Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Tesis
Diajukan Oleh :
Fariani Hidayah
NIM : 11/322447/PKU/12294
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
i
ii
ii
iii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan nikmatNya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ASI Eksklusif Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 6 – 24 Bulan Di Kota Yogyakarta”.
Tesis ini sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Magister Gizi dan
Kesehatan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga
kepada :
1. Bapak Prof. dr. M. Juffrie, SpAK, Ph.D dan Ibu dr. Detty Siti Nurdiati, MPH,
Ph.D, Sp.OG, selaku pembimbing yang senantiasa memberikan arahan,
bimbingan dan motivasi sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
2. Bapak Prof. dr. Hamam Hadi, MS., ScD selaku Ketua Minat Gizi dan
Kesehatan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada sekaligus selaku peneliti utama dalam
penelitian gabungan “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Stunting Pada Anak Usia 6 – 24 bulan di Kota Yogyakarta”, yang senantiasa
memberikan arahan, bimbingan dan motivasi sehingga tesis ini dapat
diselesaikan.
3. Bapak dr. Sulanto Saleh Danu, Sp.FK selaku ketua dewan penguji dan Bapak
A.Fahmi A.Tsani, SGz, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran, masukan dan bimbingannya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
4. Bapak Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo, SU, MSc, ScD selaku Ketua Program
Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
5. Bapak Dr. dr. Radjiman, selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis.
6. Seluruh dosen dan staf akademik Minat Gizi dan Kesehatan Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Fakultas Kedokteran Unversitas
Gadjah Mada yang telah membantu dan menfasilitasi kegiatan perkuliahan.
iv
v
7. Bapak Walikota Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
mengikuti tugas belajar dan memberikan izin penelitian di Kota Yogyakarta.
8. Pustanserdik PPSDM Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang telah
memberikan dukungan dana selama pendidikan
9. Ibu Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, Kepala
Seksi Gizi dan Keluarga beserta staf Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang
telah memberikan dukungan selama penulis melaksanakan tugas belajar.
10. Kepala Puskesmas, petugas gizi, petugas surveilens di Puskesmas Tegalrejo,
Umbulharjo I, Umbulharjo II, Kotagede I dan Kota Gede II Kota Yogyakarta,
kader-kader posyandu, teman-teman enumerator, dan khususnya pada para
orangtua responden yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.
11. Andri Susilaningdyah, Fahrini Yulidasari, Nilfar Rufaida, Siska Puspita Sari,
Sartono, Yunus dan Darwin Nasution yang telah bersama berjuang
menyelesaikan penelitian.
12. Ibunda (Hj. Durotul Yatimah) dan Ayahanda (H.Wardani) tercinta yang telah
memberikan doa dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
pendidikan ini.
13. Suami tercinta (Eko Raharjo, MPH) yang senantiasa memberikan doa dan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.
14. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Minat Gizi dan Kesehatan Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada angkatan 2011 dan semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.
Semoga semua kebaikan seluruh pihak sebagaimana tersebut diatas
mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa karya ini masih
belum sempurna, untuk itu segala saran dan kritik dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkannya.
Yogyakarta, Oktober 2013
Fariani Hidayah
v
vi
DAFTAR ISI
vi
vii
DAFTAR TABEL
vii
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
x
ABSTRAK
Latar belakang: Stunting atau pendek merupakan salah satu masalah gizi balita.
Stunting merupakan kegagalan pertumbuhan linier dengan defisit dalam panjang
badan menurut umur < -2 z-skor berdasarkan rujukan baku pertumbuhan World
Health Organization. Banyaknya jumlah anak yang mengalami stunting
memberikan indikasi di masyarakat ada masalah yang berlangsung cukup lama.
Stunting dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pemberian ASI eksklusif.
Kota Yogyakarta cakupan ASI eksklusifnya masih rendah (46,37%) dan
prevalensi balita stunting mencapai 15,92%. Oleh karena itu perlu dipelajari ASI
eksklusif sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan.
Tujuan: Menganalisis ASI eksklusif sebagai faktor risiko kejadian stunting pada
anak usia 6 - 24 bulan di kota Yogyakarta.
Kata kunci: Faktor risiko, ASI eksklusif, stunting, anak 6-24 bulan.
x
xi
ABSTRACT
Methods: This study is an observational study with case control study design. It’s
population is all children aged 6-24 months in the Yogyakarta City. The subjects
were all children aged 6-24 months were recorded in the register a toddler
posyandu in 3 subdistricts (Umbulharjo, Tegalrejo and Kotagede) and his parents
lived at the study site of inclusion and exclusion criteria. Number of samples 121
cases and 121 controls. Univariate data analysis, bivariate using Chi-square, and
multivariate using multiple logistic regression.
Result: This research shows as much as 39.67% of the children were exclusively
breastfeeding and 60.33% are not exclusively breastfeeding. Bivariate analysis
showed there is statistically significant association between exclusive
breastfeeding with the inci dence of stunting in children aged 6-24 months in the
Yogyakarta City (p= 0.03; OR= 1.74) so that it can be said children who are not
exclusively breastfeeding 1.74 times the risk of experiencing stunting than
children who were exclusively breastfeeding. Multivariate analysis with control
variables age, birth weight, maternal height and breastfeeding status of exclusive
breastfeeding showed a relationship with the incidence of stunting in children
aged 6-24 months in Yogyakarta City became non-significant (p = 0.49; OR =
1.23) so it can not be said that children exclusively breastfed 1.23 times the risk of
experiencing stunting than children who were exclusively breastfed.
Conclusion: Incidence risk of stunting in children aged 6-24 months will increase
by 74% in children who are not exclusively breastfed, but this risk became
nonsignificant after controlling for the variables age, birth weight, maternal height
and breastfeeding status.
Key words: Risk factors, exclusive breastfeeding, stunting, children 6-24 months.
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting merupakan salah satu masalah gizi balita. Stunting
menggambarkan kegagalan pertumbuhan yang terakumulasi sejak sebelum dan
sesudah kelahiran yang diakibatkan oleh tidak tercukupinya asupan zat gizi
(Milman et al., 2005). Stunting atau pendek merupakan kegagalan pertumbuhan
linier dengan defisit dalam panjang badan menurut umur <-2 z-skor berdasarkan
rujukan baku pertumbuhan World Health Organization (WHO, 2006). Stunting
adalah sebuah proses yang dapat mempengaruhi perkembangan anak dari tahap
awal konsepsi sampai tahun ketiga atau keempat kehidupan, dimana gizi ibu dan
anak merupakan penentu penting pertumbuhan. Kegagalan memenuhi persyaratan
mikronutrien, lingkungan yang tidak mendukung dan penyediaan perawatan yang
tidak adekuat merupakan faktor yang bertanggungjawab dan mempengaruhi
kondisi pertumbuhan hampir 200 juta anak dibawah umur 5 tahun (Branca dan
Ferrari, 2002).
