Você está na página 1de 119

BUKU AJAR

HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN


PERDATA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
BUKU AJAR

HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN PERDATA

Kode Mata Kuliah : BNI5338

Penyusun
Dr. I Ketut Tjukup, SH., MH
Dr. Nyoman Rai Asmara Putra, SH., MH
I Ketut Artadi, SH., SU
Nyoman. A Martana, SH., MH
I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, SH., MH
Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn
I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH
Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH
Nyoman Wicaksana Wirajati, SH., LLM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karuniaNya,
Buku Ajar Hukum Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata berhasil diselesaikan.
Buku Ajar ini adalah merupakan hasil Revisi dari penggabungan block book Tahun
2012 dan juga Buku Ajar Tahun 2006 yang dimaksudkan untuk memperbaiki format,
mereformulasi jenis-jenis tugas serta pemutahiran substansi dan referensi. Buku Ajar
mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini dimaksudkan sebagai
buku pedoman pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun bagi
dosen dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai dengan
rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.
Substansi Buku Ajar meliputi identitas mata kuliah, tim pengajar, deskripsi mata kuliah,
organisasi materi, metode dan strategi pembelajaran, tugas-tugas, ujian-ujian,
penilaian, dan bahan bacaan. Selain itu terdapat pula kegiatan pembelajaran yang
dilakukan pada setiap pertemuan berdasarkan pada jadwal kegiatan pembelajaran.
Buku Ajar ini dilengkapi dengan Kontrak Perkuliahan dan Satuan Acara Perkulianan
yang ditempatkan pada lampiran.
Dengan selesainya revisi ini, sepatutnya diucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Pembantu Dekan
yang telah berkomitmen dan konsisten untuk menerapkan metode problem
based learning dalam proses pembelajaran, sehingga setiap mata kuliah
diupayakan memiliki pegangan berupa buku ajar/block book.
2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian buku ajar ini

Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan pada buku ajar
ini. Semoga bermanfaat terhadap pelaksanaan proses pembelajaran dan mencapai
hasil sesuai dengan kompetensi yang direncanakan.

Denpasar, 18 Agustus 2016


Penyusun.

ii
SAMBUTAN DEKAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Puja dan Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, atas anugrah dan karunianya, akhirnya Buku Ajar Hukum Acara
dan Praktek Peradilan Perdata, sebagai materi ajar dalam proses pembelajaran Hukum
Acara dan Praktek Peradilan Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana dapat
diterbitkan.
Terbitnya Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini,
merupakan hasil jerih payah dari penulis sehingga perlu diberikan penghargaan dan
apresiasi yang mendalam. Terbitnya Buku Ajar ini juga diharapkan agar penulis mampu
secara berkesinambungan mengkaji perkembangan terkini dari hukum yang berkaitan
dengan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata.
Akhir kata, pada kesempatan ini kami menyamapikan terima kasih dan
penghargaan kepada para penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan
Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini. Semoga para penulis terus
menumbuh kembangkan karyanya dan melahirkan ciptaan-ciptaan buku lainnya untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum.

Denpasar, 29 November 2016


Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH, M.Hum.


NIP. 19650221 199003 1 005

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


SAMBUTAN DEKAN ...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................iv
I IDENTITAS MATA KULIAH ......................................................................................... 2
II DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN................................................................... 2
III. TUJUAN MATA KULIAH ........................................................................................... 3
IV. MANFAAT MATA KULIAH ...................................................................................... 3
V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ....................................................... 3
VI. ORGANISASI MATERI ............................................................................................... 4
VIIMETODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN ........ 5
VIII. TUGAS-TUGAS ......................................................................................................... 6
IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN ............................................................................... 6
X. BAHAN PUSTAKA ....................................................................................................... 7
XI. JADWAL PERKULIAHAN ......................................................................................... 8
PERTEMUAN I: PERKULIAHAN 1 ............................................................................... 10
PERTEMUAN II: TUTORIAL 1 ...................................................................................... 36
PERTEMUAN III: TUTORIAL 2 ..................................................................................... 38
PERTEMUAN IV: TUTORIAL 3 ..................................................................................... 40
PERTEMUAN V: PERKULIAHAN 2 .............................................................................. 42
PERTEMUAN VI: TUTORIAL 4 ..................................................................................... 51
PERTEMUAN VII: TUTORIAL 5 ................................................................................... 53
PERTEMUAN VIII: UJIAN TENGAH SEMESTER....................................................... 55
PERTEMUAN IX: PERKULIAHAN 3 ........................................................................... 56
PERTEMUAN X: TUTORIAL 6 ...................................................................................... 68
PERTEMUAN XI: TUTORIAL 7 ..................................................................................... 70
PERTEMUAN XII: PERKULIAHAN 4 ........................................................................... 73
PERTEMUAN XIII: TUTORIAL 8 .................................................................................. 84
PERTEMUAN XIV: TUTORIAL 9 .................................................................................. 87
PERTEMUAN XV: TUTORIAL 10 ................................................................................. 89
PERTEMUAN XVI: UJIAN AKHIR SEMESTER .......................................................... 91
LAMPIRAN I: SILABUS.................................................................................................. 92
LAMPIRAN II: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) .................... 94
LAMPIRAN III: KONTRAK PERKULIAHAN............................................................. 112

iv
I IDENTITAS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata


Kode Mata Kuliah/SKS : BNI5338
SKS : 3 SKS
Prasyarat : -
Semester : 3 (Tiga)
Status Mata Kuliah : Wajib Nasional
Tim Pengajar : Dr. I Ketut Tjukup, S.H., M.H.
I Ketut Artadi, SH., SU
Nyoman. A Martana, SH., MH
I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, SH., MH
Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn
I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH
Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH
Nyoman Wicaksana Wirajati, SH., LLM

II DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN

Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata
kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah
satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai
Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai
istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,
sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara
dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;
Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya
Hukum; Eksekusi.
Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep
hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam
masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus
yang terjadi di dalam masyarakat.

2
III. TUJUAN MATA KULIAH

Tujuan dari perkuliahan ini adalah mahasiswa diharapkan mampu


memahami istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan
Perdata, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan
Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan
Sebelum Sidang; Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian,
Putusan; Upaya Hukum; Eksekusi.

Dengan demikian maka, mahasiswa diharapkan mampu menganalisa


berbagai masalah yang berkaitan dengan Hukum Acara dan Praktek Peradilan
Perdata yang timbul dan ada dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

IV. MANFAAT MATA KULIAH

Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata merupakan mata kuliah yang
bersifat teoritis dan praktis, sebagai pendalaman dari mata kuliah lain dalam
kelompok mata kuliah keahlian hukum, terutama Hukum Acara, khususnya
substansiHukum Perdata. Karena itu, Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata
selain memberikan manfaat teoritis bagi mahasiswa, yakni mahasiswa dapat
memahami seluk-beluk istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan
Praktek Peradilan Perdata, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata,
sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia;
Tindakan Persiapan Sebelum Sidang; Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara
Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya Hukum; Eksekusi.

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH

Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata merupakan mata kuliah
pilihan yang ditawarkan pada semester 3. Berdasarkan pada Keputusan Rektor
Universitas UdayanaNomor : 980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman
Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013 dan Keputusan
Rektor Universitas Udayana Nomor: 849/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Kurikulum
Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Hukum Acara dan Praktek
Peradilan Perdata dipersyarati dengan mata kuliah Hukum Perdata.

3
VI. ORGANISASI MATERI

Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan,
yang dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pendahuluan:
a. Pengertian hukum Acara Perdata
b. Sumber-sumber hukum Acara Perdata
c. Asas- Asas Hukum Acara Perdata
d. Susunan Badan Kekuasaan Peradilan
e. Pejabat di Lingkungan Peradilan

2. Tindakan Sebelum dan Selama Sidang


a. Tuntutan Hak
b. Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya
c. Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis
d. Penggabungan/ Komulatif
e. Upaya untuk Menjamin Hak
f. Kompetensi Peradilan
g. Gugatan Perwakilan

3. Proses Acara Istimewa


a. Pemanggilan Secara Patut
b. Acara Istimewa
c. Mediasi Litigasi
d. Perubahan dan Pencabutan Gugatan

4. Proses Jawab Menjawab


a. Jawaban Gugatan
b. Replik Duplik
c. Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses

5. Pembuktian
a. Pengertian
b. Beban Pembuktian
c. Alat-alat Bukti
6. Putusan
a. Pengertian putusan
b. Sistematika Putusan

4
c. Asas-asas Putusan
d. Jenis-jenis Putusan
e. Kekuatan Putusan

7. Upaya Hukum
a. Upaya Hukum Biasa
b. Upaya Hukum Luar Biasa

8. Pelaksanaan Putusan
a. Pengertian
b. Dasar Hukum
c. Asas-asas
d. Jenis-jenis
e. Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi
f. Pelaksanaan Putusan

VII METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN

Metode perkuliahan yang digunakan yaitu metode Problem Based


Learning. Mahasiswa belajar (learning) menggunakan masalah sebagai basis
pembelajaran. Dosen bukan mengajar (teaching), tetapi memfasilitasi mahasiswa
belajar.
Pelaksanaan perkuliahan dikombinasikan dengan tutorial. Perkuliahan
dilakukan oleh dosen penanggung jawab mata kuliah sebanyak 4 (empat) kali,
untuk memberikan orientasi materi perkuliahan per-pokok bahasan. Sedangkan
tutorial dilaksanakan sebanyak 12 (delapan) kali. Untuk mengetahui hasil belajar
peserta didik, dilakukan dengan penilaian terhadap tugas-tugas, ujian tengah
semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Dengan demikan, keseluruhan
tatap muka pertemuan berjumlah 16 kali.
Perkuliahan Pokok-pokok Bahasan dan sub-sub pokok bahasan dipaparkan
dengan alat bantu papan tulis, power point slide, dan penyiapan bahan bacaan
tertentu yang dipandang sulit diakses oleh mahasiswa. Mahasiswa sudah
mempersiapkan diri (self study) sebelum mengikuti perkuliahan dengan mencari
bahan materi, membaca, dan memahami pokok-pokok bahasan yang akan
dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book. Perkuliahan
dilakukan dengan proses pembelajaran dua arah, yakni pemaparan materi, tanya
jawab, dan diskusi.

5
Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas, baik discussion task, study task,
maupun problem task sebagai bagian dari self study. Tugas-tugas dikerjakan
sesuai dengan petunjuk yang terdapat pada setiap jenis tugas-tugas. Kemudian
presentasi dan berdiskusi di kelas tutorial.

VIII. TUGAS-TUGAS

Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan dan mempersiapkan tugas-


tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar. Tugas-tugas terdiri dari tugas mandiri
yang dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang harus dikumpulkan, dan tugas
yang harus dipresentasikan.

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN

Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk essay dalam masa tengah
semester dan akhir semester. Ujian tengah semester (UTS) dapat diberikan pada
saat tutorial atas materi perkuliahan nomor 1 dan 2. UTS dapat diganti dengan
menggunakan nilai tutorial 1, 2, 3, 4, dan 5 dari perkuliahan 1 dan 2. Sedangkan
ujian akhir semester ( UAS ) dilakukan atas materi perkuliahan 3 dan 4 dan tutorial
6, 7, 8, 9, dan 10 yang dilakukan pada pertemuan ke-16.
Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills. Penilaian hard skill
dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan UAS. Penilaian soft skill meliputi
penilaian atas kehadiran, keaktifan, kemampuan presentasi, penguasaan materi,
argumentasi, disiplin, etika dan moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap
muka selama perkuliahan dan tutorial. Nilai soft skill ini merupakan nilai tutorial
yang dijadikan sebagai nilai tugas. Nilai Akhir Semester (NA) diperhitungkan
menggunakan rumus seperti pada Buku Pedoman FH UNUD 2013, yaitu

(UTS + TT ) + 2 (UAS)
2
NA =
3

Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan rincian dan kesetaraan


sebagai berikut :

6
Skala Nilai Penguasaan Keterangan dengan skala
nilai
Kompetisi
Huruf Angka 0-10 0-100

A 4 Sangat baik 8,0-10,0 80-100

B 3 Baik 7,0-7,9 70-79

C 2 Cukup 5,5-6,4 55-64

D 1 Sangat kurang 5,0-5,4 50-54

E 0 Gagal 0,0-4,9 0-49

X. BAHAN PUSTAKA

1. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.
2. Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian dalam Sistem Peradilan
di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
3. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico,
Bandung.
4. Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Armico,
Bandung.
5. Darwan Prints,1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan
Perdata, CV. Armico, Bandung.
6. A.T. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata Serta Sususnan dan
Kekuasaan Peradilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
7. Lilik Mulyadi,1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata
pada Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
8. Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata, pada Pengadilan Agama,
Pustaka Pelajar, Jakarta.
9. Nur Rasaaid, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
10. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1989, Hukum
Acara Perdata Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.
7
11. Soeparmono, 2000, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, CV
Mandar Maju, Bandung,
12.
13. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
14. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia,
Sumur Bandung, Bandung.
15. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
16. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung.
17. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta.
18. M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika,
Jakarta.

XI. JADWAL PERKULIAHAN


Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:

NO PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN


1 I Pendahuluan dan Tindakan Sebelum Perkuliahan 1
Sidang

2 II Pengertian hukum Acara Perdata, Tutorial 1


Sumber-sumber hukum Acara Perdata,
Asas- Asas Hukum Acara Perdata,
Susunan Badan Kekuasaan Peradilan,
Pejabat di Lingkungan Peradilan

3 III Tuntutan Hak, Isi Gugatan dan Dasar Tutorial 2


Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan
Tertulis, Penggabungan/ Komulatif,

4 IV Upaya untuk Menjamin Hak, Kompetensi Tutorial 3


Peradilan, Gugatan Perwakilan

5 V Proses Acara Istimewa dan Proses Jawab Perkuliahan 2

8
Menjawab
6 VI Pemanggilan Secara Patut, Acara Tutorial 4
Istimewa, Mediasi Litigasi, Perubahan dan
Pencabutan Gugatan

7 VII Jawaban Gugatan, Replik Duplik, Tutorial 5


Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam
Proses

8 VIII UJIAN TENGAH SEMESTER


9 IX Pembuktian dan Putusan Perkuliahan 3
10 X Pengertian, Beban Pembuktian dan Alat- Tutorial 5
alat Bukti
11 XI Pengertian putusan, Sistematika Putusan, Tutorial 6
Asas-asas Putusan, Jenis-jenis Putusan
dan Kekuatan Putusan

12 XII Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Perkuliahan 4


13 XIII Upaya Hukum Biasa, Upaya Hukum Luar Tutorial 7
Biasa

14 XIV Upaya Hukum Luar Biasa Tutorial 8

15 XV Pengertian, Dasar Hukum, Asas-asas, Tutorial 9


Jenis-jenis, Perlawanan Terhadap Sita
Eksekusi dan Pelaksanaan Putusan

16 XVI UAS Terstruktur

9
PERTEMUAN I: PERKULIAHAN 1
PENDAHULUAN, DAN TINDAKAN SEBELUM SIDANG

1. Pendahuluan
Pertemuan pertama pada perkuliahan ini akan disajikan pemahaman
mengenai pengertian hukum acara secara umum, pengertian hukum acara
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama
adalah mahasiswa mampu menguraikan mengenai pemahaman hukum acara
secara umum, pengertian hukum acara perdata, yaitu sebagai hukum formil yang
bertujuan untuk melaksanakan atau menjamin ditatainya hukum perdata materiil.
Dalam pertemuan ini pula dibahas mengenai asas-asas hukum acara perdata yang
merupakan fundamen untuk mempelajari hukumacara perdata lebih lanjut, sumber-
sumber hukum acara perdata yang sampai saat ini masih menggunakan sumber-
sumber hukum acara perdata dijaman colonial, peraturan perundang-undangan
yang baru menyangkut tentang hukum formil, Susunan Badan Kekuasaan
Peradilan, serta Pejabat di Lingkungan Peradilan.
Sedangkan pada tindakan sebelum siding dibahas Perbedaan Gugatan dan
Permohonan, Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan
Tertulis, Penggabungan/ Komulatif, Upaya untuk Menjamin Hak, Kompetensi
Peradilan, serta Gugatan Perwakilan
Materi perkuliahan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata ini sangat
penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-
tugas tutorial dalam pertemuan kedua dan ketiga. Selain itu juga menghindari
terjadinya pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang berulang kali
diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan kedua, ketiga dan keempat.

2. Pengertian Hukum Acara Perdata


Hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu hukum formil
dan hukum materiil. Hukum acara perdata merupakan hukum formil (Burgelijk
Procesrecht, Civil Procedural Law) karena memiliki fungsi mempertahankan atau
menegakan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata tidak membebani
dengan hak dan kewajiban sebagaimana halnya dalam hukum perdata materiil.
Hukum acara perdata bertujuan untuk menegakan kaidah-kaidah hukum perdata
materiil sebagai akibat dari adanya pelanggaran terhadap hukum materiil.
Pelanggaran kaidah hukum pedata yang menyebabkan kerugian pada pihak lain,
harus diselesaikan melalui lembaga yang berwenang untuk itu dan tidak boleh
diselesaikan dengan cara “Eigenrichting” (main hakim sendiri).

10
Menurut UU nomor 48 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU nomor 4
Taun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa, suatu sengketa juga
dapat diselesaikan diluar lembaga peradilan (non litigasi) yang disebut dengan
penyelesaian sengketa secara alternative. Disamping itu juga perlu dibaca pasal
666 KUHperdata.
Ada beberapa pendapat ahli berkaitan dengan pengertian Hukum Acara Perdata
diantaranya:
1. Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimmana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim.1
2. Abdulkadir Muhamad, mengemukakan bahwa hukum acara perdata
peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum
perdata.
3. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa hukum acara perdata adalah
sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang yang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.2
4. R. Supomo, memberikan pengertian bahwa dalam hokum acara perdata
hakim melaksanakan tugasnya untuk mempertahankan tata hokum perdata
(burgerlijke rechts orde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hokum
dalam suatu perkara.3
5. Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa hukum acara perdata adalah
merupakan ketentuan hukum yang mengatur bagaimana proses seseorang
untuk berperkara perdata di depan sidang pengadilan serta bagaimanakah
proses hakim (pengadilan) menerima, memeriksa serta memutus perkara
4
dalam rangka memperthankan eksistensi hukum perdata materiil.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum acara perdata bukan
hukum yang berdiri sendiri, karena hukum acara perdata tidak dapat dilepaskan
dengan hukum perdata materiil atau dengan kata lain, hukum acara perdata tidak
akan ada artinya atau tidak berfungsi jika tidak ada hukum perdata materiil.

1 Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,h.19


2 Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,
h.13
3Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, h.12
4 Lilik Mulyadi,1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada Praktik
Peradilan, Jambatan, Jakarta, h.2

11
Demikian sebaliknya hukumperdata materiil tidak akan dapat lancar tanpa peranan
hukum acara perdata.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa peraturan hukum acara perdata


tersebut mengatur bagaimana caranya mengajukan perkara ke pengadilan,
bagaimana caranya pihak terserang (tergugat) mempertahankan diri, bagaiamana
hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara. Bagaimana hakim
memeriksa dan memutus perkara sehingga mencerminkan keadilann, apa yang
harus dilakukan pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan, bagaimana
cara melaksanakan putusan sehingga apa yang menjadi hak pihak yang
dimenangkan menurut hukum benar-benar dapat dinikmati.
Perkataan “acara” berarti mengandung artiproses penyelesaian perkara lewat
hakim (pengadilan). Proses penyelesaian perkara lewat hakim tersebut adalah
bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang telah terganggu atau mengalami
suatu kerugian mengembalikan keadaan semula, bahwa setiap orang harus
memenuhi peraturan hukum perdata supaya peraturan hukum perdata berjalan
sebagaimmana mestinya.5 Penyelesaian perkara bukan saja dapat dilakukan
melalui lembaga peradilan (litigasi) melainkan juga dapat dilakukan melalui
lembaga non litigasi sebagai alternative penyelesaian sengketa sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternative Penyelesaian Sengketa.

3. Sumber- sumber Hukum Acara perdata


Sampai saat ini kita belum memiliki Kitab Undang- Undang Hukum acara
perdata yang bersifat nasional, sebagaimana halnya dengan hukum acara pidana.
Walaupun pada tahun 1967 sebenarnya kita telah memiliki Rancangan Undang-
Undang Hukum Acara Perdata, terbata pada rancangan undang-undang hukum
acara perdata untukperadilan umum, yang telah disahkan oleh Badan Pekerja
BPHN, namun sampai saat ini masih belum pernah menjadi undang-undang. Oleh
karenanya hukum acara perdata masih berlaku hukum acra perdata peninggalan
jaman colonial dan masih bersifat plurtalistis.
Namun walaupun sampai saat ini kita belum memiliki kitab undang-undang
hukum acara perdata nasional, jangnlah diartikan bahwa tidak ada sumber hukum
acara perdata. Adapun sumber-sumber hukum acara perdata, adalah sebagai
berikut:

5 Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 16-17

12
a. Menurut Undang-undang darurat nomor tahun 1961, masih ditunjukan
Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut HIR) atau
reglemen Indonesia yang diperbaharui Stb.1848 Nomor 16, Stb. 1941
Nomor 44 yang hanya berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura,
serta Reglement Buitengewestwn (selanjutnya disebut Rbg) atau
reglemen daerah Seberang Stb. 1927 Nomor 227 yang berlaku untuk
daerah luar pulau jawa dan Madura.
b. Reglement op de Burgelijk rechtvordering (selanjutnya disenut RV atau
BRV) Stb. 1847 No. 52 Stb. 1849 nomor 63. Namun hal ini hanya
berlaku untuk mereka yang tunduk pada hukum eropa. Oleh karenanya
hal ini hanya sebagai pedoman.
c. Reglement op de Rechteelijke Organisasi in het beleid der jutitie ind
Indonesie atau reglement tentang kekuasaan kehakiman. Hal ini juga
hanya berlaku untuk golongan Eropa. Oleh karenanya hanya sebagai
pedoman.
d. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).
e. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
f. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan peraturan pemerintah No
10 tahun 1983
g. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
h. Yurisprudensi Mahkamah agung
i. Hukum Adat
j. Traktat
k. Doktrin
l. Peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung, seperti Peraturan
Mahkamah agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.

