Você está na página 1de 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Konsep diri manusia adalah makhluk biopsikososial yang unik dan menerapkan
system terbuka serta saling berinteraksi. Manusia Selalu berusaha untuk mempertahankan
keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap individu untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Konsep diri belum ada saat dilahirkan, tetapi
dipelajari dari pengalaman unik melalui eksplorasi diri sendiri, berhubungan dengan oprang
terdekat yang berarti bagi dirinya. dapat juga dipelajari dari kontak sosial dan pengalaman
berhubungan dengan orang lain. Pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh
bagaimana individu itu sendiri.

Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri. Antara
seseorang dengan yang lain tentu saling hajat menghajatkan, butuh membutuhkan dan dari
situ timbul kesadaran untuk saling bantu-membantu dan tolong-menolong. Tidak mungkin
seseorang dapat bertahan hidup sendirian tanpa bantuan pihak lain.

Empati merupakan respon afektif yang berasal dari pemahaman kondisi emosional
orang lain, perasaan yang sama dengan apa yang dirasakan orang lain. Empati adalah alat
integral untuk mengetahui dan berhubungan dengan orang lain dan menambah kualitas hidup
dan kekayaan interaksi sosial. Empati memiliki peran penting pada perkembangan
pemahaman sosial dan perilaku sosial positif dan berfungsi sebagai dasar pondasi hubungan
dan menjadi dasar koping dengan stressdan penyelesaian konflik (Bar dan Higgins,2009)

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

1) Menjelaskan tentang konsep diri.


2) Menjelaskan tentang suka menolong.
3) Menjelaskan tentang empati.

1.3 TUJUAN
1) Mengaetahui tentang konsep diri.
2) Mengetahui tentang sikap suka menolong.
3) Mengetahui tentang empati.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konsep Diri

Menurut Hurlock (dalam Nia, 2011 : ) konsep diri adalah konsep seseorang dari
siapa dan apa dia itu. Konsep ini merupakan bayangan cermin, ditentukan sebagian besar
oleh peran dan hubungan dengan orang lain, dan apa yang kiranya reaksi orang lain
terhadapnya. Konsep diri mencakup citra diri fisik dan psikologis. Citra diri fisik
biasanya berkaitan dengan penampilan, sedangkan citra diri psikologis berdasarkan atas
pikiran, perasaan, dan emosi. Song dan Hattie (dalam Nia, 2011 : ) mengemukakan
bahwa konsep diri terdiri atas konsep diri akademis dan non akademis. Selanjutnya
konsep diri non akademis dapat dibedakan menjadi konsep diri sosial dan penampilan
diri. Jadi menurut Song dan Hattie, konsep diri secara umum dapat dibedakan menjadi
konsep diri akademis, konsep diri sosial, dan penampilan diri. Menurut Burns (dalam
Erawati, 2011 : ) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita
pikirkan, orang-orang lain berpendapat mengenai diri kita, dan seperti apa diri yang kita
inginkan.

Berdasarkan kajian-kajian teori di atas, maka dasar teori yang digunakan untuk
menyusun kisi-kisi konsep diri adalah gabungan dari teori Hurlock dan teori Song &
Hattie yang menyatakan konsep diri adalah gabungan dari keyakinan yang dimiliki
individu tentang mereka sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial,
emosional, aspirasi dan prestasi. Dimensi konsep diri mencakup citra diri fisik, citra diri
psikologis dan konsep diri sosial. Indikator citra diri fisik biasanya berkaitan dengan
penampilan, indikator citra diri psikologis berdasarkan atas pikiran, perasaan, dan emosi.
Sedangkan indikator konsep diri sosial adalah pandangan, penilaian siswa terhadap
kemampuan bergaul dan kerjasama dengan orang lain.