Masalah bayi dan balita stunting sangat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Secara tradisional, stunting dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di masyarakat,
pembangunan ekonomi yang lemah, kemiskinan, serta faktor lain yang turut
berperan, antara lain pemberian makan yang tidak tepat dan prevalensi penyakit
infeksi yang tinggi (Umeta et al., 2003). Pemberian makan yang tidak tepat akan
mengganggu status gizi dan kesehatan bayi. Pemberian makan pada bayi yang
tepat adalah dengan cara bertahap sesuai dengan umurnya. Pada usia 0 – 6 bulan,
bayi cukup diberikan Air Susu Ibu saja (ASI eksklusif). Mulai usia 6 bulan, bayi
sudah tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup jika hanya dari ASI saja, oleh
karena itu harus diberikan makanan pendamping ASI (MPASI) secara bertahap
dari mulai makanan cair ke makanan padat. Menurut Onayade et al (2004) ASI
eksklusif selama 6 bulan mendukung pertumbuhan bayi dalam 6 bulan pertama
kehidupannya. Bayi yang diberi ASI eksklusif berat badan dan panjang badannya
1
2
bertambah dengan cukup dan berisiko lebih kecil menderita penyakit demam,
diare dan ISPA dibandingkan yang diberikan MPASI sebelum usia enam bulan.
Branca dan Ferrari (2002) juga menyatakan setelah lahir sampai enam bulan
pertama kehidupan, ASI eksklusif akan memberikan energi dan zat gizi lainnya
yang diperlukan bayi. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, ASI saja selama
enam bulan pertama sudah cukup memberikan kebutuhan gizi dan bayi akan
berisiko kecil menderita sakit dibandingkan yang tidak diberikan ASI eksklusif.
Menurut World Health Organization (2001) pemberian ASI kepada bayi
memberikan kontribusi pada status gizi dan kesehatan bayi. Semua zat gizi yang
dibutuhkan bayi pada enam bulan pertama kehidupannya dapat dipenuhi dari ASI,
dan ASI dapat memenuhi setengah dari kebutuhan zat gizi bayi umur 7-12 bulan.
Pada tahun kedua kehidupan bayi, ASI menyumbang sepertiga zat gizi yang
dibutuhkan. Tidak diragukan lagi, bahwa ASI mengandung zat imunitas yang
melindungi bayi dari penyakit infeksi. Efek perlindungan tersebut lebih besar
pada enam bulan pertama umur bayi.
Pemberian ASI juga berhubungan dengan pertumbuhan panjang badan
anak. Durasi menyusui positif berhubungan dengan pertumbuhan panjang,
semakin lama anak-anak disusui, semakin cepat mereka tumbuh baik pada kedua
dan tahun ketiga kehidupan (Adair dan Guilkey, 1997). Penelitian Kramer et al
(2003) menunjukkan pertumbuhan panjang badan bayi umur 9 – 12 bulan yang
mendapat ASI eksklusif 6 bulan, lebih cepat dibandingkan dengan bayi ASI
eksklusif 3 bulan (perbedaan panjang badan 0,9 mm/bulan). Hasil penelitian
Syarif (2008) menunjukkan proporsi anak yang tidak mendapat ASI eksklusif
dengan kejadian stunting pada anak umur 2-3 tahun lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi anak yang diberi ASI eksklusif dan hubungan antara pemberian
ASI eksklusif dengan kejadian stunting tidak bermakna karena rendahnya
proporsi ibu yang memberikan ASI eksklusif. Menurut penelitian Wahdah (2012)
anak yang tidak mendapatkan ASI secara eksklusif berisiko menderita stunting 2
kali lebih besar dari anak yang yang diberikan ASI eksklusif.
Indonesia masih mengalami masalah stunting. Secara nasional,
prevalensi stunting pada balita sebesar 36,80% tahun 2007 dan mengalami
2
3
penurunan sebesar 1,20% sehingga menjadi 35,60% tahun 2010 (Kemenkes RI,
2010). Prevalensi stunting balita di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 27,60%
tahun 2007 dan mengalami penurunan sebesar 5,10% menjadi 22,50% tahun
2010 (Kemenkes RI, 2010).
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kabupaten/kota di Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan permasalahan cakupan ASI eksklusif yang masih
rendah (46,37%) dan prevalensi balita stunting mencapai 15,92% (Dinkes Kota
Yogyakarta, 2012). Menurut Jahari (2002) banyaknya jumlah anak stunting
memberikan indikasi bahwa di masyarakat bersangkutan ada masalah yang sudah
berlangsung cukup lama. Oleh karena itu perlu dipelajari apa masalah dasar dari
gangguan pertumbuhan ini, sebelum dilakukan program perbaikan gizi secara
menyeluruh. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian ini yang
bertujuan untuk menganalisis ASI eksklusif sebagai faktor risiko kejadian stunting
pada anak usia 6-24 bulan di Kota Yogyakarta.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah
penelitian ini adalah: Apakah ASI eksklusif merupakan faktor risiko kejadian
stunting pada anak usia 6-24 bulan di Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Menganalisis ASI eksklusif sebagai faktor risiko kejadian stunting pada
anak usia 6 – 24 bulan di Kota Yogyakarta.
D. Manfaat penelitian
1. Bagi Pemerintah Daerah
Sebagai dasar dalam melakukan intervensi pengambilan kebijakan
penanggulangan stunting di Kota Yogyakarta.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya tentang ASI eksklusif sebagai
faktor risiko terhadap kejadian stunting di Kota Yogyakarta.
3. Bagi Peneliti
Menambah wawasan peneliti dalam meneliti masalah stunting.
3
4
E. Keaslian Penelitian
4
5
4. Wahdah (2012), penelitian tentang faktor risiko kejadian stunting pada anak
umur 6 – 36 bulan di wilayah pedalaman Kecamatan Kapuas Hulu,
Kalimantan Barat. Variabel independen: status sosial ekonomi, pola asuh, pola
makan, Asi eksklusif, pemberian ASI, penyakit infeksi, tinggi badan ayah,
tinggi badan ibu. Variabel dependen: stunting. Variabel luar: umur dan jenis
kelamin. Metode penelitian: analitik observasional dengan pendekatan cross
sectional. Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel independen selain
ASI, umur anak dan metode penelitian. Persamaan dengan penelitian ini
adalah variabel dependen stunting dan independen ASI eksklusif.
5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Status Gizi
a. Pengertian Status Gizi
Menurut Gibson (2005), status gizi berasal dari kata “status” dan
“gizi”. Status diartikan sebagai tanda-tanda atau penampilan yang
diakibatkan oleh suatu keadaan, sedangkan gizi diartikan sebagai hasil
proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme
dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan dan fungsi
organ tubuh serta untuk produksi energi. Dengan demikian, status gizi
adalah tanda-tanda atau penampilan fisiologis yang diakibatkan oleh
keseimbangan asupan zat gizi dan penggunaannya oleh organisme.
Menurut Jahari (2002), pertumbuhan seorang anak bukan hanya
sekedar gambaran perubahan antropometri (berat badan, tinggi badan atau
ukuran tubuh lainnya) dari waktu ke waktu, tetapi lebih dari itu
memberikan gambaran tentang perkembangan keadaan keseimbangan
antara asupan dan kebutuhan zat gizi seorang anak untuk berbagai proses
biologis, termasuk untuk tumbuh. Keadaan keseimbangan antara asupan
dan kebutuhan zat gizi disebut status gizi. Status disebut gizi seimbang
atau gizi baik bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan.