4. Asas- asas Hukum Acara Perdata


Asas-asas hukum acara adalah merupakan fundamen yang harus diketahui
terlebih dahulu sebelum meningkat pada pokok bahasan berikutnya, baik oleh para
penegak hukum maupun oleh para juitiabelen. Dibawah ini dikemukakan beberapa
asas hukum acara:
a. Asas hakim bersifat Menunggu;
Dalam asasini terkandung arti bahwa inisiatif berperkara datangnya dari
pihak yang berkepentigan dan hakim hanya bersifat menunggu datangnya

13
atau masuknya perkara (iudek ne procedat ex officio). Tidak ada hakim jika
tidak ada tuntutan hak (nommo judex sine actore). Proses perkara baru aka
nada jika yang berkepentingan mengajukan kepada hakim (pengadilan) dan
oleh hakim perkara yang masuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
b. Asas hakim tidak boleh Menolak Perkara (ius curia novit)
Jika inisiatif tentang datang dari pihak yang berkepentingan serta tuntutan
hak telah diajukan kepada hakim atau ke pengadilan, maka hakim tidak
boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya atau
hukumnya kurang jelas. Dalam hal ini hakim dianggap tahu hukumnya (ius
curia novits). Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
mengatur bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya. Sedangkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman mengatur bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hkum yang hidup dalam masyarakat.
Oleh karenanya hakim harus terus mengikuti perkembangan hukum serta
mengahayti dan melaksanakan nilai-nilai hukum yang ada dalam
masyarakat..
c. Asas Hakim Pasif.
Asas ini mengandung arti bahwa hakim dalam memeriksa suatu perkara
adalah bersikap pasif, artinya ruang lingkup atau luas perkara yang
diajukan ke pengadilan untuk diperiksa oleh hakim adalah ditentukan oleh
para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya
membantu para pihak pencari keadilan untuk mengatasi segala hambatan
dan rintangan agar tercapainya peradilan yang sesuai dengan Trilogi
Peradilan.6 Sehubungan dengan asas ini perlu mendapat perhatiian pasal
178 HIR/189 R.Bg. yang pada pokoknya menentukan hakim wajib
mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap
sesuatu yang tidak dituntut atau mangbulkan lebih dari pada yang dituntut.
Para pihak yang berperkara juga bebas untuk mengajukan atau tidak
mengajukan upaya hukum, bahkan dapat mengakhiri sengketa kapan saja
dengan perdamaian tanpa persetuujuan hakim.7 Dalam asashakim pasif ini
juga mengandung asas hakim aktif misalnya agar persidangan berjalan

6 Sudikno Mertokusumo Op, Cit h.11


7 Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka
Kartini, Jakarta, h.18-19

14
dengan aman dan lancar, menunda persidangan, memerintah pembuktian,
menjelaskan mengenai upaya hukum dan sebagainya.
d. Asas Verhandelung Maksim
Asasini berhubugan dengan pembuktian dalam hukum acara perdata. Oleh
karenanya lebih lanjut akan diuraikan dalam pokok bahasan pembuktian.
Asas ini mengandung arti bahwa proses pembuktian dalam hukum acara
perdata adalah merupakan kewjiban penggugat dalam membuktikan dalil-
dalil gugatannya dan tergugat dalam membuktikan dalil-dalil bantahannya.
e. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum
Tujuan asas ini adalah untuk menjamin objektifitas daripada persidangan
pengadilan karena adanya control social dari masyarakat luas, menghindari
subjektifitas dari hakim dalam memeriksa perkara. Demikian juga putusan
hakim harus diucapkan didepan sidang terbuka untuk umum.
Namun terhadap sidang-sidang yang berkaitan dengan kesusilaan seperti
perkara perceraian menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 serta
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 sidang perceraian dilakukan dalam
sidang yang tertutup untuk umum. Demikian pula halnya dengan sengketa-
sengketa rahasia dagang juga dapat dilakukan secara tertutup sesuai
dengan UU No 30 Tahun 2000.
f. Asas Audi at Alteram Parterm
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak harus diperlakukan sama di
depan hukum. Hal ini juga mengadung maksud hakim harus bersifat objektif
di dalam menangani suatu perkara, tidal boleh memihak atau bersikap
subjektif. Diperlakukan sama juga berarti para pihak harus diberiakn
kesempatan yang sama baik pada saat pemeriksaan perkara dalam
persidangan maupun pada saat pembuktian. (pasal 1221, 132 HIR/ psal
145, 147 R.Bg)
g. Asas Actor Sequituur Forum Rei
Asas ini mengandung arti bahwa gugatan diajukan pada pengadilnn di
wilayah hukum diaman tergugat bertempat tinggal. Jikahal ini dihubungkan
dengan kewenangan mengadili (kompetensi) hal ini merupakan kompetensi
relative. Dalam hukum cara dikeanal adanya 2 kompetensi yaitu absolute
dan relative. Asas ini juga mengenal beberpa pengecualian, yang akan
dibahas lebih lanjut dalam kompetensi /kewenangan mengadili.
h. Asas Putusan Harus Disertai dengan alasan.
Hakim didalam menjatuhkan putusan harus disetai degan alasan. Hal ini
juga bertujuan agar hakim bersifat objektif, dengan memeberikan alasan

15
dan pertimbangan yang cukup terhadap putusan yang dijatuhkannya. Hal
ini bukan saja merupakan pertranggungjawaban hakim kepada para pihak
yang berperkara, akan tetapi juga pertanggungjawaban hakim kepada
masyarakat, Pengadilan yang lebih tinggi oleh Sudikno Mertokusumo
mengemukakan itu artinya mempunyai nilai objektif. 8 Dengan disertai
alasan yang kuat dalam suatu putusan tersebut mempunyai wibawa dan
tidak mudah untuk dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
i. Asas Berperkara Kena Biaya
Berdasarkan ketentuan Pasal 121 ayat (4), Pasal 182, 183, HIR/ Pasal 145
ayat (4), 192, 194 R.Bg. berperkara dikenakan biaya. Biaya- biaya perkara
ini adalah diperuntukan:
- Biaya kepaniteraan;
- Biaya pemanggilan/ pemberitahuan;
- Biaya materai dll.

Bagi mereka yang tidak mampu, dapat berperkara dengan Cuma- Cuma
atau tanpa biaya yang disebut berperkara secara Prodeo demikian
ditentukan dalam pasal 271-274 R.Bg/ 235-238 HIR. Sudah tentu harus
dilengkapi dengan surat keterangan tidak mampu dari aparat yang
berwenang untuk itu.

j. Asas tidak ada keharusan mewakili.


Menurut system HIR/R.Bg setiap orang yang berperkara tidak ada
keharusan menunjuk kuasa atau wakil yang maju kedalam persidangan.
Namun juga memang menginginkannya juga dapat menunjuk wakil atau
kuasa dalam persidangan pengadilan. Namun jika ditunjuk kuasa atau
wakil, sikuasa tiidak dapat mengajukan gugatan tiidak tertulis. Berbeda
dengan system BRV sebagai sumber hukum acara perdata untuk orang-
orang yang tunduk pada hukum acara peradat Eropa, menghaluskan pihak
yang mempunyai perkara wajib mewakilkannya pada kuasa dengan akibat
batalnya gugatan jika tidak diwakilkan pada seorang kuasa (Pasal 106 ayat
1 BRV). Menurut ketentuan Pasal 109 RV, seorang kuasa diharuskan
Sarjana Hukum. Sistem yang mewajibkan bantuan dari seorang ahli hokum
dalam Rv ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa di dalam suatu proses
yang memerlukan pengetahuan hokum dan kecakapan teknis, maka para
pihak yang berperkara perlu dibantu oleh seorang ahli hokum agar segala

8 Sudikno Mertokusumo, Op, Cit h. 14

16
sesuatunya dapat berjalan dengan lancer dan putusan dijatuhkan dengan
seadil-adilnya.9
k. Asas Hakim Majelis
Asas hakim majelis dapat dilihat dalam pasal 11 Undang-undang Kekuasan
Kehakiman.
l. Asas Trilogi Peradilan
Asastrilogi peradilan dimaksudkan adlah dalam proses pemeriksaan
perkara harus memperhatikan tiga hal yaitu:
- Sederhana;
- Cepat;
- Biaya ringan

5. Susunan Badan Kekuasaan Kehakiman


Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan pada badan-badan peradilan
negara yang ditetapkan menurut UU Pasal 3 ayat 1 UU No 4 tahun 2004.
Sehubungan dengan badan peradilan juga perlu dibaca pasal 10 yang
menentukan:
a. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
Peradilan-peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
b. Badan peradilan yang berada di bawahnya meliputi lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer dan lingkungan peradilan tata
usaha negara.
Puncak semua sistem peradilan yang ada adalah pada Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, tentunya mempunyai kewenangan
untuk melakukan pengawasan terhadap peradilan yang ada di bawah Mahkamah
Agung. Peradilan yang ada dibwah Mahkamah Agung adalah peradilan tngkat
banding yang disebut juga appellate jurisdiction dan peradilan tingkat pertama
yang juga disebut dengan original jurisdiction. Kedua tingkatan ini disebut dengan
judex factie (peradilan dua tingkat). Artinya pemeriksaan perkara dalam tingkay
banding adlah merupakan pemeriksaan ulang atas pemeriksaan dalam tingkat
pertama baik mengenai peristiwanya maupun mengenai hukumnya. Sedangkan
dalam tingkat kasasi pada Mahkamah Agung (judex jure) hanyadiperiksa mengenai
kekeliruan penerapan hukumnya saja. Oleh krenanya pemeriksaan tingkat banding
adalah pemeriksaan tingkat kedua dan terkhir untuk pemeriksaan peristiwa dan
mengenai hukumnya.

9 Wirjono Projodikoro Op.cit. h. 29

17
6. Pejabat Dilingkungan Peradilan
Disamping hakim yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara
dilingkungan peradilan atau yang berwenang untukmelakukan kekuasaan
kehakiman, masih ada beberapa pejabat lainnya yaitu panitera (griffier). Dalam
setiap pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang terdiri dari seorang
panitera, seorang wakil panitera, beberapa panitera muda dan beberapa panitera
engganti. Serta juru sita (deurwaarder) dan juru sita pengganti. Panitera bertugas
untuk menyelenggarakan administrasi peradilan dan mengikuti semua lajannya
persidangan, dengan membuat berita acara (proses verbal), termasuk untuk
melaksanakan putusan, yang dibantu oleh juru sita. Sedangkan tugas juru sita
adalah untuk melakukan pemanggilan atau pemberitahuan.
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti serta juru sat
diangkat ileh Menteri Kehakiman. Sedangkan juru sita pengganti diangkat oleh
Ketua Pengadilan.

7. Perbedaan Gugatan dan Permohonan


Untuk mengajukan perkara kepada hakim (pengadilan), memerlukan persiapan
yang sangat matang dengan cara terebih dahulu mempelajari kasus posisinya
secara seksama. Hal yang utama harus dilihat terlebih dahulu adalah orang yang
akan mengajukan perkaranya kepengadilan “mempunyai kepentingan yang
cukup“, artinya orang yang kepentingannyya dilanggar, diganggu dan mengalami
kerugian baik materiil maupuun inmateriil, dapat mengajukan tuntutan hak ke
pengadilan.
Pengertian perkara dalam hal ini adalah baik perkara yang mengandung sengketa
maupun perkara yang tidak mengandung sengketa, yang juga disebut dengan
peradilan tidak sesungguhnya atau peradilan sukarela (volunteer jurisdictie).
Perkara yang mengandung sengketa diajukan ke pengadilan dalam bentuk
gugatan, sedangkan yang tidak mengandung sengketa diajukan dalam bentuk
permohonan. Baik perkara yang mengandung sengketa maupun yang tidak
mengandung sengketa kedua-duanya disebut dengan tuntutan hak.
Dalam gugatan minimal terdapat dua pihak didalamnya yaitu pihak penggugat dan
pihak tergugat dan dengan hasil akhir putusan pengadilan. Sedangkan dalam
permohonan hanya terdapat satu pihak yaitu pihak permohon dengan hasil akhir
penetapan pengadilan.
Menurut Sudikno Mertokususmo, tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan
untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah terjadinya eigenrichting.

18
Untuk mrngajukan suatu perkara kepada hakim, (pengadilan) memerlukan
persiapan yang sangat matang, disamping harus mempelajari kasus posisinya
dengan seksama.
Hal yang utama harus dilihat terlebih dahulu sebagai suatu proses tindakan
persiapan sebelum sidang, adlaah “apakah orang yang akan mengajukan tuntutan
hak tersebut memang mempunyai kepentingan yang cukup”. Orang yang haknya
merasa dilanggar, diganggu atau mengalami kerugian, mengajukan perkaranya ke
pengadilan untuk mendapat perlindungan hukum dan untuk menghindari terjadinya
eigenrcting, adalah orang yang mempunyai kepentingan. Namun perlu diperhatikan
disini bahwa tidak setiap kepentingan bisa dijadikan dasar untuk mengajukan
tuntutan hak ke pengadilan, melainkan kepentingan yang cukup yang dpaat dipakai
dasar alasan sebagai pengajuan tuntutan hakk. Maksudnya adalah kepentingan
yang cukup, yang layak dan yang mempunyai landasan hukum saja yang dapat
dipakai landasan penggajuan tuntutan hak ke pengadilan.
Pengertian perkara dalam hal ini adlah baik perkara yang mengandung sengketa
maupun yang tidak mengandung sengketa, maksudnya baik itu berupa
“permohonan” maupun “gugatan”. Yang kedua-duanya disebut dengan “tuntutan
hak”.
Tuntutan hakadlah tndakan yang bertujuan untuk memproleh perlindunga hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eingenrichting. Orang yang
mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan
hukum. 10
Dalam perkara gugatan dan permohonan terdapat suatu perbedaan, dimana dalam
perkara gugatan di dalamanya terdapat suatu sengketa/konflik yang harus
diselesaian dan diputus oleh pengadilan, di dalam perkara gugatan, terdapat
minima dua pihak, dimana ada seorang atau lebih yang “ merasa” haknya telah
dilanggar. Pihak yang haknya merasa dilanggar itulah yang mengajukan gugatn ke
pengadilan dan mereka disebut pihak penggugat (eiser plaintiff). Sedangkan
dipihak yang lainnya ada satu orang atau lebih sevagai pihak yang diseret dalam
kepentingan piihak penggugat, mereka disebut dengan “pihak tergugat”
(gedaagde, defendant). Dalam perkara yang mengandung sengketa yang disebut
gugatan ini hakim sungguh-sungguh berfungsi sebagai hakim yang bertugas untuk
memutus suatu perkara, sehingga disebut dengan “peradilan yang sesunggunya”
(constentius jurisdictie). Setelah hakim memeriksa perkara yang mengadung

10 Ibid, h.33

19
sengketa tersebut maka hakim akan mengeluarkan “putusan “atas perkara
dimaksud,
Pada asasnya, setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntut,
atau ingin mempertahankan haknya wenang untuk bertindak sebagai pihak baik
selaku penggugat maupun selaku tergugat (legitima persona standi in judicio)
Dalam perkara yang disebut dengan permohonan, di dalamnya tdak terdapat suatu
sengketa atau konflik. Karena tidak mengndung sengketa maka dlam perkara
permohonan itu di dalamnya hanya terdapat satu pihak, yaitu satu orang atau lebih
yang bertindak sebagai “pemohon”. Dalam hal ini hakim hanya bertindak sebagai
bbadan administrasi belaka dalam memeriksa permohonan yang kemudian dibuat
penetapan atas permohonan tersebut. Maka oleh karenanya terhadap perkara
yang tidak mengandung sengketa ini juga disebut dengan peradilan yang tidak
sesungguhny atau peradilan sukarela dalam proses ini hakim tidak menyelesaikan
suatu sengketa.
Permohonan yang banyak diajukan ke pengadilan adalah permohonan penetapan
pengangkatan anak, permohonan penetapan kelahiran (karena lewaat kurun waktu
tertentu belum dimohonkan akte kelahiran pada Kantor Catatan Sipil, permohonan
penetapan kematian, permohonan penetapan ahli waris, permohonan penetapan
tim likuidasi bank, permohonan penetapan dan lain sebagainya.

8. Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya


Oleh karena dalam perkara gugatan dan permohonan telah jelas perbedaannya
sebagaimana telah diuraikan datas, dalam hal membicarakan mengenai sistimatika
dari tuntutan hak cukuplah dibicarakan satu saja dari dua jenis tuntutan hak yaitu
gugatan. Sehingga dibawah ini hanya dibicarakan mengenai sistimatika gugatan,
yang dalam kepustakaan sering disebut dengan isi gugatan.
Mengenai isi gugatan, tidak ada diatur baik dalam herzien Indonesis Reglement
disingkat HIR maupun dalam Rechtsreglement Buitengewesten disingkat R.Bg.
sebagai sumber hukum utama dari hukum acara perdata karena rancangan
Undang-undang Hukum Acara Perdata (tahun 1967) sampai saat ini masih tetap
saja sebagai rancangan. Dengan tidak adanya diatur mengenai isi gugatan baik
dalam HIR maupun dalam Rbg bukanlah berarti gugatan itu dapat dibuat dengan
seenakna tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu.
Pasal 8 no 3 Rv menentukan gugatan sedikitnya memuat 3 hal yaiitu:
a. Identitas dari para pihak,

20
b. Dalil-dalil tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar
serta alasan-alasan dari pada tuntutan atau lebih dikenal dengan
fundamentum petendi, dan
c. Tuntutan atau petiitum.11
Sedangkan dalam Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata dalam pasal
8 ada ditentukan bahwa surat gugat hendaklah memuat:
a. Nama, tempat tinggal, dan pekerjaan kedua belah pihak yaitu
penggugat dan tergugat.
b. Hal-hal yang nyata atau peristiwa-peristiwa yang terjadi terutama dalam
hubungan antara penggugat dan tergugat;
c. Hal-hal yang diminta oleh penggugat supaya hakim memberikan
putusannya.

Dari hal-hal tersebut diatas, walaupun kelihatannya apa yang ditentukan


dalam pasal 8 RUU Hukum Acara Perdata lebih rinci dibandingkan dengan apa
yang ditentukan dalam pasal 8 Rv, namun pada incinya tidak ada perbedaan yang
prinsipil, karena apa yang disebut dalam angka 1 adalah merupakan identitas para
pihak, angka 2 dan 3 merupakan fundamentum petendi dan yang tercantum dalam
angka 4 adalah petitum.
Untuk lebiih jelaskan apa yang dimaksud dengan masing-masing tersebut
diatas adalah sebagai berikut:

Identitas Para Pihak


Identitas para pihak, tiada lain adalah jati diri atau cirri-ciri masing-masing
pihak baik penggugat maupun tergugat, umur, status perkawinan, pekerjaan serta
tempat tinggal masing-masing perlu pula dicantumkan. Mengenai tempat tinggal
pasal 17 KUHPerdata ada menentukan bahwa setiap orang dianggap mempunyai
tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya.
Sebagaimana dikemukakan dalam pengertian tuntutan hak yang
mengandung sengketa, bahwa dalam suatu perkara yang mengandung sengketa
minimal ada dua pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Pada asasnya
memang setiap orang adalah mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin
mempertahankan atau ingin membelanya, berwenang untuk menjadi pihak baik
selaku penggugat ataupun selaku tergugat (legitima persona standi in judicaio).
Pihak- pihak dalam perkara perdata ada yang disebut pihak materiil dan ada pula

11 Ibid, 34

21
yang disebut pihak formil. Pihak materiil adalah pihak yang langsung mempunyai
kepentingan atas perkara tersebut. Jika mereka yang mempunyai kepentingan itu
langsung bertindak aktif maju ke pengadilan untuk menuntut atau
mempertahankan kepentingannya maka ia merupakan pihak materiil dan pihak
formil. Seorang yang tidak mempunyai kepentingan langsung bertindak aktif di
depan pengadilan seperti seorang kuasa, (Pasal 142 RBg / Pasal 118 HIR; Buku
Ketga Bab XVI tentang pemberian Kuasa, pasal 1792 s/d pasal 1819
KUHPerdata), seorang wali pengampu, mereka yang mewakili suatu badan hukum,
adalah merupakan pihak formil. Orang yang bertindak sebagai kuasa dari pihak
materiil, harus dilengkapi dengan suatu surat kuasa khusus, yang biasanya
dilengkapi dengan hak substitusi (untuk itu berlaku ketentuan-ketentuan pemberian
kuasa).

Dasar-dasar Tuntutan
Fundamentum Petendi yang disebut Posita atau dasar-dasar tuntutan
sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Bagian yang menguraikan mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa
yang juga disebut dengan duduknya masalah; dan
2. Bagian yang menguraikan tentang hukum, maksudnya adalah
hubungan hukum baik antara subjek dengan subjek ataupun antara
subjek dengan objek atau hubugan hukum dalam peristiwa tersebut.
Disini bukanlah dimaksudkan untuk menguraikan pasal-pasal Undang-
undang atau peraturan yang berlaku yang dipakai sebagai dasar
tuntutan, karena untuk menemukan hukum adalah merupakan tugas
hakim bukan tugas penggugat ataupun tergugat.

Sejauh manakah panjang dan lebarnya uraian peristiwa konkrit yang


menjadi dasar-dasar tuntutan yang diuraikan dalam posita adalah merupakan hal
yang tidak boleh diabaikan dalam penyusunan gugatn. Didalam menyusun dasar-
dasar tuntutan yang juga disebut dengan posita atau Fundamentum Petendi, harus
memperhatikan 2 teori yang berlaku untuk itu, yaitu yang disebut dengan
substantieringstheorie. Teori substansi (sejarah), dan Idividualiseringstheorie atau
teori individualisasi.
Menurut teori substansi (substantieringstheorie), bahwa dalam petitum
surat gugatan, tidaklah cukup hanya menguraikan mengenai peristiwa dan
hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, melainkan harus diuraikan pula
bagaimana sejarahnya sampai terjadinya peristiwa dan hubungan hukum itu. Sebut

22
saja umpamanya membicarakan masalah hak tertentu, dalam teori ini tidaklah
cukup menguraikan bahwa penggugat mempunyai suatu hak dengan menunjukan
alat bukti hak tersebut, melainkan haruslah dipaparkan bagaimana searahnya atau
yang menjadi landasan yuridis sampai pada mereka mempunyai suatu hak yang
digugatkan itu. Sehingga apa yang digugatkan menjadi jelas dan gambling.
Sedangkan menurut teori individualisasi, bahwa dalam menyusun suatu
posita atau dasar-dasar tuntutan dari surat gugatan, adalah sudah cukup dengan
menguraikan peristwa dan hubungan hukum tanpa menguraikan sejarah atau
landasan yuridis dari peristiwa dan hubungan hukum tersebut. Sehingga surat
gugatan dapat dibuat dengan singkat, cepat dan tepat. Dengan dasar pemikiran
bahwa sepanjang tidak dipertanyakan atau dibantah tentang peristiwa dan
hubungan hukum tersebt tidaklah perlu dari sejak awal yaitu baru mengajukan
gugatan sudah menguraikan mengenai sejarah alat landasan yuridis dari suatu
peristiwa atau hubungan hukum yang ada. Seandainnya hal itu dipertanyakan atau
dibantah, maka substansinya dapat diuraikan dalam proses jawab menjawab
berikutnya yaitu baik dalam replik maupun dalam rereplik. Menurut yurisprudensi
Mahkamah Agung, penyusunan posita gugatan dengn prumusan secara singkat
sudah dapat dikatakan memenuhi syarat. Putusan Mahkamah agung Republik
Indonesia Nomor 547 K/Sip/1971. Tertanggal 15 maret 1972.

Tuntutan atau Petitum


Bagian terakhir dari surat gugatan, adalah apa yang disebut dengan
tuntutan atau petitum, yaitu berupa permintaan atau tuntutan atau apa yang
diminta oleh penggugat bagaimana nantinya diputus oleh hakim yang senyatanya
dapat dilihat dalam amar putusan. Petitum gugatan haruslah dirumuskan secara
jelas. Putusan yang tidak jelas perumusannya berakibat tuntutan tidak dapat
dierima. Perumusan petitum harus mempunyai korelasi dengan posita. Atau
dengan kata lain suatu tuntutan haruslah terlebih dahulu didasari dengan uraian
didalam posita atau fundamentum petendi. Tampa itu, juga dapat menyebabkan
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima bahkan juga bisa ditolak.
Tuntutan atau petitum, dibedakan menjadi tuntutan primaer dan tuntutan
subsider. Tuntutan Primer dibedakan lagi menjadi dua yaitu tuntutan pokok dan
tuntutan tambahan. Tuntutan pokok adalah tuntutan yang langsung merupakan
pokok perkara, sedangkan tuntutan tambahan adalah tuntutan yang berhubungan
langsung dengan tuntutan pokok dan pada umunya adalah sebagai pelengkap dari
tuntuta pokok. Sedangkan tuntutan tambahannya seperti tuntutan hak asuh

23
terhadap anak dari perkawinan tersebut, tuntutan biaya hidup, biaya pendidikan
anak-anak dan sebagainya.
Tuntutan tambahan mempunyai kaitan yang amat erat dengan tuntutan
pokok, karena tuntutan tambahan adalah merupakan akibat langsung dari tuntutan
pokok (sebagai pelengkap), jika tuntutan pokok ditolak, maka tuntutan tambahan
menjadi tidak berarti. Sedangkan tuntutan sibsider adalah tuntutan pengganti dari
tuntutan primer, juga kiranya tuntutan primer tiidak dikabulkan nantinya. Jika
tuntutan primer dikabulkan tuntutan subside menjadi tidak mempunyai arti.12
Setelah diketahui atau gugatan dibuat sebagaimana ketentuan isi atau
sistimatika gugatan sebagai uraian diatas, agar gugatan dapat diajukan ke
pengadilan maka gugatan harus ditandatangani oleh yang bersangkutan dalam hal
ini penggugat atau kuasanya/wakilnya, (baca pasal 142 dan 147 Rbg/pasal 118
dan 123 HIR) tempat dan tanggal gugatan ditanda tangani.
Oleh karena dalam Rv. Ketentuan mengani isi gugatan demikian sumir
adanya bahwa dalam HIR/RBg. Hal itu tidak diatur maka dalam praktek masih
terlihat beranekaragamnya cara penyusunan gugatan, namun minimal tiga hal
yang harus dimuat telah terpenuhi. Jika ada pihak yang belum paham bagaimana
caranya membuat atau menyusun gugatan, berdasarkan pasal 143 RBg/119 HIR,
ketua pengadilan mempunyai wewenang untuk memberikan nasehat kepada pihak
yang mengajukan gugatan. Setelah gugatan selesai dibuat. Untuk kepentingan
atau menjwab pertnyaan tersebut terlebih dahulu haruus diketahui apa yang
disebut kompetensi atau kewenangan lembbaga peradilan.

