Você está na página 1de 28

MAKALAH BIOTEKNOLOGI

PERANAN MIKROBA SEBAGAI DEKOMPOSER

OLEH:

NI KOMANG AYU NORIANINGSIH 1713041008


I MADE HERI GUNAWAN 1713041010
GEDE ANGGA ADIWIGUNA 1713041030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya lah makalah ini dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah
direncanakan.

Dalam konteks pembuatan makalah ini, penulis merasakan bahwa banyak


hambatan yang penulis hadapi. Namun, berkat dukungan dari berbagai pihak,
hambatan-hambatan tersebut dapat penulis atasi sehingga apa yang menjadi kewajiban
penulis dapat terealisasikan dengan baik. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman sejawat yang begitu banyak telah memberikan masukan dan
motivasi kepada kelompok kami.

Disamping itu kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
sebuah kesempurnaan. Oleh sebab itu kami mohon maaf apabila ada kekurangan baik
tentang teknik penulisan, isi serta wawasannya. Dalam hal ini kami berharap agar ada
kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaan makalah ini sehingga
makalah ini dapat dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan pendidikan dan
pengetahuan secara bersama-sama.

Demikian sepatah kata pengantar yang bisa kami sampaikan jika ada yang tidak
berkenan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami generasi muda tetap
berjuang melalui kegiatan akademik demi peningkatan kualitas bangsa dan negara.
Atas perhatiannya terima kasih.

Singaraja, 22 Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan .................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mengenal Dekomposer.......................................................................... 3
2.2 Peran Mikroba Sebagai Dekomposer .................................................... 3
2.2.1 Mikroba dalam pembersih air ................................................ 4
2.2.2 Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Detergen ............... 6
2.2.3 Penggunaan Mikroba dalam Menguraikan Plastik ................ 6
2.2.4 Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Minyak Bumi ....... 7
2.2.5 Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Pestisida ............... 8
2.2.6 Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Logam Berat ........ 9
2.2.7 Penggunaan Mikroba dalam Menguraikan Limbah Organik . 11
2.2.8 Bakteri dalam Pengolahan Limbah yang kaya Protein .......... 15
2.2.9 Penggunaan Bakteri untuk Mengolah Limbah PCP .............. 16
2.3 Mekanisme Mikroba Sebagai Dekomposer .............................................. 16
2.3.1 Faktor-faktor Pengendali Dekomposisi ................................. 16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 23
3.2 Saran ........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pencemaran merupakan salah satu dari banyak permasalahan lingkungan yang ada
di dunia ini. Pencemaran menjadi permasalahan serius di beberapa negara dan juga di
Indonesia. Pencemaran sampah terutama dari daerah perkotaan berpenduduk padat
sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, pada kota dengan penduduk 1 juta jiwa, timbunan
sampah kurang lebih setara dengan 500 ton/hari. Sampah organik umumnya bersifat
biodegradable, yaitu dapat terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana
oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Penguraian sampah organic ini akan
menghasilkan materi yang kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan tumbuhan,
sehingga dapat dijadikan sebagai pupuk organic. Sampah organik dari perumahan
dengan volume yang cukup besar dapat dipandang sebagai sumberdaya hayati yang
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi berbagai kegiatan pertanian
(Sulistyawati, 2007). Pengomposan merupakan suatu metode untuk mengonversikan
bahan-bahan organik menjadi bahan yang lebih sederhana dengan menggunakan
aktivitas mikroba (Hadiwiyono, 1983). Pengomposan dapat dilakukan pada kondisi
aerobik dan anerobik. Pengomposan aerobik adalah dekomposisi bahan organik
dengan kehadiran oksigen (udara), produk utama dari metabolis biologi aerobik adalah
karbondioksida, air dan panas. Pengomposan anaerobic adalah dekomposisi bahan
organik dalam kondisi ketidakhadiran oksigen bebas, produk akhir metabolis anaerobik
adalah metana, karbondioksida, dan senyawa intermediate seperti asam organic dengan
berat molekul rendah (Haung, 1980). Pada dasarnya pengomposan adalah dekomposisi
dengan menggunakan aktivitas mikroba. Oleh karen itu kecepatan dekomposisi dan
kualitas kompos tergantung pada keadaan dan jenis mikroba yang aktif selama proses
pengomposan. Kondisi optimum bagi aktivitas mikroba perlu diperhatikan selama
proses pengomposan, misalnya aerasi, kelembaban, media tumbuh dan sumber
makanan bagi mikroba (Yuwono, 2006). Organisme yang sudah banyak dimanfaatkan

1
misalnya cacing tanah. Proses pengomposannya disebut vermikompos dan kompos
yang dihasilkan dikenal dengan sebutan kascing. Organisme lain yang banyak
dipergunakan adalah mikroba, baik bakteri, actinomicetes, maupun kapang/cendawan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, sebagai generasi muda yang berjuang dalam
bidang pendidikan, kami mencoba memberikan informasi sebagai refrensi dalam
pembelajaran yang nantinya akan berguna untuk pembaca.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latarbelakang, kami merumuskan beberapa poin
yaitu:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan dekomposer?
1.2.2 Apa saja peran mikroba yang dapat digunakan sebagai dekomposer?
1.2.3 Bagaimana mekanisme mikroba sebagai dekomposer?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami pengertian dekomposer
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami mikroba yang dapat digunakan
sebagai dekomposer
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami mekanisme mikroba sebagai
dekomposer
1.4 Manfaat
Makalah ini dapat dijadikan sebagai refrensi pembelajaran mengenai peran
mikroba sebagai dekomposer.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Mengenal Dekomposer

Dekomposer merupakan makhluk hidup yang berperan menguraikan bahan


organik yang berasal dari organisme yang telah mati ataupun hasil pembuangan sisa
pencernaan. Makhluk hidup yang tergolong dekomposer adalah bakteri dan jamur, ada
pula pengurai yang disebut detritivor, yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa
bahan organik, contohnya adalah kutu kayu, cacing tanah, dan rayap. Organisme
pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan
yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Hasil penguraian
dari dekomposer dimanfaatkan oleh produsen. Sampah yang menumpuk akan
diuraikan oleh bakteri pembusuk dan jamur. Sisa-sia makanan, bangkai binatang, dan
sisa bahan organik lainnya akan menjadi makanan bagi bakteri pembusuk. Setelah
diurai oleh bakteri, sisa bahan organik tersebut membusuk menjadi komponen
penyusun tanah. Tanah menjadi subur dan baik untuk ditanami. Begitu seterusnya
sehingga tanaman sebagai produsen dikonsumsi oleh konsumen primer dan pada
akhirnya konsumen terakhir (puncak) mati dan diuraikan oleh dekomposer.