2.2 Ciri-ciri Konsep Diri

Menurut Calhoun & Acocella (1995), konsep diri merupakan gambaran mental
terhadap diri sendiri yang terdiri dari pengetahuan tentang diri, pengharapan bagi diri
dan penilaian terhadap diri sendiri. Salah satu ciri dari konsep diri yang negatif akan
terkait secara langsung dengan pengetahuan yang tidak tepat terhadap diri sendiri,
pengharapan yang tidak realistis atau mengada-ada, serta harga diri yang rendah. Untuk
menghindari hal tersebut, Sheerer (dalam Cronbach, 1963) memformulasikan ciri-ciri

3
konsep diri positif yang selanjutnya mengarah pada penerimaan diri individu, sebagai
berikut:

 mempunyai keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menghadapi


kehidupan yang dijalaninya,
 menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat
dengan manusia lainnya,
 mampu menempatkan dirinya pada kondisi yang tepat sebagaimana
orang lain, sehingga keberadaannya dapat diterima oleh orang lain,
 bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya,
 menyadari dan tidak merasa malu akan keadaan dirinya,
 kelemahan yang dimilikinya tidak membuatnya menyalahkan dirinya
sendiri, sebagaimana ia mampu menghargai setiap kelebihannya,
 memiliki obyektivitas terhadap setiap pujian ataupun celaan, dan
 tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan
emosi yang ada pada dirinya.

2.3 Faktor-faktor Yang Mmempengaruhi Konsep Diri.

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang, maka peneliti
mengambil kesimpulan bahwasanya faktor-faktor utama yang mempengaruhi konsep
diri pada mahasiswa adalah :

1. Faktor internal :

a. Intelegensi, motivasi dan emosi (karakter mahasiswa).

b. Kompetensi personal (kemampuan dan keterampilan tertentu yang dimiliki

oleh mahasiswa).

c. Episode dalam kehidupan (pengalaman mahasiswa yang berpengaruh

besar dalam hidup, seperti masa sekolah).

d. Episode keberhasilan dan kegagalan (pengalaman dalam memanfaatkan

peluang, misalnya pengalaman berorganisasi).

e. Keberhasilan personal (pengalaman berprestasi).

4
f. Status kesehatan (riwayat kesehatan mahasiswa).

g. Penampilan fisik (kepercayaan diri mahasiswa terhadap penampilannya).

h. Aktualisasi diri, (misalnya hobi mahasiswa).

i. Persepsi tentang kegagalan (pengalaman kegagalan di masa lalu).

j. Jenis kelamin.

k. Religiusitas.

l. Usia.

m. Tingkat stres.

2. Faktor Eksternal

a. Orangtua dan keluarga (hubungan dengan orangtua, termasuk tempat tinggal


individu).

b. Teman sebaya (misalnya teman bermain/peers,teman kuliah, dan lainlain).

c. Peran pendidik (misalnya peran dosen, pementor, pembina, dan lain-lain).

d. Kebudayaan (misalnya suku, agama, adat istiadat, dan lain-lain).

e. Status sosial (misalnya status pendidikan orangtua, pendapatan orangtua, dan


lain-lain).

f. Pengalaman interpersonal (misalnya riwayat pembinaan yang pernah


dilakukan).

Dalam penelitian ini, hal yang difokuskan untuk meningkatkan konsep diri
mahasiswa muslim adalah melalui faktor religiusitas dari faktor internal, dan peran
pendidik dari faktor eksternal.

5
2.4 Pengukuran Konsep Diri

Burns (dalam Strein, 1995) mengemukakan dua cara yang dapat dilakukan untuk
mengukur konsep diri, yaitu :

1. Melalui respon atas aitem-aitem dalam skala konsep diri spesifik yang

diberikan kepada subjek.

2. Melalui pengamatan individual atas pola perilaku yang muncul dari subjek.

Untuk metode pelaporan yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri

individu di antaranya :

1. Skala Penilaian

Skala ini dapat berupa kuesioner, inventori, atau skala-skala sikap


yang diberikan kepada subjek.

2. Daftar ceklist

Metode ini mengarahkan subjek untuk memilih aitem-aitem yang


sesuai dengan kondisi subjek yang sebenarnya.

3. Teknik Sort-Q

Metode ini mengarahkan subjek untuk melakukan sortir ataupun


pengurutan terhadap kumpulan aitem-aitem yang ada dalam tes.
Sehingga didapatkan sebuah kontinum penilaian yang sesuai dengan
diri subjek.

