Você está na página 1de 16

TUGAS MATA KULIAH PENGADILAN INTERNASIONAL

PERAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL DALAM KONFLIK DI

KONGO

Oleh :

Hanif Fikri Indratma (20160610263)

Handi Pribadi (20160610240)

Oka Rahmat Sumadinata (20160610206)

M. Nasri (20160610320)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang

beranggotakan negara-negara berdaulat yang bertujuan menghindar menghindari perang

dunia dan mala petaka kemanusiaan akibat perang. Piagam PBB ditandatangani oleh

delegasi 51 negara pada tanggal 26 Juni 1945. Dan Piagam PBB mulai beroperasi pada

tanggal 24 Oktober 1945. Seperti Liga Bangsa-Bangsa, tujuan utama PBB adalah

menjaga perdamain dan keamanan internasional, menyelesaikan sengketa secara damai,

melakukan tindakan kolektif,mencegah ancaman terhadap perdamaian, mempromosikan

kerjasama sosial ekonomi internasional dan hak asasi manusia. Keanggotaan PBB

terbuka bagi negara-negara yang cinta damai untuk mendukung penyelesaian sengketa

secara damai. Adapun struktur organisasi PBB yaitu Majelis Umum, Dewan Keamanan,

Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional, dan Sekretariat.

Pada paper ini, akan membahas salah satu dari struktur organisasi PBB yaitu Mahkamah

Internasional.

Konflik di Republik Demokratik Kongo (RD Kongo) telah mengalami dinamika

konflik dalam kurun waktu yang panjang. Bahkan selama konflik terjadi dua kali
perperangan besar yang melibatkan negara-negara Afrika lainnya. Dua perang tersebut

adalah Perang Kongo I yang terjadi pada tahun 1996-1997 dan Perang Kongo II pada

tahun 1998-2003.1Konflik ini telah dimulai sejak tahun 1990an ketika terjadi perselisihan

antar etnis Tutsi dan Hutu untuk memperebutkan kekuasaan wilayah. Di RD Kongo

sendiri ada kelompok pemberontakan yang ingin menggulingkan Presiden RD Kongo

saat itu, Mobutu Sese Seko, karena pemerintahannya dianggap terlalu pro-Amerika.

Kelompok pemberontakan yang dipimpim Laurent Desire Kabila mengambil kesempatan

dalam konflik etnis Tutsi dan Hutu dengan menggalang dukungan dari etnis Tutsi. Pada

4 Oktober 1996, kelompok pemberontak dari Banyamulenge melakukan serangan

langsung ke desa Lamera, wilayah timur RD Kongo yang menjadi tempat pengungsian

etnis Hutu.1

Konflik kemudian menjadi perang terbuka dengan adanya campur tangan negara

tetangga yaitu Angola, Burundi, Rwanda dan Uganda dan dikenal dengan Perang Kongo

I. Keterlibatan negara ini dikarenakan adanya kepentingan sumber daya alam, dukungan

terhadap etnis Tutsi, dan ketidaksukaan negara-negara tersebut terhadap rezim pro-

Amerika Mobutu. Mobutu yang pada saat itu kehilangan dukungan Amerika Serikat

karena perang dingin telah berakhir akhirnya menyerah dan melarikan diri ke luar RD

Kongo. Perang ini berakhir dengan kemenangan kelompok pemberontakan anti-Mobutu

pada tahun 1997 dan Laurent Desire Kabila kemudian diangkat menjadi Presiden RD

Kongo.

Melihat begitu besarnya dampak Perang Kongo II ini dan ketidaksanggupan

pemerintah RD Kongo untuk menanganinya, perang ini kemudian mendapatkan perhatian

1 http://www.academia.edu/28435092/KONFLIK_SUMBER_DAYA_DI_AFRIKA_KONGO, diakses pada


tanggal 27 Desember 2018, pukul 00.55
besar dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB). DK PBB mendesak pihak-pihak yang

berkonflik untuk melakukan gencatan senjata. Pada 10 Juli 1999, perjanjian gencatan

senjata pun dilakukan dan dikenal dengan nama Perjanjian Lusaka.

