Você está na página 1de 3

ANALISIS JURNAL

Amalia Sholikhah Joenaifa

A. Identitas Jurnal
• Judul :
“DECENTRALISE PLANNING FOR PRE-CONFLICT AND POST-CONFLICT
MANAGEMENT, BAWKU MUNICIPAL ASSEMBLY, GHANA”
• Penulis : Aasoglenang Arkum Thaddeus & Baataar Cuthbert
• Departemen Penulis :
Aasoglenang Arkum Thaddeus (Department of Community Development, Faculty of
Planning and Land Management, University for Development Studies, Wa, Ghana)
Baataar Cuthbert (Department of African Studies and General Studies, Faculty of Integrated
Development Studies, University for Development Studies, Wa, Ghana)
• Penerbit : European Scientific Journal
• Jenis penelitian : Study Kasus
• Tujuan Penelitian : mengetahui apakah majelis kota yang merupakan otoritas perencanaan
menggunakan fungsinya sebagai majelis yang melakukan perencanaan untuk mengatasi
konflik.
• Metodologi Penelitian :
Teknik Penelitian : Teknik Sampling & Teknik Random
B. Ringkasasan jurnal
Untuk mengatasi kekurangan dari program pembangunan yang dikelola secara terpusat
sekitar tahun 1950-an dan 1960-an, maka pada tahun 1970-an dan 1980-an Ghana melakukan
reformasi sektor publik yang implikasinya diperkenalkannya desentralisasi pemerintahan
yang bertujuan untuk memfasilitasi pembangunan ditingkat akar rumput, juga sebagai
kendaraan untuk mendistribusikan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi agar lebih merata,
untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan dari semua segmen masyarakat dan untuk
meningkatkan standar hidup masyarakat miskin (akuoka.primpong,1994). Namun upaya
tersebut belum mendapatkan hasil yang memuaskan terutama dibeberapa wilayah Kotamadya
karena munculnya konflik dan kekerasan.
Kotamadya bawku telah mengalami banyak konflik antaretnis sejak tahun 1930 karena
suksesi kepala suku. Segala cara dilakukan pemerintahan Ghana untuk menanggulangi
konflik termasuk menerbitkan empat konstitusi Republik Ghana yang mengatur langkah-
langkah yang harus diambil untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam rangka
merencanakan, memulai, mengkoordinasikan, mengelola dan melaksanakan kebijakan
sehubungan dengan hal-hal yang dapat mempengaruhi masyarakat Bawku, khususnya suku
mamprusis dan kusasis, juga mengatur pembentukan suatu majelis Mucipal yang berwenang
untuk melakukan perencanaan di bidang pembangunan termasuk manajemen konflik, namun
harapan Majelis Municipal Bawku untuk dapat menentukan rencana strategis untuk
menangani situasi konflik tidak terjadi. Beberapa rencana telah dirumuskan selama bertahun-
tahun oleh Majelis Municipal tapi prevelensi konflik tetap tinggi, ditambah dengan adanya
beberapa tokoh suku yang menginginkan konflik terus terjadi untuk mempertahankan
kepentingannya.
• Mekanisme manajemen konflik di Bawku
Dua implikasi yang ditemukan di konflik Bawku :
1. Masalah konflik disepelekan
2. Fungsi Perencanaan dari majelis belum ditafsirkan sebagai mandate atau kekuasaan untuk
merencanakan pencegahan, resolusi dan manajemen banyak dan akar permasalahan konflik
di Kotamadya.
• Pasca Konflik
Setelah konflik mematikan pada tahun 2000/2001, majelis mendukung Bawku Peace
Initiative untuk mendirikan sebuah forum mediasi antara Mamprusis dan Kusasis. Hasil
proses mediasi menyatakan bahwa, baik mamprusis dan kusasis harus memperhatikan lima
resolusi yang telah disepakati dan dihormati oleh semua orang untuk perdamaian yang
dikehendaki semua masyarakat di Kotamadya tersebut. Tapi selama satu decade resolusi yang
didengungkan belum dapat tercapai. Keadaan ini menunjukkan pendekatan manajemen
konflik yang diadopsi pada tahun 2001 tidak mengatasi masalah mendasar yang diakibatkan
oleh sifat kompleks dari ketidaksepakatan.
• Manajemen konflik dan Implikasinya terhadap MTDP majelis
MTDPs Kotamadya selama bertahun-tahun belum berhasil dilaksanakan. Ini berarti bahwa
proyek-proyek pembangunan yang diharapkan untuk menyebarkan dan mengurangi
kemiskinan tidak semuanya sukses. Strategi manajemen konflik saat ini diadopsi oleh majelis
untuk seluruhnya dipercayakan pada badan-badan keamanan dan kampanye pendidikan tidak
menawarkan harapan yang meyakinkan untuk masa depan. Tim yang efektif dibentuk secara
rutin guna memantau isu-isu konflik dilapangan untuk respon yang tepat.
• Kesimpulan
Konflik memang diakui dalam Majelis MTDPs akan tetapi tidak ada peraturan baku
dilembaga tersebut yang ditujukan untuk pengembangan jangka panjang untuk mengatasi
