Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Detik News
Beberapa tahun yang lalu Indonesia pernah dihebohkan oleh cerita seorang gadis belia
Indonesia yang menikah dengan bangsawan negeri jiran Malaysia dan hidup bersama dengan
suaminya di Malaysia. Sepertinya tidak ada yang salah dengan cerita itu. Akan tetapi cerita
tersebut berubah menjadi cerita penculikan dan penganiayaan. Dari kejadian tersebut, wanita
yang diketahui bernama Manohara Odelia Pinot mengkritik pemerintahan Indonesia yang
tidak memberikan perlindungan kepada Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri
seperti yang tercantum pada UU no. 12 tahun 2006. Akan tetapi, setelah ditilik lebih jauh,
kasus ini ternyata terkait dengan kewarganegaraan yang dimiliki oleh Manohara.
Diketahui bahwa ayah biologis Manohara adalah warga Perancis yang mempunyai
kewarganegaraan Amerika Serikat. Sedangkan ayah tiri Manohara yang memberikan nama
Pinot sebagai nama belakang Manohara adalah seseorang berkewarganegaraan Jerman.
Dengan kondisi seperti itu, Manohara juga bisa saja memilih salah satu contoh kasus
kewarganegaraan ganda berdasarkan keturunan dari ayahnya. Ayah Manohara juga meminta
Amerika Serikat untuk menangani kasus tersebut karena Manohara mempunyai
kewarganegaraan Amerika Serikat.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kewarganegaraan seseorang yang memiliki
kewarganegaraan ganda harus diputuskan saat ia sudah mencapai usia 18 tahun atau sudah
menikah. Menganut asas ini, Manohara yang pada waktu itu berusia 17 tahun sudah bisa
memilih kewarganegaraan karena ia sudah menikah pada usia 16 tahun. Dengan begitu, status
kewarganegaraan Manohara juga bisa berubah menjadi kewarganegaraan Malaysia karena
suaminya berkewarganegaraan Malaysia. Kasus kewarganegaraan ganda ini menghambat
pihak yang berwenang untuk mengambil langkah hukum. Lebih – lebih kasus ini adalah
kasus yang mengkaitkan hukum 2 negara, sehingga penanganannya tidak bisa dilakukan
secara sepihak.
Hukum terhadap kasus Manohara ini yang menurut saya penanganan kasusnya sudah melebar
dan melenceng dari prosedur peraturan hukum yang lazim yang berlaku. Baik hukum
Indonesia maupun hukum internasional.
Jadi dalam hal ini saya bukannya ingin memanfaatkan kasus ini untuk ikut numpang beken.
Atau istilah-istilah lain yang berkonotasi sama. Namun, semata-mata sebagai seorang praktisi
hukum saya berusaha ingin meluruskan penanganan kasus Manohara yang telah jauh
melenceng tersebut.
Baiklah. Selanjutnya saya akan mencoba untuk menganalisis satu per satu permasalahan
dalam kasus Manohara tersebut.
1. Delik atau Tindak Pidana yang dituduhkan oleh Manohara terhadap suaminya.
Sepengetahuan saya yang tidak mengikuti secara detail kasus ini. Namun, sepintas saya
mendengar atau membaca bahwa tindak pidana yang disangkakan kepada suaminya Putra
Raja Kelantan Malaysia adalah:
- Penganiayaan.
- Penyekapan.
- Pemerkosaan.
- Berbagai perbuatan yang tidak menyenangkan lainnya.
- Tindak pidana yang dituduhkan tersebut terjadi dalam sebuah keluarga, yaitu oleh suami
terhadap istri.
Dalam Hukum Indonesia tindak pidana yang dituduhkan tersebut termasuk kategori Tindak
Pidana Umum di mana penyidik tunggalnya adalah Polri. Dalam penanganan kasus pidana
tersebut hanya dapat dilakukan oleh Pihak Kepolisian yang wewenang\/jurisdiksinya
mencakup wilayah tempat kejadian perkara\/kasus yang dituduhkan tersebut setelah
menerima laporan resmi dari Korban dengan disertai bukti-bukti dan saksi saksi.