Menurut dokumen yang dikeluarkan oleh gereja Katholik di Kongo hari Selasa

(20/6), lebih dari 3.300 orang tewas di propinsi Kasai yang rentan di negara itu, sementara

PBB menyerukan penyelidikan internasional setelah ada beberapa laporan tentang

sejumlah bayi yang luka akibat parang dan perempuan hamil yang perutnya disayat.

Kenaikan tajam jumlah kematian itu terjadi sewaktu Kepala Dewan HAM PBB

Zeid Ra’da Al-Hussein menyalahkan pemerintah Kongo karena gagal melindungi warga

sipil, dan mengutip laporan-laporan yang “mengerikan” dari sejumlah pakar HAM PBB

yang dikirim kesana bulan lalu untuk mewawancarai orang-orang yang kehilangan tempat

tinggal akibat pertempuran antara pasukan pemerintah dan milisi.2

Penyelesaian konflik di Kongo yang dilakukan oleh Mahkamah Pidana

Internasional

Kegiatan International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional

untuk Maret ini menunjukkan mengapa pengadilan yang berpusat di Den Haag itu tetap

menjadi institusi yang sangat terpecah, 20 tahun setelah pembentukannya.

Tiga putusan banding pekan depan terkait kekejaman di Republik Afrika Tengah,

Republik Demokratik Kongo, dan serangan terhadap kekayaan budaya di Timbuktu,

Mali. Masih dalam bulan ini, ada sidang lanjutan Dominic Ongwen, mantan tentara anak

dan komandan senior gerakan pemberontak Tentara Perlawanan Tuhan di Uganda.

2 https://www.voaindonesia.com/a/setelah-20-tahun-mahkamah-pidana-internasional-tetap-
kontroversial/4280627.html
Selama bertahun-tahun, ICC dituduh terlalu berfokus dan tidak adil terhadap

Afrika. Institusi ini juga dinilai sangat lamban, tidak efisien dan mahal. Beberapa negara

terbesar di dunia, termasuk Amerika, China dan Rusia, bukanlah anggota ICC, sehingga

melemahkan kredibilitas institusi tersebut. Baru-baru ini, pengadilan itu memulai

penyidikan internal atas transaksi yang dipertanyakan antara pegawai pengadilan itu dan

mantan jaksanya, Luis Moreno Ocampo.3

Fokus hukum internasional tertuju pada hukum internasional publik bukan hukum

perdata internasional, dimana hukum internasional publik merupakan kaidah-kaidah atau

asas-asas yang mengatur hubungan antar-negara, bukan hubungan perdata.

Perkembangan hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antar-negara, tapi

mengatur pula hubungan negara dengan subjek hukum bukan negara, pun subjek hukum

bukan negara dengan subjek hukum bukan negara, sehingga hubungan internasional yang

diatur dalam hukum internasional dalam perkembangannya tidak hanya dimonopoli oleh

negara, tapi oleh subjek hukum bukan negara.

Pemberlakuan hukum internasional jelas akan berdampingan bahkan bisa

menyebabkan benturan dengan hukum nasional suatu negara, tentunya keadaan seperti

ini dapat dijelaskan dengan meninjau kembali titik awal pandangan voluntaire dan

objektif mengenai hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan

voluntaire menjelaskan bahwa berlakunya hukum internasional atas keinginan suatu

negara sehingga melahirkan teori dualisme dan pandangan objektif bertolak bahwa

berlakunya hukum internasional tidak perlu ada kehendak dari negara sehingga

melahirkan teori monisme. Kedua teori atau faham tersebut sama kuatnya, dan kedua

3 https://www.voaindonesia.com/a/setelah-20-tahun-mahkamah-pidana-internasional-tetap-
kontroversial/4280627.html, diakses pada tgl 27 Desember 2018
faham itu tidak luput pula dari kelemahan yang ada. Perkembangan faham monisme

dengan primat hukum internasional misalnya, khususnya dalam bentuk perjanjian

internasional multilateral yang dibentuk di bawah Perserikatan Bangsabangsa, ketika

suatu negara sudah meratifikasi. Ini menjadi hal yang menarik dimana terbentuk hierarki

antara hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasional harus menjadi titik

acuan pengaturan dan penerapan hukum nasional.