4. Metode respons yang tidak terstruktur (bebas)

Metode ini meminta subjek untuk memberikan jawaban yang tidak


terstruktur (bebas). Jenis soal yang ditawarkan biasanya tertulis dalam
bentuk essay, dimana subjek disuruh untuk menuliskan kata-kata dalam
kolom yang kosong.

6
5. Teknik-teknik proyektif

Teknik ini sering digunakan dalam mengukur konsep diri yang tidak
sadar(unconscious self-concept).

6. Wawancara

Alat ukur yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri ini cukup
banyak. Marsh (1992) membuat beberapa alat ukur konsep diri yang
dapat digunakan di berbagai negara, diantaranya adalah SAS (Sydney
Attributional Scale), SDQI, SDQII, & SDQIII (Self Description
Questionnaire), ASDQI & ASDQII (Academic Self Description
Questionnaire), EASDQ (Elite Athlete Self Description Questionnaire),
PSDQ (Physical Self Description Questionnaire), dan NSCQ (Nurse
Retention Index Questionnaire).

2.5 Kuisioner Konsep Diri


Untuk mengukur variabel konsep diri digunakan kuesioner dengan lima
alternatif jawaban yaitu, sangat sesuai (SS), sesuai (S), kurang sesuai (KS), tidak sesuai
(TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Cara menjawab : jika pada butir 1 anda menjawab
Sangat Setuju maka anda membuat jawaban dikomentar ” 1/SS” dan seterusnya.

NO PERNYATAAN SS S KS TS STS

1 Saya merasa diri saya paling menarik diantara teman-


teman saya.

2 Saya merasa tidak memiliki bentuk tubuh yang indah.

3 Saya merasa saya memiliki mata yang indah.

4 Saya merasa memiliki tinggi badan yang ideal.

7
5 Dihadapan orang saya merasa paling kecil.

6 Saya cocok mengenakan semua jenis pakaian.

7 Saya selalu merasa canggung di depan orang banyak,


karena penampilan saya jelek.

8 Saya merasa saya bukan orang yang cantik/tampan.

9 Saya merasa memiliki sesuatu yang dapat


dibanggakan dari bentuk tubuh saya.

10 Saya selalu merasa tidak puas dengan penampilan


saya.

11 saya merasa saya tidak pernah bahagia.

12 Saya selalu merasa hidup ini indah.

13 Saya merasa pemikiran saya tidak selalu buruk


dengan orang lain.

14 Saya merasa senang teman-teman memberikan


kepercayaan kepada saya.

15 Saya takut untuk mengeluarkan pendapat.

16 Saya merasa mampu menahan amarah saya di depan


umum.

17 Saya canggung untuk mencoba sesuatu hal yang


baru.

8
18 Saya merasa tidak mampu untuk mengambil
keputusan sendiri.

19 Saya selalu merasa bahagia menjalani hidup

20 saya merasa hidup saya selalu sengsara.

21 Saya tidak suka memilih-milih teman dalam bergaul.

22 Saya suka membantu teman saya yang sedang


mengalami kesulitan.

23 Saya mudah mendapat teman dalam bergaul.

24 Saya bisa mengerjakan semua hal tanpa bantuan


orang lain.

25 Saya merasa malu mengeluarkan pendapat pada saat


berbicara dengan teman.

26 Saya suka memilih-milih teman dalam bergaul.

27 Saya tidak suka diajak jalan-jalan oleh teman-teman


saya.

28 Saya kurang menyukai belajar kelompok.

29 Saya simpati melihat teman saya yang sedang


tertimpa musibah.

30 Saya juga ikut bahagia, ketika teman saya bahagia.

9
2.6 Pengertian Suka Menolong

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan menolong berarti membantu


untuk meringankan beban (penderitaan, kesukaran, dsb), membantu dalam
melakukan sesuatu, yaitu dapat berupa bantuan tenaga, waktu, ataupun dana.
Sedangkan dalam bahasa arab (mengutip kamus al-munawwir), kata menolong disebut
dengan istilah ta’awun yang berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu
sesama manusia.