2.2 Peran Mikroba Sebagai Dekomposer


Menurut Endah (2004), terdapat beberapa decomposer yang diantaranya berasal
dari:
a. Bakteri: bakteri yang hidup dalam tanah memegang peranan penting dalam
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, sehubungan dengan
kemampuannya dengan mengikat N2 dari udara dan mengubah ammonium
menjadi nitrat.
b. Aktinomisetes: tiga genus dari aktinomisetes yang baik berada dalam tanah,
yaitu spesies Nokordia, yang sangat berhubunga dengan bakteri, terutama
pada Mycobakteria, Crynebakteri, spesies yang termasuk genus

3
Streptomycetes dan Micromonospora adalah lebih rapat hubungannya pada
fungi.
c. Fungi. Termasuk ke dalamnya golonga-golongan besar antara lain
golongan Fikomisetes, Askomisetes, Hipomisetes atau cendawan
imperfekti dan Basidiomisetes.
d. Algae (ganggang). Merupakan tanaman mikroskopis, tanaman tingkat
rendah yang mempunyai klorofil dengan jaringan tubuh yang tidak
berdeferensiasi, tidak membentuk akar, batang, dan daun.
e. Protozoa. Protozoa makhluk hidup uniseluler, dengan ukuran yang beragam
antara 3 sampai 1000 um.
f. Cacing tanah. Manfaat cacing tanah sebagai agensia pendekomposer dapat
dijelaskan sebagai berikut:
- Dapat mempercepat pelapukan sisa-sisa tanaman.
- Kotoran cacing dapat meningkatkan kesuburan tanah atau kadar NPK
pada tanah yang dihuninya.
- Lorong-lorong yang dibuatnya dalam tanah (terutama pada lapisan top
soil) memungkinkan masuknya udara sehat ke dalam tanah dan
terdesaknya kelebihan zat CO2 ke luar dalam tanah.

2.2.1 Mikroba dalam pembersihan air


Dalam air yang kita anggap jernih, sampai air yang keadaannya sudah kotor
atau tercemar di dalamnya terkandung sejumlah ke-hidupan, misalnya air yang berasal
dari sumur biasa, sumur pompa, dan sumber mata-air, di dalamnya terdapat bakteri,
yaitu :
a. Kelompok bakteri besi (misalnya Crenothrix dan Sphaerotilus) yang mampu
mengoksidasi senyawa ferro menjadi ferri. Akibat kehadirannya, air sering
berubah warna kalau disimpan lama yaitu warna kehitam-hitaman, kecoklat-
coklatan, dan sebagainya.

4
b. Kelompok bakteri belerang (antara lain Chromatium dan Thiobacillus) yang
mampu mereduksi senyawa sulfat menjadi H2S. Akibatnya kalau air disimpan
lama akan tercium bau busuk seperti bau telur busuk.
c. Kelompok mikroalge (misalnya mikroalga hijau, biru dan kersik), sehingga kalau
air disimpan lama di dalamnya akan nampak jasad-jasad yang berwarna hijau, biru
atau pun kekuning-kuningan, tergantung kepada dominasi jasad-jasad tersebut
serta lingkungan yang mempengaruhinya.
Kehadiran kelompok bakteri dan mikroalga tersebut di dalam air dapat
menyebabkan terjadinya penurunan turbiditas dan hambatan aliran, karena kelompok
bakteri besi dan belerang dapat membentuk serat atau lendir. Akibat lainnya adalah
terjadinya proses korosi (pengkaratan) terhadap benda-benda logam yang berada di
dalamnya, menjadi bau, berubah warna, dan sebagainya.
Banyak mikroba yang terdapat dalam air limbah meliputi mikroba aerob,
anaerob, dan anaerob fakultatif yang umunya bersifat heterotrof. Mikroba tersebut
kebanyakan berasal dari tanah dan saluran pencernaan. Bakteri colon (coliforms)
terutama Escherichia coli sering digunakan sebagai indeks pencemaran air. Bakteri
tersebut berasal dari saluran pencernaan manusia dan hewan yang dapat hidup lama
dalam air, sehingga air yang banyak mengandung bakteri tersebut dianggap tercemar.
Untuk mengurangi mikroba pencemar dapat digunakan saringan pasir atau trickling
filter yang segera membentuk lendir di permukaan bahan penyaring, sehingga dapat
menyaring bakteri maupun bahan lain untuk penguraian. Penggunaan lumpur aktif juga
dapat mempercepat perombakan bahan organik yang tersuspensi dalam air.
Biofilm (lapisan kumpulan mikroorganisme) berperan dalam pengolahan air
limbah atau limbah cair baik pada lagoon system (sistem kolam), activated sludge
system (sistem lumpur aktif), down flow sand filter system (sistem filter pasir aliran ke
bawah) dan up flow sand filter system (sistem filter aliran ke atas). Salah satu fungsi
biofilm tersebut adalah mendekomposisi protein menjadi amonia, nitrit, dan nitrat.
Secara kimia digunakan indeks BOD (biological oxygen demand). Prinsip
perombakan bahan dalam limbah adalah oksidasi, baik oksidasi biologis maupun
oksidasi kimia. Semakin tinggi bahan organik dalam air menyebabkan kandungan

5
oksigen terlarut semakin kecil, karena oksigen digunakan oleh mikroba untuk
mengoksidasi bahan organik. Adanya bahan organik tinggi dalam air menyebabkan
kebutuhan mikroba terhadap oksigen akan meningkat yang diukur dari nilai BOD yang
meningkat. Untuk mempercepat perombakan umumnya diberi aerasi untuk
meningkatkan oksigen terlarut, misalnya dengan aeraror yang disertai pengadukan.
Setelah terjadi perombakan bahan organik maka nilai BOD menurun sampai nilai
tertentu yang menandakan bahwa air sudah bersih.
Dalam suasana aerob bahan-bahan dapat dirubah menjadi sulfat, fosfat,
amonium, nitrat, dan gas CO2 yang menguap. Untuk menghilangkan sulfat, ammonium
dan nitrat dari air dapat menggunakan berbagai cara. Dengan diberikan suasana yang
anaerob maka sulfat direduksi menjadi gas H2S, ammonium dan nitrat dirubah menjadi
gas N2O atau N2.
2.2.2 Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Detergen
Alkil benzil sulfonat adalah komponen detergen, yang merupakan zat aktif yang
dapat menurunkan tegangan muka sehingga dapat digunakan sebagai pembersih. ABS
mempunyai Na-sulfonat polar dan ujung alkil non-polar. Pada proses pencucian, ujung
polar ini menghadap ke kotoran (lemak) dan ujung polarnya menghadap ke luar (ke-
air). Bagian alkil dari ABS ada yang linier dan non-linier (bercabang). Bagian yang
bercabang ABS-nya lebih kuat dan berbusa, tetapi lebih sukar terurai sehingga
menyebabkan badan air berbuih. Sulitnya peruraian ini disebabkan karena atom C
tersier memblokir beta-oksidasi pada alkil. Hal ini dapat dihindari apabila ABS
mempunyai alkil yang linier. Namun ada beberapa bakteri yang dapat menguraikan
ABS meskipun memakan waktu yang cukup lama.
2.2.3 Penggunaan Mikroba dalam Menguraikan Plastik
Plastik banyak kegunaannya tetapi polimer sintetik plastik sangat sulit
dirombak secara alamiah. Hal ini mengakibatkan limbah plastik semakin menumpuk
dan dapat mencemari lingkungan. Akhir-akhir ini sudah mulai diproduksi plastik yang
mudah terurai.
Plastik terdiri atas berbagai senyawa yang terdiri dari polietilen, polistiren, dan
polivinil klorida. Bahan-bahan tersebut bersifat inert dan rekalsitran. Senyawa lain