ICC mengkategorikan situasi yang terjadi di RDK ke dalam kejahatan perang dan

kejahatan kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma Pasal 7 adalah

beberapa perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari upaya penyebarluasan atau

penyerangan langsung yang ditujukan terhadap penduduk sipil yang dilakukan secara

tersusun dan sistematis. Bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan yang terjadi di RDK

menurut ICC adalah pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perbudakan seksual,

perbuatan tidak manusiawi, penyiksaan, pemindahan penduduk secara paksa,

penyerangan terhadap warga sipil, menghancurkan property, dan pencurian.

Berdasarkan Prinsip Penerimaan yang berkaitan dengan diterima atau ditolaknya

suatu kasus oleh ICC, ICC dapat menerima permintaan bantuan peradilan bagi negara

yang tidak bersedia (unwiling) atau tidak mampu (unable) melaksanakan penyelidikan

dan menyelesaikan kasus yang terjadi di negaranya tersebut. ICC mulai melaksanakan

perannya di Republik Demokratik Kongo (RDK) dan melakukan investigasi sejak bulan

Juni tahun 2004 setelah adanya permintaan bantuan dari pemerintah RDK pada bulan

April 2004 untuk menghentikan rangkaian konflik kejahatan kemanusiaan yang terjadi di

RDK akibat pertikaian etnis dan perang antar kelompok bersenjata di RDK.

Serangkaian peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi di RDK telah

berlangsung sejak Perang Kongo Pertama (1996-1997) dan Perang Kongo Kedua (1998-
2003) dan masih berlangsung meskipun kedua perang tersebut telah berakhir. Sesuai

dengan Prinsip Ratione Temporis (Yuridiksi Temporal), ICC hanya dapat melakukan

pengadilan bagi tindak kejahatan yang terjadi setelah terbentuknya Statuta Roma.

Artinya, apabila peristiwa kejahatan kemanusiaan terjadi sebelum terbentuknya Statuta

Roma, maka ICC tidak dapat mengadili kejahatan tersebut. Bagi negara yang telah

menjadi anggota Statuta setelah statuta terbentuk, maka ICC memiliki yuridiksi terhadap

kejahatan-kejahatan yang terjadi di negara anggota tersebut. Pemerintah RDK telah

meratifikasi Statuta Roma pada bulan April tahun 2002. 4

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar tersebut, ICC memiliki wewenang untuk

membawa peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi di RDK kedalam peradilan ICC

dan melakukan beberapa upaya untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang terjadi

di RDK. Adapun peran yang dilakukan oleh ICC untuk menghentikan kejahatan

kemanusiaan di RDK selama tahun 2012 sampai tahun 2016, adalah:

1. Melakukan Penyelidikan dan Mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan

Sebagai sebuah mahkamah peradilan internasional, ICC memiliki peran untuk

menangkap, mengadili dan memutuskan masa tahanan kepada individu pelaku kejahatan

yang berada dibawah yuridiksi ICC. Sebelum mengeluarkan keputusan untuk

menjatuhkan masa tahanan bagi pelaku kejahatan, ICC harus menjalankan serangkaian

proses dimulai dari penyelidikan hingga mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi

individu yang dianggap bersalah atas kejahatan yang terjadi. Dalam proses melakukan

penangkapan bagi para pelaku kejahatan di RDK, sesuai dengan Pasal 53 Statuta Roma,

ICC terlebih dahulu melakukan penyelidikan dengan mengumpulkan barang bukti dan

4 Democratic Republic of the Congo, Situation in the Democratic Republic of the Congo,
ICC-01/04, https://www.icc-cpi.int/drc diakses pada 28 Desember 2018 pukul 11.20 WIB.
informasi dari keterangan para korban kejahatan kemanusiaan melalui Penutut Umum.

Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan dasar kelayakan suatu kasus apakah

kasus tersebut masuk ke dalam wilayah yuridiksi ICC atau tidak.