2. Locus Delicti atau Tempat Kejadian Perkara (TKP). Tempat Kejadian Perkara yang
dituduhkan oleh Manohara adalah di Negara Malaysia, yang berada di luar jurisdiksi hukum
nasional dan aparat kepolisian Indonesia. Jadi dalam kasus yang menimpa Manohara ini,
yang bisa menangani perkara tersebut adalah Kepolisian Diraja Malaysia karena Tempat
Kejadian Perkara ini adalah di Malaysia.
Kepolisian Indonesia hanya dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang
dilakukan di wilayah hukum negara Indonesia termasuk Kedutaan Besar RI di luar negeri, di
atas kapal berbendera Indonesia, atau terhadap tindak pidana yang dianggap mengancam
kedaulatan negara yang dilakukan di luar negeri.
Manohara dan keluarga seharusnya berterima kasih kepada Mabes Polri yang mau menerima
Laporan Ibunya Manohara dan sempat melakukan pemeriksaan. Seandainya saya adalah
Petugas Kepolisian yang bertugas di bagian penerimaan Laporan\/Pengaduan Mabes Polri,
secara tegas saya akan menolak laporan tersebut karena kasusnya di luar jurisdiksi kepolisian
Indonesia.
3. Dapatkah Manohara meminta visum kepada Dokter Forensik? Secara harafiah visum et
repertum adalah apa yang dilihat dan apa yang diketemukan. Tetapi, pengertian peristilahan,
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan apa yang diketemukan dalam melakukan
pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau meninggal dunia (mayat).
a. Prosedur permintaan visum ini, sebagai berikut: Permohonan harus dilakukan secara
tertulis, oleh pihak-pihak yang diperkenankan untuk itu. Alasannya karena permohonan
visum ini berdimensi hukum, artinya dokter tidak boleh dengan serta merta melakukan
pemeriksaan terhadap seseorang yang luka, yang terganggu kesehatannya atau pun seseorang
yang mati karena tindak pidana atau tersangka sebagai korban tindak pidana.
b. Permohonan ini harus diserahkan oleh penyidik bersamaan dengan korban, tersangka, dan
juga barang bukti kepada dokter ahli kedokteran kehakiman. Alasannya untuk dapat
menyimpulkan hasil pemeriksaannya, dokter tidak dapat melepaskan diri dari dengan yang
lain. Artinya peranan alat bukti yang lain selain korban mutlak diperlukan.
c. Pihak-pihak yang berwenang meminta bantuan ahli kedokteran kehakiman dalam
kaitannya dengan persoalan hukum yang hanya dapat dipecahkan dengan bantuan ilmu
kedokteran kehakiman :
1. Hakim pidana, melalui jaksa dan dilaksanakan oleh penyidik;
2. Hakim perdata, meminta langsung kepada ahli kedokteran;
3. Hakim pada Pengadilan Agama;
4. Jaksa penuntut umum;
5. Penyidik
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, bisakah Manohara memperkarakan kasus tersebut
ke Mahkamah Internasional?
Mahkamah Internasional adalah peradilan untuk negara seperti yang telah disebutkan dalam
Pasal 34 ayat 1 Statuta Mahkamah yang menyatakan bahwa: \\\"Only states may be parties in
cases before the Court\\\". Dengan demikian berarti bahwa perseorangan, badan hukum, serta
organisasi internasional pada umumnya tidak dapat menjadi pihak untuk berperkara di muka
Mahkamah Internasional.
Jadi dalam hal ini sudah jelas bahwa Manohara adalah seorang individu perorangan dan
berarti tidak bisa mengajukan perkara ke Mahkamah Internasional. Mahkamah Internasional
hanya biasa menerima kasus tersebut apabila kepentingan Manohara tersebut diwakili oleh
Negara Indonesia dan yang menjadi pihak yang diperkarakan yaitu Suaminya Manohara
diwakili oleh Negara Malaysia, seperti yang dilakukan oleh Libya yang memperkarakan
Amerika Serikat, Inggris, dan Skotlandia ketika membela kepentingan Warga negaranya yang
dituduh terlibat dalam peristiwa jatuhnya pesawat Pan Am di Skotlandia yang terkenal
sebagai kasus Lockerbie.
Namun, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kasus Manohara ini sudah
\\\'pantas\\\' untuk dibela mati-matian oleh Pemerintah Indonesia seperti yang dilakukan oleh
Pemerintah Libya tersebut?