6
penyusun plastik yang disebut plasticizers terdiri: (a) ester asam lemak (oleat,
risinoleat, adipat, azelat, dan sebakat serta turunan minyak tumbuhan, (b) ester asam
phthalat, maleat, dan fosforat. Bahan tambahan untuk pembuatan plastik seperti
Phthalic Acid Esters (PAEs) dan Polychlorinated Biphenyls (PCBs) sudah diketahui
sebagai karsinogen yang berbahaya bagi lingkungan walaupun dalam konsentrasi
rendah.
Dari alam telah ditemukan mikroba yang dapat merombak plastik, yaitu terdiri
dari dari bakteri, actynomycetes, jamur, dan khamir yang umumnya dapat
menggunakan plasticizers sebagai sumber C, tetapi hanya sedikit mikroba yang telah
ditemukan mampu merombak polimer plastiknya yaitu jamur Aspergillus fischeri dan
Paecilomyces sp. Sedangkan mikroba yang mampu merombak dan menggunakan
sumber C dari plasticizers yaitu jamur Aspergillus niger, A. Versicolor, Clasdosporium
sp., Fusarium sp., Penicillium sp., Trichoderma sp., Verticillium sp., dan khamir
Zygosaccharomyces drosophilae, Saccharomyces cerevisiae, serta bakteri
Pseudomonas aeruginosa, Brevibacterium sp., dan actynomycetes Streptomyces
rubrireticuli.
Untuk dapat merombak plastik, mikroba harus dapat mengkontaminasi lapisan
plastik melalui muatan elektrostatik dan mikroba harus mampu menggunakan
komponen di dalam atau pada lapisan plastik sebagai nutrien. Plasticizers yang
membuat plastik bersifat fleksibel seperti adipat, oleat, risinoleat, sebakat, dan turunan
asam lemak lain cenderung mudah digunakan, tetapi turunan asam phthalat dan
fosforat sulit digunakan untuk nutrisi. Hilangnya plasticizers menyebabkan lapisan
plastik menjadi rapuh, daya rentang meningkat dan daya ulur berkurang.

2.2.4 Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Minyak bumi


Minyak bumi tersusun dari berbagai macam molekul hidrokarbon alifatik,
alisiklik, dan aromatik. Mikroba berperan penting dalam menguraikan minyak bumi
ini. Ketahanan minyak bumi terhadap peruraian oleh mikroba tergantung pada struktur
dan berat molekulnya.

7
Fraksi alkana rantai C pendek, dengan atom C kurang dari 9 bersifat meracun
terhadap mikroba dan mudah menguap menjadi gas. Fraksi n-alkana rantai C sedang
dengan atom C 10-24 paling cepat terurai. Adanya rantai C yang bercabang pada alkana
akan mengurangi kecepatan peruraian, karena atom C tersier atau kuarter mengganggu
mekanisme biodegradasi.
Apabila dibandingkan maka senyawa aromatik akan lebih lambat terurai
daripada alkana linier. Sedangkan senyawa alisiklik sering tidak dapat digunakan
sebagai sumber C untuk mikroba, kecuali mempunyai rantai samping alifatik yang
cukup panjang. Senyawa ini dapat terurai karena kometabolisme beberapa strain
mikroba dengan metabolisme saling melengkapi. Jadi walaupun senyawa hidrokarbon
dapat diuraikan oleh mikroba, tetapi belum ditemukan mikroba yang berkemampuan
enzimatik lengkap untuk penguraian hidrokarbon secara sempurna.
Bakteri juga telah dimanfaatkan untuk mengatasi limbah minyak bumi di
daerah kilang minyak (terutama kilang minyak lepas pantai) atau pada kecelakaan
kapal pengangkut minyak bumi. Golongan Pseudomonas, seperti Pseudomonas putida
mampu mengkonsumsi hidrokarbon yang merupakan bagian utama dari minyak bumi
dan bensin. Gen yang mengkode enzim pengurai hidrokarbon terdapat pada plasmid.
Bakteri yang mengandung plasmid rekombinan dikultur dalam jerami dan dikeringkan.
Jerami berongga yang telah berisi kultur bakteri kering dapat disimpan dan digunakan
jika diperlukan. Pada serat jerami ditaburkan di atas tumpahan minyak, mula-mula
jerami akan menyerap minyak dan bakteri akan menguraikan tumpahan minyak itu
menjadi senyawa yang tidak berbahaya dan tidak menimbulkan polusi. Bakteri ini juga
digunakan untuk membersihkan limbah minyak (lemak) di pabrik-pabrik pengolahan
daging. Kemampuan bakteri menguraikan minyak juga dimanfaatkan untuk
membersihkan pipa-pipa yang salurannya sering mengalami penyumbatan oleh minyak
(lemak) pada pabrik pengolahan daging tersebut.
2.2.5 Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Pestisida/herbisida
Macam-macam pestisida kimia sintetik yang telah digunakan sampai sekarang
jumlahnya mencapai ribuan. Pestisida yang digunakan untuk memberantas hama
maupun herbisida yang digunakan untuk membersihkan gulma, sekarang sudah

