Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
BUKU AJAR
Penyusun
Dr. I Ketut Tjukup, SH., MH
Dr. Nyoman Rai Asmara Putra, SH., MH
I Ketut Artadi, SH., SU
Nyoman. A Martana, SH., MH
I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, SH., MH
Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn
I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH
Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH
Nyoman Wicaksana Wirajati, SH., LLM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karuniaNya,
Buku Ajar Hukum Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata berhasil diselesaikan.
Buku Ajar ini adalah merupakan hasil Revisi dari penggabungan block book Tahun
2012 dan juga Buku Ajar Tahun 2006 yang dimaksudkan untuk memperbaiki format,
mereformulasi jenis-jenis tugas serta pemutahiran substansi dan referensi. Buku Ajar
mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini dimaksudkan sebagai
buku pedoman pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun bagi
dosen dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai dengan
rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.
Substansi Buku Ajar meliputi identitas mata kuliah, tim pengajar, deskripsi mata kuliah,
organisasi materi, metode dan strategi pembelajaran, tugas-tugas, ujian-ujian,
penilaian, dan bahan bacaan. Selain itu terdapat pula kegiatan pembelajaran yang
dilakukan pada setiap pertemuan berdasarkan pada jadwal kegiatan pembelajaran.
Buku Ajar ini dilengkapi dengan Kontrak Perkuliahan dan Satuan Acara Perkulianan
yang ditempatkan pada lampiran.
Dengan selesainya revisi ini, sepatutnya diucapkan terima kasih yang tulus kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Pembantu Dekan
yang telah berkomitmen dan konsisten untuk menerapkan metode problem
based learning dalam proses pembelajaran, sehingga setiap mata kuliah
diupayakan memiliki pegangan berupa buku ajar/block book.
2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian buku ajar ini
Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan pada buku ajar
ini. Semoga bermanfaat terhadap pelaksanaan proses pembelajaran dan mencapai
hasil sesuai dengan kompetensi yang direncanakan.
ii
SAMBUTAN DEKAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
Puja dan Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, atas anugrah dan karunianya, akhirnya Buku Ajar Hukum Acara
dan Praktek Peradilan Perdata, sebagai materi ajar dalam proses pembelajaran Hukum
Acara dan Praktek Peradilan Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana dapat
diterbitkan.
Terbitnya Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini,
merupakan hasil jerih payah dari penulis sehingga perlu diberikan penghargaan dan
apresiasi yang mendalam. Terbitnya Buku Ajar ini juga diharapkan agar penulis mampu
secara berkesinambungan mengkaji perkembangan terkini dari hukum yang berkaitan
dengan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata.
Akhir kata, pada kesempatan ini kami menyamapikan terima kasih dan
penghargaan kepada para penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan
Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini. Semoga para penulis terus
menumbuh kembangkan karyanya dan melahirkan ciptaan-ciptaan buku lainnya untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum.
iii
DAFTAR ISI
iv
I IDENTITAS MATA KULIAH
Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata
kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah
satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai
Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai
istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,
sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara
dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;
Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya
Hukum; Eksekusi.
Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep
hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam
masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus
yang terjadi di dalam masyarakat.
2
III. TUJUAN MATA KULIAH
Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata merupakan mata kuliah yang
bersifat teoritis dan praktis, sebagai pendalaman dari mata kuliah lain dalam
kelompok mata kuliah keahlian hukum, terutama Hukum Acara, khususnya
substansiHukum Perdata. Karena itu, Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata
selain memberikan manfaat teoritis bagi mahasiswa, yakni mahasiswa dapat
memahami seluk-beluk istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan
Praktek Peradilan Perdata, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata,
sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia;
Tindakan Persiapan Sebelum Sidang; Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara
Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya Hukum; Eksekusi.
Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata merupakan mata kuliah
pilihan yang ditawarkan pada semester 3. Berdasarkan pada Keputusan Rektor
Universitas UdayanaNomor : 980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman
Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013 dan Keputusan
Rektor Universitas Udayana Nomor: 849/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Kurikulum
Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Hukum Acara dan Praktek
Peradilan Perdata dipersyarati dengan mata kuliah Hukum Perdata.
