Você está na página 1de 13

BAGIAN 1

ANTROPOLOGI GIZI

Program Studi : Gizi


Mata Kuliah : Antropologi Gizi
Jumlah SKS :2
Pengajar : 1) Dr. Yahya, MA.
2) Sudirman Nasir, S.Ked, MWH, Ph.D
Sasaran Belajar : Setelah mengikuti mata kuliah ini mahasiswa dapat:
1) Memiliki pengetahuan dasar tentang antropologi.
2) Memahami cakupan, konsep-konsep, pendekatan
dan metode penelitian antropologi gizi.
3) Memahami beberapa aspek sosialbudaya yang
berpenagruh bagi status gizi-kesehatan masyarakat.
4) Menggunakan perspektif antropologi dalam menemu-
kenali dan memecahkan masalah-masalah gizi-
kesehatan.
Deskripsi Mata Kuliah: Mata kuliah ini selain menyajikan mengenai orientasi
menculnya antropologi gizi sebagai subdisiplin
antropologi, cakupan, konsep-konsep dan pendekatan
antropologi gizi, juga menelaah aspek sosial budaya
yang berpengaruh bagi status gizi-kesehatan

1.1 Materi Pembelajaran


Dalam bahasan ini diuraikan secara singkat mengenai Antropologi, dan
dilanjutkan dengan membahas mengenai Antropologi Gizi sebagai cabang
antopologi atau subbidang antropologi serta signifikansi antropologi gizi
terhadap pemecahan masalah-masalah gizi-kesehatan masyarakat.
1.2 Sasaran Pembelajaran

1
Setelah mempelajari secara seksama bahasan ini anda dapat:
1. Mengungkapkan kembali definisi dan ruang lingkup kajian antropologi
2. Memahami antropologi gizi sebagai subidang antropologi.
3. Memahami signifikansi perspektif antropologi dalam menemukenali dan
memecahkan masalah-masalah gizi-kesehatan masyarakat.

1.3 Manfaat
Dengan mempelajari materi ini, anda akan memiliki wawasan umum
berkenaan dengan antropologi dan memahami antropologi gizi sebagai sub
bidang antropologi. Selain itu, anda dapat memahami dan menjelaskan
masalah-masalah gizi-kesehatan berdasarkan atas perspektif antropologi
serta dapat memanfaatkan data-data hasil penelitian antropologi untuk
memecahkan masalah-masalah gizi-kesehatan masyarakat.

1.4 Konsep Kunci


 Science, berasal dari Bahasa Latin Scientia yang berarti “pengetahuan”
atau “mengetahui”. Science dalam pengertian sebenarnya ialah ilmu
pengetahuan yang mempelajari berbagai fenomena alam sehingga
rahasia yang dikandungnya dapat diungkap dan dipahami secara benar.
Dalam rangka itu, science melakukannya dengan menggunakan metode
ilmiah.
Science memiliki ciri tersendiri yang membedakannya dengan
pengetahuan yang bukan science. Ciri yang dimaksud:
1) Objek kajiannya berupa benda-benda konkrit yang dapat dicerap oleh
indra, termasuk dengan menggunakan alat bantu, seperti mikroskop.
2) Mengembangkan pengalaman empiris (pemecahan masalah
dilakukan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dapat
dirasakan oleh semua orang (pengalaman nyata).
3) Menggunakan langkah-langkah sistematis.

2
4) Bersifat objektif.
5) Menggunakan cara berfikir logis.
6) Menemukan hukum yang bersifat universal.
 The Humanity barasal dari Bahasa Latin Humanus yang berarti
manusiawi yang memiliki pandangan dunia (world view),
kepercayaan/keyakinan, kehendak, harapan, perasaan dan nilai-nilai.
Dimensi humanities itu unik dan beragam sehingga tidak dapat dipahami
secara memadai dengan hanya menggunakan metode ilmiah, tetapi
perlu pula menggunakan perspektif fenomenologi atau interpretatif dan
lainnya.
 Sosiobudaya (sociocultural) ialah konsep yang mengintegrasikan
secara menunggal antara sistem budaya dan perilaku aktor-aktor dalam
sistem sosial yang menjalankan kegiatan tertentu pada lokasi atau
setting tertentu (lihat Keesing 1989, Pool dan Geissler 2005).