8
mengakibatkan banyak pencemaran. Hal ini disebabkan sifat pestisida yang sangat
tahan terhadap peruraian secara alami (persisten). Contoh pestisida yang persistensinya
sangat lama adalah DDT, Dieldrin, BHC, dan lain-lain. Walaupun sekarang telah
banyak dikembangkan pestisida yang mudah terurai (biodegradable), tetapi
kenyataannya masih banyak digunakan pestisida yang bersifat rekalsitran. Walaupun
dalam dosis rendah, tetapi dengan terjadinya biomagnifikasi maka kandungan pestisida
di lingkungan yang sangat rendah dapat terakumulasi melalui rantai makanan, sehingga
dapat membahayakan kehidupan makhluk hidup termasuk manusia.
Untuk mengatasi pencemaran tersebut, sekarang banyak dipelajari biodegradasi
pestisida/ herbisida. Proses biodegradasi pestisida dipengaruhi oleh struktur kimia
pestisida, sebagai berikut:
a. Semakin panjang rantai karbon alifatik, semakin mudah mengalami degradasi.
b. Ketidak jenuhan dan percabangan rantai hidrokarbon mempermudah degradasi.
c. Jumlah dan kedudukan atom-atom C1 pada cincin aromatik sangat mempengaruhi
degradasi. Misal 2,4 D (2,4-diklorofenol asam asetat) lebih mudah dirombak di
dalam tanah dibandingkan dengan 2,4,5-T (2,4,5- triklorofenoksi asam asetat).
d. Posisi terikatnya rantai samping sangat menetukan kemudahan degradasi pestisida.
Aspergilus niger merupakan salah satu spesies bakteri yang dapat
dikembangkan untuk memetabolisme pestisida tertentu seperti endosulfan dan
karbofuran.
2.2.6 Penggunaan Bakteri dalam Menguraikan Logam Berat
Limbah penambangan emas dan tembaga (tailling) yang banyak mengandung
logam berat terutama air raksa (Hg), industri logam dan penyamakan kulit banyak
menghasilkan limbah logam berat terutama cadmium (Cd), serta penggunaan pupuk
(misalnya pupuk fosfat) yang mengandung logam berat seperti Hg, Pb, dan Cd
sekarang banyak menimbulkan masalah pencemaran logam berat. Logam berat dalam
konsentrasi rendah dapat membahayakan kehidupan karena afinitasnya yang tinggi
dengan sistem enzim dalam sel, sehingga menyebabkan inaktivasi enzim dan berbagai
gangguan fisiologi sel.

9
Bakteria dapat menghasilkan senyawa pengkhelat logam yang berupa ligan
berberat molekul rendah yang disebut siderofor. Siderofor dapat membentuk kompleks
dengan logam-logam termasuk logam berat. Umumnya pengkhelatan logam berat oleh
bakteri adalah sebagai mekanisme bakteri untuk mempertahankan diri terhadap
toksisitas logam. Bakteri yang tahan terhadap toksisitas logam berat mengalami
perubahan terhadap sistem transport di membran selnya, sehingga terjadi penolakan
atau pengurangan logam yang masuk ke dalam sitoplasma. Dengan demikian logam
yang tidak dapat melewati membran sel akan terakumulasi dan diendapkan atau dijerap
di permukaan sel.
Untuk mengambil logam berat yang sudah terakumulasi oleh bakteri, dapat
dilakukan dengan beberapa macm cara. Logam dari limbah cair dapat dipisahkan
dengan memanen mikroba. Logam yang berada dalam tanah lebih sulit untuk
dipisahkan, tetapi ada cara pengambilan logam dengan menggunakan tanaman
pengakumulasi logam berat. Tanaman yang termasuk sawi-sawian (misal Brassica
juncea) dapat digunakan bersama-sama dengan rhizobacteria pengakumulasi logam
(misal Pseudomonas flurescens) untuk mengambil logam berat yang mencemari tanah.
Selanjutnya logam yang telah terserap tanaman dapat dipanen dan dibakar untuk
memisahkan logam beratnya.
Limbah pabrik yang banyak mengandung logam berat dapat dibersihkan oleh
mikroorganismeyang dapat menggunakan logam berat sebagai nutrien atau hanya
menjerab (imobilisasi) logam berat. Mikroorganisme yang dapat digunakan
diantaranya adalah Thiobacillus ferrooxidans dan Bacillus subtilis. Thiobacillus
ferrooxidans mendapatkan energi dari senyawa anorganik seperti besi sulfida dan
menggunakan energi untuk membentuk bahan-bahan yang berguna seperti asam
fumarat dan besi sulfat. Bacillus subtilis memiliki kemampuan mengikat beberapa
logam berat seperti Pb, Cd, Cu, Ni, Zn, Al dan Fe dalam bentuk nitrat. Logam-logam
tersebut dapat dilarutkan kembali setelah bakterinya dilisiskan. Logam tersebut dapat
digunakan kembali oleh industri-industri logam. Kemampuan remobilisasi (pelarutan
kembali) logam di sini untuk Pb dapat mencapai 79%, untuk Cd dapat mencapai 67%

10
dan untuk Ni hanya dapat mencapai 17%. Keberhasilan ini dipengaruhi oleh larutan
remobilisasi (seperti NaOH atau Ca), bahan pengekstraksi (seperti asam nitrit).
2.2.7 Penggunaan Mikroba dalam Menguraikan Limbah Organik
Penggunaan mikroba dalam mengolah limbah organik dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu menjadikannya pupuk organik dan menjadikannya biogas.
a. Produksi pupuk organik
Pupuk organik merupakan hasil penguraian bahan organik oleh jasad renik atau
mikroorganisme yang berupa zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tanaman. Misal
Kompos, pupuk kandang, dan pupuk hijau. Kompos atau pupuk kandang sudah cukup
lama dikenal dan dipergunakan, tetapi baru sebatas menggunakan apa adanya, belum
sampai pada usaha untuk meningkatkan kualitas dari kompos dan pupuk kandang
tersebut. Rakitan teknologi pembuatan pupuk alternatif mulai membudaya di
masyarakat kita, yaitu upaya pembuatan kompos.
- Kompos
Kompos adalah bahan organik hasil proses dekomposisi dan mempunyai
susunan yang relatif stabil. Kompos banyak digunakan untuk memperbaiki sifat fisik
dan kimia tanah. Secara alami kompos dapat terjadi dari peruraian sisa-sisa tumbuhan
dan hewan. Pengomposan secara alami berlangsung dengan lambat, tetapi dengan
berkembangnya bioteknologi maka proses pengomposan dapat dipercepat.
Pada proses pengomposan terjadi proses biokonversi bahan organik oleh
berbagai kelompok mikroba heterotrof. Mikroba yang berperan dalam proses tersebut
adalah bakteri, jamur actynomycetes dan protozoa. Peranan mikroba yang bersifat
selulolitik dan lignilolitik sangat besar pada proses dekomposisi sisa tanaman yang
banyak mengandung lignoselulosa.
Selama pengomposan terjadi proses oksidasi C-organik menjadi CO2 yang
dapat membebaskan energi dalam bentuk panas. Dalam pengomposan tertutup,
suhunya dapat mencapai 65-75oC. Pada suhu tersebut aktifitas mikroba pada umumnya
turun, danproses perombakannya dilanjutkan oleh mikroba termofil yang mulai
berkembang apabila suu meningkat sampai 50oC. Setelah suhu turun kembali akan