ICC melakukan penyelidikan dan mengumpulkan barang bukti melalui keterangan

para korban pemerkosaan, tentara anak yang terlibat di dalam kelompok bersenjata dan

korban kekerasan seksual, penganiayaan dengan mengunjungi tempat-tempat

pengungsian dan lokasi kejadian yang terkena dampak dari perang antar kelompok

bersenjata seperti di wilayah Ituri, North Kivu dan South Kivu yang sejak awal

merupakan wilayah yang paling sering terjadi konflik serta beberapa wilayah lainnya di

RDK.

2. Menjatuhkan Masa Tahanan Kepada Pelaku Kejahatan Kemanusiaan

ICC menjatuhkan masa tahanan kepada ketua kelompok UPC, Thomas Lubanga

dengan masa tahanan 14 tahun penjara pada 10 Juli 2012 dan Germain Katanga ditahan

dengan masa tahanan 12 tahun penjara pada 23 Mei 2014 dengan pengurangan masa

tahanan 7 tahun penahanan di ICC pada 18 September 2007 sampai 23 Mei 2014. Kedua

pelaku kejahatan tersebut kemudian dikembalikan ke penjara nasional RDK pada 19

Desember 2015 dan melanjutkan masa penahanan disana. Penahan terhadap dua orang

tersebut sesuai dengan Prinsip Tanggung Jawab Pidana Secara Individual dalam Statuta

Roma pasal 25 dimana seseorang

Prinsip hukum internasional yang digunakan dalam hal ini adalah Prinsip Larangan

Penggunaan Kekerasan (Use of Force).

Upaya melarang penggunaan kekerasan khususnya perang sudah dimulai sejak usia

Perang Dunia I. Saat itu dikatakan bahwa Perang Dunia I adalah war to end all war.

Presiden AS saat itu Woodrow Wilson dalam presentasinya tanggal 8 Januari 1918
sebagai upaya pembentukan Liga Bangsa-Bangsa menyatakan. Setahun kemudian Liga

Bangsa-Bangsa yang akhirnya of Versailles.

Kovenan sudah berupaya melarang perang meskipun terbatas. Pasai 12 (l) Kovenan

mewajibkan anggota menyerahkan sengketa ke arbitrase inquairy di bavvah I,BB. Para

pihak yang bersengketa juga harus menyetujui tidak perang setidaknya sampai 3 bulan

setelah putusan arbitrase laporan ke LBB, Masa ini dimaksudkan sebagai cooling down

para pihak dan mencegah perang. pasai 15 dan 16 menyatakan jika sengketa tidak dibawa

ke penyelesaian hukum harus dibawa ke LBB (council). 50Jika LBB dengan suara bulat

menyetujui untuk menyelesaikan sengketa itu maka para pihak terikat atau harus tunduk

pada ketentuan tidak boleh perang. Namun demikian apabila LBB tidak menanggapi

kasus yang diajukan maka para pihak yang bersengketa diijinkan mengambil langkah

yang penting menurut mereka to maintenance law and justice, termasuk di dalamnya

menggunakan perang.

Upaya yang lain yang dilakukan LBB untuk membatasi perang adalah menerapkan

sistem keamanan kolektif dan menerapkan sanksi kepada yang melanggar aturan LBB.

Negara yang menyerang negara lain tanpa mengindahkan aturan LBB akan dianggap

melakukan perang terhadap semua anggota LBB yang lain sehingga terhadapnya akan

dijatuhkan sanksi seperti sanksi ekonomi, perdagangan, keuangan, militer, dan lain-lain.