konflik. Majelis tidak pernah melakukan perencanaan untuk mengelola konflik.
C. Analisis
Konflik yang terjadi selama bertahun-tahun di kota bawku merupakan konflik horizontal
antara suku mamprusis dan kusasis yang diakibatkan dari pergantian kepala suku yang
menjadi akar penyebab konflik dan kekerasan. Hal ini sesuai dengan teori Fisher (2001:19)
yang menyatakan bahwa Prakonflik merupakan periode saat terdapat suatu ketidaksesuaian
sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Menurut kelompok kami,
konflik di Bawku juga terjadi karena besarnya identitas kesukuan dalam setiap aktifitas
kehidupan di Ghana. Identitas kesukuan ini mendarah daging dan menjadi identitas Politik,
Sehingga dalam kancah perpolitikan di Negara tersebut,kepala suku memiliki peran penting,
dimana Lembaga kepala suku merupakan otoritas pemerintahan adat tertinggi dalam sistem
Negara pra-kolonial Ghana. Selain itu adanya Kepentingan-kepentingan antar golongan
mengakibatkan konflik yang terjadi semakin sulit untuk diselesaikan. Konflik tersebut
berlangsung secara terus-menerus, Jika konflik ini dibiarkan maka konflik tersebut akan
berujung pada kerusuhan dan Kekerasan.
Disisi lain, Konflik yang terjadi di Bawku merupakan kendala utama bagi pelaksanaan
perencanaan pembangunan, namun isi dari perencanaan yang dirancang tidak memiliki
strategi dan program-program yang secara eksplisit fokus pada pertimbangkan konflik
sebagai tantangan pembangunan, dimana konflik tersebut memerlukan pengelolaan yang
pragmatis. Akibatnya tidak ada anggaran yang disediakan untuk mengatasi konflik di Bawku.
Tidak adanya anggaran menyebabkan konflik yang terjadi mendapatkan penanganan yang
kurang baik, hal ini berdampak pada konflik yang berkepanjangan. Ini dibuktikan dengan
masih adanya perseteruan antara suku mamprusis dan kusasis mengenai persengketaan lahan
pertanian. Menurut kami, kasus seperti diatas sebenarnya dapat diatasi dengan mudah,
asalkan pemerintah dan suku yang terlibat mampu melakukan negosiasi, namun faktanya
dalam kasus ini pemerintah Bawku dan suku tidak dapat bekerjasama dengan baik, sehingga
konflik yang semula hanya berupa persengketaan berubah menjadi kekerasan yang
mengakibatkan sektor ekonomi tidak berjalan dengan baik, bahkan pekerja sektor publik
meninggalkan Kota Bawku selama konflik berlangsung. Hal ini berbanding lurus dengan
teori yang diungkapkan oleh fisher, dimana beliau menyebutkan bahwa teori Krisis
merupakan puncak konflik. Tahap ketika konflik pecah menjadi bentuk aksi-aksi kekerasan
yang dilakukan secara intens dan massal. Akibat menunjukkan pada situasi yang disebabkan
oleh pecahnya konflik pada tahap krisis. Situasi ini sangat tergantung pada proses
penanganan konflik. Jika kedua belah pihak mampu melakukan negoisasi dan menggunakan
strategi pemecahan masalah (problem solving) kemungkinan situasi yang dihasilkan cukup
positif dan mengurangi jumlah kerugian bersama. Nyatanya pemerintah Bawku dan
masyarakat suku mamprusis dan kusasis sendiri terkesan tidak memiliki itikad yang baik
untuk menyelesaikan konflik, justru ada pihak-pihak tertentu yang berusaha memanfaatkan
konflik tersebut.
Setelah konflik mencapai puncaknya pada tahun 2000/2001, majelis Municipal mendukung
Bawku Peace Initiative (BPI) untuk mendirikan sebuah forum mediasi antara Mamprusis dan
Kusasis. Dalam tahap ini konflik diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi
kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua
belah pihak. Meskipun begitu, resolusi yang telah didengungkan dalam mengatasi konflik
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut pendapat kami, hal tersebut terjadi karena ada
beberapa pihak yang belum sepakat dengan resolusi yang diusulkan oleh pemerintah. Konflik
yang terjadi di Bawku seharusnya dapat diselesaikan dengan cara menfokuskan pada sumber
konflik antara dua pihak, agar mereka bersama-sama mengidentifikasi isu-isu yang lebih
nyata. Jika kedua belah pihak tidak setuju atas isu yang sudah dirumuskan bersama, maka
yang dibutukan adalah negoisator. Sedangkan dalam jurnal tersebut resolusi konflik
ditekankan pada penanganan pra-konflik, konflik dan pasca-konflik. Dalam setiap fase
terdapat penanganan yang berbeda-beda. Rencana untuk mengatasi konflik kedepannya
diharapkan Majelis dapat serius menanggapi konflik, juga adanya rencana kegiatan dan
monitoring serta terdapat kerangka evaluasi dan anggaran.

Você também pode gostar