11
ditumbuhi lagi oleh mikroba mesofil, dan merupakan pertanda bahwa kompos sudah
mulai matang.
Dari uraian di atas maka diketahui bahwa terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi proses pengomposan, seperti nisbah C/N bahan yang akan
dikomposkan, ukuran bahan, kelembaban dan aerasi, suhu, kemasaman (pH), adanya
mikroba, dan lain sebagainya.
Nisbah C/N yang ideal untuk pengomposan adalah 30-40, apabila nisbah terlalu
rendah banyak nitrogen yang hilang (tidak efisien) dan apabila terlalu tinggi proses
pengomposan lambat. Ukuran bahan yang lebih kecil akan memperbesar luas
permukaan, sehingga memperbesar kontak dengan mikroba. Ukuran yang terlalu halus
dan kandungan lengasnya terlalu tinggi menyebabkan keadaan anaerob, sehingga
sebaiknya dicampur dengan bahan kasar untuk menciptakan keadaan yang aerob.
Kelembaban optimum yang baik antara 50-60%. Pengomposan akan berjalan baik jika
pH awal sedikit asam (pH 6), dan selama pengomposan pada keadaan netral, setelah
pH meningkat pH sedikit alkalis (pH 7,5-8,5).pengomposan dapat dipercepat dengan
inokulasi mikroba seperti mikroba termofil, selulolotik, lignilolitik, dan sebagainya.
Tanda-tanda kompos yang telah matang adalah berwarna coklat sampai
kehitaman, tidak larut dalam air dan sebagian dapat tersuspensi kolodial, ekstrak dalam
larutan basa berwarna gelap (mengandung asam humat, fulvat, dan humin), nisbah C/N
antara 15-20, KPK dan kapasitas adsorpsi air besar.
- Bokhasi
Bokhasi adalah pupuk organik yang dibuat melalui proses fermentasi
menggunakan bakteri (microorganisme). Sampah organik dengan proses
fermentasi dapat menjadi pupuk organik yang bermanfaat meningkatkan kualitas
tanah.
b. Produksi biogas
Limbah-limbah organik dan peternakan yang diuraikan oleh bakteri kelompok
metanogen dapat menghasilkan biogas yang sebagian besar berupa metana. Biogas
(metana) dapat terjadi dari penguraian limbah organik yang mengandung protein,

12
lemak dan karbohidrat. Penguraian ini dilakukan untuk fermentasi oleh bakteri anaerob
sehingga bejana yang digunakan untuk fermentasi limbah ini harus ditutup.
Ada tiga tahap dalam pembuatan biogas, yaitu sebagai berikut:
- Tahap pertama adalah reduksi senyawa organik yang komplek menjadi senyawa
yang lebih sederhana oleh bakteri hidrolitik. Bakteri hidrolitik ini bekerja pada
suhu antara 30-40oC untuk kelompok mesophilik dan antara 50-60oC untuk
kelompok termophilik. Tahap pertama ini berlangsung dengan pH optimum antara
6 sampai 7.
- Tahap kedua adalah perubahan senyawa sederhana menjadi asam organik yang
mudah menguap seperti asam asetat, asam butirat, asam propionat dan lain-lain.
dengan terbentuknya asam organik maka pH akan terus menurun, namun pada
waktu yang bersamaan terbentuk buffer yang dapat menetralisir pH. Di sisi lain
untuk mencegah penurunan pH yang drastis maka perlu ditambahkan kapur
sebagai buffer sebelum tahap pertama berlangsung. Bakteri pembentuk asam-asam
organik tersebut diantaranya adalah Pseudomonas, Flavobacterium, Escherichia
dan Aerobacter.
- Tahap ketiga adalah konversi asam organik menjadi metana, karbondioksida dan
gas-gas lain seperti hidrogen sulfida, hidrogen dan nitrogen.
Bahan organik CH4 + CO2 + H2S + H2 + N2
Konversi ini dilakukan oleh bakteri metan,seperti Methanobacterium
omelianskii, Methanobacterium sohngenii, Methanobacterium suboxydans,
Methanobacterium propionicum, Methanobacterium formicium, Methanobacterium
ruminantium, Methanosarcina barkeril, Methanococcus vannielli dan Methanococcus
mazei. Bakteri metana ini sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan pH, oleh
karenanya kedua parameter ini harus dikendalikan dengan baik. PH optimum adalah
antara 7, 0-7, 2, sedangkan pada pH 6,2 bakteri metana akan mengalami keracunan.
Bakteri-bakteri yang terlibat dalam ketiga tahap tersebut pada umumnya telah
terdapat dalam limbah bahan-bahan organik, tetapi untuk meningkatkan kinerja
produksi biogas maka perlu ditambahkan bakteri metanogen yang telah direkayasa.

13
Secara lebih ringkas, dapat dinyatakan bahwa bakteri yang berperan dalam
perombakan bahan organik dalam produksi biogas ada dua macam, yaitu bakteri
pembentuk asam dan bakteri pembentuk gas metan. Bakteri pembentuk asam
merombak bahan organik dan menghasilkan asam lemak. Proses ini dilakukan oleh
bakteri-bakteri Pseudomonas, Flavobacterium, Alkaligenes, Escherichia, dan
Aerobacter. Selanjutnya asam lemak ini akan dirombak oleh bakteri metan dan
menghasilkan gas bio (sebagian besar menghasilkan gas metan). Bakteri-bakteri
tersebut adalah Methanobacterium, Methanosarchina dan Methanococcus. Disamping
itu juga ada bakteri lain yang memanfaatkan unsur sulfur (S) dan membentuk H2S yaitu
bakteri Desulvovibrio.
Proses produksi biogas biasanya dilakukan secara semi sinambung (substrat
dimasukkan satu kali di dalam selang waktu tertentu), tetapi untuk mendapatkan
kemungkinan metode produksi optimal, sistem banch (substrat hanya dimasukkan
sekali saja) juga dapat digunakan. Kecepatan produksi biogas dalam sistem batch mula-
mula akan naik sehingga mencapai kecepatan maksimum dan akhirnya akan turun lagi
ketika sejumlah besar bahan telah dirombak.
Fermentasi atau perombakan tersebut adalah proses mikrobiologik yang
merupakan himpunan proses metabolisme sel. Fermentasi bahan organik ini dapat
terjadi dalam keadaan aerobik maupun anaerobik. Untuk proses fermentasi aerobik
akan menghasilkan gas-gas amonia (NH3) dan karbondioksida (CO2). Proses
dekomposisi anaerobik dari bahan organik akan menghasilkan gas bio. Proses produksi
gas bio ini juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, diantaranya adalah suhu, pH,
total padatan, dan rasio C/N.
- Suhu
Terdapat dua selang suhu optimum untuk produksi biogas, yaitu selang mesofilik (30-
40oC) dan selang termofilik (50-60oC). Secara umum, pada suhu yang lebih tinggi
didapatkan produksi biogas yang lebih tinggi pula.
- Besarnya pH
PH optimum untuk memproduksi biogas adalah netral. Di kedua sisi pH netral tersebut,
maka akan muncul gangguan dalam produksi biogas.