Sedangkan status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk
kurang gizi yaitu bila jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan,
dan dalam bentuk gizi lebih yaitu bila asupan zat gizi melebihi dari yang
dibutuhkan. Dalam status gizi baik dan sehat atau bebas dari penyakit,
pertumbuhan seorang anak akan normal, sebaliknya bila dalam status gizi
tidak seimbang, pertumbuhan seorang anak akan terganggu, misalnya anak
tersebut kurang gizi (underweigth), kurus (wasted), pendek (stunted) atau
gizi lebih (overweight).
6
7
7
8
8
9
9
10
10
11
11
12
12
13
13
14
2. Stunting
a. Pengertian Stunting
Stunting merupakan salah satu masalah gizi balita. Stunting
menggambarkan kegagalan pertumbuhan yang terakumulasi sejak sebelum
dan sesudah kelahiran yang diakibatkan oleh tidak tercukupinya asupan
zat gizi (Milman et al., 2005). Stunting atau pendek merupakan kegagalan
pertumbuhan linier dengan defisit dalam panjang badan menurut umur <
-2 z-skor berdasarkan baku rujukan pertumbuhan World Health
Organization (WHO, 2006). Prevalensi stunting pada bayi dan anak-anak
masih cukup tinggi sebagai akibat asupan gizi yang tidak adekuat
(Administrative Committee on Coordination/Sub-Committee on Nutrition
[ACC/SCN], 2000).
Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam
besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu,
yang bisa diukur dengan berat dan ukuran panjang. Somatotropin atau
growth hormon (hormon pertumbuhan) merupakan pengatur utama pada
pertumbuhan somatis terutama pertumbuhan kerangka. Pertambahan
tinggi badan sangat dipengaruhi hormon ini. Growth hormon merangsang
terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan.
Hormon tiroid mempunyai fungsi pada metabolisme protein, karbohidrat
dan lemak serta maturasi tulang. Tinggi badan merupakan ukuran
antropometri yang penting. Ukuran tinggi badan pada masa pertumbuhan
meningkat terus sampai tinggi maksimal tercapai. Kenaikan tinggi badan
ini berfluktuasi, meningkat pesat pada masa bayi, kemudian melambat dan
menjadi pesat kembali, selanjutnya melambat lagi dan akhirnya berhenti
pada umur 18-20 tahun (Soetjiningsih, 1995).
Setahun sesudah kelahiran, bayi normal akan bertambah berat
badannya sebanyak tiga kali lipat dan panjang badannya bertambah
14
15
sebanyak 50%. Jadi bila berat badan bayi waktu lahir sebesar 3 kg, setelah
setahun akan meningkat menjadi 9 kg dan panjang badan lahir bayi
sebesar 50 cm akan meningkat menjadi 75 cm. Selama satu tahun pertama
ini, makanan bayi dan zat gizi yang dikandungnya mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan fisik serta psikososialnya. Enam bulan
pertama kehidupan merupakan masa yang kritis untuk pertumbuhan otak
yang dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik secara keseluruhan.
Pertumbuhan paling cepat dalam kehidupan terjadi selama empat bulan
pertama sesudah dilahirkan. Masa empat bulan hingga delapan bulan
berikutnya merupakan masa transisi ke pola pertumbuhan yang lebih
lambat dan pada usia delapan bulan pola tumbuh bayi sama dengan usia
dua tahun. Penilaian pola tumbuh fisik merupakan cara utama untuk
menetapkan status gizi bayi (Almatsier et al., 2011).
Secara umum ada dua faktor yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan bayi yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor
genetik merupakan modal dasar dalam mencapai akhir proses
pertumbuhan bayi. Faktor lingkungan sangat menentukan tercapai atau
tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan
memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik
akan menghambatnya. Faktor lingkungan terdiri dari faktor lingkungan
yang mempengaruhi bayi pada waktu masih dalam kandungan (prenatal)
dan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir (postnatal).
Faktor prenatal antara lain gizi ibu pada waktu hamil, infeksi penyakit dan
hormon. Status gizi ibu yang kurang sebelum hamil maupun saat hamil
lebih sering menghasilkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Faktor postnatal antara lain jenis kelamin, umur, gizi, infeksi penyakit,
hormon dan sanitasi lingkungan (Soetjiningsih, 1995).
Stunting adalah sebuah proses yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak dari tahap awal konsepsi sampai tahun ketiga atau
keempat kehidupan, dimana gizi ibu dan anak merupakan penentu penting
pertumbuhan. Kegagalan memenuhi persyaratan mikronutrien, lingkungan
15
16
16
17
17
18
pertumbuhan pada waktu anak berumur 2-7 tahun. Episode diare 9 kali
sebelum berumur 2 tahun berhubungan dengan berkurangnya 3,6 cm
tinggi badan pada saat anak berumur 7 tahun. Alam et al (2000)
melakukan penelitian di Bangladesh mengenai hubungan antara tipe diare
dengan pertumbuhan anak umur di bawah 5 tahun. Penelitian dilakukan
selama 1 tahun 3 bulan periode pertumbuhan pada 584 anak. Setiap tiga
bulan pertumbuhan dianalisa berdasarkan tipe diarenya berupa bukan
diare, diare bukan disentri, dan disentri. Hasil penelitian menunjukkan ada
perbedaan penambahan tinggi badan. Pada kelompok bukan diare
penambahan tinggi badan 6,51 cm, kelompok diare bukan disentri 5,87 cm
dan pada kelompok disentri 5,27 cm.
Penelitian Schmidt et al., (2002) menunjukkan bahwa tinggi badan
ibu dan berat bayi lahir adalah penyebab penting pada peningkatan
panjang bayi pada tahun pertama kehidupan dan hubungannya bermakna
dengan panjang badan pada usia 12 bulan. Penelitian Avianti (2006)
menunjukkan kejadian anak tinggi badan pendek di kabupaten Purworejo
dipengaruhi tinggi badan ibu yang pendek. Jahari (2012) dalam
penelitiannya menyatakan median tinggi badan normal orang Indonesia
untuk laki-laki adalah 155 cm dan perempuan 150 cm.
Penelitian Kusharisupeni (1997) menunjukkan bayi dengan berat
lahir normal (≥ 2500 gram) merupakan prediktor terbaik untuk panjang
badan baik pada umur 6 bulan maupun umur 12 bulan. Penelitian Hayati
et.al (2012) menyatakan risiko stunting anak dengan berat bayi lahir
rendah (< 2500 gram) adalah 1,81 kali lebih tinggi dibanding anak lahir
dengan berat normal (≥ 2500 gram).
Penelitian Arifin et al (2012) di Purwakarta menunjukkan balita
dengan berat badan lahir rendah mempunyai risiko 2,3 kali lebih besar
mengalami stunting dibandingkan balita dengan berat badan lahir rendah.
Balita dengan riwayat penyakit infeksi mempunyai risiko 2,2 kali lebih
besar mengalami stunting dibandingkan balita yang tidak mempunyai
riwayat penyakit infeksi.
