaum muslimin yakini dan aplikasikan dalam setiap lini kehidupan agar memperoleh
kebaikan di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak. Karena itu, maka tidaklah berlebihan jika
selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya, tetapi juga berupaya
semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Upaya tersebut telah dilaksanakan sejak al
qur‟an diturunkan hingga sekarang dan salah satunya dengan mempelajari asbabun nuzul.
Pengetahuan tentang asbabun nuzul sangat penting bagi umat islam umumnya dan bagi para
akademisi di bidang tafsir dan ulumul Qur‟an pada khususnya karena sangat membantu dalam
usaha memahami ayat al-Qur‟an baik dalam mengistimbath1 hukum dalam beristidlal2 ataupun
sekedar memahami maksud ayat. Tidaklah mungkin memahami kandungan makna suatu ayat
tanpa mengetahui sebab turunnya ayat tersebut. Menurut Ibn Daqiq al „id, mengetahui asbabun
nuzul adalah cara yang tepat untuk memahami al-Qur‟an. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah,
asbabun nuzul membantu seseorang untuk memahami al-Qur‟an. Subhi ash-Sholih menyatakan: “
ketidaktahuan seseorang tentang asbabun nuzul sering menjerumuskannya ke dalam kesalahan dan
kekeliruan karena ia memahami ayat tidak sesuai dengan maksudnya. 3
Demikian telah disebut oleh para ahli diatas tentang pentingnya mempelajari asbabun nuzul,
oleh karena itu disini pemakalah mencoba untuk sedikit mengurai tentang asbabun nuzul dari segi
istilah secara bahasa maupun pengertiannya menurut pendapat para ulama, apakah semua ayat ada
asbabun nuzulnya? serta memaparkan akan arti penting dan manfaat mempelajarinya. Dan tak lupa
juga beberapa permasalahan kaidah dalam asbabun nuzul yang selalu menjadi perdebatan hangat
dikalangan para ulama.

1
Beristimbath artinya menentukan hukum sesuatu.
2
Beristidlal artinya berdalil atau berhujjah.
3
Subhi as-Shalih, Mabahits fi Ulumil Qur‟an, h. 132.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Asbabun Nuzul


Secara bahasa asbabun nuzul terdiri atas dua kata asbab jamak dari sabab yang berarti sebab
atau latar belakang, sedangkan nuzul merupakan bentuk masdar dari anzala yang berarti turun.
Dalam pengertian secara sederhana adalah turunnya ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga
tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut tidak turun.4 Namun pemakalah lebih condong bahwa
pengertian asbabun nuzul secara bahasa sederhana adalah sebab-sebab yang melatar belakangi
turunnya ayat al-Qur‟an tanpa embel-embel ” tanpa adanya peristiwa itu ayat tersebut tidak turun”.
Menurut as- Suyuthi, asbabun nuzul adalah peristiwa yang terjadi sebelum turun ayat, sedangkan
sesudah turunnya ayat tidaklah disebut asbab.5 Menurut Wahidi, asbabun nuzul adalah peristiwa
sebelum turun ayat, walaupun sebelumnya itu masanya jauh seperti adanya peristiwa gajah dengan
surat al-Fiil. Subhi ash-Shalih mengatakan, asbabul nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab
turunnya satu atau beberapa ayat sebagai jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya
pada waktu terjadinya sebab itu.6 Az-Zarqani dalam kitab Manahilul Irfan menyatakan, asbabun
nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau suatu
peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan dengan turunnya suatu ayat. 7 Sanada
dengan Az-Zarqani, Daud al-Aththar mendefinisikan asbabun nuzul sebagai sesuatu yang melatar
belakangi turunnya suatu ayat atau lebih, sebagai jawaban terhadap suatu pertanyaan atau
menceritakan suatu peristiwa itu.8
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa asbabun nuzul adalah suatu peristiwa yang ada
kaitan langsung dengan satu atau beberapa ayat al-Qur‟an yang diturunkan ketika itu, baik sebagai:
(a) Jawaban suatu pertanyaan atau (b) penjelasan hukum yang dikandung ayat tersebut, atau (c)
contoh kasus yang diceritakan ayat tersebut.
Definisi yang dikemukakan ini dan yang diistilahi, menghendaki supaya ayat-ayat al-Qur‟an,
dibagi dua:

1. Ayat yang ada sebab turunnya.


2. Ayat yang tidak ada sebab turunnya.

4
Rachmat Syafi‟, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 1973), cet. Ke-1, h.24.
5
Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi Qur‟an, (Bairut: Daul Fikr, t.th.), h. 29-30.
6
Subhi as-Shalih, Mabahits fi Ulumil Qur‟an, (Beirut: Darul Ilmi, t.th., hlm. 132.
7
Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, Manahilul „Irfan fi Ulumil Qur‟an, (Darul Hayat al-Kitab al-Arabiyyah, t.th, ), h. 22.
8
Daud al-Aththar, Persfektif Baru Ilmu Al-Qur‟an, Terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994,
cet-1, h. 127.
Memang demikianlah ayat-ayat al-Qur‟an. Ada yang diturunkan tanpa didahului oleh sesuatu sebab
dan ada yang diturunkan sesudah didahului sebab. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang
harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al-Qur‟an diturunkan karena timbul
suatu peristiwa dan kejadian.9 Oleh karena itu, tujuan studi al-Qur‟an mencakup beberapa
permasalahan yang hendaknya harus dipelajari bukan saja masalah asbabun nuzul. Tetapi juga
mempelajari masalah bagaimana cara membaca al-Qur‟an, bagaimana tafsirnya dan juga tidak kalah
penting masalah nasakh dan mansukh.10

B. Arti Penting Asbabun Nuzul

Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan memahami
makna-makna ayat al-Qur‟an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu, mengetahui
asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Bahkan segolongan diantara mereka ada yang
mengklarifikasikan dalam suatu naskah, seperti Ali al-Maidini, guru besar imam Bukhari.

Dari sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan al-Wahidi,
Ibnu Hajar dan as-Sayuthi. Dan as-Sayuthi telah menyusun dalam suatu kitab besar dengan judul
“Lubaabun Nuquul fie Asbabin Nuzuul”. Boleh dikata, untuk mengetahui secara mendetail tentang
aneka corak ilmu-ilmu al-Qur‟an serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui
asbabun nuzulul,11 seperti pada firman Allah yang artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. (Q.S. Al-Baqarah: 115)

Ayat ini kadang kala diartikan, boleh menghadap ke arah mana pun saja selain kiblat.
Pengertian ini jelas salah, sebab di antara syarat sahnya shalat ialah menghadap kiblat.Akan tetapi
dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, akan jelas pengertian ayat ini, di mana ayat ini
diturunkan bagi siapa yang sedang di tengah perjalanan dan tidak tahu mana arah kiblat. Maka ia
harus berijtihad dan menyelidiki, kemudian shalat kemana saja ia menghadap, sahlah shalatnya.
Dan tidak diwajibkan kepadanya mengulang lagi shalatnya jika diketauhi kemudian ternyata arah
kiblat yang dituju salah.

Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang
berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan seorang sahabat
mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai

9
Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, (Litera Antarnusa: Pustaka Islamiyah, 1973), cet. Ke-3, h. 107.
10
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), cet. Ke-8, h. 19.
11
Moh. Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 40.
hukum marfu‟ (disandarkan pada Rasulullah). al-Wahidi mengatakan, “Tidak halal berpendapat
mengenai asbabun nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung
dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahasnya
tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. al-Wahidi telah menentang
ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia
menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan
“Sekarang setiap orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya
dalam kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab
turunnya ayat”.12

C. Permasalah Kaidah Dalam Asbabun Nuzul

Dikalangan umat Islam berkembang pernyataan universalitas dan supremasi Islam yang
berlaku melampaui dimensi ruang dan waktu, dengan Al-Qur‟an sebagai sumber pedoman. Al-
Qur‟an tidak turun dalam satu masyarakat yang tanpa budaya. Dari sekian banyak ayat-ayatnya,
para ulama menyatakan harus dipahami dalam konteks asbabun nuzulnya, karena ayat tersebut
berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan kenyataan tersebut mendahului atau paling tidak
bersamaan dengan turunnya ayat.