14
- Total padatan
Kandungan total padatan yang mampu mendukung produksi biogas yang optimal
adalah antara 7-9%. Kandungan padatan yang lebih tinggi atau lebih rendah akan
menimbulkan gangguan terhadap produksi biogas.
- Rasio C/N
Rasio C/N substrat yang optimum untuk produksi biogas adalah berkisar 25: 1 dan 30:
1. Besaran rasio C/N yang terlalu tinggi akan menaikkan kecepatan perombakan
tetapi buangannya (sludge) akan mempunyai kandungan nitrogen yang tinggi.
Substrat dengan rasio C/N yang terlalu rendah akan menyiasakan banyak nitrogen
yang akan berubah menjadi amonia dan meracuni bakteri. Pencampuran limbah
pertanian dengan kotoran ternak akan merubah rasio C/N untuk produksi gas yang
lebih baik.
2.2.8 Penggunaan Bakteri dalam Pengolahan Limbah yang Kaya Protein
Limbah-limbah yang kaya protein jika terdekomposisi oleh bakteri dekomposer
akan menghasilkan nitrat, nitrit dan amonia. Ketiga hasil dekomposisi ini dapat
mengakibatkan permasalhan lingkungan dan kesehatan. Nitrit jika bereaksi dengan
senyawa amin akan menjadi senyawa nitrosamin yang merupakan senywa
karsinogenik bagi lambung. Untuk mengatasi hal tersebut harus ditambahkan bakteri
denitrifikan yang telah direkayasa seperti Alcaligens faecalis, Bacillus lichemiformis,
Pseudomonas denitrifikasi, Pseudomonas stutzeri, micrococcus denitrificans dan
Thiobacillus denitrificans. Bakteri-bakteri ini mengubah nitrat menjadi nitrogen bebas
yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Denitrifikasi ini dapat
terjadi dalam filter pasir aliran ke atas (moving bed upflow sand filter) maupun filter
pasir ke bawah (moving bed down flow sand filter). Penambahan etanol sebagai sumber
karbon tambahan sebanyak 3,3 – 3,5g CH3OH/g NO3-Neq dengan hydraulic loading
rate sebesar 10 m/jam serta sand turnover rate sebesar 3,8 bed/ d akan menghasilkan
kinerja denitrifikasi menjadi baik sehingga nitrogen efluen akan baik ( <1,0 g/m3 )
dengan waktu yang dibutuhkan selama 13 jam.

15
2.2.9 Penggunaan bakteri untuk mengolah limbah PCP
Bakteri dari kelompok Coryneform dan Arthrobacter sp. Yang telah
diaklimatisasi (telah terbiasa hidup di medium treatmen) juga telah digunakan untuk
mengolah limbah yang mengandung PCP (parachlorophenol) dengan metode
bioaugmentasi. Bioaugmentasi adalah penambahan suplemen mikroorganisme
teraklimatisasi yang dapat menghasilkan kinerja pengolahan limbah yang lebih baik.
PCP secara alami mampu mnghambat pertumbuhan mikroorganisme indigenous
(bakteri yang telah ada dalam limbah) kecuali pada bakteri yang telah teraklimatisasi
tersebut maka pertumbuhan bakteri indigenous menjadi lebih baik sehingga proses
dekomposisi limbah secara alami lebih baik. Agar kinerja sistem bioaugmentasi ini
lebih baik perlu ditambahkan sumber karbon tambahan.

2.3 Mekanisme Mikroba Sebagai Dekomposer

Proses alami dari hewan mati atau jaringan tanaman menjadi busuk atau rusak
yang dilakukan oleh invertebrate, jamur dan bakteri disebut dekomposisi. Organisme
pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan
yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Proses dekomposisi ini
dikendalikan oleh tiga faktor utama yaitu sifat bahan organik atau kualitas bahan baku,
kondisi fisik dan kimia lingkungan seperti temperature, kelembapan Ph, unsur mineral,
dan potensi redoks, serta komposisi organisme tanah.

2.3.1 Faktor-faktor pengendali dekomposisi


Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe faktor, yaitu: kondisi lingkungan
fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta
karakteristik dari komunitas mikroba.

A. Kondisi Lingkungan Fisik


a. Temperatur
Temperatur mempengaruhi proses dekomposisi secara langsung dengan
meningkatkan aktivitas mikroba dan secara tidak langsung dengan mengubah
kelembaban tanah serta kuantitas dan kualitas masukan bahan organik ke dalam tanah.

16
Meningkatnya suhu menyebabkan peningkatan eksponensial dalam proses respirasi
mikroba pada rentang temperatur yang luas mempercepat mineralisasi karbon organik
menjadi CO2. Keadaan temperatur yang tinggi secara terus menerus menyebabkan
proses dekomposisi berlangsung dengan lebih cepat. Temperatur juga memiliki banyak
efek tidak langsung terhadap proses dekomposisi. Temperatur tinggi mengurangi
kelembaban tanah dengan meningkatkan proses evaporasi dan transpirasi. Stimulasi
aktivitas mikroba oleh temperatur yang hangat juga menginisiasikan serangkaian
perputaran umpan balik (feedback-loop) yang mempengaruhi proses dekomposisi. Di
sisi lain, pelepasan nutrisi oleh proses dekomposisi pada temperatur tinggi
meningkatkan kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan oleh tanaman –mengubah
substrat yang tersedia untuk dekomposisi. Temperatur yang tinggi juga meningkatkan
tingkat pelapukan kimia, yang dalam jangka pendek menyebabkan peningkatan
pasokan nutrisi. Sebagian besar efek tidak langsung dari temperatur menyebabkan
terjadinya peningkatan respirasi tanah pada suhu yang hangat dan memberikan
kontribusi pada proses dekomposisi yang lebih cepat (diamati pada kondisi iklim
hangat).