Upaya yang dilakukan LBB gagal karena tidak semua negara menjadi anggota

LBB. Hanya 45 negara pendiri yang mau menjadi anggota di awal pendirian 1920. Jumlah

maksimum hanya 63. Jerman diterima tahun 1926, dan Uni Soviet pada 1934. Namun

demikian AS sang pelopor justru tidak bisa menjadi anggota karena tidak memperoleh

persetujuan 2/3 anggota. 5

5 Dr. Sefriani, 2015, Peran Hukum Internasional, Yogyakarta, Raja Grafindo, halaman 41
Sumber hukum internasional salah satunya adalah prinsip umum yang dijadikan

sebagai pedoman penetapan dan pelaksanaan hukum. Pasal 38 ayat 1 Statute of The

Permanent Court of International Justice menyebutkan bahwa general principles oflaw

recognized by civilized nation. Inti definisi Michael Akerhurst adalah prinsip umum

internasional dapat diambil dari prinsip umum tentang sistem hukum dari satu negara ke

negara lain, terutama prinsip yang memiliki kesamaan.

Adapun Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa prinsip umum adalah asas

hukum yang mendasari sistem hukum modern.32 Arti perkataan umum dalam hubungan

ini sangat penting karena semakin memperjelas bahwa hukum internasional sebagai

sistem hukum merupakan sebagian dari keseluruhan yang lebih besar, yaitu hukum pada

umumnya. Dengan demikian, pendirian bahwa hukum internasional merupakan satu

sistem hukum yang berdiri sendiri dan berbeda dengan hukum nasional terbantahkan.33

Beberapa prinsip hukum umum, misalnya prinsip hukum perdata, seperti prinsip

pacta sunt servanda, asas bona fides (iktikad baik), asas penyalahgunaan hak (abus de

droit), serta asas adimplenti non est adiplendum dalam hukum perjanjian, meskipun

berasal dari asas hukum perdata, asas ini meliputi juga asas hukum acara dan hukum

pidana, termasuk asas hukum internasional, misalnya asas kelangsungan negara,

penghormatan kemerdekaan negara, asas non-intervensi,6

pengadilan Tribunal Kriminal Internasional untuk Bekas Wilayah Yugos dan

pwanda dan ICT?) tídak bisa mengakomodasí kehadĺran korban. karena korban tídak

dianggap sebagai pihak yang bísa melakukan intervensi dalam proges hukurn Tribunal ad

hoc. Untuk mengatasi persoalan ili danyang 'ebih penting—untuk memenuhi persyaratan

hukurn forrnĺl TCC, di mana korban memílíki peran, ruang pengadilan permanen ICC

6 Dedi Supriyadi M.Ag, Hukum Internasional Dari Konsepsi Sampai Aplikas, halaman 64
harus didesaín dengan cara berbeda sehingga bisa meralat kesalahan yang sejauh ini telah

dílakukan di markas sernentara ICC dí The Hague. Organisasi ruangan di ruang

pengadilan barangkali merniliki makna simbolik dan penting bagi para korban, karcna

pengakuan atas peran mereka dalam proses peradilan dan pocisi mereka di pengadĺlan

terbuka akan membuat mereka mernahami bagaimana sebuah institusi merepresentasikan

pengakuan dan penghormatar, matyarakat internagional terhadap mereka, Akses bagi

para korban atas proses peradílan dalarn ICC tídak boleh mengurangi ruang dan waktu

yang dialokasikan dalarn proges semacam itu bagi pihak-pihak yang fundamental,

tuntutan dan pembelaan. Narnun karena peran jaksa bukanlah mengajukan tuntutan dan

rnernenangkan sebuah kasus, melainkan menegakkan keadilan dan mendan menyingkap

geluruh tuduhan dan pembebasan dari tuduhan secara maka harus dipahami bahwa Jaksa

bukan hanya sekedar sebagai salah pihak daJam proses tersebut. Meskí Jaksa tampak

memainkan peran sebacalah satu pihak jika ditinjau melalui kerangka adversarial.