Dalam memahami hal yang berkaitan dengan sebab turunnya al-Qur‟an terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Persoalannya adalah apakah suatu ayat yang turun dengan sebab
tertentu itu terbatas pengertian dan hukum yang dikandungnya hanya pada sebab turunnya ayat
tersebut ataukah dapat menjangkau berbagai masalah atau peristiwa serupa?. Menurut jumhur
ulama yang menjadi pegangan dalam memahami ayat tersebut adalah redaksinya yang bersifat
umum dan bukan sebabnya yang khusus. Adapun ketentuan-ketentuan yang menyangkut hal
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus as-sabab adalah:


1. Yang jadi hujjah adalah lafadznya bukan peristiwa yang mengitari ayat itu.
2. Lafadz haruslah diberlakukan secara umum, kecuali ada dalil yang mengharuskan ia
dipahami khusus.
3. Para sahabat salalu berhujjah dengan lafazd umum, walaupun mereka sudah tahu
sebab-sebab khususnya.

12
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Beirut: Pustaka Firdaus, 1985), h. 159.
Contoh penerapan kaidah tersebut dalam memahami ayat yang memiliki asbabun nuzul
tertentu, dalam hal ini QS An-nur [24] : 6, adalah sebagai berikut :

“Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan kepada istri-istri mereka, sedang mereka
tak punya saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu empat kali sumpah (dengan
sekali bersumpah) demi Allah, bahwa sungguh dia berkata benar.”

Ayat ini turun berkaitan dengan tuduhan yang dilemparkan Hilal Ibnu Umayyah kepada
istrinya, akan tetapi sebagai mana terlihat, bunyi ayat ini bersifat umum. Menurut penganut kaidah
“keumuman lafadz bukan kekhususan sabab” dengan demikian ketentuan hukumnya tidak hanya
berlaku bagi Hilal saja, tetapi juga berlaku bagi semua orang yang menuduh istrinya berbuat zina
tanpa saksi. karena itu hukum yang dikandungnya dapat diterapkan pada kasus lain yang serupa
tanpa melalui qiyas.

2. Al-Ibrah bi khusus as-sabab

1. Sebab dan munasab harus serasi, lafadz umum haruslah diapahami dengan sebab khususnya
itu.
2. Kelompok ulama yang berpegang atas dalil ini mengatakan bahwa ketentuan hukum yang
dikandung ayat tersebut pada dasarnya terbatas pada peristiwa yang menjadi sebab turunnya
ayat tersebut. penerapannya terhadap kasus lainnya yang serupa hanya mungkin dilakukan
melalui qiyas atau nash lain.13
Pengertian asbabun nuzul dengan demikian dapat diperluas sehingga mencakup kondisi
sosial pada masa turunnya al-Qur‟an dan pemahamannya pun dapat dikembangkan melalui kaidah
yang pernah dicetuskan oleh ulama terdahulu dengan mengembangkan pengertian qiyas.14
Sebagai contoh Allah berfirman dalam QS Al-Maidah [5] : 38-39 :

“Adapun mengenai pencuri, laki-laki dan perempuan, potonglah tangannya sebagai hukuman atas
perbuatannya, sebagai pelajaran dari Allah. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Tetapi barang
siapa bertobat setelah berbuat jahat dan memperbaiki diri, maka Allah akan menerima tobatnya,
Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.”