Menurut Dovidio & Penner, 2001(dalam Skripsi Doris Evalina:11), menolong


(helping) adalah suatu tindakan yang bertujuan menghasilkan keuntungan terhadap
pihak lain. Perilaku menolong juga diartikan sebagai suatu tindakan yang menguntungkan
orang lain tanpa harus menguntungkan si penolong secara langsung,bahkan kadang
menimbulkan resiko bagi si penolong (Baron, Byrne & Brascombe, 2006 dalam Sarlito
Sarwono,2009:123)

Perilaku menolong (helping behavior) adalah setiap tindakan yang lebih


memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri
(Wrightsman & Deaux, 1981). Menurut Staub (1978) dan Wispe (1972) perilaku
menolong adalah perilaku yang menguntungkan orang lain lebih daripada diri sendiri
(dalam Hogg dan Vaughan, 2002:538).

2.7 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Menolong

a. Faktor situasional yang mempengaruhi perilaku menolong

1). Kehadiran orang lain


Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane,1970 (dalam Taylor
dkk,2009:479) menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian
darurat akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian
daripada bersama orang lain. Sebab jika hanya satu orang yang menyaksikan
korban menderita, dia sepenuhnya bertanggung jawab untuk merespons
situasi dan akan merasa bersalah jika tidak campur tangan. Namun jika
beberapa orang yang hadir dalam situasi tersebut, bantuan akan datang dari
berbagai sumber. Staub (1978) (dalam Sampson,1976 dalam dayakisni,
2009:177) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas, karena
dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau bersama
orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu
seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu

10
untuk lebih mematuhi norma- norma sosial yang dimotivasi oleh harapan
mendapat pujian.

2) Menolong orang yang disukai (Helping Those You Like)


Kebanyakan penelitian lebih tertarik meneliti pertolongan yang diberikan
seseorang kepada orang asing, karena sudah jelas orang tersebut akan sangat
cenderung menolong anggota keluarga dan teman. Seseorang akan cenderung
menolong orang asing yang menjadi korban, jika si korban tersebut memiliki
persamaan (usia, ras) dengan si penolong tersebut ( Shaw, Borough, & Fink
dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006 dalam skripsi Doris Evalina,
2010:15). Pria sangat cenderung untuk menyediakan bantuan terhadap
seorang wanita yang sedang distress (Piliavin & Unger, 1985), mungkin karena
perbedaan gender dalam kemampuan spesifik, dan mungkin karena wanita
lebih ingin meminta pertolongan daripada pria (dalam Baron, Byrne, &
Branscombe, 2006,dalam skripsi Doris Eva Lina, 2010:15).

3) Pengorbanan yang harus dikeluarkan


Meskipun calon penolong tidak mengalami kekaburan tanggung jawab, tetapi
bila pengorbanan (misalnya; uang, waktu, tenaga, resiko terluka fisik)
diantisipasi terlalu banyak, maka kecil kemungkinan baginya untuk
bertindak prososial (William, 1981 dalam Dayakisni & Hudaniah,
2009:177). Sebaliknya kalau pengorbanan rendah dengan pengukuh kuat,
orang akan lebih siap memberi bantuan (Baron & Byrne, 1994 dalam
Dayakisni & Hudaniah, 2009:177).

4) Atribusi terhadap korban


Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang lain bila
ia mengasumsikan bahwa ketidakberuntungan korban adalah diluar kendali
korban (Weiner, 1980 dalam Sarwono, 2009:133). Oleh karena itu, seseorang
akan lebih bersedia memberikan sumbangan kepada pengemis cacat dan tua
dibandingkan dengan pengemis yang sehat dan muda. Dengan demikian,
pertolongan tidak akan diberikan bila bystander mengasumsika kejadian
yang kurang menguntungkan pada korban adalah akibat kesalahan korban.

5) Ada Model

Seperti yang dijelaskan dalam teori belajar sosial, adanya model yang
melakukan tindakan menolong dapat mendorong seseorang untuk

11
memberikan pertolongan pada orang lain. Contoh dalam kejadian sehari-
hari, misalnya banyak tempat seperti rumah makan atau pasar swalayan
yang menyediakan kotak amal dan sudah ada uang di dalamnya, hal ini
tentunya dimaksudkan untuk menarik perhatian pengunjung yang datang ke
tempat itu agar mau turut menyumbang.