18
19
3. ASI Eksklusif
a. Pengertian ASI Eksklusif
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak
dilahirkan selama 6 (enam bulan), tanpa menambahkan dan atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain (PP No 33 Tahun 2012
tentang Pemberian ASI Eksklusif). ASI merupakan makanan terbaik untuk
bayi. Tidak ada satu makanan pun yang dapat menggantikannya. ASI
hendaknya merupakan makanan satu-satunya untuk bayi hingga umur 6
bulan (ASI eksklusif). Zat gizi ASI selama periode itu cukup memenuhi
kebutuhan bayi, termasuk kandungan zat anti kekebalan yang dibutuhkan
bayi. Bayi pada periode 0 – 6 bulan belum mampu memproduksi enzim-
enzim yang diperlukan untuk mencerna makanan kecuali ASI (Almatsier
et al., 2011).
19
20
20
21
21
22
bayi dari penyakit infeksi. Efek perlindungan tersebut lebih besar pada
enam bulan pertama umur bayi.
Air Susu Ibu merupakan larutan kompleks yang mengandung
karbohidrat, protein, lemak, dan berbagai macam mineral dan vitamin.
Tabel 2. Komposisi Gizi ASI (per liter)
Zat Gizi Jumlah Zat Gizi Jumlah
Energi (Kkal) 680,00 Kalsium (mg) 280,00
Protein (g) 10,50 Fosfor (mg) 140,00
Lemak (g) 39,00 Natrium (mg) 180,00
Laktosa (g) 72,00 Kalium (mg) 525,00
Vitamin A (RE) 670,00 Klor (mg) 420,00
Vitamin D (µg) 0,55 Magnesium (mg) 35,00
Vitamin E (mg) 2,30 Besi (mg) 0,30
Vitamin K (µg) 2,10 Yodium (µg) 110,00
Tiamin (mg) 0,21 Mangan (µg) 6,00
Riboflavin (mg) 0,35 Kuprum (mg) 0,25
Niasin (mg) 1,50 Seng (mg) 1,20
Piridoksin (µg) 93,00 Selenium (µg) 20,00
Asam folat (µg) 85,00 Flour (mg) 16,00
Kobalamin (µg) 0,97 Krom (µg) 50,00
Asam askorbat (mg) 40,00
Sumber : Almatsier et al (2011)
1). Karbohidrat
Karbohidrat utama ASI adalah laktosa, suatu disakarida yang
mengandung glukosa dan galaktosa. Karbohidrat berfungsi sebagai
sumber energi. Kecukupan energi untuk bayi berumur 0-6 bulan adalah
550 kkal/hari. Komposisi energi dalam ASI sebanyak 46% dihasilkan
oleh karbohidrat, 48% lemak dan 6% protein, berbeda untuk susu sapi
yang komposisinya 30% karbohidrat, 50% lemak dan 20% protein.
Kandungan laktosa ASI adalah 7% lebih tinggi dibanding susu sapi yaitu
4,8%. Laktosa dalam ASI menguntungkan untuk pencernaan bayi
dibandingkan jika diberikan formula susu sapi. Laktosa pada ASI relatif
tidak larut, sehingga dicerna dan diabsorpsi secara perlahan dalam usus
halus. Laktosa di dalam perut bayi merangsang pertumbuhan
mikroorganisme yang memproduksi asam-asam organik dan mensintesis
berbagai jenis vitamin B. Suasana asam yang terjadi membatasi
22
23
23
24
24
25
25
26
26
27
27
28
28
29
8) Makrofag
Kolustrum dan ASI mengandung makrofag berupa fagosit-fagosit
besar yang dapat memproduksi laktoferin, lisozim dan faktor-faktor lain.
Makrofag mempunyai fungsi melindungi, baik dalam laktea payudara
maupun dalam tubuh bayi (Almatsier et al., 2011).
Menurut Almatsier et al (2011) ASI merupakan makanan paling baik
bagi bayi dan dianjurkan memberikannya secara eksklusif selama enam bulan
pertama. Bila produksi ASI tidak ada atau tidak mencukupi dapat digantikan
atau ditambah dengan susu formula yang berbahan baku susu sapi. Bayi yang
tidak tahan susu sapi dapat diberikan formula berbahan baku kacang kedelai
atau formula khusus lainnya. UNICEF, WHO dan Ikatan Dokter Anak
Indonesia pada tahun 2005 telah mengeluarkan pernyataan bersama bahwa
susu formula hanya boleh diberikan pada keadaan sangat terbatas, antara lain:
1) Telah dilakukan penilaian terhadap status menyusui dari ibu dan
relaktasi tidak memungkinkan.
2) Diberikan hanya kepada anak yang tidak dapat menyusui, misalnya
anak piatu.
3) Diusahakan agar pemberian susu formula dibawah pengawasan dan
monitoring yang ketat oleh tenaga kesehatan terlatih.
4) Ibu dan pengasuh bayi perlu diberikan informasi yang memadai dan
konseling tentang cara penyajian susu formula yang aman dan praktik
pemberian makanan bayi yang tepat.
5) Hanya susu formula yang memenuhi standar Codex Alimentarius yang
bisa diterima.
6) Susu kental manis dan susu cair tidak boleh diberikan kepada kepada
bayi berumur kurang dari 12 bulan.
7) Susu formula hendaknya mempunyai label dengan petunjuk yang jelas
tentang cara penyajian, masa kadaluarsa minimal satu tahun dalam
bahasa yang dimengerti ibu, pengasuh atau keluarga.
8) Botol dan dot tidak dianjurkan untuk digunakan. Pemberian susu
formula hendaknya menggunakan cangkir dan gelas.
29
30
9) Gelas, cangkir dan alat-alat untuk membuat susu hendaknya bersih dan
menggunakan air bersih.
Bila susu sapi digunakan untuk menggantikan ASI, komposisinya
hendaknya diubah hingga mendekati komposisi ASI. Susu formula diduga
akan tetap berkembang sesuai dengan pengetahuan tentang faktor-faktor anti
alergi, faktor-faktor yang meningkatkan kekebalan dan antigen, faktor-faktor
yang merangsang pertumbuhan dan faktor-faktor yang meningkatkan absorpsi
zat-zat gizi. Pada umumnya kandungan zat gizi susu fomula lebih tinggi dari
ASI karena ketersediaan biologis zat-zat gizi dalam susu formula lebih rendah
(Almatsier et al., 2011).
4. ASI Eksklusif Sebagai Faktor Risiko Terhadap Kejadian Stunting
Panjang badan mencerminkan pola makan dan kesehatan seseorang
pada masa kanak-kanak yang sangat berhubungan dengan pola pemberian
makan saat bayi. Selama masa bayi dan kanak-kanak, pertumbuhan tungkai
bawah lebih cepat dibanding bagian tubuh yang lain. Jarak antara lutut dan
tumit dapat diekspresikan sebagai persentase total penambahan panjang badan
terhadap umur yaitu 25% saat lahir, 27% saat umur 12 bulan dan 31% pada
masa dewasa (Sekartini dan Tikoalu, 2009). Penelitian kohort Bayd-Orr
mempelajari dampak jangka panjang dari pemberian ASI pada masa bayi
terhadap panjang badan pada masa kanak-kanak dan dewasa, memperlihatkan
anak yang mendapat ASI pada masa bayinya secara bermakna lebih tinggi
dibanding mereka yang mendapatkan susu formula (Martin et al., 2002).
Menurut penelitian Rahayu, pada subjek yang awalnya stunting dan
tidak diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan akan memiliki risiko 3,7 kali
untuk tetap stunting. Pengaruh ASI eksklusif terhadap perubahan status
stunting kemungkinan disebabkan karena fungsi ASI sebagai anti infeksi.