9. Gugatan Tertulis dan Gugatan Lisan.

Menurut ketentuan Pasal 142 ayat 1 R.Bg/118 ayat 1 HIR, ditentukan


bahwa gugatan harus diajukan dengan surat yang ditanda tangani oleh penggugat
atau wakilnya. Hal ini mengandung arti bahwa gugatan itu haruslah diajukan
secara tertulis (dengan surat gugatan). Dari ketentuan ini lalu menimbulkan
pertanyaan bagaimana halnya jika penggugat tidak bisa membaca dan menulis
sedangkan penggugat mau mengajukan sendiri gugatan sehingga ia bertindak
sebagai pihak meteriil maupun pihak formil.
Pasal 144 R.Bg/120 HIR menentukan bilamana penggugat tidak dapat
menulis, maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan
negeri. Ketua Pengadilan Negeri tersebut membuat catatan atau menyuruh

12 Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung,h. 23

24
membuat catatan tentang gugatan itu. Dalam pengajuan gugatan secara lisan ini
tiidak berlaku terhadap orang yang dikuasakan.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa memang
dimungkinkan untuk mengajukan gugatan secara lisan namun nantinya akan
menjadi suatu gugatan yang tertulis (surat gugatan), karena dibuatkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri atau oleh yang disuruh oleh Ketua Pengadilan negeri.

10. Komulasi (cumulatie) atau Penggabungan


Mengenai komulasi atau penggabungan gugatan ini tidak ada ketentuan yang jelas
mengatur baik dalam HIR maupun RBg, namun dalam praktek basa dilakukan
karena komulasi akan dapat menghemat baik waktu maupun biaya dengan.
Komulasi dapat dibedakan menjadi:

1) Komulasi Subjektif

Dalam suatu perkara yang mengandung sengketa tidak jarang


penggugatnya terdiri dar beberapa orang melawan satu orang tergugat dan
demikian sebaliknya atau beberapa orang penggugat melawan beberapa orang
tergugat. Dalam perkara sepertii ini pada prinsipnya antara para penggugat
ataupun tergugat, dapat sja digabungkan karena memang tidak ada larangan hal
itu (lihat juga pasal 284 KUHPerdata) penggabungan atau komulasi semacam ini
disebut dengan penggabungan subjektif atau comulasi subjektif. Namun bagi orang
yang berkeberatan untuk penggabungan subjektif dapat mengajukan keberatan
atas penggabungan tersebut. Namun sebaliknya ada pula yang memang
menginginkan untuk dilakukan penggabungan subjektif diaamping lebih efisien dan
efektif adalah juga kepentingan tertentuseperti dengan penggabungan subjek yang
lainnya dapat membela kepentingannya (lihat juga vriwaring dalam masuknya
pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan). Diikutsertakan orang
lain dalam perkara yang mengandung sengketa sebagai pihak yang
berkepentingan disebut eceptio plurium litis consortium.

2) Komulasi Objektif

Komulasi atau penggabungan objektif adalah merupakan penggabungan


dari beberapa tuntutan dalam satu surat gugatan. Hal ini juga pada prinsipnya tidak
dilarang dan tidak dipersyaratkan adanya koneksitas antara tuntutan yang satu
dengan yang lainnya. Namum dalam komulasi objektif ini ada beberapa tututan
yang tidak mungkin untuk digabungkan yaitu:

25
a) Bila tuntutan yang satu dengan yang lainnya harus diperiksa dengan
harus diperiksa dengan acara khusus dan yang lainnya dengan acara
biasa contohnya perkara perceraian harus diperiksa secara khusus dan
tuntutan yang lainnya dengan acara terbuka untuk umum (acara biasa)
b) Bila tuntutan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat digabungkan
karena perbedaan kompetensi (kewenangan mengadili) baik secara
absolute maupun secara relative
c) Tuntutan tentang “bezit” disatu pihak dengan tuntutan “egendom”
sebagai tuntutan yang lainnya menurut pasal 103 Rv. Tidak dapat
digabungkan dalam satu surat gugatan.

Berbicara masalah penggabungan atau komulasi ini dituntut cukup berhati-hati


dengan lembaga yang disebut dengan konkursus. Karena dalam konkursus juga
mengandung beberapa tuntutan dalam satu surat gugatan, akan tetapi tuntutan
yang satu dengan yang lainnya menuju pada suatu akibat hukum yang sama.
Dengan dikabulkannya tuntutan yang satu dengan sendirinya tuntutan yang lain
harus pula dikabulkan. Dalam seperti bukanlah merupakan penggabungan
objektif.13

11. Tindakan Untuk Menjamin Hak


Penyitaan berasal dari terminology berlag (bahasa belanda) yang artinya
sita atau penyitaan. Agar suatu perkara tidak hanya menang diatas kertas, artinya
jika penggugat dimengkan, gugatan dikabulkan untuk seluruh namun objek
sengketa sudah tidak lagi berada pada tangan pihak tergugat maka jelas
menimbulkan masalah baru yaitu kesulitan dalam melaksanakan putusan
(eksekusi). Untuk menghindari hal yang demikian, maka untuk menjamin
kepentingan pihak penggugat juka mereka dimenangkan nantinya, hukum acara
perdata menyediakan lembaga “penyitaan” atau “sita” terhadap objek sengketa.
M. yahya Harahap mengemukakan bahwa pengertian yang terkandung dalam
penyitaan adalah:
1) Tindakan yang menempatkan harta kekayaan tergugat secara
paksa berada kedalam penjagaan;
2) Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi berdasarkan
perintah pengadilan atau hakim.
3) Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut berupa barang
yang disengketakan, tapi boleh juga berupa barang yang akan

13 Sudikno Mertokususmo, Op. Cit. h.52

26
dijadikan sebagai alat pembayaran sebagai peunasan hutang
debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang barang yang
disita tersebut.
4) Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama
proses pemeriksaan sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidak sahnya
tindakan penyitaan tersebut. 14
Penyitaan dilihat dari segi fungsinya adalah merupakan tindakan persiapan
untuk menjamin dapat dilaksankannya putusan hakim perdata. Oleh karena untuk
menjamin maka sita tersebut juga disebut dengan “sita jaminan” atau “consenvatoir
beslag”. Jika telah terjadi penyitaan maka barang-barang yang diletakan sita itu
dibekukan, sehingga tidak dapat dialihkan oleh siapapun atau pihak yang
menguasai kehilangan hak untuk berbuat bebas terhadap benda yang diletakkan
sita. Mengalhkan barang yang dalam keadaan diletakan sita adalah merupakan
perbuatan pidana (baca pasal 231 dan 232 KUHP).

Sita jaminan dapat dibedakan menjadi dua yaitu sita jaminan terhadap
barang miliknya sendiri (dalam hal ini pemohon sita) dan sita jaminan barang milik
debitur (termohon sita).

1) Sita jaminan terhadap Barang Milik Sendiri.


Barang milik penggugat yang dikuasaioleh orang lain dapat dimohonkan
sita oleh pemohon atau oleh pemiliknya baik sita terhadap barang milik sendiri
dapat lagi dibedakan menjadi 2 yaitu revindicatoir beslag dan marital beslag.
a) Revindicatoir beslag
Terhadap barang bergerak miliknya sendiri yang dikuasai oleh orag lain
dapat dimohonkan sita melalui pengadilan, baiksecara lisan maupun secara tertulis
kepada ketua pengadilan diwilayah hukum dimana orang yang menguasai barang
tersebut bertempat tinggal. Penekanan dalam revindicatoir beslag ini adalah
“barang bergerak milik pemohon sita”. Dalam permohonan sita ini identitas barang
objek penyitaan. Penyitaan ini juga berlaku terhadap hak reklame sebagaimana
ditentutak dalam pasal 1145 KUHPerdata jo. 232 KUHDagang.
Karena dalam revindicatoir beslag ini adalah penyitaan terhadap barang
bergerak, maka dalam hal mengabulkan sita ini tidaklah perlu menunggu “duga

14 M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta, h.282

27
yang beralasan “. Dalam sita revidicatoir pihak pemohon tidak dapat menguasai
barang sitaan, karena barang sitaan masih dimungkinkan untuk tetap dikuasai oleh
pihak termohon, namun termohon sudah kehilangn haknya untuk berbuat bebas
terhadap barang tersebut atau ditaruh ditempat lain sesuai penetapan hakim
pimpoinan sidang yang memerintah sita.
b) Marital Beslag
Marital beslag atau sita marital ini tidak ada diatur dalam HIR maupun
dalamRbg. Namun pengaturannya dapat dilihat dalam Rv (pasal 823 a-j Rv).
Marital Beslag ini hanya dikenal dalam hukum perdata barat yang berhubungan
degan harta perkawinan yang menurut pasal 119 KUHPerdata, mulai sejak
perkawinan telah terjadi percampurn harta secara bulat, dengan konsekwensi
yuridis bila terjadi perceraian harta perkawinan harus dibagi dua tanpa melihat asal
mula benda tersebut. Terhadap barang-barang harta perkawinan ini dapat
dimohonkan sita oleh salah satu pihak. Sita inilah yang disebut dengan sita merital.
Yang mengajukan permohonan sita marital adalah pihak istri yang tunduk pada
KUHPerdata, karena menurut KUHPerdata seorang istri adalah termasuk orang
yang tidak cakap untuk bertindak (pasal 1330 KuHperdat). Jadi seorang istri
mohon sita marital adalah untuk menghindari kekuasaan marital dari seorang
suami dalam hukum perdata barat.

2) Sita Jaminan Terhadap Barang Milik debitur


a) Conservatoir beslag (sita jaminan)
Sita jaminan terhadap barang milik debitur ini disebut dengan
conservatoir beslag (sita jaminan). Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan
dari pihak penggugat dengan cara mengajukan permohonan peletakan sita
kehadapan ketua pengadilan negeri terhadap barang milik debitur yang menjadi
objek sengketa ata yang dijadikan jaminan hutang.
Penyitaan ini hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah ketua
pengadilan negeri atas permintas kreditur atau penggugat. Pengabulan sita ini
harus didasarkan atas duga yang beralasan, artinya tergugat atau debitur selama
belum adanya putusan ada gejala atau indikasi akan menggelaokan atau
mengalihkan benda yang dijadikan jaminan. Tanpa adanya bukti kuat yang
mengindikasikan bahwa tergugat atau debitur akan mangalhkan benda sengketa,
permohonan sita jaminan itu harusnya tidak dikabulkan. Jika penyitaan telah
dilakukan, harus mendapatkan kekauatran eksekutorial dalam putusan pengadilan,
dengan cara menyatakan sah dan berharga sita yang telah diletakan. Namun jika

28
sitayang telah diletakkan ditolak dalam putusan dicantumkan bahwa sita yang telah
diletakkan dinyatakan diangkat atau dicabut.
Tersita juga setiap saat dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan yang memeriksa perkara agar sta yang diletakkan terhadap barang
milik debitur diangkat. Permohonan tersebut dapat saja dikabulkan jika termohon
menyediakan jaminan yang cukup untuk itu. Demikian pula apabila sita jaminan itu
tidak ada manfaatnya atau barang yang telah diletakan sita ternyata bukan barang
milik debitur.
Dalam prakteknya pengadilan biasanya gampang saja mengabulkan
sita pemohon sita jaminan tanpa membuktikan adanya duga yang beralasan. Yang
dapat disita secara conservatoir:
1) Barang bergerak milik debitur
2) Barang tetap milik debitur
3) Barang bergerak milik debitur yang berada pada orang lain.
(Pasal 261, 208 RBg/pasal 227, 197 HIR)
Barang yang telah diletakan sita harus dibiarkan pada kekuasaan
termohon sita namun tidak dapat dialihkan. Pengalihan barang yang diletakkan sita
melanggar pasal 231 dan 232 KUHP.
b) Derden beslag (sita jaminan atas milik pihak ketiga)
Sita jaminan terhadap barang milik debitur, juga dapat dilakukan
terhadap barang milik debitur yang berada pada pihak ketiga (pasal 211 RBg/Pasal
197 HIR/Pasal 728 Rv). Jika debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga maka
kreditur untuk menjamin haknya kreditur dapat melakukan sita jaminan
concervatoir beslag terhadap benda bergerak milik pihak ktiga hal ini disebut
dengan derden beslag.
c) Pandbeslag (sita gadai)
Sita gadai ini hanya dapat diajukan atas tuntutan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1139 sub 2 KUHPerdata (pemenuhan kewajiban si
penyewa) dan dilaksanakan atas barang-barang tersebut di dalam pasal 1140
KUHPerdata.

12. Kompetensi
Kemana gugatan diajukan adalah merupakan pertanyaan yang sangat
sederhana, namun untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu harus diketahui
mengani kompetensi yang dalam hal ini dikenal kompetensi absolute (kewenangn
mutlak) dan kompetensi relative (kewenangan nisbi). Pasal 50 UU No 2 Tahun
1986 yang telah dirubah dengan UU No 8 than 2004 ada menentukan pengadilan

29
Negeri bertugas dan berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara
pidana dan perdata ditingkat pertama. Pasal 10 ayat 1 UU No 4 tahun 2004
tentang kekuasaan Kehakiman menentukan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.

a. Kompetensi absolute (kewenangn mutlak)


Kompetensi absolute juga disebut dengan atribusi kekuasaan kehakiman
adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang
secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain baik
dalamlingkungan peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan yang
berbeda. Jadi dengan demikian kompetensi absolute ini adalah untuk menjawab
pertanyaan pengadilan macam apa yang berwenang untuk menerima dan
memeriksa perkara tersebeut.

b. Kompetensi relative (kewenangan nisbi)


Kompetensi relative atau kewenangan nisbi ini juga disebut dengan
distribusi van Rechtmacht (distribusi kekuasaan kehakiman). Kompetensi relative
ini ditentukan oleh suatu wilayah hukum (yurisdiksi) dari suatu badan peradilan.
Kompetensi relative adalah untuk menjawab pertanyaan pengadilan yang mana
berwenng menerima dan memeriksa suatu perkara diantara pengadilan yang
sejenis (umpamanya antara Pengadilan negeri Denpasar dengan Pengadilan
negeri tabanan).
Dalam RBg dan HIR mengenai kompetensi relative ini diatur dalam pasal
142 RBg/118 HIR. Dalam ayat 1 pasal tersebut menentukan bahwa gugatan
diaukan pada pengadilan negeri di tempat tinggat tergugat. Maksudnya adalah
gugatan diajukan pada pengadilan negeri (baca pengadilan tingakay pertama)
diwilayah hukum dimana tergugat bertempat tinggal. Hal ini dikenal dengan actor
sequitor forom rei yang merupakan salah satu asas dalam hukum acara perdata.
Asas ini dikecualikan dalam nenerapa hal sebagai berikut:
a) Gugatan dapat diajukan pada pengadilan diwilayah hukum dimana
tergugat senyartanya berdiam jika tempattinggal tergugat tidak diketahui
(pasal 142(1) RBg/118 (1) HIR)
b) Jika tergugat terdiri daari dua orang atau lebih gugatan dapat diajukan
pada pengadilan diwilayah hukum salah satu tempat tinggal tergugat.
Akan tetapi jika salah satu adalah pihak yang berhutang sedangkan

30
yang lainnya dalah sebagai penjamin, maka gugatan diajukan pada
pihak berutang (pasal 142 (2) RBg/118 (2) HIR)
c) Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka gugatn dapat diajukan
pada pengadilan diwilayah hukum penggugat bertempat tinggal (pasal
142 (3) RBg/118 (3) HIR).
d) Jikaonjek sengketa adlah berupa barang tetap, maka gugatan dapat
diajukan pada pengadilan diwilayah hukum dimana objek sengketa
berada (pasal 99 ayat (8) Rv, Pasal 142 (5) RBg/118 (5) HIR)
e) Jika ada tempat tinggal yang dipilih maka gugatan diajukan pada
pengadilan diwilayah hukum tempat tinggal yang dipilih (pasal 142 (4)
RBg / 188 (4) HIR)
f) Jika tergugat adalah orang yang tidak cakap, gugatan diajukan pada
pengadilan diwilayah hukum dimana walinya bertempat tinggal (pasal
21 KUHPerdata)
g) Tenang kepailitan gugatan diajukan pada pengadilan yang menetapkan
pailit (pasal 15 Rv).
h) Gugatan perceraian dimana tergugatnya berada diluar negeri diajukan
pada pengadilan diwilayah hukum tempat tinggal penggugat (pasal 63
ayat (1) b. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 20 ayat (2)
dan (3) peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
i) Masalah pengangkatan anak, gugatan ataupun permohonan diajukan
pada pengadilan diwilayah hukum dimana anak yang akan diangkat
bertempat tingal
j) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan pada pengadilan
diwilayah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau
ditempat tinggal kedua suami istri atau istri (pasal 38 peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975).

c. Hak Choice of Jurisdiction atau Chois of Court


Penerpan Coice of Court adalah merupakan perluasan kekuasaan
yurisdiksi relative pengadilan, jika pelayanan dan penegakan hukum dan keadilan
dianggap lebih baik dan lebih layak dilakukan pengadilan lain dari pada pengdilan
suatu tempat. 15

15 Ibid, h.204

31
13. Gugatan Perwakilan
Dewasa ini persoalan-persoalan yang merugikan masyarakat dalam jumlah
yang besar semakin banyak terjadi dalam masyarakat, hal demikian akan semakin
banyak terjadi seiring dengan kemajuan masyarakat. Tuntutan atas kerugian yang
melibatkan masyarakat dalam jumlah yang banyak yang disebut dengan class
action yang dikenal dalam system hukum Anglo Saxon, tidak ada diatur dalam
hukum acara yang berlaku sampai saat ni yaitu HIR/RBg. Oleh karenanya banyak
gugatan class action (gugatan perwakilan) yang dilakukan oleh masyarakat selalu
ditolak oleh hakim dengan alasan bahwa hukum acara tidak mengatur tentang hal
ini.
Dengan mengutip pendapat Mas Achmad Santosa dalam konteks gugatan
yang melibatkan masyarakat banyak yang bersifat masal, maka class action
sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dikatakan pula bahwa ada 3
manfaat dari gugatn class action:
a. Proses perkara bersifat ekonomis (judicial economy) dengan gugatan class
action mencegah pengulangan (repetition) gugatan-gugatan serupa secara
individual. Tindakan ekonomis bagi pengadilan apa bila harus melayani
gugatan-gugatan sejenis secara individual. Bagi tergugat hanya
mengeluarkan biaya hanya satu kali.
b. Akses pada keadilan (acces to justie)
c. Perubahan prilaku pelanggaran memberikan akses yang lebih luas pada
pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan cara cost efficiency:
akses class action ini berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka
yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.
Akhirnya class action dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan di
Indonesia seperti dalam UU no 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; UU no
41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Namun masih sulit diterapkan dalam praktek karena pengadilan masih
mengacu pada HIR/RBg yang tidak menganal gugatan perwakilan. Selankjutnya
oleh Mahkamah Agung sikeluarkan peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1
tahun 2002 tentang cara gugatan perwakilan kelompok.

14. Penutup
Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya akan dikemukakan
kembali dalam rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi

32
secara komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian pembelajaran, maka
akan diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.
Rangkuman
Perkuliahan pertama disuguhi tentang adanya pengertian hukum menurut
fungsinya dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu hukum formil dan hukum
materiil. Hukum acara perdata merupakan hukum formil (Burgelijk Procesrecht,
Civil Procedural Law) karena memiliki fungsi mempertahankan atau menegakan
hukum perdata materiil. Hukum acara perdata tidak membebani dengan hak dan
kewajiban sebagaimana halnya dalam hukum perdata materiil. Sumber hukum
acara perdata menurut Undang-undang darurat nomor tahun 1961, masih
ditunjukan Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut HIR),
Reglement Buitengewestwn (selanjutnya disebut Rbg), Reglement op de Burgelijk
rechtvordering (selanjutnya disenut RV atau BRV), Reglement op de Rechteelijke
Organisasi in het beleid der jutitie ind Indonesie atau reglement tentang kekuasaan
kehakiman, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-
undang Nomor 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahunn 1986 tentang Peradilan
Umum, Yurisprudensi Mahkamah agung, Hukum Adat, Traktat, Doktrin, Peraturan
dan Surat Edaran Mahkamah Agung, seperti Peraturan Mahkamah agung
(PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.
Dalam pertemuan ini juga akan dijelaskan beberapa asas dalam hukum
acara perdata seperti Asas hakim bersifat Menunggu; Asas hakim tidak boleh
Menolak Perkara (ius curia novit), Asas Hakim Pasif, Asas Verhandelung Maksim,
Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, Asas Audi at Alteram Parterm, Asas Actor
Sequituur Forum Rei, Asas Putusan Harus Disertai dengan alasan, Asas
Berperkara Kena Biaya, Asas tidak ada keharusan mewakili, Asas Hakim Majelis
dan Asas Trilogi Peradilan
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
Peradilan-peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Badan peradilan yang berada di bawahnya meliputi lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pejabat yang ada dalam hukum acara perdata adalah Panitera, wakil
panitera, panitera muda, dan panitera pengganti serta juru sita diaangkat oleh
Menteri Kehakiman. Sedangkan juru sita pengganti diangkat oleh Ketua
Pengadilan.

33
Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugatn lisan dan tertulis.
Dalam membuat gugatan harus berisikan Identitas dari para pihak, Dalil-dalil
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari
pada tuntutan atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi, dan Tuntutan atau
petiitum.

Latihan: Diskusikan pertanyaan dibawah ini

1. Apa itu hukum materiil dan hukum formil?


2. Apakah setiap perbuatan yang tidak melalui lembaga perdailan
adalah merupakan pernuatan main hakim sendiri?
3. Apakah PERMA dan SEMA merupakan sumber hukum?
4. Kenapa hukum dizaman colonial masih tetap diperlakukan di
Indonesia?
5. Apa perbedaan hukum acara dengan materiil?
6. Bagaimana perbedaan asas hakim pasif dengan asas hakim bersifat
menunggu
7. Identifikasi semua assas yang mempunyai tujuan yang sama yaitu
asas hakim bersikap objektif
8. Apa yag dimaksud dengan judex factie?
9. Apa Arti gugatan lisan?
10. Apa yang dimaksud dengan identitas para pihak? Coba Sebutkan
Identitas diri sendiri dengan kedudukan sebagai penggugat?
11. Apa Hubungan Posita dengan Petitum gugatan?
12. Apa sebab disebut dengan sita jaminan?
13. Apakah semua macam sita dapat dikatakan sita jaminan
14. Apa yang tidak dimungkinkan untuk melakukan komulasi subjektif
dan objektif
15. Apa akibat hokum dari kesalahan pengajuan gugatan yang
melanggar kompetensi peradilan
16. Apa perbedaan Antara class action dengan gugatn kelompok

Bahan Pustaka

1. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,


Yogyakarta.

34
2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

8. M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta.

35
PERTEMUAN II: TUTORIAL 1
PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA, SUMBER-SUMBER HUKUM
ACARA PERDATA, ASAS- ASAS HUKUM ACARA PERDATA, SUSUNAN
BADAN KEKUASAAN PERADILAN, PEJABAT DI LINGKUNGAN PERADILAN

1. Pendahuluan
Pertemuan kedua adalah kegiatan tutorial pertama. Kegiatan tutorial ini
merupakan pendalaman atas materi Pengertian hukum Acara Perdata, Sumber-
sumber hukum Acara Perdata, Asas- Asas Hukum Acara Perdata, Susunan Badan
Kekuasaan Peradilan, Pejabat di Lingkungan Peradilan Perdata. Mahasiswa
bediskusi di dalam kelompok atas tugas Discussion task yang mengilustrasikan
materi perkuliahan kesatu terutama mengenai peristilahan, pengertian, Sumber
hokum Acara Perdata asas-asas Hukum Acara Perdata dan Badan Kekuasaan
Peradilan. Dengan demikian diharapkan mahasiswa dengan rasa tanggung jawab,
jujur dan demokratis mampu:
a. Menjelaskan status A. Hong dan Rudi Hartono sebagai apabila
permasalahan ini akan di bawa kepengadilan perdata, dan
b. Mengidentifikasi dan menunjukkan pernyataan-pernyataan yang bermakna
istilah penggugat, Tergugat, serta asas acara perdatayang inklusif di
dalam wacana.