6) Desakan Waktu

Orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung tidak menolong, sedangkan


orang yang punya waktu luang lebih besar kemungkinannya untuk
memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukannya .

7) Sifat Kebutuhan Korban


Kesediaan untuk menolong dipengaruhi oleh kejelasan bahwa korban
benar-benar membutuhkan pertolongan (clarity of need), korban memang
layak mendapatkan bantuan yang dibutuhkan (legitimate of need), dan
bukanlah tanggung jawab korban sehingga ia memerlukan bantuan dari orang
lain (atribusi eksternal) (Deaux, Dane, Wrightsman, 1993 dalam Sarwono,
2009:134).

b. Faktor personal yang mempengaruhi perilaku menolong.


1) Suasana Hati (mood)
Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya untuk menolong
(Baron, Byrne & Branscome, 2006 dalam Sarwono, 2009:134). Emosi
sendiri sering dibagi menjadi dua bagian, yaitu emosi positif dan negatif.

a) Emosi positif dan perilaku menolong

Pada umumnya seseorang yang sedang memiliki mood yang baik akan
lebih cenderung menampilkan perilaku menolong. Ada banyak bukti
bahwa orang bersedia menolong dalam keadaan good mood, misalnya
setelah menemukan uang (Isen & Simmonds, 1978 dalam Taylor
2009:471), atau ketika mereka baru saja menemukan hadiah (Isen
&nLevin, 1972 dalam Taylor, 2009:471) atau setelah mendengarkan
music yang menyenangkan (Fried & Berkowitz, 1979 dalam Taylor,
2009:471). Mood positif menyebabkan kita mempunyai pikiran lebih
positif dan kita mempunyai pikiran lebih positif dan kita memberi
bantuan guna mempertahankan mood positif tersebut. (Taylor,dkk, 2009)

b) Emosi negatif dan perilaku menolong


12
Pada umumnya, seseorang yang berada dalam mood negatif
cenderung kurang dalam menolong oranglain. Hal itu benar, bahwa
seorang yang tidak senang (unhappy) sedang fokus pada masalahnya,
cenderung kurang dalam perilaku prososial. Efek dari bad mood
terhadap tindakan menolong adalah lebih kompleks (Carlson & Miller,
1987 dalam Taylor, 2009:472), mood buruk menyebabkan kita focus
pada diri kita dan kebutuhan kita, maka ini akan menurunkan
kemungkinan kita untuk membantu orang lain. Akan tetapi, di lain
pihak emosi negatif dapat memiliki sebuah dampak positif pada
perilaku menolong. Jika kita menganggap tindakan orang lain
menyebabkan diri kita merasa lebih baik dan mengurangi perasaan
buruk kita, maka kita lebih mungkin untuk memberi bantuan
(Cldini,Darby, Vincent 1973: Schaler & Ciadini,1988 dalam Taylor
dkk,2009:472).

2) Sifat
Beberapa penelitian membuktikan terdapat hubungan antara karakteristik
seseorang dengan kecenderungannya untuk menolong. Orang yang
mempunyai sifat pemaaf (forgiveness), ia akan mempunyai kecenderungan
mudah menolong (Karremans, dkk, 2005 dalam Sarwono, 2009:135).

3) Jenis Kelamin
Peranan Gender terhadap kecenderungan seseorang untuk menolong sangat
bergantung pada situasi dan bentuk pertolongan yang dibutuhkan.
Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap perilaku menolong
yang aktual, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
pria dan wanita. Sekalipun ditemukan perbedaan, maka kecenderungan yang
lebih besar akan mengarah pada pria, bukan wanita (Pivilain & Unger,
1985). Hal ini didukung oleh hasil yang diperoleh Eagley dan Crowley
(Taylor, dkk, 2009:478) melalui sebuah review meta-analisis yang dilakukan
terhadap 172 penelitian mengenai perilaku menolong.

4) Usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara usia
dan perilaku menolong (Peterson, 1983 dalam Dayakisni & Hudaniah, 2009).
Dengan bertambahnya usia individu akan makin dapat memahami atau

13
menerima norma-norma sosial (Staub, 1978, dalam Dayakisni & Hudaniah,
2009:182).