Kurangnya ASI dan pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu cepat
dapat meningkatkan risiko stunting pada periode pasca kelahiran awal
(Rahayu, 2011).
Pemberian ASI dan pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu
dini juga berhubungan dengan kejadian stunting. Durasi menyusui positif
30
31
31
32
B. Kerangka Teori
32
33
C. Kerangka Konsep
- Pendidikan ayah
- Pendidikan ibu
- Pekerjaan ibu ASI eksklusif
Penyakit infeksi
: variabel independen
: variabel dependen
: variabel luar
D. Hipotesis Penelitian
33
34
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Dan Rancangan Penelitian
ASI eksklusif
tidak stunting
ASI eksklusif Anak usia 6-24
bulan di Kota
ASI eksklusif Yogyakarta
tidak stunting
tidak
ASI eksklusif
Ditelusur
retrospektif
34
35
C. Subyek Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak berusia 6 – 24 bulan di Kota
Yogyakarta.
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah seluruh anak berusia 6-24 bulan yang tercatat
pada register balita di posyandu pada 3 wilayah kecamatan (Tegalrejo,
Umbulharjo, Kotagede) serta orangtuanya bertempat tinggal di lokasi
penelitian, dengan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kelompok Kasus
Kriteria inklusi:
a. Anak mengalami stunting.
b. Anak kandung responden.
c. Bila keluarga memiliki lebih dari satu anak, maka sampel yang diambil
adalah anak yang paling muda.
35
36
Keterangan:
OR = 2,02 (Wahdah, 2012)
P1 (proporsi yang tidak ASI eksklusif pada kelompok stunting) = 0,534
(Wahdah, 2012)
P2 (proporsi yang tidak ASI eksklusif pada kelompok tidak stunting)
P2 = P1 = 0,36
OR(1-P1)+P1
α = level signifikan (0,05) = 1,960
Power (1- β) 80 % = 0,842
36
37
37
38
38
39
1. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini meliputi:
a. Kuesioner terstruktur untuk mengetahui karakteristik keluarga subyek
penelitian.
b. Kuesioner terstruktur untuk menanyakan tentang pemberian ASI eksklusif
dan penyakit infeksi.
39
40
c. Alat pengukur panjang badan (lengthboard) digunakan bagi anak <2 tahun
dengan ketelitian 0,1 cm dan microtoise untuk mengukur tinggi badan
orang tua.
2. Cara Pengumpulan Data
Peneliti dalam pengambilan data dibantu oleh enumerator dengan latar
belakang pendidikan gizi. Untuk mendapatkan data yang valid, maka sebelum
dilakukan pengumpulan data, peneliti melakukan pelatihan terlebih dahulu
untuk persamaan persepsi dalam pengukuran dan pengisian kuesioner. Data
yang dikumpulkan meliputi:
a. Data primer
1) Data status stunting anak diperoleh dari pengukuran langsung dengan
alat lengthboard dan mengacu/membandingkan dengan standar World
Health Organization (WHO, 2006) untuk panjang badan anak dengan
indeks panjang badan menurut umur.
2) Hasil pengukuran tinggi badan orangtua secara langsung dengan alat
microtoice dibandingkan dengan rata-rata tinggi badan normal orang
dewasa Indonesia.
3) Data karakteristik keluarga/rumah tangga (nama, usia, pendidikan
orangtua, pekerjaan ibu) dikumpulkan menggunakan kuesioner
terstruktur yang ditanyakan kepada ibu subyek penelitian oleh
enumerator.
4) Data karakteristik anak meliputi usia, jenis kelamin dan berat badan
lahir. Dikumpulkan dengan cara wawancara kepada ibu anak
menggunakan kuesioner.
5) Data riwayat pemberian ASI eksklusif dan penyakit infeksi diperoleh
melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner.
b. Data sekunder
1) Data jumlah balita usia dibawah dua tahun yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kota Yogyakarta.
2) Data hasil pemantauan status gizi tahun 2012 yang diperoleh dari
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
40
41
H. Etika Penelitian
41
42
I. Keterbatasan Penelitian
1. Kelemahan Penelitian
a. Jarak waktu antara wawancara dengan riwayat pemberian ASI eksklusif
yang cukup lama:
- 0 – 5 bulan: 63 anak
- 6 – 11 bulan: 75 anak
- 12 – 17 bulan: 91 anak
- 18 bulan: 13 anak
Jarak waktu ini bisa menyebabkan bias recall karena sangat bergantung
dengan daya ingat responden.
b. Riwayat penyakit infeksi anak yang ditanyakan kepada responden adalah
selama 6 bulan terakhir. Hal ini bisa menyebabkan bias recall karena
sangat bergantung dengan daya ingat responden.
2. Kesulitan Penelitian
a. Pengaturan waktu wawancara dengan ibu responden, dikarenakan ada
beberapa ibu yang bekerja paruh waktu/shift, sehingga wawancara
dilakukan pada sore/malam hari.
b. Status ayah responden yang semua bekerja (bekerja di luar rumah),
sehingga tidak berada di rumah dan hal tersebut membuat pengukuran
tinggi badan ayah tidak bisa dilakukan secara bersamaan untuk satu
keluarga.
42
43
J. Jalannya Penelitian
1. Tahap persiapan
a. Melakukan studi literatur melalui review kepustakaan dan studi jurnal
penelitian yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
b. Melakukan studi pendahuluan ke Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
dengan melakukan pengumpulan data sekunder pra penelitian.
c. Mendapatkan bimbingan dari pembimbing dalam penyempurnaan proposal
penelitian.
d. Mempersiapkan surat ijin penelitian dari lembaga pendidikan kepada
Walikota Yogyakarta.
e. Mengajukan etichal clearance dan mendapatkan ethical clearance
terhitung mulai tanggal 15 Maret 2013.
f. Mengadakan pertemuan dengan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
khususnya pengelola gizi (kepala seksi gizi, petugas gizi Kota Yogyakarta
dan petugas gizi puskesmas).
g. Melakukan perekrutan tenaga pengumpul data (enumerator) dengan latar
belakang pendidikan gizi.
h. Mempersiapkan instrumen yang akan digunakan dalam penelitian meliputi
kuesioner, lengthboard dan microtoice.
i. Melakukan uji coba kuesioner pada 30 responden. Untuk mengetahui
vaiditas kuesioner dilakukan dengan membandingkan antara hasil r hitung
dan r tabel. Menentukan nilai r tabel dengan menggunakan tabel koefisien
korelasi sederhana dengan melihat df=n-2=30-2=28, pada tingkat
kepercayaan 5% didapat r tabel= 0,361. Hasil uji menunjukkan bahwa item
pertanyaan menunjukkan hasil yang valid (item rest correlation> 0,361).