Sumber: Chapin, F. Stuart et al (2002)

17
b. Kelembaban
Dekomposer mengalami kondisi paling produktif dalam kondisi lembab yang
hangat (pasokan oksigen yang cukup tersedia) kondisi yang menyebabkan tingkat
dekomposisi yang tinggi pada hutan tropis. Tingkat dekomposisi umumnya mengalami
penurunan pada kelembaban tanah yang kurang dari 30 sampai 50% dari massa kering
dikarenakan penurunan ketebalan dari lapisan lembab pada permukaan tanah yang
menyebabkan penurunan kecepatan difusi substrat oleh mikroba. Proses dekomposisi
juga mengalami penurunan pada kadar kelembaban tanah yang tinggi (misalnya lebih
besar dari 100 hingga 150% dari massa kering). Pada kasus batangan pohon kayu yang
membusuk, terdapat lingkungan mikro yang unik dan umumnya memiliki kadar air
yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingkat laju dekomposisi batangan pohon ini menjadi
terbatasi (dipengaruhi oleh jumlah pasokan oksigen). Tingkat dekomposisi batangan
kayu umumnya mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya diameter batang
tersebut –karena ukuran batangan besar umumnya memiliki lebih banyak uap air dan
lebih sedikit oksigen. Proses dekomposisi terjadi lebih cepat pada kondisi netral
daripada kondisi asam. Peningkatan secara menyeluruh di tingkat dekomposisi pada
pH yang lebih tinggi mungkin mencerminkan adanya kompleksitas interaksi antar
faktor, termasuk perubahan dalam komposisi spesies tumbuhan dan terkait dengan
perubahan dalam kuantitas dan kualitas sampah. Terlepas dari penyebab perubahan
keasaman dan komposisi jenis tanaman yang terkait, pH rendah cenderung dikaitkan
dengan tingkat dekomposisi yang rendah.

c. Mineral
Mineral dapat mengurangi tingkat dekomposisi terhadap bahan organik tanah,
sehingga dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Mineral mengubah
lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan kapasitas pegang air (water-holding
capacity). Hal ini mengakibatkan terjadinya pembatasan suplai oksigen yang dapat
mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah. Bahkan pada kelembaban tanah yang

18
sedang, mineral dapat meningkatkan akumulasi bahan organik dengan mengikat bahan
organik tanah, mengikat enzim mikroba, dan mengikat produk aktivitas eksoenzim
terlarut. Dapat dikatakan, efek akhir dari pengikatan yang dilakukan oleh mineral
adalah perlindungan materi organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi.

B. Kualitas dan Kuantitas Substrat


a. Sampah
Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada tingkat dekomposisi pada dasarnya
merupakan konsekuensi yang logis dari jenis senyawa kimia yang hadir dalam serasah
atau sampah tersebut. Senyawa-senyawa ini dapat dikategorikan diantaranya sebagai
senyawa metabolik labil (seperti gula dan asam amino), senyawa struktural agak labil
(seperti selulosa dan hemiselulosa), dan senyawa struktural solid (seperti lignin dan
cutin). Sampah yang cepat membusuk (terdekomposisi) umumnya memiliki kuantitas
konsentrasi yang lebih tinggi pada substrat labil dan konsentrasi yang lebih rendah pada
senyawa solid. Terdapat lima sifat kimia bahan organik yang saling berkaitan dalam
menentukan kualitas substrat: ukuran molekul, jenis ikatan kimia, keteraturan struktur,
toksisitas, dan konsentrasi nutrisi. Setiap sifat dapat berfungsi sebagai prediktor tingkat
laju dekomposisi karena sifat-sifat tersebut cenderung saling berkorelasi. Rasio
perbandingan konsentrasi karbon dengan nitrogen (rasio C : N) misalnya, sering
digunakan sebagai indeks dari kualitas sampah; karena sampah dengan rasio “C : N”
yang rendah (konsentrasi nitrogen tinggi) umumnya mengalami dekomposisi yang
cepat. Namun, bukanlah konsentrasi nitrogen dari sampah maupun ketersediaan
nitrogen dalam tanah yang secara langsung mempengaruhi tingkat dekomposisi pada
ekosistem alami; hal ini menunjukkan bahwa rasio “C : N” bukan merupakan properti
kimiawi yang langsung mengontrol proses dekomposisi dalam ekosistem. Untuk
kondisi sampah solid, rasio konsentrasi lignin atau “lignin : N” sering juga digunakan
sebagai prediktor tingkat dekomposisi –menunjukkan kembali atas peran penting
kualitas karbon dalam menentukan tingkat dekomposisi .

19
b. Materi Organik Tanah
Materi organik tanah dihasilkan dari sampah melalui proses fragmentasi oleh
invertebrata tanah serta perubahan kimia oleh mikroba. Setelah mikroba ini mati,
komponen chitin serta komponen solid lain pada dinding sel mikroba tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan proporsi massa dari sampah (massa sampah
sebelum yang ditambah massa mikroba) dan reaksi-reaksi non-enzimatik yang
menghasilkan senyawa humic. Kesemua proses ini berakibat terjadinya pengurangan
kualitas bahan organik tanah secara bertahap (penuaan) -rasio “C : N” juga mengalami
penurunan seiring proses dekomposisi berjalan. Dapat disimpulkan, pada proses
dekomposisi terhadap materi organik tanah (seperti halnya pada sampah), kualitas
karbon dapat dikatakan merupakan alat prediksi tingkat laju dekomposisi yang baik.
Sudah menjadi sifat heterogen dari materi organik tanah yang membuatnya sulit dalam
pengidentifikasian kontrol kimiawi atas proses dekomposisi materi tersebut. Hal ini
dikarenakan adanya percampuran senyawa organik dari usia yang berbeda dengan
komposisi kimiawi. Komponen-komponen yang berbeda usia dari materi organik tanah
ini dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan, karena partikel baru bersifat
kurang padat apabila dibandingkan dengan yang tua dan cenderung tidak terikat pada
partikel mineral tanah. Keadaan tanah dimana memiliki proporsi materi organik tanah
yang besar dalam pecahan ringan umumnya memiliki tingkat dekomposisi yang tinggi.
Sebagai alternatif lain, tanah dapat dipisahkan secara kimiawi menjadi pecahan-
pecahan yang berbeda, seperti senyawa air terlarut, asam humic, dan asam fulvat yang
berbeda dalam usia rata-rata dan kemudahan dalam penguraian. Materi organik tanah
secara rata-rata umumnya memiliki waktu tinggal (residence time) antara 20 sampai 50
tahun, meskipun ini dapat bervariasi pada kisaran antara 1 sampai 2 tahun pada lahan
budidaya hingga ribuan tahun pada lingkungan dengan tingkat dekomposisi yang
lambat.
C. Komposisi Komunitas Mikroba dan Kapasitas Enzimatis
Aktivitas enzim dalam tanah bergantung pada komposisi komunitas mikroba dan
sifat dari matriks tanah. Komposisi dari komunitas mikroba berperan sangat penting
karena komposisi tersebut sangat berpengaruh terhadap jenis dan tingkat produksi

20
enzim. Enzim pemecah substrat umum seperti protein dan selulosa dihasilkan oleh
begitu banyak jenis mikroba (dimana jenis enzim-enzim ini memang secara universal
sering djumpai di dalam tanah). Enzim-enzim yang terlibat di dalam proses-proses
yang hanya terjadi dalam lingkungan tertentu, seperti proses denitrifikasi (atau
produksi metana) dan oksidasi, tampak lebih sensitif terhadap komposisi komunitas
mikroba ini. Aktivitas enzim tanah juga dipengaruhi oleh tingkat laju penonaktifan
enzim di dalam tanah, baik oleh degradasi oleh protease tanah atau dengan cara
mengikat mineral tanah. Peristiwa pengikatan enzim ke permukaan eksternal dari akar
atau mikroba mengakibatkan perpanjangan aktivitas enzim di dalam tanah; sedangkan
pengikatan terhadap partikel mineral dapat mengubah konfigurasi enzim atau
memblokir lahan aktif dari enzim tersebut sehingga mengurangi aktivitasnya.