2.8 Pengertian Empati

Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan.


Istilah ini, pada awalnya digunakan oleh para teoritikus estetika untuk
pengalaman subjektif orang lain. Kemudian pada tahun 1920-an seorang
ahli psikologi Amerika, E. B. Tichener, untuk pertama kalinya
menggunakan istilah mimikri motor untuk istilah empati. Istilah Tichener
menyatakan bahwa empati berasa dari peniruan secara fisik atas beban
orang lain yang kemudian menimbulkan perasaan serupa dalam diri
seseorang.

Menurut M Umar dan Ahmadi Ali, empati adalah suatu


kecenderungan yang dirasakan seseorang untuk merasakan sesuatu yang
dilakukan orang lain andaikan ia berada dalam situasi orang lain,
sedangkan Patton berpendapat bahwa, empati bermakna memposisikan
diri pada posisi orang lain. Meskipun ini tidak mudah, tetapi sangat perlu
jika seseorang ingin memiliki rasa kasih kepada orang lain serta ingin
memahami dan memperhatikan orang lain. Berangkat dari pengeertian ini
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dibutuhkan waktu untuk
mendekatkan diri sebagai hal yang dapat mempererat persahabatan dan
menunjukkan kesediaan untuk membantu orang lain.

2.9 Perkembangan Empati.

Berdasarkan hasil sebuah studi ditemukan bahwa akar empati


dapat dilacak sejak masa bayi. Pada saat bayi lahir, ia akan terganggu bila
mendengar ada bayi lain sedang menangis. Respon tersebut, oleh beberapa
ahli dianggap sebagai tanda-tanda awal tumbuhnya empati. Para ahli
psikologi perkembangan anak menemukan bahwa bayi merasakan baban
stress simpatetik, bahkan sebelum bayi tersebut menyadari bahwa
keberadaanya terpisah dari orang lain. Bayi menangis bila anak lain
menangis.

Daniel Goleman mengutip Martin Hoffman bahwa akar dari moralitas


berada dalam empati karena dalam berbagai kesusahan dengan seseorang

14
kita merasa tergerak untuk membantu. Empati menarik perhatian terhadap
masalah-masalah kebutuhan sosial dan ketidak-adilan yang memerlukan
tindakan kita. Masalah-masalah sosial menjadi masalah kita karena dengan
empati yang mendarah daging kita benar- benar menjadi masyarakat.

Pelajaran pertama tentang empati pada manusia telah dimulai pada


masa bayi ketika berada dalam timangan orang tua. Ikatan emosi yang
pertama kali dialami ini akan menjadi landasan untuk pembelajaran
tentang kerjasama dan syarat-syarat agar dapat diterima dengan baik dalam
penerimaan keanggotaan sebuah kelompok.

Hoffman mengemukakan bahwa perkembangan empati terbagi dalam


empat tingkatan di masa perkembangan individu, yaitu:

a. Pada umur satu tahun, anak-anak mulai memahami dirinya apabila


melihat anak lain jatuh dan menangis.
b. Pada awal usia dua tahun, anak-anak mulai memahami bahwa
perasaan orang lain berbeda dengan perasannya, sehingga, anak
lebih peka terhadap syarat-syarat yang mengungkapkan perasaan
orang lain.
c. Pada akhir masa anak-anak, anak dapat merasakan kesengsaraan
suatu kelompok masyarakat, misalnya kaum miskin, kaum yang
tertindas, atau mereka yang secara sosial terkucil di tengah-tengah
masyarakat.
3.0 Ciri dan Karakteristik Empati

Empati menekankan pentingnya mengindra perasaan orang lain


sebagai dasar untuk membangun hubungan sosial yang sehat antara
dirinya dengan orang lain. Bila self awareness terfokus pada pengenalan
emosi sendiri, dalam empati, perhatiannya dialihkan kepada pengenalan
emosi orang lain. Semakin seseorang mengetahui emosi sendiri,
semakin terampil pula ia membaca emosi orang lain. Dengan demikian,
empati dapat dipahami sebagai kemampuan mengindera perasaan dari
perspektif orang lain. Menurut Golleman pula, ada 3 ciri-ciri
kemampuan empati yang harus dimiliki sebagai bagian dari kecerdasan
emosional,antara lain:

15
a. Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik; artinya, seorang
individu harus mampu memberi perhatian dan menjadi pendengar
yang baik bagi segala permasalahan yang diungkapkan orang lain
kepadanya.
b. Menerima sudut pandang orang lain; artinya, individu mampu
memandang permasalahan dari titik pandang orang lain sehingga
akan menimbulkan toleransi dan kemampuan dalam menerima
segenap perbedaan.
c. Peka terhadap perasaan orang lain; artinya, individu mampu
membaca perasaan orang lain dari isyarat verbal dan non-verbal,
seperti nada bicara, ekspresi wajah, gerak-gerik, dan bahasa tubuh
orang lain.

Goleman menyebutkan bahwa ciri-ciri atau karakteristik orang yang


berempati tinggi adalah sebagai berikut:

a)
Ikut merasakan (sharing feeling), yaitu kemampuan untuk
mengetahui bagaimana perasaan orang lain; hal ini berarti
individu mampu merasakan suatu emosi dan mampu
mengidentifikasikan perasaan orang lain.
b) Dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin seseorang
mengetahui emosi diri sendiri, semakin terampil pula ia
membaca emosi orang lain. Dengan hal ini, ia berarti mampu
membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan
orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri.
Dengan meningkatkan kemampuan kognitif, khususnya
kemampuan menerima perspektif orang lain dan mengambil
alih perannya, seseorang akan memperoleh pemahaman
terhadap perasaan orang lain dan emosi orang lain yang lebih
lengkap, sehingga mereka lebih menaruh belas kasihan
kemudian lebih banyak membantu orang lain dengan cara
yang tepat.

c) Peka terhadap bahasa isyarat; Karena emosi lebih sering


diungkapkan melalui bahasa isyarat (non-verbal). Hal ini
berarti bahwa individu mampu membaca perasaan orang
lain dalam bahasa non-verbal seperti ekspresi wajah,
16
bahasa tubuh, dan gerak-geriknya.
d) Mengambil peran (role taking); empati melahirkan perilaku
konkrit. Jika individu menyadari apa yang dirasakannya
setiap saat, maka empati akan datang dengan sendirinya, dan
lebih lanjut individu tersebut akan bereaksi terhadap isyarat-
isyarat orang lain dengan sensasi fisiknya sendiri tidak hanya
dengan pengakuan kognitif terhadap perasaan mereka, akan
tetapi, empati juga akan membuka mata individu tersebut
terhadap penderitaan orang lain; dengan arti, ketika
seseorang merasakan penderitaan.
e) Kontrol emosi; menyadari dirinya sedang berempati; tidak
larut dalam masalah yang sedang dihadapi oleh orang lain.

3.1 Faktor Yang Mmempengaruhi Empati

Hoffman mengemukakan bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi


seseorang dalam menerima dan memberi empati, adalah sebagai berikut:

a) Sosialisasi
Sosialisasi dapat mempengaruhi empati melalui permainan-
permaianan yang memberikan peluang kepada anak untuk
mengalami sejumlah emosi, membantu untuk lebih berpikir dan
memberikan perhatian kepada orang lain, serta lebih terbuka
terhadap kebutuhan orang lain sehingga akan meningkatkan
kemampuan berempatinya. Model atau peragaan yang diberikan
pada anak-anak tidak hanya dapat menimbulkan respon pro- sosial,
tetapi juga dapat mengembangkan perasaan empati dalam diri
anak.
b) Mood and Feeling
Apabila seseorang dalam situasi perasaan yang baik, maka
dalam berinteraksi dan menghadapi orang lain ia akan lebih baik
dalam menerima keadaan orang lain.
c) Proses Belajar dan Identifikasi