43
44
44
45
45
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
46
47
47
48
48
49
5. Analisis Multivariat
Tabel 9. Analisis multivariat hubungan ASI eksklusif dan variabel luar
dengan kejadian stunting
Variabel p OR IK (95%)
ASI eksklusif 0,49 1,23 0,68 – 2,24
Usia Anak 0,00* 2,64 1,39 – 5,00
Berat Bayi Lahir 0,00* 5,36 2,12 – 13,54
Tinggi Badan Ibu 0,03* 2,18 1,09 – 4,35
Status Menyusu 0,02* 2,20 1,11 – 4,35
R² (%) 13,10
N 242
Keterangan : * = sigifikan p < 0,05
49
50
B. Pembahasan
50
51
500-800 ml/hari. Zat gizi ASI yang mendukung pertumbuhan bayi adalah
karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Karbohidrat berfungsi
sebagai sumber energi. Karbohidrat utama ASI adalah laktosa yang diantaranya
berfungsi meningkatkan absorpsi kalsium, fosfor dan magnesium. ASI
mengandung sedikit glukosa dan galaktosa serta berbagai jenis karbohidrat
rantai sedang yang dinamakan oligosakarida. Walaupun terdapat dalam jumlah
kecil, beberapa jenis karbohidrat ini bersifat melindungi bayi (Almatsier et al.,
2011). Oligosakarida berfungsi melindungi bayi dari mikrobia dan virus
(Riordan dan Wambach, 2009).
Protein ASI relatif lebih rendah dibandingkan dengan susu formula, tetapi
lebih seimbang dengan kebutuhan bayi dan lebih mudah dicerna bayi.
(Soekirman et al., 2010). Protein dalam ASI lebih banyak mengandung protein
whey yang lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan protein susu sapi
lebih banyak mengandung casein yang lebih sulit dicerna usus bayi. Jumlah
protein casein dalam ASI hanya 30% sedangkan dalam susu sapi 80%
(Hendarto dan Pringgadini, 2009). Rasio protein whey dibandingkan dengan
casein dalam ASI adalah 90:10 dalam awal menyusu, 60:40 dalam mature milk
(ASI matang) dan 50:50 dalam masa akhir menyusu (Riordan dan Wambach,
2009). Bayi membutuhkan protein untuk mensintesis jaringan baru yang
diperlukan untuk pertumbuhan. ASI mengandung protein Immunoglobulin
yang berfungsi sebagai antibodi. Immunoglobuin ASI merupakan faktor daya
tahan utama terhadap mikroorganisme dan virus saluran cerna. Lemak
merupakan penghasil energi yang paling tinggi konsentrasinya. Bayi yang
mendapat ASI eksklusif akan memperoleh 50% energi dari lemak. Energi dari
lemak ini akan menghemat protein agar digunakan untuk mensintesis jaringan
(Almatsier et al., 2011).
Mineral utama dalam ASI adalah kalsium, diantaranya berfungsi dalam
pertumbuhan jaringan otot dan rangka/tulang. Kalsium dalam ASI tingkat
penyerapannya lebih besar dibandingkan susu sapi. Penyerapan kalsium
dipengaruhi oleh kadar fosfor, magnesium, vitamin D dan lemak (Hendarto dan
Pringgadani, 2009). Kalsium dan mineral lain memberi kekuatan dan bentuk
51
52
pada tulang. Kalsium dalam tulang mempunyai fungsi sebagai bagian integral
dari struktur tulang dan sebagai tempat untuk menyimpan kalsium. Selama
pertumbuhan, proses kalsifikasi berlangsung terus dengan cepat sehingga pada
saat anak siap untuk berjalan tulang belulang dapat menyangga berat tubuh.
Kekurangan kalsium dalam jangka panjang menyebabkan struktur tulang yang
tidak sempurna dan gangguan pertumbuhan (Almatsier, 2004). Oleh karena itu
selama masa pertumbuhan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif akan
menyebabkan pertumbuhan tulangnya kurang. Mineral seng (Zn) dalam ASI
mudah diserap. Seng berperan dalam metabolisme vitamin A dan metabolisme
tulang. Seng berperan dalam reaksi-reaksi yang luas, kekurangan seng akan
berpengaruh terhadap jaringan tubuh terutama saat pertumbuhan (Almatsier et
al., 2011). ASI mengandung zat besi dan yodium. Zat besi berperan dalam
metabolisme energi, pengangkutan oksigen dalam darah dan sistem kekebalan
tubuh. Yodium untuk mengatur pertumbuhan bayi (Almatsier, 2004). ASI juga
mengandung mineral selenium yang dibutuhkan untuk pertumbuhan cepat
(Hendarto dan Pringgadini, 2009).
ASI mengandung vitamin A, yang antara lain berfungsi untuk
memodulasi/menyesuaikan pertumbuhan tulang (Linder, 2010). Kekurangan
vitamin A menyebabkan pertumbuhan terhambat dan bentuk tulang tidak
normal. Anak-anak yang kekurangan vitamin A akan mengalami kegagalan
pertumbuhan. ASI juga mengandung vitamin D, yang fungsi utamanya adalah
pembentukan dan pemeliharaan tulang. Fungsi khusus vitamin D adalah
membantu pengerasan tulang dengan cara mengatur agar kalsium dan fosfor
tersedia di dalam darah untuk diendapkan pada proses pengerasan tulang
(Almatsier, 2004).
ASI juga mengandung faktor daya tahan yang penting untuk memelihara
kesehatan bayi, antara lain Laktobasilus bifidus dan Immunoglobulin.
Laktobasilus bifidus melindungi bayi dari organisme patogen di saluran cerna.
Immunoglobulin dalam ASI ada berbagai jenis seperti IgA, IgG, IgD dan IgE.
IgA merupakan immunoglobulin utama dalam ASI. Immunoglobulin ASI
merupakan faktor daya tahan utama tehadap mikroorganisme dan virus-virus di
52
53
saluran cerna (Almatsier et al., 2011). Faktor daya tahan ini akan melindungi
bayi dari penyakit. Menurut UNICEF (1998) faktor langsung yang
mempengaruhi status gizi adalah asupan makanan dan penyakit. Bayi yang
mendapatkan ASI eksklusif akan memperoleh asupan zat gizi yang cukup dan
faktor daya tahan tubuh terhadap penyakit. Hal ini memungkinkan bayi untuk
mencapai status gizi yang baik.
Produk status gizi adalah pertumbuhan, yang dapat memberikan gambaran
keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi anak. Pertumbuhan anak
dapat diukur dengan mengukur panjang badan atau tinggi badan. Jika tidak
seimbang, anak akan mengalami gangguan pertumbuhan linier pada panjang
atau tinggi badan yang berlangsung pada kurun waktu yang cukup lama, dari
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Gangguan pertumbuhan linier yang
berlangsung cukup lama menyebabkan anak pendek menurut umurnya (Jahari,
2002). Pemberian ASI kepada bayi memberikan kontribusi pada status gizi dan
kesehatan bayi. Semua zat gizi yang dibutuhkan bayi pada enam bulan pertama
kehidupannya dapat dipenuhi dari ASI yang juga mengandung zat imunitas
yang melindungi bayi dari penyakit infeksi. Efek perlindungan tersebut lebih
besar pada enam bulan pertama umur bayi (WHO, 2001). Anak yang
mendapatkan ASI eksklusif akan memperoleh asupan zat gizi sesuai dengan
kebutuhannya dan mendapatkan faktor daya tahan tubuh terhadap penyakit,
sehingga anak akan baik pertumbuhannya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kramer et al (2003) yang
menyatakan bahwa anak yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan
panjang badannya lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang diberi ASI
eksklusif hanya 3 bulan. Menurut Onayade et al (2004) ASI eksklusif selama 6
bulan mendukung pertumbuhan bayi dalam 6 bulan pertama kehidupan dan
panjang badannya bertambah dengan cukup. Penelitian Avianti (2006)
menunjukkan risiko pendek pada anak yang tidak diberi ASI eksklusif sebesar
1,98 kali lebih tinggi dibandingkan anak yang diberi ASI eksklusif. Penelitian
Syarif (2008) juga menunjukkan proporsi anak yang tidak mendapat ASI
53
54
54
55
teh dan air selain ASI pada usia satu hari memiliki kemungkinan berhenti
menyusu sebelum usia 3 bulan dua kali lebih besar dibandingkan dengan bayi-
bayi yang mendapat ASI eksklusif, disamping itu pemberian cairan selain ASI
pada bayi dibawah 6 bulan juga akan meningkatkan risiko diare.