Asbabun nuzul turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Ahmad dan lain-lain yang
bersumber dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang wanita mencuri di zaman Rasulullah, kemudian
dipotong tangannya yang kanan. Wanita tersebut bertanya, “Apakah diterima tobatku, ya Rasulullah

13
Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, Manahilul „Irfan fi Ulumil Qur‟an, h. 125-126.
14
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1995), h. 90.
?” Maka Allah menurunkan ayat berikutnya QS [5] : 39 yang menegaskan bahwa tobat seseorang
akan diterima Allah apabila ia memperbaiki diri dan berbuat baik.
Bila saklek berpegang pada kaidah “keumuman lafazh bukan pada ke khususan sebab”maka
akan ada kecenderungan memahami ayat tersebut secara tekstual, bahwa ketetapan hukum potong
tangan bagi seorang pencuri itu berlaku umum disegala situasi dan tempat, dengan mengabaikan
konteks situasi sosial yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut, sehingga kesesuaian
ketetapan hukum kurang mendapat perhatian. Padahal perubahan waktu dan situasi yang meliputi,
meniscayakan perubahan hukum. Ketika ayat tersebut tidak diterapkan dalam suatu masyarakat,
seperti ijtihad Umar bin Khattab pada masanya, tidak memotong tangan pencuri dimasa paceklik,
apakah lantas dipahami bahwa Umar bin Khattab telah meninggalkan ayat tersebut, atau ayat
disesuaikan dengan situasi kondisi ?
Dari kedua perbedaan diatas pemakalah sedikit mempunyai pendapat dan opini apakah tidak
lebih lengkap jika kedua kaidah tersebut diambil kelebihannya masing-masing sehingga akan
didapat Al-Ibrah bi umumil-lafdz la bi khusus as-sabab dengan melihat situasi, tempat, dan kondisi
yang terjadi saat terjadi kejadian.
Pada era modern ada suatu kaidah baru yang muncul yang sering disebut kaidah alternatif,
kaidah-kaidah ushul fiqih alternatif ini ingin membebaskan para ahli hukum dari ketergantungan
terhadap nash. Menurut asumsi mereka, nash al-Qur‟an dan hadis Nabi dalam kaidah klasik selalu
ditempatkan dalam posisi pertama. Padahal menurut mereka, seharusnya secara hierarkis, maqashid
as-Syariah lah yang pantas berada pada posisi puncak, baru kemudian menyusul al-Qur‟an dan
hadis Nabi. Pendapat ini sangat bertentangan sekali dengan pemahaman mayoritas ulama yang
menganggap bahwa al-Qur‟an dan hadis adalah sumber primer, bukan maqashid as-Syari‟ah
sebagaimana pemahaman JIL di atas. Untuk itulah tulisan ini mencoba untuk memperkenalkan
salah kaidah ushul fiqih alternatif tersebut yang sesuai dengan pembahasan makalah.