Dalam proses belajar, seorang anak membutuhkan respon-


respon khas, dari situasi yang khas, yang disesuaikan dengan
17
peraturan yang dibuat oleh orang tua atau penguasa lainnya. Apa
yang telah dipelajari anak di rumah pada situasi tertentu,
diharapkan dapat pula diterapkan olehnya pada waktu yang lebih
luas di kemudian hari.
d) Situasi atau Tempat
Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik
dibandingkan dengan situasi yang lain. Hal ini disebabkan situasi
dan tempat yang berbeda dapat memberikan suasana yang berbeda
pula. Nah, suasana yang berbeda inilah yang dapat meninggi-
rendahkan empati seorang anak.

e) Komunikasi dan Bahasa


Komunikasi dan Bahasa sangat mempengaruhi seseorang
dalam mengungkapkan dan menerima empati. Ini terbukti dalam
penyampaian atau penerimaan bahasa yang disampaikan dan diterima
olehnya. Bahasa yang baik akan memunculkan empati yang baik.
Sedangkan komunikasi dan bahasa yang buruk akan menyebabkan
lahirnya empati yang buruk.

f) Pengasuhan
Lingkungan yang berempati dari suatu keluarga sangat
membantu anak dalam menumbuhkan empati dalam dirinya.
Seorang anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang broken
home atau dibesarkan dalam kehidupan rumah yang penuh cacian
dan makian dan persoalan dapat dipastikan akan menumbuhkan
empati buruk pula dalam diri si anak. Sebaliknya, pengasuhan
dalam suasana rumah yang baik akan menyebabkan empati anak
tumbuh dengan baik pula.

18
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Konsep diri adalah gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu


tentang mereka sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial,
emosional, aspirasi dan prestasi. Dimensi konsep diri mencakup citra diri fisik, citra
diri psikologis dan konsep diri sosial. Indikator citra diri fisik biasanya berkaitan
dengan penampilan, indikator citra diri psikologis berdasarkan atas pikiran, perasaan,
dan emosi. Sedangkan indikator konsep diri sosial adalah pandangan, penilaian siswa
terhadap kemampuan bergaul dan kerjasama dengan orang lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan menolong berarti membantu
untuk meringankan beban (penderitaan, kesukaran, dsb), membantu dalam
melakukan sesuatu, yaitu dapat berupa bantuan tenaga, waktu, ataupun dana.
Sedangkan dalam bahasa arab (mengutip kamus al-munawwir), kata menolong disebut
dengan istilah ta’awun yang berarti tolong menolong, gotong royong, bantu membantu
sesama manusia.

Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan. Istilah ini,
pada awalnya digunakan oleh para teoritikus estetika untuk pengalaman subjektif
orang lain. Kemudian pada tahun 1920-an seorang ahli psikologi Amerika, E. B.
Tichener, untuk pertama kalinya menggunakan istilah mimikri motor untuk istilah
empati. Istilah Tichener menyatakan bahwa empati berasa dari peniruan secara fisik
atas beban orang lain yang kemudian menimbulkan perasaan serupa dalam diri
seseorang.

4.2 Saran
Dalam penulisan tugas ini kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
kritikan dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan kesempurnaan
tugas kami atas kritik dan sarannya kami sampaikan terima kasih.

19
DAFTAR PUSTAKA

Alvin Fadilla Helmi, Gaya Kelekatan dan Konsep Diri, Jurnal Psikologi 2009 UGM
Hal.9

Jalaludin Rakhmat, Psikologi komunikasi, Edisi Revisi, Penerbit Rosda Karya Hal 99-
100

Lita H Wulandari & Pati Rola, Konsep Diri dan Motivasi Berprestasi Remaja, Jurnal
Pemberdayaan Komunitas, Mei 2014, Volume 3 Nomor 2 Hal 81-81

Mustafa Al-Ghalayini, Syekh 2015. Bimbingan Menuju ke Akhlak yang Luhur.


Semarang. CV: Toha Putra

Barron, R. A dan Byrne D (2005) Psikologi Sosial. Jilid 2. Alih Bahasa: Ratna
Djuwita. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga

Hoffman, M. L (2010) Emphaty : Thw Formative Years, Implications for Children


Practice. Journal New Direction in Psycology

Taufik (2012) Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafinfo Persada.

20
21
22
23
24
25
26
27
28
29

Você também pode gostar