Penelitian ini juga menunjukkan sebagian besar anak mendapatkan
kolustrum. Selama beberapa hari sesudah melahirkan kelenjar payudara
mengeluarkan sedikit cairan agak kental berwarna kekuningan yang dinamakan
kolostrum. Warna kekuningan dari kolustrum disebabkan kandungan karoten
yang lebih tinggi. Kolostrum mengandung zat antibodi yang berasal dari ibu,
berperan penting dalam sistem imun bayi (Almatsier et al., 2011).
Prevalensi anak yang mendapat ASI eksklusif yang tidak mengalami
stunting sebesar 46,28% dan sebagian besar (98,2%) masih menyusu ASI.
Pemberian ASI eksklusif yang kemudian masih dilanjutkan dengan menyusu
ASI menunjukkan anak mendapatkan asupan gizi seimbang yang mendukung
pertumbuhan anak sehingga tidak mengalami stunting. Prevalensi anak yang
tidak mendapatkan ASI eksklusif tetapi tidak mengalami stunting sebesar
53,72% yang masih menyusu ASI sebesar 70,77% dan 80% mendapatkan
tambahan susu formula. Hal ini menunjukkan meskipun anak tidak
mendapatkan ASI eksklusif tetapi sebagian besarnya masih dilanjutkan dengan
menyusu ASI dan mendapatkan tambahan susu formula sehingga anak
mendapatkan asupan gizi seimbang yang mendukung pertumbuhan dan tidak
mengalami stunting. Namun demikian, peran ASI tidak bisa digantikan begitu
saja dengan susu formula karena zat gizi ASI lebih baik dibandingkan susu
formula. Sesuai dengan rekomendasi UNICEF, WHO dan Ikatan Dokter Anak
Indonesia pemberian susu formula hanya boleh diberikan dalam keadaan
terbatas, komposisinya mendekati ASI, diusahakan dibawah pengawasan
tenaga kesehatan terlatih dan pemberiannya aman sesuai dengan petunjuk
(Almatsier et al., 2011) sehingga anak cukup seimbang dalam mendapatkan zat
gizinya.
Prevalensi anak yang diberikan ASI eksklusif sebanyak 33,06%
mengalami stunting sedangkan anak yang tidak diberikan ASI eksklusif lebih
55
56
banyak (66,94%) yang mengalami stunting. Hal ini menunjukkan anak yang
diberikan ASI eksklusif lebih baik pertumbuhannya dibandingkan yang tidak
eksklusif.
56
57
57
58
58
59
3. Analisis Multivariat
Hasil analisis multivariat setelah mengontrol variabel usia anak,
berat bayi lahir, tinggi badan ibu dan status menyusu, menunjukkan hubungan
ASI eksklusif dengan kejadian stunting menjadi tidak bermakna (p=0,49;
OR=1,23; R²= 13,10%). Risiko kejadian stunting pada anak usia 6-24 bulan
akan meningkat sebesar 23% pada anak yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif. Hal ini menunjukkan anak yang diberikan ASI eksklusif lebih baik
pertumbuhan panjang badannya dibandingkan anak yang tidak diberikan ASI
eksklusif. Nilai R² menunjukkan anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
memprediksi kejadian stunting sebesar 13,10% sedangkan sisanya disebabkan
karena faktor-faktor yang lain.
Penelitian ini menunjukkan faktor dominan yang menyebabkan
stunting adalah usia anak, berat bayi lahir, tinggi badan ibu dan status
menyusu. Usia anak 13-24 bulan berisiko 2,64 kali lebih besar mengalami
stunting dibandingkan anak usia 6-12 bulan, hal ini sejalan dengan penelitian
Adair dan Guilkey (1997) dan Hayati et al (2012). Menurut Soetjiningsih
(1995) kenaikan tinggi badan meningkat pesat pada masa bayi. Anak dengan
berat lahir rendah (< 2500 gram) berisiko 5,36 kali lebih besar mengalami
stunting dibandingkan anak dengan berat lahir normal (≥ 2500 gram). Anak
yang ibunya pendek (tinggi badan < 150 cm) berisiko 2,18 kali mengalami
stunting dibandingkan anak yang ibunya dengan tinggi badan normal (≥ 150
cm) ini sejalan dengan penelitian Schmidt et al (2002). Menurut Soetjiningsih
(1995) status gizi ibu yang kurang sebelum hamil dan saat hamil lebih sering
menghasilkan bayi dengan berat lahir rendah. Anak yang sudah disapih 2,20
kali mengalami stunting dibandingkan anak yang masih disusui dengan ASI.
Penelitian di Filipina juga menunjukkan penyebab stunting pada anak-anak
adalah karena berat lahir rendah, tidak cukup menyusui dan nutrisi yang tidak
memadai (UNICEF, 1998).
59
60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Risiko kejadian stunting pada anak usia 6 – 24 bulan akan meningkat sebesar
74% pada anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, tetapi risiko ini
menjadi tidak bermakna setelah dilakukan kontrol terhadap variabel usia
anak, berat bayi lahir, tinggi badan ibu dan status menyusu.
B. Saran
1. Stunting bisa dicegah dengan pemberian ASI sampai anak usia dua tahun
serta mencegah berat bayi lahir rendah melalui pemberian asupan gizi
yang seimbang untuk ibu sebelum dan saat hamil.
2. ASI tetap merupakan makanan terbaik untuk bayi, tetapi jika anak tidak
bisa mendapatkan ASI maka boleh diberikan susu formula yang dalam
praktik pemberiannya harus sesuai petunjuk dan pengawasan tenaga
kesehatan terlatih.
3. Bagi peneliti lain disarankan melakukan penelitian dengan rancangan
kohort prospektif untuk meneliti hubungan ASI eksklusif dengan kejadian
stunting.
60
61
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M., Wirdjatmadi, B., (2012) Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan.
Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Afifah, D.N. (2007) Faktor yang berperan dalam kegagalan praktek pemberian
ASI eksklusif. Studi kualitatif di kecamatan Tembalang Kota Semarang.
Alam, D.S., Marks, G.C., Baqui, A.H., Yunus, M., Fuchs, G.J., (2000) Association
between clinical type of diarrhoea and growth of children under 5 years in
rural Bangladesh. International Journal Epidemiology 2000, 29:916-921.