3. Al-Ibrah bil Maqashid la bil al-Fadz

Secara tekstual arti kaidah ini adalah: “Yang menjadi pertimbangan utama dalam istinbath
hukum adalah tujuan esensial dari teks, bukan teks itu sendiri”. Dengan kaidah ini, bunyi harfiah
teks al-Qur‟an dan hadis Nabi tidak mendapat porsi apa-apa melainkan hanya sebagai pelengkap
saja dari proses istinbath. Sedangkan yang mendapat porsi utama adalah tujuan esensial dari teks.
Tujuan esensial dari sebuah teks bisa didapatkan tidak hanya dengan mengkaji sebab mengapa teks
itu turun, akan tetapi juga harus mempertimbangkan proses dialektika antara teks dan realitas. Jika
ada pertentangan antara bunyi harfiah teks dan realitas, maka yang diunggulkan adalah tujuan
esensial yang kemudian dipadukan dengan realitas yang terjadi.
Kaidah ini merupakan kebalikan dari kaidah klasik yang berbunyi: “Al-Ibrah bi Umumil Lafdzi
la bi Khususis Sabab”. Dalam kaidah ini realitas yang berbeda “dipaksa” tunduk pada bunyi harfiah
teks, dan problematika yang terjadi diberbagai tempat bisa diselesaikan dengan menggunakan bunyi
lafadznya. Secara tidak langsung kaidah ini mencoba mengindukkan setiap realitas pada teks,
sehingga apapun yang terjadi, teks akan menjadi rujukan utama. Padahal yang namanya realitas
pasti berkembang, sedangkan teks sudah pasti tidak berkembang (an-Nushus Mutanahiyah wal-
Waqoi‟ Ghoiru Mutanahiyah). Sampai-sampai Nasr Hamid Abu Zayd menganggap bahwa
peradaban Islam adalah peradaban Teks.
Tujuan kaidah altenatif ini adalah untuk membebaskan proses ijtihad dari hegemoni teks.
Karena menurut anggapan JIL, teks sudah tampil sedemikian menakutkan karena terlalu dianggap
sakral dan tak tersentuh. Dan ajakan membebaskan diri dari kungkungan teks bukan berarti
mengabaikan teks itu sendiri, karena tujuan esensial dari teks tidak akan didapatkan tanpa
memperhatikan bunyi teksnya. Namun sekali lagi yang menjadi pertimbangan utama menurut
mereka adalah tujuan esensialnya, bukan bunyi harfiahnya.
Namun menurut hemat penulis kaidah alternatif yang diutarakan diatas tak lebih hanya akan
menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks, bukan sebaliknya memecahkan masalah. Karena
dengan pemahaman diatas seseorang dengan bebas tanpa aturan dan batasan yang baku dengan
merubah teks. Sehingga kita tidak mendapatkan penyelesaian namun malah akan semakin jauh dari
tujuan yang menjadi target kita yaitu mendapatkan kesesuaian dalam mensikapi realita yang sejalan
dengan pedoman agama yang berlaku.
Pemakalah menganalogian secara mudah dan sederhana teks al-Qur‟an kita misalkan dengan
rumus pedoman, contoh untuk mengetahui keliling suatu lingkaran adalah dengan rumus “phi” atau
22/7 atau 3,14 dikalikan dengan diameter. Dengan berpedoman pada rumus diatas manusia akan
mengetahui hasil keliling dari suatu lingkaran berapapun besar dan kecilnya lingkaran tersebut.
Jika kita tarik kesimpulan dari kaidah altenatif diatas yang berlandaskan maqasid atau tujuan
esensial semata maka yang terjadi adalah rumus 22/7X diameter menjadi tidak penting. Karena
yang utama adalah kita mengetahui hasil keliling lingkaran dengan cara mengukur langsung
keliling lingkaran tersebut. Pertanyaannya mungkin akan mudah dan bisa sama hasilnya dengan
yang memakai rumus jika lingkaran tersebut diameternya dalam sentimeter, namun bagaimana jika
diameter lingkaran tersebut milimeter atau mikrometer atau bahkan kilometer?.
BAB III
KESIMPULAN

1. Menjadi jelas kepada kita akan pentingnya mengetahui asbabun nuzul bila kita
hendak memahami al-Qur‟an. pentingnya mempelajari dan mengetahui asbabun
nuzul adalah untuk membantu memahami ayat al-Qur‟an, baik dalam menetapkan
hukum atau dalam berdalil, ataupun sekedar memahami maksud ayat. Tidak
mungkin memahami kandungan makna suatu ayat tanpa mengetahui sebab turunnya
ayat tersebut.
2. Pemikiran teori baru tidaklah seyogyanya menghapus pemikiran atau teori yang lama
selama masih relevan dengan zaman, kadang kesalahan bukan pada landasan teori
tapi pada pemakai teori itu sendiri yang kurang tepat mengaplikasikannya.
DAFTAR PUSTAKA

Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Beirut: Pustaka Firdaus, 1985)

Rachmat Syafi‟, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 1973), cet. Ke-1

Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi Qur‟an, (Bairut: Daul Fikr, t.th.).

Muhammad Abdul Azhim az-Zarqani, Manahilul „Irfan fi Ulumil Qur‟an, (Darul Hayat al-Kitab al-
______Arabiyyah, t.th, ).

Daud al-Aththar, Persfektif Baru Ilmu Al-Qur‟an, Terj. Afif Muhammad dan Ahsin
______Muhammad, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, cet-1.

Manna‟ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, (Litera Antarnusa: Pustaka Islamiyah, 1973),
______cet. Ke-3.

Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka
______Pelajar, 1998), cet. Ke-8.

Moh. Ali Ash-Shabunie, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur‟an, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983).

Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1995).

Você também pode gostar