2. Tugas: Discussion Task-Study Task


A Hong, seorang pemilik mall yang bertempat tinggal di Jalan Kaliurang
Km.9, Ngaglik,Sleman, D.I. Yogyakarta mempunyai sebuah mall baru bernama
Oke Mall yang terletak di JalanSosio-Justicia No.1, Bulaksumur, Depok, Sleman
yang selesai dibangun tahun 1999. A Hongmencari orang-orang yang mau
membeli kios di mallnya dengan mempromosikan melalui baliho. Salah satunya
adalah Rudi Hartono, seorang pengusaha yang mau membuka usaha butik,
bertempat tinggal di Jalan Kolombo No.19, Caturtunggal, Sleman, D.I. Yogyakarta
yang maumenyewa kios di Oke Mall. Akhirnya, A Hong dan Rudi Hartono dan
istrinya Ny.Hartono pada tanggal 4 Januari 2000 kemudian membuat dan
menandatangani Perjanjian tertulis untuk sewa menyewa ruko dengan tuan A
Hong di Kantor Notaris EKO SANTOSA, S.H, dan dihadiri oleh saksi-saksi yang
juga turut menandatangani perjanjian tersebut yaitu Bapak Lurah Caturtunggal
yang bernama Budiman Pamungkas dan masing-masing 1 saksi dari masing-
masing membuat akta perjanjian dinotaris. Akta tersebut berisi:

36
a. Perjanjian sewa menyewa kios selama 10 (sepuluh) tahun yang dimulai
tahun 2000 hingga tahun 2012.
b. Uang sewa dibayarkan di tanggal 10 Januari awal tahun dengan biaya Rp
240.000.000,-per tahun.
c. Kios tersebut berukuran 80 M2.
d. Bahwa biaya tersebut sudah termasuk fasilitas biaya listrik, keamanan dan
kebersihan.
Pada bulan November 2008 ada Gentlement Agreement antara A Hong dan Rudi
yangdisaksikan oleh Fajar Komaruddin berisi:

A Hong : “Hei Rudi, nanti tahun 2010, perjanjian kita perpanjang ya”.
Rudi : “Tapi 2008 ini saja usahaku mulai macet”
A Hong : “Ah masalah pembayaran gampanglah itu, kita kan friend.”

Dengan berjalannya waktu mulai pada tahun 2008 dan 2009 usaha Tuan
Rudi mulaimerugi. Tuan Rudi Hartono tidak membayar kewajibannya terkait sewa
kiosnya. Pihak A Hongsudah menemui Rudi untuk menagih uang sewanya namun
Rudi tidak segera membayarnya danmenganggap gentlement agreement bisa
menjadi alasan Rudi tidak membayar biaya sewa padatahun 2008 dan 2009.
Kemudian A Hong sudah memberi Surat Peringatan sebanyak 3 (tiga) kalikepada
Tuan Rudi yaitu masing-masing pada tanggal 20 April 2009, 20 Mei 2009 dan 20
Juni2009.Karena pihak Rudi tidak segera membayar biaya sewa pada tahun 2008
dan 2009,maka pada bulan Juli 2009 Tuan A Hong menggugat Tuan Rudi ke
Pengadilan Negeri Sleman sesuai yang tertuang dalam Akta Perjanjian.

Diakses dari: http://dokumen.tips/documents/kasus-posisi-plkh-perdata-11mei-


2012.html (diakses pada tanggal 21 Oktober 2016)

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 1.

37
PERTEMUAN III: TUTORIAL 2
PERBEDAAN GUGATAN DAN PERMOHONAN, ISI GUGATAN DAN DASAR
HUKUMNYA, GUGATAN LISAN DAN GUGATAN TERTULIS,
PENGGABUNGAN/ KOMULATIF

1. Pendahuluan
Pertemuan kedua adalah kegiatan tutorial pertama. Kegiatan tutorial ini
merupakan pendalaman atas materi Perbedaan Gugatan dan Permohonan, Isi
Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,
Penggabungan/ Komulatif dalam Hukum Acara Perdata. Mahasiswa bediskusi di
dalam kelompok atas tugas Discussion task yang mengilustrasikan materi
perkuliahan kesatu terutama mengenai Perbedaan Gugatan dan Permohonan, Isi
Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,
Penggabungan / Komulatif dalam Hukum Acara Perdata.

2. Tugas: Discussion Task – Study Task


YANG PERLU DIPERHATIKAN SEBELUM POKOK PERKARA GUGATAN
Dalam membuat gugatan ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar
gugatan tidak dimentahkan dengan eksepsi oleh pihak lawan. Jika ini terjadi maka
Gugatan ditolak atau tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) karena
kesalahan-kesalahan ketidak cermatan dalam menyusun dan membuat gugatan.
Suatu cambukan atau istilanya "tersambar petir disiang bolong" karena Gugatan
ditolak.
Selain itu, berperkara di muka pengadilan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit, karena untuk mengajukan gugatan penggugat diwajibkan membayar biaya
perkara kurang lebih Rp 566.000,-(lima ratus enam puluh enam ribu rupiah) itu
baru hanya untuk daftar gugatan 1 (satu) Penggugat dan 1 (satu) Tergugat dalam
kota yang sama. Tambah 1 (satu) pihak (Tergugat dan atau Penggugat) Rp
225.000 (dua ratus dua puluh lima ribu rupiah), dan bila alamat salah satu pihak
diluar kota tambah lagi biaya Rp 100.000 (seratus ribu rupiah). Belum lagi jika
proses pemerikasaan perkara berjalan alot dan biaya perkara tersebut sudah habis
maka Penggugat wajib untuk melakukan tambahan biaya perkara, karena biaya-
biaya yang disetorkan tersebut sifatnya hanyalah Panjar Biaya Perkara.

38
Tentu saja kita tidak mau gugatan yang diajukan menjadi sia-sia atau gugatan tidak
dapat diterima/ ditolak (niet onvankelijke verklaard), dan dapat dibayangkan berapa
biaya yang harus dikeluarkan lagi bila ini terjadi.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat gugatan adalah sebagai
berikut:
a. Kewenangan Pengadilan
b. Isi Posita dan Petitum
c. Para Pihak

Tiga hal tersebut diatas; Kewenangan Pengadilan, Posita dan Petitum, serta Para
Pihak merupakan hal yang paling dasar dalam gugatan untuk dicermati sebelum
pemeriksaan ke pokok perkara oleh Majelis Hakim bila Penggugat tidak cermat
dalam gugatan ini akan menjadi fatal dan gugatan dapat ditolak (niet onvankelijke
verklaard) dengan dipatahkan oleh eksepsi Tergugat.

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.

(sumber http://hendra-septianus.blogspot.co.id/2012/11/yang-perlu-diperhatikan-
sebelum-pokok.html)

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 1.

39
PERTEMUAN IV: TUTORIAL 3
UPAYA UNTUK MENJAMIN HAK, KOMPETENSI PERADILAN, GUGATAN
PERWAKILAN

1. Pendahuluan
Pada tutorial yang ketiga ini merupakan pendalaman atas materi Upaya
untuk Menjamin Hak, Kompetensi Peradilan, Gugatan Perwakilan yang
divisualisasikan dengan wacana bertopik “Pertama di Indonesia, Class Action
Nasabah Menang Lawan Bank”. Mahasiswa mendiskusikan dengan sevent jumpt
approach dan presentasi dalam kelompok mengenai Upaya untuk Menjamin Hak,
Kompetensi Peradilan, Gugatan Perwakilan di dalam wacana tersebut. Setelah
selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan
demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan Gugatan Class
Action, Legal Standing, dan Citizen Law Suit yang terdapat di dalam wacana.

2. Tugas: Tugas: Studi Task


Pertama di Indonesia, Class Action Nasabah Menang Lawan Bank
Bisa jadi, putusan Pengadilan Negeri (PN) Garut, Jawa Barat menjadi
putusan pertama di Indonesia yang mengabulkan gugatan class action di kasus
perbankan. Sebelumnya class action umumnya dipakai dalam kasus-kasus
lingkungan hidup.
Kasus bermula saat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bungbulang dilikuidasi
oleh pemerintah pada 2007. Ratusan nasabah pun merasa dirugikan karena
tabungannya raib sebesar Rp 4 miliar. Setelah bertahun-tahun tidak menerima
kepastian uangnya, mereka menggugat Pemkab Garut dan pengurus BPR
Bungbulang ke PN Garut.
"Para Penggugat sebagai pemilik tabungan dan deposito/simpanan
berjangka tersebut telah berupaya dan berusaha sebaik-baiknya dan dibenarkan
secara hukum untuk menuntut dan mengambil haknya serta menyelesaikan
masalah tersebut di atas secara musyawarah kekeluargaan, akan tetapi hasilnya
sia-sia/tidak berhasil," gugat para nasabah sebagaimana tertuang dalam putusan
PN Garut yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (26/2/2015).
Dalam gugatannya, mereka mengajukan gugatan model class
action. Padahal sesuai hukum positif yang berlaku, gugatan class action baru
dikenal di UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi
dan UU Kehutanan. Gugatan class action ini dilakukan karena salah satunya
penggugat mencapai 600 nasabah lebih. Dalam gugatannya, ratusan nasabah itu

40
meminta uang tabungan Rp 478 juta dikembalikan dan dalam bentuk deposito Rp
3,5 miliar.
"Menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti kerugian imateril atas
tabungan adalah sebesar Rp 182 juta kerugian imateril atas deposito adalah
sebesar Rp 4,5 miliar," gugat nasabah.
Gayung bersambut. Meski model gugatan belum lazim, majelis PN Garut
mengabulkan permohonan itu. Majelis yang terdiri dari Daniel Ronald sebagai
ketua majelis dengan Hastuti dan Darmoko Yuti Witanto menghukum Para
Tergugat mengembalikan tabungan Rp 399 juta dan deposito Rp 3 miliar.
"Menghukum para tergugat membayar bunya tabungan sebesar Rp 1,2 juta dan
bunga deposito Rp 1,2 miliar," putus majelis hakim pada 15 Januari 2015 lalu.

Sumber: (http://news.detik.com/berita/2843788/pertama-di-indonesia-class-action-
nasabah-menang-lawan-bank di akses pada tanggal 16 September 2016)

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 1.

41
PERTEMUAN V: PERKULIAHAN 2
PROSES ACARA ISTIMEWA DAN PROSES JAWAB MENJAWAB

1. Pendahuluan
Pertemuan pertama pada perkuliahan ini akan disajikan pemahaman
mengenai pengertian hukum acara secara umum, pengertian hukum acara
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama
adalah mahasiswa mampu menguraikan mengenai pemahaman hukum acara
secara umum, pengertian hukum acara perdata, yaitu sebagai hukum formil yang
bertujuan untuk melaksanakan atau menjamin ditatainya hukum perdata materiil.
Dalam pertemuan ini pula dibahas mengenai asas-asas hukum acara perdata yang
merupakan fundamen untuk mempelajari hukumacara perdata lebih lanjut, sumber-
sumber hukum acara perdata yang sampai saat ini masih menggunakan sumber-
sumber hukum acara perdata dijaman colonial, peraturan perundang-undangan
yang baru menyangkut tentang hukum formil, Susunan Badan Kekuasaan
Peradilan, serta Pejabat di Lingkungan Peradilan.
Sedangkan pada tindakan sebelum siding dibahas Perbedaan Gugatan dan
Permohonan, Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan
Tertulis, Penggabungan/ Komulatif, Upaya untuk Menjamin Hak, Kompetensi
Peradilan, serta Gugatan Perwakilan.
Materi perkuliahan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata ini sangat
penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-
tugas tutorial dalam pertemuan kedua dan ketiga. Selain itu juga menghindari
terjadinya pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang berulang kali
diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan kedua, ketiga dan keempat.

2. Pemanggilan Secara Patut


Setelah guggatan selesai dibuat dan diajukan ke pengadilan sebagaimana
persyaratan yang ditentukan sesuai dengan kompetensi atau kwenangan
mengadili baik kewenangan absolute maupun kewenangan relative. Gugatan yang
diajukan terlebih dahulu harus didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan untuk
mendapatkan nomor register perkara dengan terlebih dahulu membayar panjar
biaya perkara. Namun bagi yang tidak mampu juga dapat bererkara secara proseo.
Terhadap perkara yang telah mendapatkan nomor register, hakim wajib untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut, sesuai dengan hukum acara yang
berlaku.

42
Perkara yang telah masuk dengan memenuhi persyaratan hukum acara
yang berlaku, oleh ketua pengadilan didistribusikan kepada hakim atau majelis
hakim yang memeriksa perkara tersebut dengan suatu penetapan ketua
pengadilan, denagn menetapkan majelis hakim dan panitera atau panitera
pngganti yang menyertainya. Menurut M. Nur Rasaid, tugas pokok hakim adalah
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya.16 Berikutnya majelis hakim yang bersangkutan menetapkan
hari dan tanggal persidangan atas perkara tersebut. Agar kedua belah pihak hadir
kedalam persidangan yang telah ditentukan, maka para pihak harus dipanggil
untuk itu dengan melakukan pemanggilan secara patut. Pemanggilan dilakukan
oleh juru sita dengan menyerahkan surat panggilan beserta salinan surat gugatan
(khusus kepada tergugat) dimana tergugat bertempat tinggal. Jika yang dipanggil
tidaj diketahui tempat tinggalnya, panggilan dapat diserahkan kepada kepala desa.
Surat panggilan yang telah ditandatangani oleh pihak yang dipanggil atau oleh
kepala desa, risalah panggilan (relas) tersebut, oleh juru sita harus diserahkan
kepada hakim pimpinan sidang untuk membuktikan bahwa pemanggilan telah
dilakukan secara patut.

3. Acara Istimewa
Setelah dilakukan pemanggilan secara patut oleh juru sita atau juru sita
pengganti kepada kedua belah pihak, maka jika kedua belah pihak hadir, maka
dapat dilakukan pemerisaan perkara yang diwalai dengan pembacaan gugatan
oleh penggugt dan kepada tergugat diberikan kesempatan untuk menanggapinya
baik secara lisan maupun terlutis. Namun ada kalanya dimana para pihak sudah
dipanggil secara patut, salah satu pihak ada yang tidak hadir, maka terjadilah
acara istimewa dimana hakim pimpinan sidang dapat menjatuhkan putusan
gugatan gugur atau verstek. Ini berarti bahwa gugatan perdata dapat diputus
secara contraditoir dan diputus diluar hadirnya pihak-pihak.
Ada kalanya pengguggat yang mengajukan gugatn setelah dipanggil secara
patut justru mereka yang tidak hadir atau tidak mengirim wakilnya dalam
persidangan yang telah ditentukan. Menurut pasal 150 RBg/126 HIR. Jika yang
bersangkutan telah dipanggil satu kali secara patut, masih diberikan toleransi
pemanggilan sekali lagi, bahkan dalam praktek kadang-kadang sampai tiga kali
pemanggilan, juga penggugat tidak hadir, sedangkan tergugat hadir maka hakim
dapat menjatuhkan putusan gugatan gugur yang disertai dengan membebankan

16 Nur Rasaid, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 15

43
kepada penggugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ni.
Dan mereka dapat mengajukan gugatn lagi setelah membayar biaya perkara
tersebut. (Pasal 148 Rbg/124 HIR)
Jika yang tidak hadir atau tidak megirim wakilnya kedalam persidangan
setelah dipanggil secara patut itu adalah pihak tergugat, maka hakim dapat
manjatuhkan putusan verstek sebagaimana ditentukan dalam pasal 149 Rbg/125
HIR). Namun sebagaimana dikemukakan diatas, berdasarkan pasal 150 RBg/
Pasal 126 HIR, pengadilan dapat memerintahkan untuk melakukan pemanggilan
kepada pihak yang tidak hadir sekali lagi supaya hadir pada hari sidang yang lain.
Sedangkan bagi pihak yang hadir diberitahukan dan pemberitahuan itu dianggap
sebagai pamggilan.
Putusan verstek tiidak selalu mengabulkan gugatan penggugat. Jika
gugatan tidak berdasarkan ats hukum, yaitu peristiwa-peristiwa sebagai dasar dari
tuntutan tidak membenarkan tuntutan maka gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet onvenklijk verklkelaard). Sedangkan jika gugatan tidak beralasan,
yaitu tidak diajukan alasan-alasn yang membenarkan tuntutan, maka gugatan
dinyatakan ditolak.17 Namun jika dalam sidang pertama tergugat hadir, dan dalam
sidang berikutnya walaupun telah dipanggil secara patut tergugat juga tidak hadir
atau tidak mengirim wakilnya, maka perkara dperiksa secara contradictoir.

4. Mediasi Litigasi
Istilah ini hanya untuk membedakan antara mediasi yang dilakukan diluar
sidang pengadilan (non litigasi) dengan mediasi yang dilakukan di pengadilan.
Setelah dilakukan pemanggilan secara patut kedua belah pihak hadir, maka para
pihak wajib untuk melakukan mediasi sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.

5. Perdamaian
Jika mediasi gagal dilakukan, maka acara dilanjutkan dengan pemeriksaan
perkara sesuai dengan hukum acara biasa dan masih dimungkinkan untuk
melakukan perdamaian sebagaimana ditentukan dalam pasal 154 Rbg/130 HIR. Jo
Bab kedelapanbelas pasal 1851-pasal 1864 KUHPerdata. Perdamaian ini tetap
harus diusahakan oleh hakim pimpinan sidang sejak pemeriksaan secara hukum
acara biasa sampai menjelang putusan diucapkan bahkan sampai sebelum
dilakukan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi). Jika perkara dapat

17 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h.84)

44
diselesaikan secara damai, yang kemudian dikukuhkan dengan penetapan akta
perdamaian, maka kekuatan putusannya sama dengan kekuatan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Yahya Harahap juga
mengemukakan bahwa putusan akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan putusan prngadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.18

6. Perubahan dan pencabutan Gugatan


Sebagai mana dikemukakan diatas bahwa diajukan gugatan kepada
penggugat, bahwa penggugat ingin menuntut haknya yang telah terganggu. Jika
tuntutan itu telah dipenuhi oleh penggugat adalah sangat beralasan penggugat
untuk encabut gugatannya. Disamping itu, alasan penggugat mencabut
gugatannya jiga penggugat menyadari bahwa penggugat keliru mengajukan
gugatan.
Mengani pencabutan gugatan tidak ada diarur dalam R.bg atau HIR.
Melainkan ditentukan dlaam Rv. Menurut ketentuan pasal 271 Rv. Bahwa jika
pencabutan gugatan dilakukan sebelum gugatan dioperiksa, yang berarti tergugat
secara resmi belummerasa terserang haknya, maka tidak siperlukan persetujuan
dari tergugat.
Sebaliknya jika pencabutan gugatan dilakukan stelah gugatan diperiksa
apalagi terguagat telah mengajukan jawbanan maka persetujuan phak tergugat
mutlak diperlukan jika tidakmaka pencabutan gugatan tidak dapat dilakukan
sepihak oleh penggugat.
Terhadap perubahan gugtan diperbolehkan sepanjang pemeriksaan
perkara aslkan tidan mengubah atau menambah onderwerp van den eis (petitum
pokok tuntutan). Demikian dalam pasal 127 Rv. Dalam praktek onderwerp van den
eis adalah juga meliputi mengenai dasar tuntutan.

7. Jawaban Gugatan

Jika usaha hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil
sebelum ataupun telah pemeriksaan gugatan, maka sidang berikutnya dilanjutkan
dengan giliran tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Istilahnya sering
disebut dengan jawaban gugatan, atau jawaban terguagat atas gugatan
penggugat.

18 Yahya Harahap, Op. Cit. h.279

45
Dalam RBg/HIR memang tergugat tidak diwajibkan untuk menjawab
gugatan penggugat. Namun tergugat dapat menjawab gugatan penggugat baik
secara lisan maupun secara tulisan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 145 ayat
2 Rbg/121 ayat (2) HIR. Jika tergugat menjawab gugatan penggugat secara
tertulis, mka jawaban tergugat dapat berisikan pengakuan, bantahan diluar pokok
perkara yang disebut dengan tangkisan atau eksepsi, bantahan dalam yang
langsung mengenai pokok perkara (verweer ten pricipale) yang disebut dengan
sangkalan dan dimungkinkan pula bahwa tergugat menggugat penggugat yang
disebut dengan gugatan balik atau gugatan rekonvensi.
a. Pengakuan
Pengakuan haruslah dibedakan dengan referte (referte aan het oordeel des
rechters) yang artinya tidak membantah dan juga tidak mengakui artinya
menyerahkan kepada putusan pengadilan. Hal ini perlu dibedakan karena
mempunyai akibat hukum yang berbeda dalam pembuktian, dimana pengakuan
yang diucapkan dalam sidang adalah merupakan buktti yang sempurna (pasal 311-
313 RBg/174-176 HIR jo. 1926 KUHPerdata). Referte sering dilakukan oleh pihak
tergugat yang tidak langsung berkepentingan terhadap putusan tersebut.
b. Bantahan
Bantahan (verweer ten prinsipale) dapat dibedakan menjadi dua yaitu
bantahan diluar pokok perkara yang disebut dengan eksepsi dan
sangkalan.walaupun Rbg/HIR tidak mewajibkan bahwa bantahan dalam jawaban
gugatan disertai dengan alasan, namun seyogyanya jawaban gugatan disertai
dengan alasan sehingga semakin jelas dudk masalahnya.
Pada umumnya yang diatikan dengan tangkisan (eksepse) ialah suatu
sangkalan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang
tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan.19
Secara teoritis eksepsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksepsi
prosessuil, dan eksepsi materiil.
Eksepsi prosessuil, adalah tangkisan atau eksepsi yang berupaya untuk
menuju pada tidak diterimanya gugatan. Pernyataan tidak dapat diterimanya
gugatan adalah merupakan penolakan in limine litis berdasar alasan-alasan diluar
pokok perkara. Namun dalam hal eksepsi atas ketidak wenangan hakim dan
eksepsi atas batalnya gugatan hakim bukannya menyatakan gugatan tiidak dapat
diterima melainkan menyatakan gugatan batal. Yang termasuk eksepsi prosessuil
adalah tangkisan yang bersifat mengelakan (eksepsi declinatoir) seperti:

19 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h.92

46
1) Eksepsi tidak berwenangnya hakim
2) Eksepsi gugatan batal
3) Eksepsi perkara telah diputus (ne bis in idem)
4) Pihak penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat.

Eksepsi Materiil, adalah tangkisan yang lainnya yang didasarkan atas


ketentuan hukum materiil. Termasuk dalam eksepsi materiil adalah:

1) Eksepsi yang bersifat menunda (eksepsi dilatoir); misalnya tuntutan


penggugat belum dapat dikabulkan karena tergugat telah diberikan untuk
melakukan penundaan pembayaran;
2) Eksepsi Paremtoir, adalah eksepsi yang sudah menyangkut pokok perkara
seperti karena telah lampaunya waktu (daluarsa) atau tergugat dibebaskan
dari pembayaran.

Berkaitan dengan eksepsi dalam RBg/HIR, hanya mengatur mengenai


eksepsi atas ketidakwenangan hakim atau pengadilan untuk memeriksa gugatan,
sebagaimana ditentukan dalam pasal 149 ayat (20) pasal 160-162 RBg/pasal 125
ayat 2, pasal 133-136 HIR.
Tangkisan atau eksepsi terhadap kewenangan relative, harus sudah
diajukan sejak awal jawaban gugatan, jika tidak perkara tetap diperiksa
sebagaimana biasa. Sedangkan tangkisan atau eksepsi atas kewenangan
absolute, dapat diajukan setiap saat, bahkan seharusnya hakim secara ex officio,
menyatakan pengadilan tidak berwenang secara absolute tanpa menunggu
eksepsi dari tergugat.