1.5 Apa itu Antropologi?


Sebelum mempelajari antropologi gizi, kita perlu memiliki wawasan
umum terlebih dahulu berkenaan dengan ilmu antropologi itu sendiri. Sebab,
pembahasan mengenai antropologi gizi menggunakan konsep-konsep, teori,
pendekatan dan metode antropologi untuk mendapatkan pemahaman
mengenai pemenuhan kebutuhan manusia akan makanan yang kemudian
berkonsekuensi bagi status gizi-kesehatan.
Antropologi dari Bahasa Yunani Anhtropos (mahluk manusia) dan logos
(ilmu atau discourse). Antropologi berarti ilmu tentang umat manusia. Lalu,
apanya manusia yang dipelajari oleh antropologi? Jawabannya ialah manusia
dengan seluruh dimensi kehidupannya (lihat Ember dan Ember, 1962;
Koentjaraningrat, 1980; Keesing, 1989, Miller 2008). Dalam perkataan lain,
ahli antropologi berupaya menemukan jawaban berkenaan dengan
bermacam-macam pertanyaan tentang umat manusia, diantaranya:

3
1) Kapan, dimana, dan mengapa manusia hadir di permukaan bumi?
2) Apa karakteristik yang bersifat fisikal dan mental yang membuat manusia
berbeda dengan mahluk hidup lainnya?
3) Bagaimana dan mengapa karakteristik fisik dan mental manusia berubah
sejak awal keberadaannya di dunia hingga sekarang?
4) Bagaimana dan mengapa populasi manusia modern berbeda-beda ciri-ciri
fisiknya, seperti bentuk dan ukuran tubuh, warna kulit dan rambut, indeks
tengkorak, dan frekuensi golongan darah?
5) Dalam hal apa semua manusia serupa?
Ahli antropologi juga tertarik untuk menemukan jawaban atas
pertanyaan berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan manusia untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Bagaimana dan mengapa
masyarakat manusia, baik masa lalu maupun masa kini, bervariasi dalam hal
gagasan dan praktik atau perilaku untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai
contoh, di masa lalu kebutuhan untuk berketurunan dipenuhi melalui sistem
perkawinan poliyandri (perempuan memiliki lebih dari seorang suami) dan
karena itu garis keturunan ditentukan melalui garis ibu. Masa kini masih
terdapat kelompok manusia yang mempraktikkan poligami dan kelompok
manusia lainnya mempraktikkan monogami. Dalam hal makanan, sejumlah
orang-orang Manado yang beragama Nasrani mengonsumsi berbagai jenis
binatang, seperti Anjing, kucing, tikus, dan kelelawar; sementara bagi orang
Bugis Makassar, terutama yang beragama Islam, jenis binatang tersebut
tidak dijadikan sebagai bahan makanan. Dan berbagai pertanyaan lainnya
bekerkenaan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat manusia.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa spektrum kajian
antropologi amatlah luas, mulai dari kajian yang mengkhusus pada biologi
dan evolusi manusia sampai pada kajian mengenai kehidupan sosial budaya
manusia kontemporer. Demikian luasnya spektrum kajian antropologi
menyebabkan di dalam disiplin ini berkembang beberapa bidang spesialisasi,