Korhan mernjliki hak untuk mengetahui kebenaram Oleh karena itti, menka tidak

tertarik pada pendirian individü yang tidak metasa bersalah, yang memiliki hak untuk

dibebaskan. Jika Jaksa tidak bisa melaksanakan tugasnya, korban akan bertindak sebagai

penjaga keadilan sena mengutarakan pandanıan-pandangan dan keprihatinannya sesuai

dengan Artikel 68.3 Statuta. Pada saat yang sama, emosi, dan seringkali trauma, yang

diderita korban tidak boleh menyebabkan adanya intervensi tıdak terkontrol terhadap

terdakwa dan tidak boleh mengganggu proses peradilan. Kekuatan hakim dalam

mengatur intervensi korban akan menghindarkan situasi semacam itli, dan kehadiran

seorang perwakilan hükum akan menyamin bahwa pemyataan dan pertanyaan korban

akan diekspresikan dengan tetap menghormati prosedur Pengadilan dan proses peradilan

yang adil. Pemisahan korban dari terdakwa dalam ruang pengadilan dan kurangnya posisi
berhadap-hadapan (semua pihak menghadap hakim, yang mengontrol proses peradilan)

akan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pencarian kebenaran yuridis.7

Subjek hukum internasional awalnya adalah negara, dengan dasar pemikiran hanya

negara lah yang berdaulat dan mampu mengikatkan diri dalam hukum internasional.

Individu merupakan salah satu subjek hukum internasional yang mulai banyak mendapat

perhatian, semenjak kemunculannya sebagai subjek pasca Perang Dunia II. Kedudukan

individu sebagai subjek hukum internasional kini sudah tidak perlu diragukan lagi. Pada

masa awal pertumbuhan hukum internasional, individu hanyalah sebagai subjek hukum

nasional, sedangkan subjek hukum internasional bahkan satu-satunya adalah negara. Ada

pendapat bahwa individu hanya dapat bertindak dalam level internasional apabila sudah

mendapat ijin atau persetujuan dari negaranya sendiri. Jadi menurut pandangan ini,

negara itulah yang sebenarnya merupakan subjek hukum internasional. Namun dalam

perkembangan hukum dan masyarakat internasional, ternyata individu mulai

menampakkan kemunculannya sebagai subjek hukum internasional. Individu dalam

kasuskasus tertentu, sudah tampil secara mandiri sebagai subjek hukum internasional.

Hukum internasional sudah memberikan hak-hak dan memikulkan kewajibankewajiban

berdasarkan hukum internasional secara langsung kepada individu. Demikian pula

individu dapat dimintakan pertanggungjawaban secara langsung atas tidakan-

tindakannya yang diduga merupakan pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum

internasional.8 untuk mengikatkan diri dalam hukum internasional, tapi mulai

bermunculan subjek hukum baru Perkembangan selanjutnya bukan hanya negara yang

mampu dan/atau berkepentingan “The emergence of state responsibility for

7 Sefriani S.H., M.Hum, 2012, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, halaman 257
8 I Wayan Parthina, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung,
hlm. 87.
environmental based on the existence of the actions or activities committed in the territory

of a country or in under the supervision of the country that carry consequences detrimental

to the environment without knowing the limits of the state. Under international law, the

State’s responsibility in terms of international environmental law in particular haze

transboundary pollution problems, be arranged in a number of international regulations,

such as the Stockholm Declaration of 1972, the 1992 Rio Declaration, the Biodiversity

Convention, and the Climate Change Convention, and equipped with the principles of

international environmental law which have been mentioned above. In Draft Articles on

State Responsibility adopted by the International Law Commission (ILC), (Draft Articles

Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, International Law

Commission, 2001), stated in article 1 that “Every internationally wrongful act of a State

entails the international responsibility of that State”. So, each acts or omissions prohibited

by international law bring international responsibility for the country. ILC draft is not

binding as an instrument of international law because it has not been established as a legal

product. However, the binding strength of the ILC Draft is not seen as an instrument of

its shape, but of their contents. ILC Draft can be used as an additional source and binding

as customary law International.”9

Definisi tindak pidana internasional berdasarkan putusan Peradilan Tindak Pidana

Perang di Amerika Serikat dalam kasus Hostages adalah tindakan yang secara universal

dianggap tindak pidana, yang memberi dampak yang besar dan menjadi perhatian serius

masyarakat internasional, sehingga terhadap tindak pidana tersebut berlaku hukum

nasional atau hukum negara tersebut, dapat berlaku pula yurisdiksi hukum negara-negara

9Y Gunawan, 2014, Transboundary Haze Pollution in the Perspective of International Law of State
Responsibility, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 2 Tahun 2014, Yogyakarta, Fakultas Hukum UMY.
Diakses pula di laman: http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1185/1246 pada tanggal 28
Desember 2018, pukul 15.25
lain dan yurisdiksi universal Penyelesaian terhadap kejahatan internasional, pada

dasarnya menjadi tanggungjawab Negara dan hal ini sudah menjadi prinsip fundamental.