Sebagian besar mikroba tanah (termasuk jamur ericoid dan ektomikoriza)


menghasilkan enzim (protease dan peptidase) yang memecah protein menjadi asam
amino. Produk-produk penguraian ini dapat dengan segera diserap oleh mikroba dan
digunakan baik untuk memproduksi protein mikroba ataupun memberikan energi
respirasi. Dikarenakan protease merupakan subjek yang sering diserang oleh protease
lain, umur hidup enzim ini di dalam tanah relatif pendek, dan aktivitas protease ini
cenderung merupakan cerminan dari aktivitas mikroba. Namun lain halnya dengan
fosfatase (enzim yang membelah fosfat dari senyawa fosfat organik) yang dapat hidup
lebih lama, sehingga aktivitas enzim ini di tanah berkorelasi lebih kuat terhadap
ketersediaan fosfat organik di dalam tanah daripada dengan aktivitas mikroba.

Selulosa merupakan penyusun senyawa kimia yang paling banyak ditemukan dari
sampah tanaman –senyawa ini terdiri dari rantai unit glukosa, sering memiliki panjang
ribuan unit, namun tidak ada glukosa ini yang tersedia sampai diaktivasikannya oleh
eksoenzim. Proses pemecahan selulosa memerlukan tiga sistem enzim yang
terpisah: endoselulase sebagai pemutus ikatan internal untuk mengganggu struktur
kristal selulosa, eksoselulase kemudian bertindak sebagai pembelah unit disakarida
dari ujung-ujung rantai membentuk selobiosa yang kemudian diserap oleh mikroba dan
dipecah secara intraseluler menjadi glukosa oleh selobiase. Beberapa mikroba tanah,

21
termasuk sebagian besar fungi, dapat menghasilkan seluruh paket enzim selulase.
Organisme lain, seperti beberapa bakteri, hanya menghasilkan beberapa enzim selulase
dan harus berfungsi sebagai bagian dari konsorsium mikroba untuk mendapatkan
energi dari pemecahan selulosa.

Penguraian komponen lignin membutuhkan proses yang perlahan-lahan


dikarenakan hanya beberapa organisme mikroba (terutama fungi) yang memproduksi
enzim yang diperlukan pada proses ini; dan mikroba inipun hanya menghasilkan enzim
apabila substrat yang lebih labil lainnya sudah tidak tersedia. Lignin terbentuk secara
non-enzimatik oleh reaksi kondensasi dengan fenol serta radikal bebas menciptakan
struktur tidak beraturan yang tidak sesuai dengan spesifikasi untuk teruraikan oleh
enzim-enzim pada umumnya. Untuk alasan ini, enzim pendegradasi lignin
menggunakan radikal bebas, yang memiliki spesifisitas substrat yang rendah. Oksigen
diperlukan untuk menghasilkan radikal bebas ini, sehingga proses penguraian lignin
tidak dapat terjadi pada keadaan tanah anaerobik. Dekomposer umumnya berinvestasi
energi dalam memproduksi enzim pendegradasi lignin ini.

Tipe dekomposisi ada tiga, yaitu:

1. Aerobik: Dekomposisi yang terjadi dengan menggunakan oksigen sehingga


mikroorganisme yang hadir adalah mikroorganisme aerob dan tidak
menghasilkan metan dalam proses aerob ini. Contohnya: Bakeri yang
berperan dalam penguraian selulosa tanaman yaitu Bacillus sp.,
Cyptopharga sp., Pseudomonas sp., Sporocyptoharga sp.
2. Anaerobik: Dekomposisi yang tidak membutuhkan oksigen dan dihasilkan
metan dan dan juga CO2 dalam proses ini. Contohnya: Bakeri yang
berperan dalam penguraian selulose Clostridium sp., Ruminococcus sp.
3. Fermentasi: Dekomposisi anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi
juga sebagai penerima elektron. Contohnya: Pembuatan tape, yogurt, wine
dan lain-lain.

22
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1 Dekomposer merupakan makhluk hidup yang berperan
menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme yang
telah mati ataupun hasil pembuangan sisa pencernaan.
Dekomposisi adalah proses alami dari hewan mati atau jaringan
tanaman menjadi busuk atau rusak yang dilakukan oleh
invertebrate, jamur dan bakteri.
3.1.2 Mikroba dapat berperan dalam pembersihan air, menguraikan
detergen, menguraikan plastik, menguraikan minyak bumi,
menguraikan pestisida, menguraikan logam berat, menguraikan
limbah organik, menguraikan limbah yang kaya protein, dan
menguraikan limbah PCP.
3.1.3 Proses dekomposisi dikendalikan oleh tiga tipe faktor, yaitu:
kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat
yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari
komunitas mikroba. Kondisi lingkungan fisik diantaranya
adalah temperatur (suhu), kelembaban, properti tanah, serta
gangguan yang terjadi pada tanah. Tipe dekomposisi ada tiga,
yaitu Aerobik, dekomposisi yang terjadi dengan menggunakan
oksigen tidak menghasilkan metan. Anaerobik, dekomposisi
yang tidak membutuhkan oksigen dan dihasilkan metan dan.
Fermentasi, dekomposisi anaerobik namun bahan organik yang
teroksidasi juga sebagai penerima elektron.
3.2 Saran
Kami menyarankan bagi mahasiswa lain untuk mencari lebih banyak sumber
referensi karena masih banyak materi dan informasi yang mungkin belum ada
dalam makalah ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, Agus Krisno. 2004. Mikrobiologi Terapan. Malang: Universitas


Muhammadiyah Malang Press.
Chapin, F. Stuart et al. Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. 2002. New
York: Springer-Verlag.
Kusnaidi, dkk. 2003. Mikrobiologi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Rahmawati, Nini. 2005. Pemanfaatan Biofertilizer pada Pertanian Organik.
(Online). (http://library.usu.ac.id/download/fp/05013941.pdf, diakses
tanggal 22 Februari 2019).
Sulistyawati, E., dan Ridwan N., 2007.Efektivitas Kompos Sampah Perkotaan Sebagai
Pupuk Organik dalam Meningkatkan Produktivitas dan Menurunkan
Biaya Produksi Budidaya Padi. Sekolah Ilmu dan TeknologiHayati -
Institut TeknologiBandung.
Yuwono,T.2006.Bioteknologi Pertanian.Seri Pertanian.Gajah Mada University Press.

24

Você também pode gostar