4
atau ilmu-ilmu bagian antropologi. Di Amerika Utara ilmu antropologi dibagi
ke dalam empat bidang spesialisasi, yakni:
1. Antropologi Biologi (Biological Anthropology) atau Antropologi Phisik
(Physical Anthropology).
2. Arkeologi
3. Antrropologi Linguistik
4. Antropologi Sosiobudaya (Sociocultural Anthtropology).
Antropologi biologi merupakan sub bidang antropologi yang
mempelajari manusia (homo sapiens) sebagai sebuah organisma biologis,
terutama mengkaji evolusi biologi spesies manusia sejak kondisinya masih
berupa homo erektus sampai menjadi homo sapiens modern seperti
sekarang ini. Ahli antropologi yang mengkhususkan perhatiannya pada
bidang ini berusaha merekonstruksi kemunculan manusuia di atas bumi ini
dan evolusinya menjadi manusia dengan bentuk tubuh sebagaimana
sekarang ini. Selain itu, ahli antropologi biologi juga mempelajari manusia
guna mendapatkan penjelasan mengenai diversitas ciiri-ciri pisik populasi
manusia masa kini, seperti bentuk dan ukuran tubuh, warna kulit dan rambut,
indeks tengkorak, frekuensi golongan darah dan sebagainya.
Arkeologi secara harfiah berarti studi tentang yang tua (study of the
old), tetapi “yang tua” terbatas pada budaya manusia. Selanjutnya, rentang
waktu dari arkeologi hanya terbatas pada permulaan homo sapiens (sekitar
200,000 tahun yang lalu) atau yang lebih konservatif, pada bukti awal dari
peralatan yang manusia buat (sekitar 100,000 tahun yang lalu). Arkeologi
mencakup dua bidang utama: prehistoric archaeology, yang menaruh
perhatian pada manusia masa lalu sebelum mengenal tradisi tulis, dan
historical archaeology, menaruh perhatian pada manusia masa lampau yang
mempunyai dokumen tertulis.
Antropologi Linguistik merupakan sub bidang antropologi yang
mempelajari tentang komunikasi, terutama (tetapi tidak secara eksklusif) di

5
antara manusia. Antropologi Linguistik mempunyai tiga subbidang, yakni: 1)
historical linguistics mempelajari perubahan bahasa dan bahasa saling
berkaitan; 2) descriptive linguistics atau linguistik struktural mempelajari
bagaimana bahasa kontemporer berbeda berkenaan dengan struktur
formalnya; dan 3) sociolinguistic mempelajari saling hubungan antara variasi
sosial, konteks sosial dan variasi linguistik termasuk komunikasi nonverbal.
Antropologi Sosiobudaya merupakan sub bidang antropologi yang
mengkaji tentang orang-orang kontemporer dan kebudayaan mereka.
Menyangkut tentang apa itu kebudayaan menurut perspektif antropologi
dibahas pada bahasan tiga.
Dari keempat subdisiplin antropologi itu berkembang pula beberapa
subspesialisasi. Khusus untuk antropologi sosiobudaya yang dibahas dalam
uraian ini memiliki beberapa subspesialisasi, di antaranya:
1) Antropologi Politik, mengkaji proses-proses politik dan penggunaan
kekuasaan dalam setting yang berbeda.
2) Antropologi Ekonomi, mengkaji pertukaran dan fenomena ekonomi
lainnya dari perspektif antropologi.
3) Antropologi Religi atau Antropologi Agama, mengkaji religi sebagai suatu
praktik dan pengalaman sosiobudaya.
4) Antropologi Kekerabatan, mengkaji relasi sosial, khususnya dalam
keluarga, dan bagaimana hal itu diproduksi secara budaya.
5) Antropologi Kesehatan, mengkaji aspek-aspek sosial dan budaya
berkenaan dengan sehat dan sakit.
6) Antropologi Gizi mengkaji tentang aspek psiko-sosialbudaya yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan makanan dan gizi. Bagian ini
dibahas pada uraian berikut.
Kecuali itu, apabila dilihat dari orientasi penelitian yang dilakukan oleh
ahli antropologi, maka antropologi dapat dikelompokkan ke dalam dua
dimensi, yakni teoritis dan terapan.