8. Gugat balik atau Gugat Ginugat


Jika tergugat mempunyai kepentingan dalam arti berniat menggugat
penggugat dengan alasan yang cukup untuk itu, maka gugatan penggugat dapat
diajukan dalam perkara yang sedang dihadapi dengan mengajukan gugatan
balasan atau gugatan balik. Gugatan balasan ini dapat diajukan terhadap segala
perkara adalah tergugat itu memang tergugat konvensi secara meateriil.
Pengaturan gugat balik atau gugatan balasan ini ditentukan dalam pasal 157
RBg/psal 132 a HIR yang menentuka:
1) Tergugat dapat mengajukan gugat balas (reconventia/rekonpensi)
dalam segala perkara kecuali:
a) Semula dalam perkara itu bukan bertindak untuk dirinya, sedang
gugat balas ditujukan pada dirinya sendiri;

47
b) Apabila pengadilan negeri tidak mempunyai wewenang mutlak
c) Dalam perselisihan mengenai pelaksanaan putusan hakim.
2) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan balas,
maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.
Dalam perkara tingkat pertama, gugatan balas harus diajukan
bersamaan dengan jawaban gugatan. Demikian ditentukan dalam pasal 158
RBg/132 b HIR. Namun dalam praktek masih terdapat perbedaan pandangan
dimana ada yang menyatakan gugatan balasan dapat diajukan sebelum dilakukan
pembuktian atau hanya boleh bersamaan dengan jawaban gugatan baik secara
lisan maupun tertulis.

9. Replik dan Duplik


Setelah jawaban gugatan, maka giliran pihakpenggugat untuk menjawab
jawaban tergugat atas gugatan penggugat.jawaban penggugat untuk menjawab
jawaban gugatan disebut dengan replik. Replik dari penggugat dijawab oleh
tergugat namanya duplik dan jika penggugat memandang perlu untuk menjawab
duplik tergugat maka dijawab dengan rereplik. Rereplik dijawab oleh tergugat,
namanya reduplik dan demikian seterusnya sampai pada proses jawabmenjawab
dianggap cukup.

10. Mengikut Sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses.


Mengikut sertakan pihak ketiga dalam proses tidak ada diatur dalam
Rbg/HIR. Hal tersebut diatur dalam Rv. Dipergunakannya Rv dalam praktek
dewasa ini dapat dilihat ketentuan Pasal 393 HIR. Ada 3 bentuk ikutsertanya pihak
ketiga dalam proses yaitu vrijwaring voeging dan tussenkomst.
a. Vrijwaring adalah masuknya pihak ketiga atas dasar permohonan tergugat
untuk melindungi kepentingan tergugat (diatur dalam pasal 70-76 Rv).
b. Voeginmg, (voeging van partijen) adalah masuknya pihak ketiga atas
permohonan sendiri untuk masuk dalam perkara yang sedang diproses
untuk membela kepentingan salah satu pihak baik penggugat maupun
tergugat.
c. Tusenkoms, adalah masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang
sedang berjalan atas keinginan sendiri dan untuk kepentingan sendiri. Hal
inilah yang disebut dengan intervensi.

48
11. Penutup
Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya dikemukakan kembali
dalam rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi secara
komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian pembelajaran, maka
diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.
Rangkuman
Setelah gugatan selesai dibuat dan diajukan ke pengadilan sebagaimana
persyaratan yang ditentukan sesuai dengan kompetensi atau kewenangan
mengadili baik kewenangan absolute maupun kewenangan relative. Gugatan yang
diajukan terlebih dahulu harus didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan untuk
mendapatkan nomor register perkara dengan terlebih dahulu membayar panjar
biaya perkara. Namun bagi yang tidak mampu juga dapat bererkara secara prodeo.
Terhadap perkara yang telah mendapatkan nomor register, hakim wajib untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut, sesuai dengan hukum acara yang
berlaku. Proses selanjutnya dilakukan pemanggilan secara patut.
Setelah dilakukan pemanggilan secara patut oleh juru sita atau juru sita
pengganti kepada kedua belah pihak, maka jika kedua belah pihak hadir, maka
dapat dilakukan pemeriksaan perkara yang diwalai dengan pembacaan gugatan
oleh penggugt dan kepada tergugat diberikan kesempatan untuk menanggapinya
baik secara lisan maupun terlutis. Namun ada kalanya dimana para pihak sudah
dipanggil secara patut, salah satu pihak ada yang tidak hadir, maka terjadilah
acara istimewa dimana hakim pimpinan sidang dapat menjatuhkan putusan
gugatan gugur atau verstek. Ini berarti bahwa gugatan perdata dapat diputus
secara contraditoir dan diputus diluar hadirnya pihak-pihak.
Dalam pertemuan ini juga dibahas mengenai mediasi litigasi. Istilah ini
hanya untuk membedakan antara mediasi yang dilakukan diluar sidang pengadilan
(non litigasi) dengan mediasi yang dilakukan di pengadilan. Setelah dilakukan
pemanggilan secara patut kedua belah pihak hadir, maka para pihak wajib untuk
melakukan mediasi sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun
2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.
Proses jawab menjawab dimana gugatan dibalas dengan jawaban gugatan,
jawaban gugatan berisikan pengakuan, bantahan diluar pokok perkara yang
disebut dengan tangkisan atau eksepsi, bantahan dalam yang langsung mengenai
pokok perkara (verweer ten pricipale) yang disebut dengan sangkalan dan
dimungkinkan pula bahwa tergugat menggugat penggugat yang disebut dengan
gugatan balik atau gugatan rekonvensi.

49
Pihak ketiga dapat masuk kedalam persidangan yang disebut dengan
intervensi, intervensi ada tiga jenis yaitu Vrijwaring, Voeginmg, Tusenkoms.

Latihan: Diskusikan pertanyaan dibawah ini

1. Apa akibat hokum bila tidak dilakukan pemanggilan secara patut?


2. Apakah setiap putusan verstek mengalahkan tergugat?
3. Apa Tujuan diadakan Mediasi?
4. Benarkah Mediasi Litigasi dapat memperlancar jalur keadilan?
5. Sebutkan tahapan-tahapan pemeriksaan perkara dlam sidang?
6. Apa saja yang harus dimuat dalam jawaban gugatan?
7. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?
8. Apa persyaratan diajukan gugatan Reconvensi?
9. Apa perbedaan Antara intervensi dengan bentuk-bentuk masuknya pihak
ketiga yang lain?

Bahan Pustaka
1. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
2. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV. Armico, Bandung.
3. Hamid, A.T. 1986, Hukum Acara Perdata Serta Susunan dan Kekuasaan
Peradilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
4. Darwis Prins, 1992, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
5. Lilik Mulyadi, 1999, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
6. Retnowulan Sutantio, Ny. Dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum
Acara Perdata dalam Teori dan Praktej, Alumni Bandung.
7. Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
8. Subekti, 1982, Praktek Hukum, Alumni, Bandung.
9. Yayahya Harahap. M, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta

50
PERTEMUAN VI: TUTORIAL 4
PEMANGGILAN SECARA PATUT, ACARA ISTIMEWA, MEDIASI LITIGASI,
PERUBAHAN DAN PENCABUTAN GUGATAN

1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas pemanggilan secara patut, acara
istimewa, mediasi litigasi, perubahan dan pencabutan gugatan yang
divisualisasikan dengan wacana bertopik “gugurnya suatu gugatan”. Mahasiswa
mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai unsur-unsur yang harus
dipenuhi dalam membuat gugatan dan apa upaya hukum yang dapat dilakukan
para pihak.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan unusur-
unsur apa saja yang harus terpenuhi dalam membuat suatu gugatan dan cara
membuat suatu gugatan.

2. Tugas: Discussion Task – Study Task


GUGURNYA SUATU GUGATAN
Terkadang di situasi tertentu, terdapat putusan tentang gugurnya suatu
gugatan. Hal ini terjadi karena penggugat dalam persidangan pertama yang telah
ditentukan harinya dan telah dipanggil secara sah dan patut, dirinya tidak hadir
atau tidak pula menyuruh kuasanya untuk datang menghadiri persidangan
tersebut. Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het Herziene Indonesisch
Reglement (“HIR”) yang berbunyi: “Jika penggugat tidak datang menghadap PN
pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula
menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap
gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak
memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya
perkara yang tersebut tadi.”
Berdasarkan Pasal 124 HIR sebagaimana tersebut di atas, maka alasan
digugurkannya gugatan penggugat oleh pengadilan karena:
a. Penggugat dan/atau kuasanya tidak datang pada hari sidang pertama
yang telah ditentukan tanpa alasan yang sah;
b. Penggugat telah dipanggil secara patut dan sah;
Pengguguran gugatan dilakukan oleh Majelis Hakim yang berwenang
secara ex-officio apabila alasan yang tersebut dalam Pasal 124 HIR telah

51
terpenuhi. Dengan kata lain, bahwa kewenangan pengguguran gugatan itu dapat
dilakukan oleh hakim meskipun tidak ada permintaan dari pihak tergugat. Akan
tetapi, kewenangan pengguguran gugatan tidak bersifat imperatif, karena
berdasarkan Pasal 126 HIR menegaskan bahwa sebelum menjatuhkan putusan
pengguguran gugatan, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya pihak
yang tidka hadir dipanggil untuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada
hari sidang yang lain.
Disamping itu, apabila penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir
lagi, maka penggugat dipanggil sekali lagi dengan peringatan (peremptoir) untuk
hadir dan apabila tetap tidak hadir sedangkan tergugat tetap hadir, maka
pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir. Gugatan yang
digugurkan oleh pengadilan, maka dituangkan dalam putusan, dan penggugat
berhak mengajukan kembali atas gugatannya tersebut

Sumber http://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/gugurnya-suatu-
gugatan/ (diakses pada tanggal 12 November 2016)

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada
saat selesai tutorial.

Bahan Pustaka: sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan 2.

52
PERTEMUAN VII: TUTORIAL 5
JAWABAN GUGATAN, REPLIK DUPLIK, MENGIKUT SERTAKAN PIHAK
KETIGA DALAM PROSES

1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi jawaban gugatan, replik
duplik, dan mengikut sertakan pihak ketiga dalam proses pemeriksaan. Mahasiswa
melakukan role play untuk menyelesaikan permasalahan gugatan yang tidak
berdasarkan hukum dan memformulasikan kedalam jawaban gugatan yang
terdapat dalam wacana. Dalam hal itu, setiap mahasiswa membuat skrip role play
yang mendeskripsikan adanya peran seorang penasihat hukum dank lien.
Setelah itu wacana tersebut diselesaikan melalui seven jump approacht
dengan catatan bahwa tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata slt
diabaikan dilewati.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggun
jawab, jujur dan demokratis mampu memainkan peran sebagai penasihat hukum
dan klien dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, mahasiswa dengan rasa
tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu membangun argumentasi dalam
menyelesaikan permasalahan dalam wacana.

2. Tugas
Gugatan Dinilai Tak Berdasar Hukum
PADANG, HALUAN — Tergugat I, II, III dan VI dalam perkara perdata
tanah seluas 1.678 m2 di Jalan Gajah Mada RT 02 RW 02, menyampaikan
jawaban atas gugatan yang disampaikan Rusman Haris selaku penggugat, yang
mengaku sebagai mamak kepala jurai dalam kaumnya. Dalam jawaban tergugat,
disebutkan beberapa unsur gugatan tidak memenuhi syarat sehingga tidak
memiliki dasar hukum yang jelas.
Jawaban tersebut disampaikan kuasa hukum dari keempat tergugat di
persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Padang yang dipimpin Leba Max Nandoko,
Selasa (27/9). Mewakili tergugat I, II dan III, Devi bertindak sebagai kuasa hukum.
Sedangkan Syofrina RozaCs bertindak sebagai kuasa hukum Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Kota Padang selaku tergugat VI.
Dalam jawabannya, Devi menjelaskan bahwa gugatan yang disampaikan
Rusman Haris tidak layak karena penggugat bukan kakak tertua dalam kaum,
sehingga tidak layak disebut sebagai mamak kepala jurai. Selain itu, pengangkatan
sebagai mamak kepala jurai tak pernah dilangsungkan secara adat.

53
Selain itu, tergugat I, II dan III juga menyebut gugatan kabur karena tidak
memenuhi syarat formal sebuah gugatan, di mana penggugat tidak dapat
menjelaskan secara konkrit tentang objek mana saja yang dikuasai oleh para
tergugat.
Di sisi lain, tergugat VI, Pimpinan BPN Kota Padang, melalui kuasa
hukumnya Syofrina Roza menilai gugatan yang diajukan tidak sesuai dengan
peristiwa hukum yang seharusnya menjadi dasar gugatan.
Dalam hal pengajuan sertifikat pengganti oleh pihak tergugat I, II dan III,
BPN menilai dasar penerbitannya telah sesuai dengan aturan yang berlaku, di
mana para pemohon menyetakan beberapa surat keterangan yang berkekuatan
hukum.
Selain itu BPN juga telah menerbitkan pengumuman melalui surat kabar
pada 4 Februari 1999, untuk mengantisipasi adanya pihak yang mengajukan
komplain atas rencana penggantian sertifikat pengganti di masa itu.
Atas jawaban tersebut, keempat tergugat menilai gugatan yang
disampaikan Rusman Haris layak untuk dibatalkan demi hukum, karena tidak
memenuhi unsur-unsur dasar hukum yang jelas. Sidang selanjutnya digelar pada
Selasa depan dengan agenda tanggapan dari penggugat. Sebelumnya di-
sampaikan dalam oleh Rusman Haris melalui kuasa hukumnya Herman Amir Cs,
bahwa secara berkaum/berjurai, penggugat memiliki hak di atas objek perkara,
tepatnya di lokasi bangunan Apikes Iris dan Gama 2000 Gunung Pangilun saat ini.
Jalan memilikinya karena penggugat adalah anak dari Almarhumah Nurlela
yang merupakan kemenakan dari Almarhum Prof Thamrin Nurdin yang tercatat
sebagai awal mula pemilik objek. (h/isq)

(Sumber ; http://harianhaluan.com/news/detail/60366/gugatan-dinilai-tak-
berdasar-hukum diakses pada tanggal 21 Oktober 2016)

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan
dikumpulkan pada saat selesai tutorial.

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 2

54
PERTEMUAN VIII: UJIAN TENGAH SEMESTER

55
PERTEMUAN IX: PERKULIAHAN 3
PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN
1. Pendahuluan
Bahan kajian Pembuktian dan Putusan memuat apa yang dilakukan
penggugat dalam gugatannya dalam persidangan haruslah dibuktikan
kebenarannya dalam persidangan. Pembuktian kebenaran dalil gugatan tersebut
dapat dilakukan dengan bukti surat, saksi-saksi, persangkaan, mungkin pengakuan
dari pihak lawan, atupun sumpah baik sumpah tambahan maupun sumpah
pemutus. Masalah pembuktian sangat menentukan apakah gugatan dpat
dikabulkan atau tidak nantinya. Sehingga masalah pembuktian mempunyai kaitan
dengan gugatan, maupun putusan hakim nantinya.
Setelah hakim memeriksa perkara dengan seksama dlam proses jawab
menjawab, maka giliran hakim untuk menjatuhkan putusan. Penjatuhan putusan
adalah sangat tergantung dari persidangan sebelumnya yaitu proses jawab-
menjawab maupun dalam proses pembuktian.
2. Pengertian Pembuktian
Membuktikan mengandung beberapa arti:

a. Dalam arti logis, membuktikan berarti memberikan kepastian yang mutlak


karena berlaku untuk setiap orang dan tidak dimungkinkan adanya bukti
lawan.
b. Kata membuktikan juga mengandung arti konvensional. Disini juga
membuktikan juga berarti memberikan kepastian, hanya saja bukan
kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relative yang
dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu kepastian yang hanya
didasarkan atas perasaan belaka dan kepastian yang didasarkan atas
pertimbangan akal.
c. Pembuktian dalam arti yuridis. Dalam pengertian yuridis bukan merupakan
pembuktian yang mengandung kebenaran mutlak, karena masih
dimungkinkan adanya pembuktian lawan. Pembuktian dalam arti yuridis
hanyalah untuk kepentingan pihak-pihak yang bersengketa atau siapa yang
diberikan hak kepadanya.
Nur Rasaid mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan membuktikan
adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dimaksudkan
dalam persengketaan.20 Dalam praktek perkara perdata tidak semua hal
yang diperkarakan harus dibktikan kebenarannya. Hal-hal yang tidak perlu

20 Nur Rasaiid, Op. Cit. h.36

56
dibuktikan seperti dalil-dalil yang tidak disangkal, atau diakui kebenarannya
tidaklah perlu dibuktikan.21 Disamping itu hal-hal yang telah diketahui umum
yang disebut notoir, tidaklah perlu dibuktikan.

3. Beban Pembuktian
Pasal 283 RBg./163 HIR 1865 KUHPerdata, menentukan setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hk, atau guna meneguhkan haknya
sendiri, maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Dari rumusan pasal
tersebut jelaslah bahwa yang diwajibkan untuk membuktikan adalah keduabelah
pihak baik penggugat maupun tergugat. Dalam membagi beban pembuktian hakim
harus memegang teguh asas audi et alteram partam dimana kedua pihak haruslah
diperlakukan sama, diberikan kesempatan yang sama dalam segala hal termasuk
dalam pembuktian.
4. Alat –alat Bukti
Sesuai dengan ketentuan pasal 284 RBg/164 HIR, dalam hukum acara perdata
dikenal adanya 5 alat bukti yaitu:

a. Alat bukti tertulis ( surat)


b. Alat bukti saksi;
c. Alat bukti persangkaan;
d. Alat bukti pengakuan;
e. Alat bukti sumpah.

Pada 1866 KUHPerdata menentukan juga ada 5 macam alat bukti dalam
hukum acara perdata yaitu:

a. Bukti tulisan
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.
Dari ketentuan pasal RBg/HIR dengan ketentuan pasal KUHPerdata sedikit
menunjukan perbedaan namun secara sepintas perbedaan tersebut tidaklah
Nampak. Kenapa terjadi perbedaan yang demikian akan terungkap dalam uraian
dari masing-masing jenis alat bukti dimaksud.

21 Darwan Prints,1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, CV. Armico,

Bandung, h. 177

57
a. Alat Bukti Surat

Alat bukti surat diatur dalam pasal 164,285-305RBg/pasal 138,165-167 HIR


dan Pasal 1867-1896 KUHPerdata.
Alat bukti surat adalah alat bukti yang tertulis yang memuat tulisan yang
menyatakan pikiran yang dipergunakan sebagai bukti. Alat bukti tertulis ini dibagi
menjadi:

1) Surat Berupa akta, adalah surat yang diberi tanda tangan memuat
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang
dibuat sejak semuala secara sengaja memang untuk membuktikan. Akta ini
lagi menjadi dua jenis:
a) Akta otentik, yaitu akta ang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah dterapkan baik
dengan ataupun tanpa bantuan pihak yang berkepentingan yang
mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang
berkepentingan.
Berdasarkan ketentuan pasal 185 RBg/165 HIR bahwa akte otentik
mempunyai kekuatan yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli
warisannya, dan orang-orang yang mendapat hak dari padanya. Akte
otentik ini dibagi lagimenjadi 2:
- Akta otentik yang dibuat hanya oleh pejabat (acta
ambtelijk/prosesverbal acta)
- Akta aotentik yang dibuat oleh para pihak (partijakta).
2) Akta dibawah tangan, adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
akan tetapi tanpa bantuan seorang pejabat pembuat pembuat akta, (lihat
pasal 1874-1880 KUHPerdata ; Pasal 286-305 RBg D. 1867 No 29)
3) Surat bukan akta, adalah surat lainnya selain yang disebutkan diatas, yang
sebenarnya tidak sengaja dibuat sebagai alat bukti akan tetapi ternyata
dikemudian hari dapat dijadikan alat bukti.

b. Alat Bukti Saksi


Alat bukti saksi yang diperlukan dipersidangan adalah kesaksian atau keterangan
dari seorang yang diajukan sebagai saksi. Hal ini disebut dengan keterangan saksi
atau kesaksian.

58
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang
peristiwa yang disengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil
untuk hadir dalam persidangan. Bambang Waluyo mengatakan bahwa bukti
dengan saksi atau kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
didepan sidang pengadilan, suatu peristiwa, kejadian atau keadaan tertentu yang
22
didengar sendri, lihat sendiri dan dialami sendiri.
Dalam halbukti saksi ada beberapa asas penting yaitu:

1) Keterangan saksi haruslah keterangan mengenai peristiwa atau kejadian


yang dialaminya sendiri, dilihat atau didengar sendiri;
2) Keterangan yang didengar atau hanya diketahui dari orang lain
(testimonium, de auditu) bukanlah merupakan kesaksian.
3) Keterangan satu saksi yang idak didukung oleh bukti lain, (unus testil nullus
testis) tidak mempunyai kekuatan yang cukup sebagai pembuktiian.
4) Sebelum memberikan kesaksian saksi diwajibkan untuk bersumpah sesuai
dengan agama/keyakinannya (pasal 175 RBg, pasal 147 HIR jo pasal 1911
KUHPedata)
Tidak setiap orang dapat didengar keterangannya sebagai saksi pasal 172
RBg pasal 145 ayat 1 HIR jo Pasal 1910, 1912 KUHPerdata menentukan yang
tidak dapat didengar sebagai saksi adalah:
1) Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan
yang lurus dari slah satu pihak;
2) RBg, saudara laki-laki atau saudara perempuan dari ibu dan keponakan
dalam daerah keresidenan Bengkulu, Sumatera barat; dan Tapanuli, jika
hak waris disitu diatur menurut hukum adat;
3) Istri/suami salah satu pihak walaupun sudah kawin;
4) Anak-anak yang belum dapat diketahui benar apakah umurnya sudah 15
tahun;
5) Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.
Disamping tidak setia orang yang dapat didengar keterangannya
sebagai saksi, namun juga ada orang yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi
yaitu:
1) Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah
satu pihak;

22 Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian dalam Sistem Peradilan Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, h.36

59
2) Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan
perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak;
3) Orang yang karena martabak, pekerjaan atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia dalam hal yang semata-mata tentang hal itu
saja, yang dipercayakan karena martabat dan pekerjaannya itu.

c. Alat Bukti Persangkaan


Persangkaan atau dugaan diatur dalam pasal 310 Rbg/173 HIR jo 1915-1922
KUHPerdata. Namun dalam semua pasal-pasal HIR/Rbg tersebut tidak ada
memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan persangkaan.
Pasal 1915 KUHPerdata ada menentukan bahwa persangkaan kesimpulan yang
oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal
karena suatu peritwa yang tidak terkenal.
Ada dua macam persangkaan yaitu persangkaan menurut undang-undang dan
persangkaan yang bukan berdasarkan uu. Persangkaan menurt uu diatur dalam
pasal 1916 KUHPerdata.
Pasal 130 RBg/173 HIR ada menentukan bahwa sangka saja yang tidak beralasan
pada suatu ketentuan uu yang nyata, hanya boleh diperhatikan oleh hakim waktu
menjatuhkan putusannya jika sangka itu penting, saksama tertentu dan
bersesuaian.

d. Alat Bukti Pengakuan


Bukti pengakuan diatur dalam Pasal 311-313 Rbg/174-176 HIR dan 1923-
1928 KUHPerdata.
Pasal 174 RBg/Pasal 311 HIR menentukan bahwa pengakuan yang
diucapkan didepan sidang pengadilan adalah merupakan bukti yang sempurna,
baik yang diucapkan sendiri maupun melalui kuasanya. Namun dalam praktek,
penilaian hakim atas pengakuan yang diucapkan didepan sidang sangat dominan
dalam hal menilai apakah pengakuan itu benar atau tidak.
Menurut pasal 313 RBg/ pasal 176 HIR ditentukan bahwa setiap
pengakuan harus diterima seluruhnya atau ditolak seluruhnya dalam hakim tidak
boleh menerimanya sebagai atau menolak sebagian. Artinya pengakuan harus
diartikan sebagai suatu yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
Disamping pengakuan secara bulat, dalam kepustakaan hukum acara ada
pula disebut dengan pengakuan yang berembel-embel. Pengakuan semacam ini
dibedakan menjadi 2:

60
1) Pengakuan dengan klausula, misalnya tergugat mengatakan benar
saya berhutang akan tetapi hutang tersebut sudah saya bayar;
2) Pengakuan dengan kwalifikasi, contohnya : benar saya membelinya,
akan tetapi setelah saya mencoba dan itupun juga saya setuju (dengan
syarat tangguh)23
e. Alat Bukti Sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan
bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci bahwa yang diketahui
atau dijanjikan itu benar. Sumpah dapat dibedakan menjadi:
1) Convirmatoir eed, yang dibagi lagi menjadi:
a) Suppletoir eed (sumpah pelengkap) diatur dalam pasal 182 Rbg/155
HIR jo. Pasal 1940 KUHPerdata. Termasuk didalamnya mengani
sumpah penaksir.
b) Descisoir eed (sumpah pemutut) diatur dalam pasal 183 RBg/156 HIR
jo. 1930 KUHPerdata.
2) Promisoir eed atau juga disebut dengan sumpah prosesusil. Hala mana
diatur dalampasal 175 Rbg/147 HIR. Sumpah ini berarti bahwa setiap orang
yang dimintai keterangan harus disumpah terlebih dahulu.