Terhadap hal ini perlu diperjelas status kewarganegaraan Manohara. Apakah masih WNI atau
telah menjadi Warga Negara Malaysia mengingat dia telah menikah dengan Warga Negara
Malaysia. Dan, mengenai perlindungan terhadap WNI yang dikeluhkan oleh Manohara
tersebut, menurut saya tugas utama KBRI di luar negeri adalah melindungi WNI yang berada
di luar negeri sebagai TKI, pelajar\/mahasiswa, turis, dan lain-lain status di mana WNI
tersebut tidak tunduk atau terikat dalam hukum privat negara tersebut.
Sedangkan Manohara adalah WNI yang telah menikah dengan Warga Negara Malaysia.
Pernikahannya pun dilakukan di Malaysia. Tentunya dia terikat dengan Hukum Perkawinan
Malaysia dan Hukum Kewarganegaraan di Malaysia.
Apalagi fakta menyebutkan bahwa ternyata Manohara memiliki dua kewarganegaraan yaitu
WNI dan Amerika Serikat (dan mungkin juga WN Malaysia apabila ternyata Undang-
Undang Kewarganegaraan Malaysia dan Undang-Undang perkawinan mengaturnya). Berarti
Manohara telah melanggar Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia karena Indonesia
tidak menganut Dwi Kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda.
Hendro Wibowo
Jl Sedap Malam No 39 Bandung
final.fortuner@gmail.com
08562318480
Pemberitaan terkait status kewarganegaraan ganda Menteri ESDM, Archandra Tahar, dan
anggota Paskibraka asal Depok, Jawa Barat, Gloria Natapraja-Hamel memunculkan
perdebatan tetang kewarganegaraan ganda bagi warga Indonesia.
Dewi Tjakrawinata, salah satu koordinator Aliansi Pelangi Antar Bangsa, kelompok yang
turut mengadvokasi dwikewarganegaraan terbatas untuk anak usia di bawah 18 tahun -yang
kemudian ditetapkan lewat UU Nomor 12/2006- menyatakan bahwa pemberlakuan
kewarganegaraan ganda bisa memberikan manfaat perlindungan buat warga negara
Indonesia.
"Coba, kawan-kawan buruh migran, TKI, yang mengirimkan devisa, tapi mereka terseok-
seok di negara lain dengan mendapat perlakuan tidak adil karena mereka bukan warga negara
setempat."
"Jadi haknya dia sebagai pekerja segala macam, lebih sedikit dibandingkan kalau dia warga
negara dari negara itu. Saya masih yakin diaspora Indonesia adalah salah satu pengirim
devisa terbesar, tapi Indonesia yang tidak mau melindungi mereka," tambah Dewi.
Bukan hanya soal perlindungan, Dewi juga masih mendorong pemberlakuan dwi
kewarganegaraan untuk anak-anak dari keluarga pernikahan WNI dan WNA tanpa batas usia.
Saat ini, anak dari pernikahan 'campur' wajib memilih kewarganegaraan pada saat mereka
berusia 18 tahun, namun Dewi ingin memperjuangkan tidak ada lagi batasan usia.
Menurut Hikmahanto, ketika seorang WNA dengan dwi kewarganegaraan dan berasal dari
Indonesia, maka bantuan bisa diberikan, namun ketika orang asing yang tidak ada kaitannya
sama sekali dengan Indonesia tapi memiliki status WNI, "Pertanyaannya, apakah pemerintah
terseret dengan perlindungan yang membutuhkan biaya, energi, dan sebagainya?"
Hikmawanto memberi contoh jika seorang WNA yang juga memiliki kewarganegaraan ganda
Indonesia menjadi sandera dalam kasus Abu Sayyaf, "Apakah orang asing yang bukan dari
Indonesia juga harus dibantu oleh pemerintah Indonesia?"
"Tidak perlu kita mengakomodir itu. Itu sumpah yang menjadi warga negara Amerika kan dia
harus mengingkari semua ketentuan dan perintah negara asalnya, berarti dia mengingkari
Pancasila dong, dia mengingkari UUD 1945, bagaimana masih bisa mengakomodir karena
persoalan talenta," kata Effendi.
Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke Amerika Serikat pada awal 2015 lalu sudah
menjanjikan untuk segera menyelesaikan RUU Dwikewarganegaraan. RUU tersebut sudah
masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019.