6
Dimensi teoritis antropologi ialah penelitian-penelitian yang dilakukan
oleh ilmuwan Antropologi atau ilmuwan lainnya dengan menggunakan
pendekatan antropologi untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif
dan mendalam mengenai aspek tertentu dari kehidupan manusia untuk
mengembangkan teori tanpa berorientasi bagi kepentingan praktis.
Sedangkan dimensi terapan antropologi ialah penggunaan metode dan data-
data hasil penelitian antropologi untuk menemukenali dan memecahkan
masalah-masalah tertentu guna meningkatkan kualitas hidup umat manusia.
Antropologi bukanlah disiplin monolitik sebagaimana disiplin ilmu
lainnya, melainkan terdapat ahli antropologi yang lebih berorientasi
humaniora (humanities), ada yang berorientasi scientific, dan ada pula yang
mengombinasikan antara scientific dan humaniora.
Ahli antropologi yang berorientasi humanities di antaranya Clifford
Geertz. Menurut Geertz (1973) “Anthropology is not an experimental science
in search of law but an interpretative one in search of meaning” (Antropologi
bukanlah ilmu eksperimental untuk menemukan hukum melainkan
interpretasi untuk menemukan makna). Dalam konteks itu antropologi lebih
menyerupai kesusasteraan ketimbang science atau ilmu pengetahuan; dan
bahwa interpretasi kebudayaan sama seperti memahami sebuah puisi atau
novel daripada menjelaskan hukum-hukum perilaku.
Ahli antropologi yang lebih berorientasi science ketimbang humanties
diantaranya ialah Marvin Harris. Marvin Harris (1979) yang memperkenalkan
konsep materialisme budaya (cultural materialism) berpandangan bahwa
kondisi-kondisi material yang menentukan kesadaran manusia, bukan
sebaliknya. Pandangan itu dipengaruhi oleh gagasan Marxis tentang basis
(base) dan suprastruktur (superstructure). Harris selain menyebut basis
sebagai infrastruktur, juga memodifikasi skema marxis dengan memasukkan
unsur reproduksi manusia dalam infrastruktur bersama-sama dengan mode
ekonomi dari produksi serta mengusulkan suatu kategori antara (intermediate

7
category), yakni struktur. Kategori ini tidak terdapat dalam skema Marxis (lihat
Saifuddin, 2005). Menurut Harris ketiga kategori tersebut – yakni basis,
struktur dan suprastruktur – sebagai fenomana etik (lihat uraian mengenai
pendekatan etik pada bahasan dua) yang dapat dipelajari secara empiris,
objektif dan menggunakan pengukuran dan kuantifikasi.
Ahli antropologi yang memosisikan antropologi sebagai berada di antara
science dan humanities, mendefinisikan antropologi sebagai “the most
scientific of the humanities and the most humane of the sciences” (lebih
mengilmiahkan kemanusiaan dan lebih memanusiakan ilmu pengetahuan)
(lihat Helman, 1985). Tampaknya antropologi gizi dan antropologi kesehatan
berada pada posisi yang terakhir itu. Yaitu kombinasi antara science dan
humanities.

1.6 Gizi dan Antropologi

Secara makro terdapat perbedaan masalah gizi yang dialami oleh


penduduk yang bermukim di negara-negara industri maju dengan penduduk
yang berdomisili di negara-negara berkembang dan belum berkembang. Gizi
lebih (overnutrition), terutama obesitas, merupakan masalah gizi yang umum
dialami oleh penduduk di negara-negara industri maju yang ketersediaan
pangannya relatif melimpah. Sebaliknya, gizi kurang (undernutrition)
merupakan masalah gizi yang umum dialami oleh penduduk yang bermukim
di negara-negara belum berkembang, dimana ketersediaan pangan relatif
kurang. Fakta itu mengindikasikan bahwa ketersediaan pangan merupakan
salah satu faktor yang amat menentukan status gizi masyarakat. Namun tidak
jarang pula masalah gizi bersumber dari sistem pengklasifikasian tentang
bahan makanan; pengetahuan yang keliru mengenai hubungan antara
makanan dan kesehatan; kepercayaan agama dan pantangan-pantangan
yang membatasi seseorang memanfaatkan bahan makanan yang tersedia;