5. Pengertian Putusan
Menurut Sudikno Mertokusumo, adalah pernyataan yang oleh hakim yang
oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
atas sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja disebut
putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan oleh hakim dipersidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis)
tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan
oleh hakim.24 Putusan yang diucapkan tdak boleh berbeda dengan yang ditulis
(vonis). Menurut SEMA No 5 tahun 1959 tanggal 20-4-1959 dan No. 1 tahun 1962
tanggal 7-3-1962: Agar sewaktu putusan diucapkan konsep putusan sudah selesai.
Konsekwensi dari hal ini menjadi putusan hakim tiidak sah.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, dari sejak perkara diperiksa telah
melakukan tindakan yang disebut dengan mengconstatir (menyatakan benar telah

23 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1989, Hukum Acara Perdata Teori
dan Praktek, Alumni, Bandung, h.73
24 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 168

61
terjadi suatu peristiwa konkrit), mengkwalifisir berarti menentukan apa yang terjadi
termasuk peristiwa hukum apa, dan mengkonstituir, berarti menentukan atau
menemukan hukumnya yang terkait dengan ius curia novit (untuk teori penemuan
hukum, ingat kembali PIH).
Setelah tiga hal diatas dilakukan oleh hakim, maka hakim menjatuhkan putusan
dengan memperhatikan factor kedailan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
6. Sistimatika Putusan
Putusan pengadilan mempunyai sistimatika yang terdiri dari kepala putusan,
konsidran atau pertimbangan dan amar putusan.

a. Kepala putusan
Putusan pengadilan mempunyai kepala yang berbunyi DEMI KEADILAN
BERDASRKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Kepala putusan ini mempunyai
arti yang amat penting, karena kepala putusan aeperti tersebut diatas
menyebabkan putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekusi. Sehingga
konsekwensi yuridisnya, jika tdak mempunyai kekuatan eksekusi atau tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial.
b. Konsidrans
Bagaian yang kedua ini adalah berisikan pertimbangan-pertimbangan
hukum tentang kenapa suatu gugatan dikabulkan, ditolak atau tidak dapat diterima.
Setiap tuntutan penggugat haruslah cukup dipertimbangan dalam amar ini.
c. Amar
Amar adalah merupakan bagian akhir daripada putusan pengadilan. amar
merupakan jawaban dari petitum gugatan.

7. Asas –asas Putusan


Agar putusan Pengadilan itu memenuhi syarat dan tidak mengandung
cacat, maka harus memperhatikan beberapa asas sebagai berikut:

a. Memuat alasan dan dasar yang jelas dan rinci;


b. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan;
c. Tidak boleh mengbulkan lebih dari pada apa yang dituntut;
d. Diucapkan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum termasuk
perkara yang diperiksa secara tertutup

62
8. Jenis-jenis Putusan Pengadilan

Menurut asal 185 ayat 1 HIR, pasal 196 ayat 1 Rbg membedakan putusan akhir
dan bukan putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengekta atau
perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Sifatnya:

a. Condemnatoir (penghukuman)
Adalah suatu putusan yang bersifat menghukum pihak yang telah dan
dihukum untuk memenuhi prestasi. Didalam putusan condemnatoir diakui
hak penggugat atas prestasi yang ditunttnya prestasi berisi: memberi,
berbuat, tidak berbuat. Condemnatoir ini umumnya pemenuhan sejumlah
uang (eksekusi sejumlah uang). Condemnatoir ini mempunyai
kekuatanmengikat, atas hak eksekutorial sehingga condemnatoir ini dapat
dilaksanakan dengan pksa (executiofircee)
b. Constitutive (menciptakan)
Yaitu putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu kedaan hukum.
Putusan ini tidak dapat dieksekusi karena tidak ada penemuan prestasi
seperti condemnatoir.
Contoh:
1) Pemutusan perkawinan
2) Pengangkatan wali
3) Penerimaan pengampunan
4) Pernyataan pailit
5) Pemutusan perjanjian
6) Dll
c. Declarative (menyatakan)
Yaitu putusan yang isinya bersifat menerangkan/menyatakan apa yang sah
1) Anak sah
2) Ahli waris yang sah dll

Yang bukan merupakan putusan akhir ialah: disebut dengan putusan sela, antara
yang berfungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara menurut pasal 185 ayat
1 HIR pasal 48 Rv yaitu: putusan praeparatoir dan putusan interlucotoir.

a. Putusan praeparatoir ialah: putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa


mempunyai pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir.

63
b. Contoh:
1) Kummulai (penggabungan)
2) Penolakan pengunduran pemeriksaan aksi
c. Putusan interlocotoir ialah: putusan yang memerintahkan pembuktian
Contoh: discente (pemeriksaan ditempat)
Putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir.
Menurut pasal 332 Rv dikenal juga putusan sela, insidentil dan frofisionil.
d. Putusan insientil ialah: putusan yang berhubungan dengan insiden,
peristiwa yang menghentikan prosedur pengadilan.
Contoh: interview vrijwaring
e. Putusan profisionil ialah : putusan yang menjawab tntutan provisi, tuntutan
pendahuluan
Contoh:
1) Alimentasi, nafkah
2) Scheiding van tepel and bed
3) Dll

9. Kekuatan Putusan
Ada tiga kekuatan putusan pengadilan yaitu kekuatan mengikat, kekuatan
pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Adapun yang dimaksud masing-masing
adalah sebagai berikut:
a. Kekuatan mengikat
Suatu putusan pengadilan hanya mengikat kedua belah pihak yang
berperkara (Pasal 1917 KUHPerdata). Terikatnya para pihak terhadap putusan
mempunyai dua arti yaitu arti positif dan negative.
Arti positif mengadung arti bahwa apa yang telah diputuskan oleh hakim
pengadilan harus dianggap benar. Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. (Pasal
1917, 1920 KUHPerdta)
Arti negative ini artinya hakim tidak boleh memutus suatu perkara yang
pernah diputus sebelumnya antara para pihak serta megenai pokok perkara yang
sama. Putusan tersebut tdak akan mempunyai kekuatan apa-apa, nebis in idem
(Pasal 134 Rv). Halini adalah merupakan asas litis finitri opertet yang artinya apa
yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tifdakboleh diajukan lagi
kepada hakim.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti apabila upaya
hukum biasa sudah tidak lagi tersedia untuk itu. Dengan kekuatan hukum yang

64
pasti, putusan tidak lagi boleh diubah kecuali dengan upaya hukum luarbiasa.
Mengikatnya putusan pengadilan melahirkan beberapa teori yaitu:
1) Teori Hukum Materiil
Menurut teori ini kekuatan mengikat dari putusan pengadilan
mempunyai sifat hukum materiil, atau member akibat pada hukum
materiil terhadap putusan. Contohnya dengan putusan pengadilan
seorang dapat mempunyai hak atas tanah dll, sehingga putusan
pengadilan juga sebagai sumber hukum materiil.
2) Teori hukum Acara
Menurut teori ini, putusan bukan sumber hukum materiil, melainkan
sumber dari hukum prosesuil. Karena siapa yang dutetapkan
sebagai pemilik melalui prosesuil ditetapkan pemilik dalam putusan
engadilan berulah mereka dapat bertindak sebagai pemilik terhadap
pihak lawannya. Kelihatannya ajaran ini sangat sempit, karena
putusan bukan saja merupakan hukum prosesuil melaikan juga
merupakan kepastian atas hubungan hukum yang ada.
3) Teori Hukum Pembuktian
Menurut teori ini putusan pengadilan merupakan bukti tentang apa
yang ditetapkan didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan
mengikat, karena menurut hukum pembuktian, pembuktian lawan
atas putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti
tidak diperkenankan. 25
b. Kekuatan Pembuktian

Dibuatnya putusan secara tertulis (vonees) adalah merupakan akta aotentik


dan suatu bukti untuk melakukan upaya hukum atau untuk mohon pelaksanaan
putusan. (lihat pula Pasal 1918 dan pasal 1919 KUHPerdata tentang kekuatan
pembuktian putusan pidana).

c. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan pengadilan adalah bertujuan untuk menyelesaikan suatu
senhketa serta menetapkan hak atau hukumnya. Suatu putusan belum berarti apa-
apa jika belum atau tidak dapat dilaksanakan. Kekuatan mengikat saja dari suatu
putusan belumlah cukup, karena yang lebih penting adalah pelaksanaan dari isi
putusan itu sendiri. Oleh karenanya putusan mempunyai kekuatan untuk
dilaksanakan (eksekusi) secara paksa oleh alat negara. Kekuatan eksekutorial dari

25 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 171-172

65
putusan pengadilan adalah terletak pada kepala putusan yang berbunyi Demi
Kedailan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 ayat 1 UU Nomor 4
tahun 2004). Suatu akte notariil juga mempunyai kekuatan eksekutorial kija
mempunyai kepala yang berbunyi Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa.

10. Penutup
Bagian Penutup terdiri dari Rangkuman atas materi perkuliahan yang
dikemukakan di atas, dan latihan untuk mengetahui capaian pembelajaran.

Rankuman

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang mutlak karena berlaku


untuk setiap orang dan tidak dimungkinkan adanya bukti lawan. Kata membuktikan
juga mengandung arti konvensional. Disini juga membuktikan juga berarti
memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan
kepastian yang nisbi atau relative yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua
yaitu kepastian yang hanya didasarkan atas perasaan belaka dan kepastian yang
didasarkan atas pertimbangan akal. Pasal 283 RBg./163 HIR 1865 KUHPerdata,
menentukan setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hk, atau
guna meneguhkan haknya sendiri, maupun membantah suatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau
peristiwa tersebut. Dari rumusan pasal tersebut jelaslah bahwa yang diwajibkan
untuk membuktikan adalah keduabelah pihak baik penggugat maupun tergugat.
Dalam membagi beban pembuktian hakim harus memegang teguh asas audi et
alteram partam dimana kedua pihak haruslah diperlakukan sama, diberikan
kesempatan yang sama dalam segala hal termasuk dalam pembuktian.
Jenis alat bukti Antara lain; Alat bukti tertulis (surat); Alat bukti saksi; Alat
bukti persangkaan; Alat bukti pengakuan; dan Alat bukti sumpah.
Putusan adalah pernyataan yang oleh hakim yang oleh hakim sebagai
pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atas sengketa
antara para pihak. Putusan terdiri dari; Kepala putusan; Konsidrans; Amar; dan
putusan memiliki Kekuatan mengikat; Kekuatan Pembuktian dan Kekuatan
Eksekutorial

66
Latihan
1. Apa perbedaan alat bukti yang diatur dalam HIR/R.Bg dengan alat bukti
yang diatur dalam KUHPerdata?
2. Apa Hubungan Alat Bukti dengan Posita Gugatan?
3. Apa perbedaan sumpah tambahan dengan sumpah putusan?
4. Mungkinkah apa yang diucapkan oleh hakim berbeda dengan apa yang
tertulis dalam vonis?
5. Apa yang dimaksud dengan kekuatan mengikat dari putusan pengadilan?
6. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?
7. Apa yang harus dilakukan oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan?

Bahan Pustaka
1. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta

67
PERTEMUAN X: TUTORIAL 6
PENGERTIAN, BEBAN PEMBUKTIAN DAN ALAT-ALAT BUKTI

1. Pendahuluan

Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi pengertian, beban


pembuktian dan alat bukti yang divisualisasikan dalam wacana, Mahasiswa
diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam wacana dengan seven
jump approach.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur
dan demokratis mampu membangun argumentasi.
2. Tugas Problem Task
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-
benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat
mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil
membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya
akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan
kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya
oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/keadaan yang
tidak harus dibuktikan antara lain:
a. Hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
b. Hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
c. Hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai
(notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah
diketahui sendiri oleh hakim.
Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah
tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan
siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan
diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak
tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak
yang mana yang memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban
pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat

68
sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan
seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:“Barang siapa
mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan
membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan
peristiwa-peristiwa itu”
(sumber diolah dari: http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-
pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html diakses pada tanggal 21 oktober 2016)

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan
dikumpulkan pada saat selesai tutorial.

Bahan Pustaka:Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 3

69
PERTEMUAN XI: TUTORIAL 7
PENGERTIAN PUTUSAN, SISTEMATIKA PUTUSAN, ASAS-ASAS PUTUSAN,
JENIS-JENIS PUTUSAN DAN KEKUATAN PUTUSAN

1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi pengertian putusan,
sistematika putusan, asas-asas putusan, jenis putusan, dan kekuatan putusan
yang divisualisasikan dalam wacana rasa keadilan putusan hakim, Mahasiswa
diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam wacana dengan seven
jump approach.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur
dan demokratis mampu membangun argumentasi.

2. Tugas Problem Task


Rasa Keadilan Putusan Hakim
Berbagai peristiwa hukum yang aneh-aneh di negeri ini telah membenarkan
pernyataan yang pernah disampaikan Satjipto Rahardjo bahwa Indonesia laksana
“laboratorium hukum”.
Begitu banyak peristiwa hukum yang dapat dijadikan sampel bagi para
peneliti hukum negara lain, mulai dari bagaimana mengakali aturan hukum,
menjadikan hukum sebagai barang komoditas, sampai pada putusan hakim yang
tidak memihak rasa keadilan masyarakat. Celakanya karena dilakukan oleh
mereka yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan.
Perlu meningkatkan perhatian bagaimana memberikan rasa keadilan bagi
warga masyarakat. Jangan sampai menciptakan peluang atau keterpaksaan untuk
membelokkan arah hukum. Pedoman yang penting untuk diperhatikan adalah
jangan membiarkan penegakan hukum berseberangan dengan nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menegaskan “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“.
Pemikiran agar hakim memerankan fungsinya sebagai penyelesai konflik
setidaknya ada dua pendekatan yang perlu dimanifestasi dalam menjatuhkan
putusan.

Pertama, pendekatan keilmuan untuk mengantisipasi dominasi paham


positivisme sebab hukum yang diurai melalui kaidahnya mempunyai semangat dan

70
nilai-nilai kemanusiaan. Agar putusan memiliki efektivitas, harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridisch en filosofich veranwoord) karena
mampu menyelesaikan konflik dan diterima oleh pihak yang bersengketa.
Kedua, pendekatan empiris (sosiologis) lantaran hukum bertitik-tolak pada
manusia sebagai subjek kulturalnya. Hukum senantiasa bergelut dengan manusia
yang “bereksistensi kultural dan moral”. Artinya, putusan hakim selalu erat
kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang selain menuntut koherensi
logikal, juga menghendaki ada pembuktian empiris.
Putusan Kontradiksi Negeri yang dipenuhi persoalan hukum termasuk tidak
kuatnya logika hukum dalam putusan hakim. Itu dapat dilihat pada putusan yang
mengabaikan logika hukum dan nilai-nilai kemanusiaan di Pengadilan Negeri
Palembang (30/12/2015) yang menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8
triliun.
KLHK menuntut ganti rugi atas kerusakan hutan tanaman industri pohon
akasia seluas 20.000 hektare milik perusahaan tersebut pada 2014 di Ogan
Komering Ilir. Apalagi, Pasal 88 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut pemilik izin harus bertanggung jawab
mutlak (strict liability). Pertimbangan majelis hakim yang patut dikaji secara
akademik bahwa “lahan yang terbakar itu tidak merusak lingkungan hidup karena
masih dapat ditanami lagi”.
Logika hukum yang terbalikbalik sebab hilangnya hutan yang mestinya
dijaga agar tidak rusak, apalagi membiarkannya terbakar telah mencederai rasa
keadilan masyarakat. Bukan hanya merusak lingkungan hidup, melainkan juga
menimbulkan asap berkepanjangan yang merusak kesehatan manusia. Hutan
yang terbakar memang bisa saja ditanami kembali, tetapi butuh waktu bertahun-
tahun baru bisa tumbuh lagi.
Putusan itu kontradiksi dengan putusan hakim di Probolinggo. Lelaki Busrin
ditangkap dan diproses hukum gara-gara menebang satu pohon di hutan
mangrove di kampungnya, Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih (16/7/2014).
Hakim hanya melihat permasalahan sepotongsepotong tanpa memandang secara
holistik, sementara ada perusahaan besar yang membiarkan hutan terbakar yang
menjadi tanggung jawabnya untuk dijaga justru ditolak gugatannya.
Ini menunjukkan rasa keadilan masyarakat semakin jauh dari substansinya.
Padahal, kalau mau membuka mata hati, warga yang menebang pohon tidak
terlepas dari suatu kebijakan yang pukul rata, tetapi rakyat kecil yang jadi korban.
Faktanya, kebanyakan warga di desa itu memang mencari kayu bakar dari pohon

71
mangrove akibat masalah kemiskinan. Sulit memungkiri kalau negeri ini telah
berada pada ambang batas yang sangat jauh dari rasa keadilan.
Hukum tidak mampu memberikan kebenaran dan keadilan. Diperlukan
langkah konkret untuk menggerakkan legalitas dan wibawa hukum. Itu yang dikritisi
dalam sosiologi hukum disebutkan bahwa hukum tertulis itu barulah janji-janji
hukum. Dia menjadi hukum apabila sudah dilaksanakan dengan baik oleh
pelaksana hukum sesuai dengan cita dan tujuan hukum.
Beragamnya putusan hakim perlu disikapi secara bijak dengan memberikan
pemahaman secara holistik. Kiranya perlu menyimak kritikan Charles Sampford
dalam teorinya “the disorder theory of law “ yang memandang hukum tidak identik
dengan sebuah bangunan yang penuh dengan keteraturan yang logis-rasional.
Hukum adalah sesuatu yang bersifat cair (melee, fluid) yang perlu dihidupkan.
Hukum tidak selalu dimaknakan machine justice sehingga hakim sebagai
ujung tombak keadilan harus mampu menjaga hak-hak komunitas rakyat. Di
dalamnya selalu ada ruang ekstra yang dapat digunakan membangkitkan nilainilai
kehidupan sosial dan rasa keadilan masyarakat.

Sumber; http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-01-09
diakses pada tanggal 12 Oktober 2016

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan
dikumpulkan pada saat selesai tutorial.

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 3

72
PERTEMUAN XII: PERKULIAHAN 4
UPAYA HUKUM DAN PELAKSANAAN PUTUSAN
1. Pendahuluan
Hakim sebagai manusia biasa di dalam menjatuhkan putusan pengadilan
tidak luputu dari kekliruan atau keterpihakan pada salah satu pihak, sehingga
putusannya tidak mencerminkan rasa kedilan yang menyebabkan ada yang
merasa tidak puas atas putusan tersebut. Oleh karenanya demi keadilan setiap
putusan pengadilan hendaknya dapat dilakukan pemeriksaan ulang sehingga
kekeliruan terhadap putusan atau putusan yang memihak dapat diperbaiki
sehingga dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak pencari keadilan. Upaya
hukum secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Pembedaan menjadi dua bagian ini menunjukan sifat
berlakunya yang berbeda pula.

2. Upaya Hukum
Upaya hukum biasa terbuka untuk semua putusan sepanjang tenggang waktu
yang disediakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku masih
dimungkinkan untuk itu. Hak untuk mengajukan upaya hukum biasa menjadi hapus
dengan pernyataan menerima putusan atau jangka waktu untuk mengajukan
upaya hukum tersebut jangka waktunya telah lewat. Upaya hukum biasa terdiri
dari:

a. Perlawanan (verset)
Upaya hukum perlawanan (verset) adalah merupakan upaya hukum terhadap
putusan diluar hadirnya tergugat (verstek) namun jika putusan verstek tersebut
mengabulkan gugatan penggugat dan berarti mengalahkan pihak tergugat yang
tidak hadir dalam persidangan. (baca pasal 149 ayat 3 dan pasal 153 Rbg/pasal
125 ayat 3 dan pasal 129 HIR). Apa yang dimaksud dengan putusan verstek baca
kembali acara istimewa sebagaimana dalam BAB III terdahulu.
b. Banding
Upaya hukum banding adalah uapay hukum terhadap putusan npengadilan tingkat
pertama (putusan Pengadilan Negeri) yang dalam keadaan biasa baik untuk pihak
penggugat maupun pihak tergugat yang tidak puas atas putusan pengadilan tingkat
pertama.
Upaya hukum banding, disamping sebagaimana tersebut diatas, juga merupakan
upaya hukum terhadap putusan diluar hadirnya pihak tergugat, namun jika verstek
mengalahkan pihak penggugat (baca pasal 199-205 rbg untuk luar pulau Jawa dan

73
Madura ) dan UU No 20 Tahun 1947 tentang peradilan ulangan di Jawa dan
Madura. Pengaturan masalah banding masih bersifat pluralistis. Permohonan
banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan itu
diucapkan atau putusan itu diberitahukan bila ada pihak yang tidak hadir pada saat
putusan diucapkan.permohonan banding dapat pula disertakan dengan memori
banding (untuk emori banding baca kembali pemeriksaan dalam dua timgkat atau
judex faktie) sebagai bahan untuk menyampaikan keberatan-keberatan
pembanding atas putusan pengadilan tingkat pertama.
Upaya hukum banding hanya duperuntukan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh
adanya putusan pengadilan tingkat pertama. Namun jika kedua pihak merasa
dirugikan, maka kedua pihak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan agar
perkatanya diperiksa kembali dalam tingkat banding.
Yang dapat dimohonkan banding adalah semua putusan akhir kecuali ditentukan
lain oleh UU pasal 21 UU No 4 tahun 2004) sedangkan putusan sela tidak dapat
dimihonkan banding secara sendiri, kecuali bersamaan dengan putusan akhir.
Pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dilakukan pemeriksaan ulangan, oleh
karenanya dalam pemeriksaan tingkat banding ini dimungkinkan mengajukan alat
bukti yang baru.
c. Prorogasi
Prorogasi juga dikenal dengan istilah pelompatan satu tingkat maksudnya, atas
persetujuan kedua pihak, mereka sepakat untuk mengajukan perkaranya kepada
pengadilan yang sedungguhnya tidak berwenang untuk menangani perkara
tersebut jika dilihat dari hirarki dari badan pengadilan. Atas kesepakatan kedua
belah pihak mereka dapat engajukan perkaranya melompat satu tingkat dari
lembaga peradilan yang seharusnya berwenang untuk menangani perkara
tersebut.prorogasi ini tidak diatur dalam RBg maupun HIR melainkan diatur dalam
Pasal 324-326 Rv. Prorogasi dalam praktek sangat jarang dilakukan bahkan
hamper tidak ada yang menggunakan lembaga prorogasi ini.
d. Kasasi
Kasasi adalah merupakan upaya hukum biasa yang terakhir sebagai upaya
hukum terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding. Sama halnya dengan
putusan pengadilan dalam tingkat pertama, jika ada pihak yang tidak puas akan
putusan pengadlan dalam tingkat banding, maka mereka dapat mengajukan
permohonan kasasi. Pengajuan permohonan kasasi dapat diajukan kepada
Mahkamah agung melalui kepaniteraan pengadilan tingkat pertama yang
menangani perkara trersebut dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak putusan

74
pengadilan tingkat banding diberitahukan. (UU No 14 tahun 1980 yang telah
dirubah dengan UU No 5 Tahun 2004).
Pemohon kasasi diwajibakan untuk membuat memori kasasi sebagai alasan
bahwa judex faktie telah keliru dalam menerapkan huku. (baca kembali susunan
badan kekuasaan peradilan dan pemeriksaan dalam dua tingkat BAB I)
Dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak lagi dimungkinkan untuk
mengajukan alat bukti baru sebagaimana halnya dalam pemeriksaan dalam tingkat
banding. Karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak lagi memeriksa tentang
duduknya perkara melainkan hanya memeriksa tentang hukumnya. Oleh karena
dalam memori kasasi yang dipakai alasan adalah kesalahan penerapan hukum
oleh judex faktie.
e. Peninjauan Kembali (request civil)
Istilahnya request civil dapat dijumpai dalam pasal 385-401 Rv. Sedangkan
istilahnya peninjauan kembali dapat dilihat dalam pasal 21 UU No 14 1970 yang
telah dicabut dengan Uu No 4 Tahun 2004.
Pasal 23 UU No. 4 tahun 2004 menentukan:

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum


tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah agung apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam UU;
2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan
kembali.
Peninjauan kembali juga diatur dalam beberapa SEMA dan PERMA,
terakhir peninjauan kembali diatur dalam PERMA no 1/1980 yang disempurnakan
dengan PERMA No 1/82. Alasan-alasan peninjauan kembali adalah sebagai
berikut:
1) Bila putusan didasarkan suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahi setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti
yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan
3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut
4) Apabila mengeni suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya

75
5) Apabila mengenai pihak-pihak yang sama mengenai soal yang sama, atas
dasar yang smaa atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu denagn yang lainnya.
6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata

Mahkamah Agung memutuskan permohonan peninjauan kembali untuk


tingkat pertama dan terkahir. Oleh karenanya peninjauan kembali tidak ada lag
upaya hukum untuk hal itu.
Permhonan peninjauan kembali tidak dapat dicabut sebelum dijatuhkan
putusan dan hanya dapat diajukan satu kali sja. Permohonan peninjauan kembali
tidak menghentikan eksekusi.
f. Perlawanan Pihak ketiga
Telah dibicarakan bahwa putusan hanya mengikat para pihak dan tidak
mengikat pihak ketiga.namun jika hak-hak pihak ketiga merasa dirugikan, atas
suatu putusan pengadilan, maka pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan
putusan yang dilawan. Gugatannya seperti mengajukan guagatn biasa, dengan
mengedepankan hal-hal yang merugikan pihak pelawan (penggugat) atas putusan
pengadilan tersebut.