Hal ini belum dirumuskan dalam kesepakatan multilateral atau dikodifikasikan secara

khusus, tetapi mengikat sebagai kaidah hukum internasional terhadap Negara.10

Kesimpulan

Sesuai dengan Prinsip Ratione Temporis (Yuridiksi Temporal), ICC hanya dapat

melakukan pengadilan bagi tindak kejahatan yang terjadi setelah terbentuknya Statuta

Roma. Artinya, apabila peristiwa kejahatan kemanusiaan terjadi sebelum terbentuknya

Statuta Roma, maka ICC tidak dapat mengadili kejahatan tersebut. Bagi negara yang telah

menjadi anggota Statuta setelah statuta terbentuk, maka ICC memiliki yuridiksi terhadap

kejahatan-kejahatan yang terjadi di negara anggota tersebut. Pemerintah RDK telah

meratifikasi Statuta Roma pada bulan April tahun 2002. ICC melakukan penyelidikan

dan mengumpulkan barang bukti melalui keterangan para korban pemerkosaan, tentara

anak yang terlibat di dalam kelompok bersenjata dan korban kekerasan seksual,

penganiayaan dengan mengunjungi tempat-tempat pengungsian dan lokasi kejadian yang

terkena dampak dari perang antar kelompok bersenjata seperti di wilayah Ituri, North

Kivu dan South Kivu yang sejak awal merupakan wilayah yang paling sering terjadi

konflik serta beberapa wilayah lainnya di RDK.

Saran

Dalam hal ini Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court

(ICC) melakukan tindakan yang benar yaitu dengan cara mengadili dan memberi sanksi

bagi para pelaku kejahatan yang ada di Republik Demokrasi Kongo. Kita tahu bahwa

10 Wahjoe, Oentoeng, 2011, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan


Tindak Pidana Internasional dan Proses Penegakannya,
Erlanggga, Jakarta. Halaman 81
banyak sekali kejahatan-kejahatan yang terjadi di sana selama konfil dan hal tersebut

tidak bisa didiamkan


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dr. Sefriani, 2015, Peran Hukum Internasional, Yogyakarta, Raja Grafindo

Dedi Supriyadi M.Ag, Hukum Internasional Dari Konsepsi Sampai Aplikas

Wahjoe, Oentoeng, 2011, Hukum Pidana Internasional; Perkembangan Tindak

Pidana Internasional dan Proses Penegakannya, Erlanggga, Jakarta.

I Wayan Parthina, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung

Sefriani S.H., M.Hum, 2012, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers

Y Gunawan, 2014, Transboundary Haze Pollution in the Perspective of International

Law of State Responsibility, Jurnal Media Hukum, Vol. 21, No. 2 Tahun 2014,

Yogyakarta, Fakultas Hukum UMY. Diakses pula di laman:

http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/1185/1246

Internet

http://www.academia.edu/28435092/KONFLIK_SUMBER_DAYA_DI_AFRIKA_

KONGO, diakses pada tanggal 27 Desember 2018

https://www.voaindonesia.com/a/setelah-20-tahun-mahkamah-pidana-internasional-

tetap-kontroversial/4280627.html

Democratic Republic of the Congo, Situation in the Democratic Republic of the

Congo, ICC-01/04, https://www.icc-cpi.int/drc


LEMBAR PENILAIAN SEJAWAT

No. Mhs Nama Presentase UK 1 UK2 Uk3


Bekerja (0-100)
20160610263 Hanif Fikri Indratma 100 ya ya ya
20160610240 Handi Pribadi 95 ya ya ya
20160610206 Oka Rahmat Sumadinata 90 ya ya ya
20160610320 M. Nasri 90 ya ya ya

Você também pode gostar