8
konsepsi tentang bentuk dan ukuran tubuh yang dianggap ideal dan dipenuhi
melalui diet; dan makna simbolis makanan sehingga makanan disajikan dan
dikonsumsi, atau sebaliknya.
Boleh jadi hal-hal di luar dari ketersediaan makanan itulah yang turut
berpengaruh bagi masalah-masalah gizi ganda yang dialami oleh bangsa
Indonesia. Disebutkan demikian, sebab pada satu sisi fenomena gizi kurang
masih merupakan masalah yang umum dialami oleh penduduk; namun di sisi
lain fenomena gizi lebih telah banyak dialami oleh penduduk. Gizi kurang
tidak hanya diderita oleh anggota keluarga yang latar ekonominya miskin –
kurang mampu menyediakan pangan yang cukup untuk kebutuhan konsumsi
anggota rumah tangganya – tetapi juga diderita oleh anggota keluarga yang
latar kehidupan sosial ekonominya cukup bahkan lebih untuk pengadaan
pangan. Sama halnya dengan fenomena gizi lebih, tidak hanya diderita oleh
anggota keluarga yang latar ekonominya tergolong mampu, tetapi juga
dialami oleh anggota keluarga yang kondisi ekonominya tergolong tidak
mampu.
Demikianlah sehingga nampak bahwa masalah gizi bukan hanya
disebabkan oleh langka atau berlebihnya ketersediaan pangan, melainkan
juga disebabkan oleh faktor nonpangan sebagaimana disebutkan di atas.
Faktor nonpangan tersebut oleh ahli antropologi dikatagorikan sebagai
kebudayaan berkenaan dengan makanan (food culture) atau biasa juga
disebutkan sebagai food habits (kebiasaan-kebiasaan berkenaan dengan
makanan).
Upaya untuk mengubah kebudayaan atau kebiasaan yang berkenaan
dengan makanan bukanlah pekerjaan yang gampang. Sebab, apa yang
orang sukai dan yang tidak ia sukai, pengetahuan dan kepercayaan tentang
bahan apa yang dikategorikan sebagai makanan dan bukan makanan,
kepercayaan mengenai hubungan antara makanan dengan kesehatan serta
keyakinan agama berkenaan dengan makanan telah ditanamkan sejak usia

9
dini sehingga sangat sulit berubah. Demikian kuatnya tertanam pada diri
individu sehingga dalam keadaan yang sangat lapar tidak akan mengonsumsi
bahan makanan yang dalam kebudayaannya tidak didefinisikan sebagai
makanan. Demikianlah sehingga upaya untuk memodifikasi pengetahuan,
kepercayaan dan praktik berkenaan dengan makanan selain harus mengacu
pada konteks budaya, termasuk sistem klasifikasi makanan, juga
memerlukan waktu yang relatif lama. Menyangkut kebudayaan dan sistem
klasifikasi makanan diuraikan pada bahasan tiga.
Tentu saja studi mengenai food culture yang diorientasikan bagi
kepentingan teoritis dan praktis merupakan domain antopologi. Jika ahli
antropologi melakukan kegiatan penelitian berkenaan dengan food culture
yang diorientasikan bagi upaya perbaikan gizi masyarakat, maka menjurus ke
suatu bidang baru, yakni Antropologi Gizi (lihat Jerome, Kendel dan Pelto,
1989). Lebih lanjut Norge Jerome mendefinisikan Antropologi gizi yakni
mencakup disiplin ilmu tentang gizi dan antropologi. Katona-Apte (1976:8)
menguraikan bahwa yang menjadi fokus perhatian antropologi gizi meliputi
evolusi manusia, sejarah dan kebudayaan dan adaptasinya terhadap variabel
gizi yang berubah-ubah dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam.
Foster dan Anderson dalam bukunya “Medical Anthropology bab
mengenai Anthropology and Nutirition” menegaskan bahwa terdapat dua
aspek yang sangat penting berkenaan dengan antropologi gizi, yakni: (1) sifat
sosial budaya dan psikologis makanan (peranan-peranan sosial budaya dan
psikologis makanan yang berbeda dengan peranan gizinya) dan (2) cara-cara
dimana dimensi-dimensi sosiobudaya dan psikologis makanan berkaitan
dengan kebutuhan gizi yang cukup (Foster dan Andeson, 1986: 312).
Dengan demikian lingkup kajian antropologi gizi tidak hanya sekadar
beriorientasi bagi mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan
mendalam mengenai pemenuhan kebutuhan manusia akan makanan dan
gizi, tetapi juga untuk menanggulangi masalah-masalah gizi guna