3. Pengertian eksekusi
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara, pada dasarnya membuat aturan dan tata
cara dari proses dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Oleh karena itu
eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara perdata.
Pada umumnya orang berpendaat, bahwa dengan dijatuhkannya putusan
oleh hakim/pengadilan persoalannya menjadi selesai, anggapan seperti itu adalah
tidak benar, artinya dengan dijatuhkannya putusan saja belum selesai
persoalannya. Ptusan itu harus dapat dilaksanakan/dijalankan, satu putusan
pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan/dijalankan.
Pembakuan istilah eksekusi kedalam Bahasa Indonesia barangkali
sebagian besar para sarjana hukum kita setuju dengan kata /istilah Pelaksanaan
Putusan.
Dengan diterimanaya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti istilah
eksekusi, janganlah menggabungkan kedua istilah itu dalam suatu rangkaian
kalimat agar tidak berlebihan (misalnya (pelaksanaan eksekusi).

76
Selanjutnya bila diperhatikan pasal-pasal yang terdapat didalam HIR
ataupun RBg pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan
putusan”. Menjalankan putusan pengadilan tiada lain, daripada melaksanakan isi
putusan pengadilan secara paksa dengan bantuan aparat keamanan apabila
tereksekusi tidak menjalankannya secara sukarela. Dengan demikian yang
dimaksud dengan eksekusi atau pelaksanaan putusan adalah: Tindakan yang
dilakukan secara paksaterhadap yang kalah dalam perkara, atas suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

4. Dasar Hukum Eksekusi


Eksekusi atau cara menjalankan putusan pengadilan diatur mulai dari pasal
195 s/d pasal 224 HIR atau pasal 206 s/d pasal 258 RBg. Namun sekarang yang
efektif berlaku adalah pasal-pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR, atau
pasal 206 sampai pasal 204 dan pasal 258 RBg.
Penghapusan pasal-pasal tentang eksekusi tersebut diatas berkenaan
dengan adanya Surat edaran Mahkmah Agung RI No 2 / 1964 tanggal 22 januari
1964 tentang Penghapusan Sandera.
Disamping pasal-pasal tersebut diatas, masih terdapat pasal lain yang
mengatur eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR datau 259
RBg.

5. Asas –Asas Eksekusi


a. Menjalankan Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap.
Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap yang dapat dijalankan/eksekusi. Karena didalam putusan
pengadlan yang telah berkekuatan tetap telah terkandung wujud hubungan
hukum yang tetap dan pasti antara para pihak yang berperkara. Selama
putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap putusan belum dapat
dijalankan. Dengan kata lain, selama putusan belum memperoleh kekuatan
hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru
berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak
tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak
tergugat tidak mau mentaati dan memahami putusan secara sukarela.
Beberapa pengecualian:
Ada beberapa pengecualian yang dibenarkan oleh UU, yang
memperkenankan eksekusi dapat dijalankan diluar putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Terhadap pengecualian dimaksud eksekusi

77
dapat dijalankan sesuai dengan antara tata cara eksekusi terhadap putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Bentuk-bentuk
pengecualian itu antara lain sebgai berikut:

1) Pelaksanaan putusan lebih dulu


Bentuk pelaksanaan putusan lebih dulu (uit voerbaar bijvoorrraad)
merupakan salah satu pengecualian terhadap prinsip diatas.
Menurut pasal 180 ayat 1 HIR, atau pasal 191 ayat 1 RBg. Eksekusi
dapat dijalankan terhadap putusan pengadilan, sekalipun putusan
tersebut belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Pasal tersebut diatas memberikan hak kepada penggugat untuk
menunjukan permintaan agar putusan tersebut dapat dijalankan
eksekusinya lebih adhulu sekalipun terhadap putusan tersebut pihak
tergugat mengajukan banding atau kasasi.
2) Pelaksanaan Putusan Provisi
Pengecualian yang kedua berlaku terhadap pelaksanaan putusan
provisi. Pelaksanaan putusan provisimerupakan pengecualian
eksekusi terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Kalimat yang terakhir dalam pasal 180 aat 1 HIR atau pasal 191
ayat 1 RBG, mengenal gugatprovisi yakni tuntutan lebih dudlu yang
bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara.
Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka
putusan provisi tersebut dapat dieksekusi sekalipun pokok
perkaranya belum diputus.
3) Akte perdamaian
Bentuk pengecualian yang lain adalah akta pedamaian yang diatur
dalam pasal 130 HIR, atau pasal 154 RBg. Pasal tersebut
menentukan selama persidangan berlangsung, kedua belah pihak
yang berperkara dapat berdamai, baik atas anjuran hakim maupun
atas inisiatif dankehendak kedua belah pihak
4) Eksekusi terhadap Grose Akta
Pengecualian lain yang diatur dalam UU ialah eksekusi terhadap
grose akta, baik grose akta pengakuan hutang, maupun grose akta
hipotik sebagaimana yang diatur dalam pasal 224 HIR, atau pasal
258 RBg.

78
Menurut pasal ini eksekusi yang dijalankan pengadilan bukan
berupa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Hal ini jelas merupakan
penyimpangan dan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun pasal 224 HIR/258
Rbg memperkenankan eksekusi terhadap pernanjian, asal itu
berbentuk grose akta.

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela


Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap baru merupakan pilihan
hukum apabila pihak ynag kalah tidak mau menjalankan isi putusan secara
sukarela, jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan
secara sukarela maka tindkan paksa tidak perlu dilakukan. Oleh karena itu
harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan
menjalankan putusan secara eksekusi.
c. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator dengan menjalankan.
Prinsip lain yang perlu diperhatikan sehubungan eksekusi ialah sifat
kondemnator. Hanya putusan yang bersifat kondemnator saja yang bisa
dijalankan eksekusi. Yakni putusan yang amar atau diktumnya
mengandung unsure penghukuman. Putusan yang amar atau diktumnya
tidak mengandung unsure penghukuman tidak dapat dieksekusi non-
eksekutabel. Adapun cirri-ciri yang dapat dijadikan indicator menentukan
suatu putusan pengadilan yang bersifat komdemnator, dalam amar/ dictum
putusan terdapat perintah untuk menghukum pihak yang kalah yang
dirumuskan dalam kalimat:

1) Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan” suatu barang.


2) Menghukum/ memerintahkan “pengosongan”sebidang tanah
atau rumah.
3) Menghukum/memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan
tertentu.
4) Menghukum/memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan
atau keadaan.
5) Menghukum/memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah
uang.

79
Inilah rincian yang dapat dijadikan pedoman menetukan cirri suatu putusan
pengadilan yang bersifat komdemnator. Jika salah satu cirri tersebut
terdapat dalam amar putusan menandakan putusan itu bersifat
komdemnator.
Misalnya dalam amar putusan terdapat salah satu dictum yang menghukum
atau memerintahkan tergugat untuk menyerahkan suatu barang, maka
amar yang demikian telah mengandung cirri komdemnator, dan menjadikan
putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum eksekutoria. Artinya apabila
pihak yang kalah tidak menaati dan menjalankan putusan tersebut secara
sukarela maka dapat dilakukan secara paksa upaya hukum “eksekusi
Selain itu ada juga putusan yang bersifat deklarator yaitu amar putusan
hanya mengandung “pernyataan” hukum saja tanpa dibarengi dengan
penghukuman. Putusan deklarator pada umumnya terdapat dalam perkara
yang berbentuk “permohonan”
d. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pngadilan Negeri
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat 1 /pasal 206 ayat 1 RBg. Yang
menentukan “tentang menjalankan putusan dalam perkara yang pada
tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri adalah atas perintah dan
dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama
memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut
ini”. Artinya bahwa eksekusi tersebut haruslah dilaksanakan atas perintah
dan dibawah pimpinan pengadilan negeri yang memutus.
Eksekusi dilakukan dengan surat perintah eksekusi dan untuk kepentingan
tersebut dibuat berita acara dan dihadiri oleh dua orang saksi (pasal 210
RBg/197 HIR).

6. Jenis-jenis Eksekusi
Menurut Sudikno Mertokusumo (dalam bukunya Hukum Acara Perdata) disebutkan
ada beberapa jenis eksekusi sbb:
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkn untuk membayar
sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang.
Eksekusi ini diatur didalam pasal 196 HIR/208 RBg.
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan. Halini diatur dalam pasal 225 HIR/259 RBg. Yang pada
hakekatnya menentukan bahwa orang tidak dapat dilaksanakan untuk
memenuhi syarat prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang

80
dimenangkan dapat diminta kepada hakim agar kepentingan yang akan
diperoleh dinilai dengan uang.
c. Eksekusi Riil, tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam pasal 1033 Rv,
yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan
benda tetap.
d. Parate Executie atau eksekusi langsung terjadi apabila seorang debitur
kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai title
eksekutorrial (pasal 1155 KUHPerdata)
Selanjutnya menurut Yaha Harahap (di dalam bukunya “Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata’), menyatakan bahwa pada dasarnya ada
dua bentuk eksekusi bila ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh
hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu:
a. Bila sasaran hubungan hukum yang hendakndipenuhi sesuai dengan amar
putusan ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan rii, maka
disebut eksekusi riil.
b. Bila hubungan hukum yang dipenuhi sesuai dengan amar putusan ialah
melakukan pembayaran sejumlah uang, maka disebut eksekusi
pembayaran uang.

Pertanyaan kita sekarang, apakah perbedaan antara eksekusi riil, dengan eksekusi
pembayaran sejumlah uang? Jawabannya dapat dicontohkan dalam putusan
pengadilan yang bersifat kondemnator sbb:
a. Menyerahkan suatu barang
b. Mengosongkan sebidang tanah
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu
d. Menghentikan suatu kedaan atau perbuatan
e. Membayar sejumlah uang.

7. Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi


Sebelum dilakukan eksekusi, biasanya terlebih dahulu barang objek
sengketa diletakan sita, baik dilakukan sebelum putusan mempunyai kekuatan
hukum yang pasti maupun setelah putusanmempunyai kekuatan hukum yang
pasti.
Terhdap sita eksekusi, baik terhadap barang bergerak maupun terhadap barang
yang tidak bergerak, pihak yang dikalahkan atau tereksekusi dapat mengajukn
perlawanan baik tertulis maupun secara lisan (pasal 225 RBg / 107 HIR).
Perlawanan ini diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang melaksanakan

81
eksekusi. Namun perlawanan tersebut tidaklah menghambat pelaksanaan putusan,
kecuali Ketua pengadilan memberikan perintah penangguhan eksekusi.
Disamping tereksekusi, orang lain pihak ketiga juga dapat mengajukan perlawanan
eksekusi dengan dalil bahwa barang yang diletakan sita eksekusi adalah miliknya.
Pasal 228 RBg/ pasal 208 HIR.

8. Pelaksanaan Eksekusi
Pelaksanaan putusan pengadilan harus dilakukan oleh pihak yang
berwenang untuk itu sebagaimana ditentukan dalam UU. Dalam bidang hukum
perdata yang bertindak sebagai pelaksana putusan adalah panitera dibantu oleh
juru sita (pasal 36 ayat 3 UU No 4 tahun 2004). Dalam pasal tersebut ditentukan
bahwa putusan dilaksanakan oleh panitera dibantu oleh jurusita dan dipimpin oleh
ketua pengadilan.

9. Penutup
Bagian Penutup terdiri dari Rangkuman atas materi perkuliahan yang
dikemukakan di atas, dan latihan untuk mengetahui capaian pembelajaran.

Rankuman
Hakim sebagai manusia biasa di dalam menjatuhkan putusan pengadilan
tidak luputu dari kekliruan atau keterpihakan pada salah satu pihak, sehingga
putusannya tidak mencerminkan rasa kedilan yang menyebabkan ada yang
merasa tidak puas atas putusan tersebut. Oleh karenanya demi keadilan setiap
putusan pengadilan hendaknya dapat dilakukan pemeriksaan ulang sehingga
kekeliruan terhadap putusan atau putusan yang memihak dapat diperbaiki
sehingga dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak pencari keadilan. Upaya
hukum secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Pembedaan menjadi dua bagian ini menunjukan sifat
berlakunya yang berbeda pula dimungkinkan untuk itu. Hak untuk mengajukan
upaya hukum biasa menjadi hapus dengan pernyataan menerima putusan atau
jangka waktu untuk mengajukan upaya hukum tersebut jangka waktunya telah
lewat. Upaya hukum biasa terdiri dari Perlawanan (verset), Banding, Prorogasi,
Kasasi, Peninjauan Kembali (request civil), Perlawanan Pihak ketiga,
Pengertian eksekusi.
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara, pada dasarnya membuat aturan dan tata
cara dari proses dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Oleh karena itu

82
eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara perdata. Eksekusi atau cara menjalankan putusan pengadilan
diatur mulai dari pasal 195 s/d pasal 224 HIR atau pasal 206 s/d pasal 258 RBg.
Namun sekarang yang efektif berlaku adalah pasal-pasal 195 sampai pasal 208
dan pasal 224 HIR, atau pasal 206 sampai pasal 204 dan pasal 258 RBg.
Jenis eksekusi terdiri dari Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang
dikalahkn untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah
membayar sejumlah uang, Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk
melakukan suatu perbuatan. Eksekusi Riil. Pelaksanaan putusan pengadilan harus
dilakukan oleh pihak yang berwenang untuk itu sebagaimana ditentukan dalam
UU. Dalam bidang hukum perdata yang bertindak sebagai pelaksana putusan
adalah panitera dibantu oleh juru sita (pasal 36 ayat 3 UU No 4 tahun 2004).
Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa putusan dilaksanakan oleh panitera
dibantu oleh jurusita dan dipimpin oleh ketua pengadilan.

Latihan
1. Apa sebenarnya dimaksud dengan novum dalam peninjauan kembali?
2. Kenapa upaya hokum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi?
3. Kenapa perlawanan terhadap sita eksekusi tidak menghentikan
eksekusi?
4. Bagaimana prosedur dari pelaksanaan eksekusi?

Bahan Pustaka
1. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata
pada Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

83
PERTEMUAN XIII: TUTORIAL 8
UPAYA HUKUM BIASA

1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi upaya hukum biasa.
Mahasiswa mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai
permaslahan yang divisualisasikan melalui wacana “Mahkamah Agung Sebagai
Judex Juris ataukah Judex Facti: Kajian Terhadap Asas, Teori dan Praktek”.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab,
jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan tugas dari
Mahkamah Agung.
Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai
permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.
Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht
dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata
sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang
terkandung di dalam wacana.

2. Tugas: Problem Task

Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris ataukah Judex Facti: Kajian Terhadap
Asas, Teori dan Praktek
Jakarta, litbangdiklatkumdil.net - Selasa tanggal 10 September 2013,
Puslitbang mengadakan Seminar Focus Group Discussion dalam rangka
presentasi Hasil Penelitian yang dikoordinatori Sugeng Riyono, SH., MH dengan
judul Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris ataukah Judex Facti : Kajian
Terhadap Asas, Teori dan Praktek.
Berdasarkan hasil kajiannya, kordinator menarik kesimpulan:
a. Dalam penelitian ini setelah ditelusuri asas, norma dan peraturan
perundang-undangan tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan mengadili perkara baik dalam tingkat kasasi ataupun
tingkat peninjauan kembali tidak terdapat peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang apakah itu kewenangan Judex Factie
atau Judex juris, jadi istilah tersebut hanya sebatas istilah akademis
yang tidak mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.

84
b. Kewenangan hakim agung pada Mahkamah Agung dalam memeriksa
dan mengadili perkara berdasarkan pada kewenangan dengan alasan-
alasan yang secara imperatif diatur dalam UU 14 Tahun l985 Jo.
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung dan UU No. 8 Tahun l981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
c. Hakim agung pada Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili
perkara baik dalam tingkat kasasi atau peninjauan kembali dalam
proses mengambil putusan tetap mendasarkan pada fakta hukum
sebagaimana termuat dalam berkas perkara.
d. Secara substansial dengan kewenangan hakim agung pada Mahkamah
Agung sebagaimana diatur dalam undang-undang diharapkan akan
tercipta adanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan
hukum, karena seharusnya dalam setiap putusan pengadilan sudah
terkandung tentang adanya asas, nilai dan norma-norma hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Dalam hasil penelitiannya, Koordinator memberi saran:
a. Untuk kewibawaan hukum dan kepastian hukum yang berkeadilan:
Perlu dilakukan penelitian secara komprehensif untuk mengetahui
secara pasti sebab-sebab banyaknya perkara permohonan kasasi yang
membatalkan putusan peradilan dibawahnya, dan untuk mengetahui
sebab-sebab banyak permohonan peninjauan kembali yang
membatalkan putusan kasasi, selanjutnya dicarikan solusi yang tepat
untuk mengatasinya.
b. Untuk terciptanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan
hukum, maka sangat diperlukan adanya konsistensi alasan dalam
pertimbangan hukum terhadap penilaian asas, norma dan interpretasi
undang-undang dengan mengarah pada nilai-nilai keadilan masyarakat,
termasuk untuk terciptanya nilai-nilai hukum baru (rechvinding).
c. Untuk terciptanya putusan yang berkualitas, Mahkamah Agung perlu
menciptakan suatu sistem yang dapat dipakai untuk mengontrol agar
tercipta putusan yang berkualitas, antara lain: dengan perubahan
pengaturan regulasi terhadap suatuperaturan perundang-undangan
atau dengan suatu sikap Mahkamah Agung dengan mengeluarkan
peraturan Mahkamah Agung.
d. Untuk kewibawaan Mahkamah Agung, perlu dihindari adanya suatu
putusan yang saling bertentangan dan sangat diperlukan konsistensi,

85
maka dalam perkara permohonan peninjauan kembali terhadap putusan
kasasi diputus dengan majelis khusus dalam sidang pleno dengan
ketua majelis pimpinan Mahkamah Agung dan anggota majelis hakim
Ketua Muda pada Mahkamah Agun

(Sumber: http://www.litbangdiklatkumdil.net/puslitbang-hukum-dan-peradilan/dok-
kegiatan-litbangkumdil/759-mahkamah-agung-sebagai-judex-juris-ataukah-judex-
facti-kajian-terhadap-asas-teori-dan-praktek.html diakses pada tanggal 12 Oktober
2016)

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat
selesai tutorial.

Bahan Pustaka
Sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan keempat

86
PERTEMUAN XIV: TUTORIAL 9
UPAYA HUKUM LUAR BIASA

1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi upaya hukum luar biasa.
Mahasiswa mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai
permaslahan yang divisualisasikan melalui wacana “Merasa Tak Bersalah, IAS
Akan Ajukan PK”. Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa
tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan
tugas dari Mahkamah Agung.
Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai
permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.
Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht
dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata
sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang
terkandung di dalam wacana.

2. Tugas: Problem Task


Merasa Tak Bersalah, IAS Akan Ajukan PK

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief


Sirajuddin (IAS) masih akan melakukan upaya hukum pasca kasasinya dikabulkan
oleh Mahkamah Agung (MA).
Pria yang akrab disapa Aco itu berencana akan mengajukan Peninjauan
Kembali (PK) atas putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. "Secara hukum,
kami masih punya upaya hukum peninjauan kembali. Kami sejak awal nyatakan
tidak ada kesalahan, tidak ada kejahatan dan tidak cukup bukti," ucap
Pengacara IAS, Alyas Ismail kepada Rakyatku.com, Kamis (20/10/2016).
Diketahui, MA meringankan hukuman penjara IAS dari 6 tahun menjadi 4
tahun dengan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan dalam kasus dugaan
korupsi pelaksanaan kerja sama rehabilitasi dan transfer kelola air di PDAM
Makassar.
IAS divonis selama 6 tahun berdasarkan putusan banding Pengadilan
Tinggi DKI. Banding ini diajukan jaksa menyusul tak puas dengan putusan Hakim
Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan vonis 4 tahun penjara.

87
"Tidak semestinya beliau divonis bersalah dalam kasus tersebut. Itu kasus
perdata, bukan pidana," ungkap Alyas Ismail.
Alyas Ismail menjelaskan, pihaknya sudah memiliki bukti baru (novum)
yang tentunya akan meringankan tuduhan yang dialamatkan ke IAS.
"Ada bukti baru yang akan meringankan. Hukuman 4 tahun itu masih berat,
semestinya harus bebas. Kami tetap akan perjuangkan hingga bebas," demikian
Alyas.

Sumber: http://news.rakyatku.com/read/24835/2016/10/20/merasa-tak-
bersalah-ias-akan-ajukan-pk (diakses pada tanggal 12 Oktober 2016)

3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat
selesai tutorial.

Bahan Pustaka
Sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan keempat

88
PERTEMUAN XV: TUTORIAL 10
PENGERTIAN, DASAR HUKUM, ASAS-ASAS, JENIS-JENIS, PERLAWANAN
TERHADAP SITA EKSEKUSI DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi eksekusi. Mahasiswa
mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai permaslahan yang
divisualisasikan melalui wacana “Aset Belum ‘Clear’, PN Jaksel Tidak Akan
Eksekusi Yayasan Supersemar”. Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa
diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mengidentifikasi dan menjelaskan apa kendala eksekusi Yayasan Supersemar.
Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai
permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.
Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht
dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata
sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang
terkandung di dalam wacana.

a. Tugas: Problem Task


Aset Belum ‘Clear’, PN Jaksel Tidak Akan Eksekusi Yayasan Supersemar
KARTA (Pos Kota) – Eksekusi terhadap Yayasan Supersemar terkait
kewajiban bayar ganti rugi ke negara sebesar Rp4,4 triliun, seperti putusan
Mahkamah Agung (MA) akan molor.
Sebab, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan selaku eksekutor dalam
perkara perdata, tidak akan mengeksekusi selama aset-aset yang sudah
diserahkan oleh Kejaksaan selaku jaksa pengacara negara (JPN) belum ‘clear’
bahwa aset-aset yang diklaim milik Supersemar oleh JPN tidak ada kepemilikan
pihak lain.
“Jadi, disini kita bersifat pasif,” kata Juru bicara PN Jakarta Selatan Made
Sutrisna menjawab pertanyaan tentang kepastian eksekusi paksa terhadap
Yayasan Supersemar, di Jakarta, Selasa (9/2).
Menurut Made, pasif dalam pengertian PN Jaksel hanya menunggu ada
data-data pasti bahwa benda yang akan diletakan sita eksekusi milik termohon
(Supersemar).