Almatsier, S.,(2004) Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Almatsier, S., Soetarjo, S., Soekarti, M. (2011) Gizi seimbang dalam daur
kehidupan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Arifin, D.Z., Irdasari, S.Y., Sukandar, H. (2012) Analisis sebaran dan faktor risiko
stunting pada balita di Kabupaten Purwakarta. Epidemiologi Komunitas
FKUP Bandung.
61
62
Gibson, R.S. (2005) Principles of Nutritional Assesment 2th ed. Oxford University
Press. New York.
Hayati, A.W, Hardinsyah, Jalal, F., Madanijah, S., Briawan, D. (2012) Determinan
Stunting Anak Baduta. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi X-LIPI.
Jakarta.
Hendarto, A., Pringgadani, K. (2009) Nilai Nutrisi Air Susu Ibu . Tersedia dalam
www.idai.or.id/asi/artikel.asp?q=20099815410.
Irawati, A.,Achadi, E.L., Jahari, A.B., Berat dan Panjang Bayi Serta Nilai Z Skor
Bayi dengan ASI Predominan dan Parsial Berdasarkan Standar WHO 2005
dan NCHS/WHO. Gizi Indonesia 31(1):60-73
Julia, M., Adoption of the WHO Child Growth Standars to Ckassify Indonesian
Chlidren under 2 years of age according to nutrition status: Stronger
Indication for Nitriitional Intervenstion. Food and Nutrition Bulletin Vol.
3,2009
Jahari, A.B. (2002) Penilaian status gizi dengan antropometri (berat badan dan
tinggi badan). Prosiding konggres nasional Persagi dan temu ilmiah XII.
Jakarta.
Jahari, A.B. (2012) Median berat badan dan tinggi badan normal orang
Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2007 dan 2010. Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi X-LIPI. Jakarta.
Jahari, A.B., Husiani, J.K. (2008) Kurva Pertumbuhan Anak Sehat Usia 3 – 18
Bulan Dari Keluarga Ekonomi Menengah ke Atas: Bagaimana Posisinya
Terhadap Standar Antropomentri WHO 2005). Gizi Indonesia 31(1):1-8.
Kementrian Kesehatan RI Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Direktorat Bina Gizi (2011) Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status
gizi anak. Jakarta.
62
63
Kramer, M.S., Guo,T., Platt, R.W., Sevkovskaya, Z., Dzikovich, I., Collet, J.F.,
Shapiro, S., Chalmers, B., Hodnett, E., Valinovich, I., Mezen, I., Ducruet,
T., Shishko, G., & Bogdanovich, N. (2003) Infant growth and health
outcomes associated with 3 compared with 6 mo of exclusive
breastfeeding. Am J Clin Nutr, 78:291-295.
Lemeshow, S., Hosmer Jr, D.W., Klar, J., Lwanga, S.K. (1997) Besar sampel
dalam penelitian kesehatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Martin, R.M, Smith, G.D, Frankel, S., Gunnel, D.(2002) Association between
breast feeding and growth: the Boyd-Orr cohort study. Arch Dis Child
Fetal Neonatal Ed; 87 : F193-F201
Milman, A., Fronggilo, E.A., Onis, M.d., & Hwang, J. (2005) Differential
Improvement among countries in child stunting is associated with long-
term development and specific interventions. J. Nutr, 135: 1415-1422.
Moore, S.R., Lima, A.A.M., Conaway, M.R., Schorling, J.B., Soares, A.M.,
Guerrant R.L., (2001). International Journal Epidemiology, 30:1457-1464.
Nasikhah, R., Margawati, A. (2012) Faktor kejadian stunting pada balita usia 24-
36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College,
1(1): 715-730.
Onayade, A.AA., Abiona, T.C., Abavomi, I.O., Makanjuola, R.O. (2004) The first
six month growth an illness of exclusively and non-exclusively breast-fed
infants in Nigeria. East Afr Med J, 81:146-153.
63
64
Ramli, Agho, K.E., Inder, K.J., Bowe, S.J., Jacobs, J., Dibley, M. (2009)
Prevalance and risk factors for stunting and severe stunting among under-
fives in North Maluku province of Indonesia. BMC Pediatrics, 9:64.
Riordan, J., Wambach, K. (2009) Breastfeeding and Human Lactation. Jones and
Bartlett Publishers. Boston.
Sekartini, R., Tikoalu, J.R (2009) Air Susu Ibu dan Tumbuh Kembang Bayi.
Tersedia dalam www.idai.or.id/asi/artikel.asp?q=201033112850.
Soerkirman, Thaha, A.R., Hardiansyah, Hadi, H., Jus’at, I., Achadi, E.L.,
Atmarita. (2010) Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. Gramedia.
Jakarta.
Umeta, M., West, C. E., Verhoef, H., Haidar, J., and Hautvast, G. A. J. (2003)
Factors associated with stunting in infants aged 5–11 months in the
Dodota-Sire District, Rural Ethiopia. J. Nutr, 133: 1064–1069.
UNICEF. (1998) The State of The World’s Children. Oxford University Press.
New York.
64
65
Wahdah, S. (2012) Faktor resiko kejadian stunting pada anak umur 6 – 36 bulan
di wilayah pedalaman Kecamatan Silat Hulu kabupaten Kapuas Hulu
Provinsi Kalimantan Barat. Tesis: Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
65
66
Lampiran 1
KODE FORM :
Inform consent
PENELITIAN
ASI EKSKLUSIF SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING
PADA ANAK UMUR 6 – 24 BULAN DI KOTA YOGYAKARTA
Dengan Hormat,
Dalam rangka menyelesaikan Program Pascasarjana (S2) pada Minat
Utama Gizi dan Kesehatan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, maka dengan ini kami akan melakukan
penelitian tentang : ASI Eksklusif sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting
Pada Anak Umur 6 – 24 Bulan di Kota Yogyakarta, sebagai bahan untuk
menyusun tesis.
Untuk itu, peneliti mengharapkan bantuan ibu untuk dapat memberikan
informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian tersebut dengan
mengisi kuesioner yang telah disediakan oleh peneliti. Informasi atau keterangan
yang akan diberikan nanti akan dijamin kerahasiaannya. Apabila responden
menyetujui, dipersilahkan untuk menandatangani pernyataan untuk menjadi
responden (terlampir).
Demikian atas perhatian dan partisipasi ibu diucapkan terima kasih.
Peneliti,
Fariani Hidayah
66
67
Lampiran 2
PENELITIAN
ASI EKSKLUSIF SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN STUNTING
PADA ANAK UMUR 6 – 24 BULAN DI KOTA YOGYAKARTA
Nama : ...................................................................
Umur : ...................................................................
Alamat : ...................................................................
No. HP : ...................................................................
Bersedia untuk berpartisipasi dan mau menjadi responden atau sampel penelitian
yang akan dilakukan oleh Fariani Hidayah dari minat Gizi dan Kesehatan,
Program Pasca Sarjana, Program Studi S2 ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari
siapapun.
Yogyakarta, 2013
Responden
(.............................................)
67
68
Lampiran 3
NO ID ANAK :
___ ___ ___ ___
1. IDENTITAS ANAK
1. Nama Anak 1.0
68
69
………………………………/….…….
……./………/…………
2. DATA ANTROPOMETRI
17 IMT 17
69
70
7. Lain-lain,
sebutkan_______________________
__
22. Nama Ayah 22.0
70
71
71
72
72