10
mewujudkan keadaan gizi seimbang. Hal itu berarti bahwa antropologi gizi
memiliki dimensi teoritis dan terapan.
Dewasa ini kalangan ahli dan praktisi gizi-kesehatan masyarakat telah
menyadari bahwa masalah-masalah gizi-kesehatan masyarakat tidak hanya
bersangkut paut dengan proses-proses biologis dan pisikal serta biokimia
makanan semata, tetapi juga bersangkut paut dengan pengetahuan, sikap
dan perilaku manusia (sosiobudaya) berkenaan dengan makanan, gizi dan
kesehatan.
Demikianlah sehingga pemahaman akan konteks sosiobudaya
makanan dan gizi merupakan dasar untuk mengembangkan strategi
intervensi gizi-kesehatan yang dapat menjamin keberhasilan dan
keberlanjutan tujuan program intervensi gizi-kesehatan. Dalam kaitan itu,
maka perspektif dan metode penelitian antropologi sangat penting dipahami
dan diterapkan oleh ahli gizi-kesehatan guna menemukenali dan
menanggulangi masalah-masalah gizi-kesehatan.

1.7 Rangkuman
Antropologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari manusia dengan
seluruh aspek kehidupannya. Dalam mempelajari manusia, terdapat ahli
antropologi yang lebih berorientasi Science dan ada pula yang lebih
cenderung berorientasi humanities serta ada yang mengkombinasikan di
antara keduanya. Antropologi Gizi termasuk dalam kategori yang
menginteghrasikan antara science dan humanitas atau humaniora.
Antropologi gizi mencakup disiplin antropologi dan gizi yang mengkaji
tentang evolusi manusia, sejarah dan kebudayaan dan adaptasinya terhadap
variable gizi yang berubah-ubah dalam kondisi lingkungan yang beraneka
ragam, sifat sosial, budaya dan psikologis makanan – peranan-peranan
sosial budaya dan psikologis makanan yang berbeda dengan peranan

11
gizinya – dan cara-cara dimana dimensi-dimensi social budaya dan
psikologis makanan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan gizi.
Munculnya Antropologi Gizi sebagai subdisiplin antropologi dilatari oleh
adanya kesadaran bahwa metode dan hasil penelitian antropologi sangat
relevan bagi upaya perbaikan gizi-kesehatan masyarakat.

1.8 Latihan
Tugas ini dikerjakan oleh masing-masing mahasiswa dan dikumpul ke
pengampu mata kuliah pada waktu pertemuan keenambelas.
1. Uraikan dengan menggunakan kata-kata sendiri mengenai disiplin
antropologi.
2. Uraikan dengan menggunakan kata-kata sendiri mengenai ruang
lingkup kajian antropologi gizi.
3. Uraikan apa pentingnya anda sebagai kandidat sarjana ilmu gizi
mempelajari antropologi, khususnya antropologi gizi.

Daftar Pustaka
Ember, C.R & Ember, M.
1996 Anthropology. USA, Hll Inc. and Viacom Company.
Jerome, Kendel & Pelto (eds.)
1989 Nutritional Anthtopoloy: Contemporary Approach to Diet and
Culture. New York: Redgrave Pub. Company.
Foster, George M. & Anderson, Barbara Gallatin
1986 Antropologi Kesehatan diterjemahkan oleh Priyanti Pakan
Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI Press.
Helman, Cecil
1985 Culture. Health and Illness. Great Britain: The Stonebridge Press.
Keesing, Roger M.
1989 Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective, second
edition. (Terjemahan Samuel Gunawan). Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat
1980 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Miller, B.

12
2008 Cultural Anthropology in a Globalizing World. New York: Pearson
Education Inc.
Pool, R. & W. Geissler
2005 Medical Anthropology. England: Open University Press.
Quandt, Sara A.
1996 “Nutrition in Medical Anthropology” Dalam Carolyn F. Sargent
dan T.M. Johnson (eds.) Hand Book: Medical Anthropology:
Contemporary Theory and Mothod. Revisied edition. USA: An
Imprint of Greenwood Pub. Company. Inc.
Saifuddin, Achmad Fedyani
2005 “Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma. Jakarta: Prenada Media.

Bacaan yang disarankan


Counihan, C. & Penny Van Esterik (eds.)
1997 Food and Culture: A Reader. New York: Routledge
Fieldhouse, Paul
1996 Food and Nutrition: Customs and Culture. London: Chapman &
Hall.

13

Você também pode gostar