89
“Sebagai contoh kendaraan, apakah benar surat-surat kepemilikannya,
seperti BKKB (Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor) milik termohon,” ujarnya
mengumpamakan.
Dia enggan mengomentari, apakah dengan demikian terhadap aset-aset
yang dilakukan oleh pemohon (JPN), untuk dilakukan sita eksekusi ke PN Jaksel
belum disertai bukti-bukti kepemilikan.
“Itu tugas pemohon. Kita hanya bersoifat pasif. Jika semua sudah lengkap,
tentu kita akan laksanakan sesuai perintah undang-undang,” jelas Made.
Seperti yang diterangkan sebelumnya, Selasa (2/2) menurut Made langkah
itu guna menghindari gugatan dari pihak ketiga dan /atau perlawanan dari pihak
lain.
Sita Eksekusi
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang
Setyo Wahyudi, membenarkan JPN telah menyampaikan permohonan sita
eksekusi terhadap aset tidak begerak, berupa deposito, bilyet dan giro di sejumlah
bank dan tanah di Jakarta dan Bogor. Serta, aset tidak bergerak, berupa
kendaraan ke PN Jaksel.
Sita eksekusi dimaksudkan agar aset-aset itu tidak diperjual-belikan atau
berpindah tangan, agar saat dieksekusi tidak menimbulkan masalah hukum lain.
Namun, Bambang mengingatkan permohonan sita eksekusi tidak termasuk
deposito, yang bunganya dikucurkan kepada penerima bea siswa Supersemar
hingga kini.
“Kalau untuk beasiswa enggak, tidak terkait (untuk dimintakan sita
eksekusi). Kita jamin itu,” kata Bambang kepada wartawan, di Kejagung, Selasa
(2/2).
Bambang enggan merinci aset-aset yang dimonhonkan untuk sita eksekusi
tersebut, tetapi tidak ditepis, jika salah satu asetnya itu, berupa properti Gedung
Granadi, di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Dia berjanji akan menelusuri aset-aset lainnya, bila dari perhitungan aset-
aset yang disita untuk dieksekusi nilainya belum mencukupi. “Kita akan cari terus
sampai kewajiban Supersemar ke negara tercukupi,” katanya.

90
PERTEMUAN XVI: UJIAN AKHIR SEMESTER

91
LAMPIRAN I: SILABUS

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata
3. Kode MK : BNI5338
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata
7. Deskripsi Mata Kuliah :

Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata
kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah
satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai
Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai
istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,
sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara
dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;
Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya
Hukum; Eksekusi.
Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep
hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam
masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus
yang terjadi di dalam masyarakat.

8. Capaian Pembelajaran :
Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai konsep-konsep dan
peristilahan dalam Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata, sasa-asas Acara
dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek
Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;
Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya
Hukum; Eksekusi.

92
9. Bahan Kajian
Bahan Kajian mata kuliah terdiri dari: Pendahuluan, Tindakan Sebelum dan
Selama Sidang, Proses Acara Istimewa, Proses Jawab Menjawab, Pembuktian,
Putusan, Upaya Hukum, Pelaksanaan Putusan, dan Pelaksanaan Putusan.

10. Referensi
1. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
2. Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian dalam Sistem Peradilan di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
3. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
4. Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Armico,
Bandung.
5. Darwan Prints,1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan
Perdata, CV. Armico, Bandung.
6. A.T. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata Serta Sususnan dan
Kekuasaan Peradilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
7. Lilik Mulyadi,1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata
pada Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
8. Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata, pada Pengadilan Agama,
Pustaka Pelajar, Jakarta.
9. Nur Rasaaid, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
10. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1989, Hukum
Acara Perdata Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.
11. Soeparmono, 2000, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, CV
Mandar Maju, Bandung,
12. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
13. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
14. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
15. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.

93
LAMPIRAN II: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
RPP PERTEMUAN KE I, II, III, dan IV

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata
3. Kode MK : BNI5338
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan
pertama adalah mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Pendahuluan dan
Tindakan Sebelum Sidang. Selain itu, mahasiswa dengan rasa tanggung jawab,
jujur dan demokratis terampil mengemukakan pandangan menenai Pendahuluan
dan Tindakan Sebelum Sidang Pengertian hukum Acara Perdata, Sumber-sumber
hukum Acara Perdata, Asas- Asas Hukum Acara Perdata, Susunan Badan
Kekuasaan Peradilan, Pejabat di Lingkungan Peradilan Tuntutan Hak, Isi Gugatan
dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis, Penggabungan/
Komulatif, paya untuk Menjamin Hak, Kompetensi Peradilan, Gugatan Perwakilan
dalam tutorial pada pertemua II, III dan IV.

8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Pengertian, Dasar Hukum, Azas
Hukum Acara Perdata dan Tindakan Sebelum Sidang
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan Pengertian hukum Acara Perdata, Sumber-sumber hukum
Acara Perdata, Asas- Asas Hukum Acara Perdata, Susunan Badan
Kekuasaan Peradilan, Pejabat di Lingkungan Peradilan Tuntutan Hak, Isi
Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,
Penggabungan/ Komulatif, paya untuk Menjamin Hak, Kompetensi
Peradilan, Gugatan Perwakilan.

9. Materi Pokok
a. Pendahuluan:Pengertian hukum Acara Perdata
b. Sumber-sumber hukum Acara Perdata
c. Asas- Asas Hukum Acara Perdata
d. Susunan Badan Kekuasaan Peradilan

94
e. Pejabat di Lingkungan Peradilan
f. Tindakan Sebelum dan Selama Sidang
g. Tuntutan Hak
h. Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya
i. Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis
j. Penggabungan/ Komulatif
h. Upaya untuk Menjamin Hak
i. Kompetensi Peradilan
j. Gugatan Perwakilan

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar


a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol.
c. Bahan bacaan/pustaka.

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran


Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu

Pendahuluan Dosen mengkondisinkan 20 Menit


mahasiswa untuk siap
menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal
mahasiswa, menjelaskan RPS,
RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan
ulasan umum isi
Block Book dan materi
Pendahuluan dan Tindakan
Sebelum Sidang Memfasilitasi
pembentukan kelompok diskusi
(FGD)
untuk tutorial.

95
Kegiatan Inti Dosen melalui media 60 Menit
pembelajaran LCD
mendeskripsikan mengenai
ruanglingkup Dasar-dasar Hukum
Acara dan Praktek Perdadilan
Perdata.
Mahasiswa dengan rasa ingin
tahu, tangung jawab
dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam
bentuk catatan serta
menambahkan informasi
pelengkap dari sumber.
Mahasiswa secara mandiri
dengan cerdas dan
tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai
hasil analisis terkait dengan
Pengertian hukum Acara Perdata,
Sumber-sumber hukum Acara
Perdata, Asas- Asas Hukum
Acara Perdata, Susunan Badan
Kekuasaan Peradilan, Pejabat di
Lingkungan Peradilan Tuntutan
Hak, Isi Gugatan dan Dasar
Hukumnya, Gugatan Lisan dan
Gugatan Tertulis, Penggabungan/
Komulatif, paya untuk Menjamin
Hak, Kompetensi Peradilan,
Gugatan Perwakilan
Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 Menit
secara bertanggung
jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil
pembelajaran.
Dosen memberikan penguatan,

96
evaluasi, dan tugas
untuk mempelajari lebih
mendalam Pengertian hukum
Acara Perdata, Sumber-sumber
hukum Acara Perdata, Asas- Asas
Hukum Acara Perdata, Susunan
Badan Kekuasaan Peradilan,
Pejabat di Lingkungan Peradilan
Tuntutan Hak, Isi Gugatan dan
Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan
dan Gugatan Tertulis,
Penggabungan/ Komulatif, paya
untuk Menjamin Hak, Kompetensi
Peradilan, Gugatan Perwakilan
Untuk memahami materi dalam
tutorial pada pertemuan
berikutnya.

13. Tugas

a. Apa itu hukum materiil dan hukum formil?


b. Apakah setiap perbuatan yang tidak melalui lembaga perdailan adalah
merupakan pernuatan main hakim sendiri?
c. Apakah PERMA dan SEMA merupakan sumber hukum?
d. Kenapa hukum dizaman colonial masih tetap diperlakukan di Indonesia?
e. Apa perbedaan hukum acara dengan materiil?
f. Bagaimana perbedaan asas hakim pasif dengan asas hakim bersifat
menunggu
g. Identifikasi semua assas yang mempunyai tujuan yang sama yaitu asas
hakim bersikap objektif
h. Apa yag dimaksud dengan judex factie?
i. Apa Arti gugatan lisan?
j. Apa yang dimaksud dengan identitas para pihak? Coba Sebutkan Identitas
diri sendiri dengan kedudukan sebagai penggugat?
k. Apa Hubungan Posita dengan Petitum gugatan?
l. Apa sebab disebut dengan sita jaminan?

97
m. Apakah semua macam sita dapat dikatakan sita jaminan
n. Apa yang tidak dimungkinkan untuk melakukan komulasi subjektif dan
objektif

14. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0, 5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indicator
jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator yang
dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills


No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan
1 Kejujuran
2 Tanggung Jawab
3 Disiplin
4 Kreatifitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


a. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
b. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
c. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
d. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
e. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
f. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
g. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
h. M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta.

Pengampu Mata Kuliah

98
RPP PERTEMUAN KE V, VI, VII
1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum
2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata
3. Kode MK : BNI5338
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kelima adalah
mahasiswa mampu menguasai Alur Acara Istimewa dan Proses Jawab Menjawab
Selain itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan
demokratis terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan keenam dan ketujuh
adalah mahasiswa mampu mendiskusikan mengenai Pemanggilan Secara Patut,
Acara Istimewa, Mediasi Litigasi, Perubahan dan Pencabutan Gugatan Jawaban
Gugatan, Replik Duplik, Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses. Selain itu,
mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis terampil
mengemukakan pandangannya dalam tutorial.

8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Alur Acara Istimewa dan Proses
Jawab Menjawab.
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan Pemanggilan Secara Patut, Acara Istimewa, Mediasi Litigasi,
Perubahan dan Pencabutan Gugatan Jawaban Gugatan, Replik Duplik,
Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses.

9. Materi Pokok
a. Proses Acara Istimewa
b. Pemanggilan Secara Patut
c. Acara Istimewa
d. Mediasi Litigasi
e. Perubahan dan Pencabutan Gugatan
f. Proses Jawab Menjawab
g. Jawaban Gugatan

99
h. Replik Duplik
i. Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

1. Media, Alat dan Sumber Belajar


a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol.
c. Bahan bacaan/pustaka.

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu

Pendahuluan Dosen mengkondisinkan 20 Menit


mahasiswa untuk siap
menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal
mahasiswa, menjelaskan RPS,
RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan
ulasan umum isi
Block Book dan materi
Memfasilitasi pembentukan
kelompok diskusi (FGD)
untuk tutorial.
Kegiatan Inti Dosen melalui media 60 Menit
Pembelajaran LCD
Mendeskripsikan Alur Acara
Istimewa dan Proses Jawab
Menjawab. Mahasiswa dengan
rasa ingin tahu, tangung jawab
dan jujur menganalisis,

100
mendeskripsikan dalam bentuk
catatan serta menambahkan
informasi pelengkap dari sumber.
Mahasiswa secara mandiri
dengan cerdas dan tanggun jawab
menyajikan secara lisan mengenai
hasil analisis terkait dengan Alur
Acara Istimewa dan Proses Jawab
Menjawab.
Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 Menit
secara bertanggung
jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil
pembelajaran.
Dosen memberikan penguatan,
evaluasi, dan tugas
untuk mempelajari lebih
mendalam Pemanggilan Secara
Patut, Acara Istimewa, Mediasi
Litigasi, Perubahan dan
Pencabutan Gugatan Jawaban
Gugatan, Replik Duplik, Mengikut
sertakan Pihak Ketiga Dalam
Proses untuk memahami materi
dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya.

13. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0, 5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indicator
jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator yang
dibuat oleh dosen.
13. Tugas
a. Apa akibat hokum bila tidak dilakukan pemanggilan secara patut?
b. Apakah setiap putusan verstek mengalahkan tergugat?

101
c. Apa Tujuan diadakan Mediasi?
d. Benarkah Mediasi Litigasi dapat memperlancar jalur keadilan?
e. Sebutkan tahapan-tahapan pemeriksaan perkara dlam sidang?
f. Apa saja yang harus dimuat dalam jawaban gugatan?
g. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?
h. Apa persyaratan diajukan gugatan Reconvensi?
i. Apa perbedaan Antara intervensi dengan bentuk-bentuk masuknya pihak
ketiga yang lain?

14. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung Jawab
3 Disiplin
4 Kreatifitas
5 Berkomunikasi

15. Sumber Belajar


a. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
b. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
c. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
d. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
e. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
f. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
g. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
h. M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta.

Pengampu Mata Kuliah

102
RPP PERTEMUAN KE VIII
UJIAN TENGAH SEMESTER

103
RPP PERTEMUAN KE IX, X, dan XI
1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum
2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata
3. Kode MK : BNI5338
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kesembilan adalah
mahasiswa mampu menguasai Pembuktian dan Putusan, jujur dan demokratis
terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kesepuluh dan
kesebelas adalah mahasiswa mampu mendiskusikan mengenai Pengertian,
Beban Pembuktian dan Alat-alat Bukti Pengertian putusan, Sistematika Putusan,
Asas-asas Putusan, Jenis-jenis Putusan dan Kekuatan Putusan, mahasiswa
diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis terampil
mengemukakan pandangannya dalam tutorial.

8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Pembuktian dan Putusan.
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan Pengertian, Beban Pembuktian dan Alat-alat Bukti
Pengertian putusan, Sistematika Putusan, Asas-asas Putusan, Jenis-jenis
Putusan dan Kekuatan Putusan.

9. Materi Pokok
a. Pengertian,
b. Beban Pembuktian
c. Alat-alat Bukti P
d. engertian putusan
e. Sistematika Putusan
f. Asas-asas Putusan
g. Jenis-jenis Putusan
h. Kekuatan Putusan

104
10. Metode Pembelajaran
a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar


a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol.
c. Bahan bacaan/pustaka.

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran


Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu

Pendahuluan Dosen mengkondisinkan 20 Menit


mahasiswa untuk siap
menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal
mahasiswa, menjelaskan RPS,
RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan
ulasan umum isi
Block Book dan materi
Pembuktian dan Putusan
Memfasilitasi pembentukan
kelompok diskusi (FGD)
untuk tutorial.
Kegiatan Inti Dosen melalui media 60 Menit
pembelajaran LCD
Mendeskripsikan mengenai
ruanglingkup Pembuktian dan
Putusan.
Mahasiswa dengan rasa ingin
tahu, tangung jawab
dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam
bentuk catatan serta

105
menambahkan informasi
pelengkap dari sumber.
Mahasiswa secara mandiri
dengan cerdas dan
tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai
hasil analisis terkait dengan
Pengertian, Beban Pembuktian
dan Alat-alat Bukti Pengertian
putusan, Sistematika Putusan,
Asas-asas Putusan, Jenis-jenis
Putusan dan Kekuatan Putusan.
Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 Menit
secara bertanggung
jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil
pembelajaran.
Dosen memberikan penguatan,
evaluasi, dan tugas
untuk mempelajari lebih
mendalam Pengertian, Beban
Pembuktian dan Alat-alat Bukti
Pengertian putusan, Sistematika
Putusan, Asas-asas Putusan,
Jenis-jenis Putusan dan Kekuatan
Putusan untuk memahami materi
dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya.

13. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0, 5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indicator
jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator yang
dibuat oleh dosen.

106
14. Tugas

a. Apa perbedaan alat bukti yang diatur dalam HIR/R.Bg dengan alat bukti yang
diatur dalam KUHPerdata?
b. Apa Hubungan Alat Bukti dengan Posita Gugatan?
c. Apa perbedaan sumpah tambahan dengan sumpah putusan?
d. Mungkinkah apa yang diucapkan oleh hakim berbeda dengan apa yang
tertulis dalam vonis?
e. Apa yang dimaksud dengan kekuatan mengikat dari putusan pengadilan?
f. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?
g. Apa yang harus dilakukan oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan?

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung Jawab
3 Disiplin
4 Kreatifitas
5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar


a. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
b. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
c. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
d. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
e. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
f. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
g. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
Pengampu Mata Kuliah

107
RPP PERTEMUAN KE XII, XIII, XIV, dan XV
1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum
2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha
Negara
3. Kode MK : BNI6349
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Administrasi Negara
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan keduabelas adalah
mahasiswa mampu menguasai Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan. Selain
itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis
terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan ketigabelas,
Keempatbelas dan kelimabelas adalah mahasiswa mampu mendiskusikan
mengenai Upaya Hukum Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa Pengertian, Dasar
Hukum, Asas-asas, Jenis-jenis, Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi dan
Pelaksanaan Putusan. Selain itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung
jawab, jujur dan demokratis terampil mengemukakan pandangannya dalam tutorial.

8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Upaya Hukum dan Pelaksanaan
Putusan
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan pengertian Upaya Hukum Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa
Pengertian, Dasar Hukum, Asas-asas, Jenis-jenis, Perlawanan Terhadap
Sita Eksekusi dan Pelaksanaan Putusan

9. Materi Pokok
a. Putusan
b. Upaya Hukum dan
c. Eksekusi.

10. Metode Pembelajaran


a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

108
11. Media, Alat dan Sumber Belajar
a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol.
c. Bahan bacaan/pustaka.

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran


Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu

Pendahuluan Dosen mengkondisinkan 20 Menit


mahasiswa untuk siap
menerima perkuliahan,
menemukan perilaku awal
mahasiswa, menjelaskan RPS,
RPP, Silabus, dan
Kontrak Perkuliahan. Memberikan
ulasan umum isi
Block Book dan materi Putusan,
Upaya Hukum, dan Eksekusi.
Memfasilitasi pembentukan
kelompok diskusi (FGD) untuk
tutorial.
Kegiatan Inti Dosen melalui media 60 Menit
pembelajaran LCD
mendeskripsikan mengenai
ruanglingkup Dasar-dasar Hukum
Acara dan Praktek Perdadilan
Perdata.
Mahasiswa dengan rasa ingin
tahu, tangung jawab dan jujur
menganalisis, mendeskripsikan
dalam bentuk catatan serta
enambahkan informasi pelengkap
dari sumber.

109
Mahasiswa secara mandiri
dengan cerdas dan
tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis
terkait dengan pengertian
Upaya Hukum Biasa, Upaya
Hukum Luar Biasa Pengertian,
Dasar Hukum, Asas-asas, Jenis-
jenis, Perlawanan Terhadap Sita
Eksekusi dan Pelaksanaan
Putusan
Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 Menit
secara bertanggung jawab dan
logis menyimpulkan proses dan
hasil pembelajaran.
Dosen memberikan penguatan,
evaluasi, dan tugas mempelajari
lebih mendalam Upaya Hukum
Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa
Pengertian, Dasar Hukum, Asas-
asas, Jenis-jenis, Perlawanan
Terhadap Sita Eksekusi dan
Pelaksanaan Putusan untuk
memahami materi dalam tutorial
pada pertemuan berikutnya.

13. Pedoman Penskoran


a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.
b. Skor 0, 5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indicator
jawaban dosen.
c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator yang
dibuat oleh dosen.
14. Tugas
a. Apa sebenarnya dimaksud dengan novum dalam peninjauan kembali?
b. Kenapa upaya hokum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi?
c. Kenapa perlawanan terhadap sita eksekusi tidak menghentikan eksekusi?
d. Bagaimana prosedur dari pelaksanaan eksekusi?

110
15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan


1 Kejujuran
2 Tanggung Jawab
3 Disiplin
4 Kreatifitas
5 Berkomunikasi

15. Sumber Belajar


a. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
b. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
c. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
d. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
e. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
f. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
g. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
Pengampu Mata Kuliah

111
LAMPIRAN III: KONTRAK PERKULIAHAN

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata
3. Kode MK : BNI5338
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata merupakan mata kuliah wajib. Karena
itu, mata kuliah ini bermanfaat bagi mahasiswa yaitu:
a. Dapat memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sebagai warga
Negara dalam hubungan dengan sesama warga negara dan dengan
Negara;
b. Dapat memahami seluk-beluk istilah, pengertian dan asas-asas Hukum
Acara dan Praktik Peradilan Perdata; dan
c. Kemampuan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan
Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata yang timbul dalam kehidupan
bermasyarakat.

8. Diskripsi Perkuliahan
Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata
kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah
satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai
Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai
istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,
sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara
dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;
Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya
Hukum; Eksekusi.
Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep
hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam
masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus
yang terjadi di dalam masyarakat.

9. Capaian Pembelajaran:

112
Pada akhir perkuliahan mata kuliah ini mahasiswa menguasai pengetahuan
mengenai seluk-beluk istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek
Peradilan Perdata, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah
pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan
Persiapan Sebelum Sidang; Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa;
Pembuktian, Putusan; Upaya Hukum; Eksekusi dan mengembangkan sikap
religius, rasa ingin tahu, kritis, logis dalam menyelesaikan masalah-masalah
kewarganegaraan serta peduli terhadap lingkungan masyarakat.

10. Organisasi Materi


Materi kuliah pada Hukum Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata
terdiri dari beberapa pokok bahasan serta sub pokok bahasan, yang dapat
digambarkan sebagai berikut :
Pendahuluan:
 Pengertian hukum Acara Perdata
 Sumber-sumber hukum Acara Perdata
 Asas- Asas Hukum Acara Perdata
 Susunan Badan Kekuasaan Peradilan
 Pejabat di Lingkungan Peradilan

Tindakan Sebelum dan Selama Sidang


 Tuntutan Hak
 Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya
 Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis
 Penggabungan/ Komulatif
 Upaya untuk Menjamin Hak
 Kompetensi Peradilan
 Gugatan Perwakilan

Proses Acara Istimewa


 Pemanggilan Secara Patut
 Acara Istimewa
 Mediasi Litigasi
 Perubahan dan Pencabutan Gugatan

Proses Jawab Menjawab


 Jawaban Gugatan
 Replik Duplik
 Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses

Pembuktian
 Pengertian
 Beban Pembuktian
 Alat-alat Bukti

113
Putusan
 Pengertian putusan
 Sistematika Putusan
 Asas-asas Putusan
 Jenis-jenis Putusan
 Kekuatan Putusan

Upaya Hukum
 Upaya Hukum Biasa
 Upaya Hukum Luar Biasa

Pelaksanaan Putusan
 Pengertian
 Dasar Hukum
 Asas-asas
 Jenis-jenis
 Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi
 Pelaksanaan Putusan

11. Strategi Perkuliahan

Metode perkuliahan yang dipakai adalah dengan ceramah, diskusi, Tanya


jawab dan tugas terstruktur. Ceramah diberikan pada awal kuliah untuk
memberikan gambaran tentang materi yang akan dibahas. Tanya jawab dilakukan
pada saat perkuliahan berlangsung baik pada awal kuliah, pertengahan maupun
akhir kuliah. Sedangkan diskusi dilakukan untuk topik-topik tertentu yang dilakukan
dalam rangka menemukan pemecahan terhadap suatu masalah. Penilaian juga
dilakukan melalui pemberian tugas-tugas selama masa perkuliahan sebelum dan
dan setelah UTS. Dengan demikan, keseluruhan tatap muka pertemuan untuk
perkuliahan, tutorial dan ujian-ujian berjumlah 15 kali. Penilaian meliputi aspek
hard skills dan soft skills.

12. Tugas-tugas
Tugas-tugas dalam perkuliahan dalam satu semester terdiri dari:
a. Tugas-tugas latihan yang terdapat pada setiap sesi penutup
kegiatan pembelajaran seagai media evaluasi atas capaian
pembelajaran atas satu bahan kajian; dan
b. Tugas-tugas yang terdapat pada setiap kegiatan tutorial yang
divisualisasi dengan kasus-kasus untuk mencapai capaian
kemampuan akhir yang direncanakan pada setiap pertemuan.

114
13. Kriteria Penilaian
Penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat Pedoman
Pendidkan Fakultas Hukum Unud tahun 2013.

14. Jadwal Perkliahan


Jadwal perkuliahan sudah ditentukan di dalam Block Book.

15. Tata Tertib Perkuliahan


a. Tata tertib perkuliahan sesuai dengan Pedoman Etika Dosen, Pegawai
(Administrasi) dan Mahasiswa yang ditetapkan dalam Buku Pedoman
Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Bab VII,
poin 4 huruf c.
b. Batas toleransi keterlambatan yaitu 15 menit. Apabila dosen dan
mahasiswa terlambat daripada batas toleransi, maka akan dikenakan
sanksi, kecuali ada pemberitahuan atas keterlambatan tersebut.

Koordinator Kelas, Dosen Pengampu

………………………………… …………………………………
Mengetahui
Ketua Bagian Acara,

………………………………………..

115

Você também pode gostar