3
VI. ORGANISASI MATERI
Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan,
yang dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pendahuluan:
a. Pengertian hukum Acara Perdata
b. Sumber-sumber hukum Acara Perdata
c. Asas- Asas Hukum Acara Perdata
d. Susunan Badan Kekuasaan Peradilan
e. Pejabat di Lingkungan Peradilan
5. Pembuktian
a. Pengertian
b. Beban Pembuktian
c. Alat-alat Bukti
6. Putusan
a. Pengertian putusan
b. Sistematika Putusan
4
c. Asas-asas Putusan
d. Jenis-jenis Putusan
e. Kekuatan Putusan
7. Upaya Hukum
a. Upaya Hukum Biasa
b. Upaya Hukum Luar Biasa
8. Pelaksanaan Putusan
a. Pengertian
b. Dasar Hukum
c. Asas-asas
d. Jenis-jenis
e. Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi
f. Pelaksanaan Putusan
5
Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas, baik discussion task, study task,
maupun problem task sebagai bagian dari self study. Tugas-tugas dikerjakan
sesuai dengan petunjuk yang terdapat pada setiap jenis tugas-tugas. Kemudian
presentasi dan berdiskusi di kelas tutorial.
VIII. TUGAS-TUGAS
Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk essay dalam masa tengah
semester dan akhir semester. Ujian tengah semester (UTS) dapat diberikan pada
saat tutorial atas materi perkuliahan nomor 1 dan 2. UTS dapat diganti dengan
menggunakan nilai tutorial 1, 2, 3, 4, dan 5 dari perkuliahan 1 dan 2. Sedangkan
ujian akhir semester ( UAS ) dilakukan atas materi perkuliahan 3 dan 4 dan tutorial
6, 7, 8, 9, dan 10 yang dilakukan pada pertemuan ke-16.
Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills. Penilaian hard skill
dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan UAS. Penilaian soft skill meliputi
penilaian atas kehadiran, keaktifan, kemampuan presentasi, penguasaan materi,
argumentasi, disiplin, etika dan moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap
muka selama perkuliahan dan tutorial. Nilai soft skill ini merupakan nilai tutorial
yang dijadikan sebagai nilai tugas. Nilai Akhir Semester (NA) diperhitungkan
menggunakan rumus seperti pada Buku Pedoman FH UNUD 2013, yaitu
(UTS + TT ) + 2 (UAS)
2
NA =
3
6
Skala Nilai Penguasaan Keterangan dengan skala
nilai
Kompetisi
Huruf Angka 0-10 0-100
X. BAHAN PUSTAKA
8
Menjawab
6 VI Pemanggilan Secara Patut, Acara Tutorial 4
Istimewa, Mediasi Litigasi, Perubahan dan
Pencabutan Gugatan
9
PERTEMUAN I: PERKULIAHAN 1
PENDAHULUAN, DAN TINDAKAN SEBELUM SIDANG
1. Pendahuluan
Pertemuan pertama pada perkuliahan ini akan disajikan pemahaman
mengenai pengertian hukum acara secara umum, pengertian hukum acara
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama
adalah mahasiswa mampu menguraikan mengenai pemahaman hukum acara
secara umum, pengertian hukum acara perdata, yaitu sebagai hukum formil yang
bertujuan untuk melaksanakan atau menjamin ditatainya hukum perdata materiil.
Dalam pertemuan ini pula dibahas mengenai asas-asas hukum acara perdata yang
merupakan fundamen untuk mempelajari hukumacara perdata lebih lanjut, sumber-
sumber hukum acara perdata yang sampai saat ini masih menggunakan sumber-
sumber hukum acara perdata dijaman colonial, peraturan perundang-undangan
yang baru menyangkut tentang hukum formil, Susunan Badan Kekuasaan
Peradilan, serta Pejabat di Lingkungan Peradilan.
Sedangkan pada tindakan sebelum siding dibahas Perbedaan Gugatan dan
Permohonan, Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan
Tertulis, Penggabungan/ Komulatif, Upaya untuk Menjamin Hak, Kompetensi
Peradilan, serta Gugatan Perwakilan
Materi perkuliahan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata ini sangat
penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-
tugas tutorial dalam pertemuan kedua dan ketiga. Selain itu juga menghindari
terjadinya pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang berulang kali
diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan kedua, ketiga dan keempat.
10
Menurut UU nomor 48 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU nomor 4
Taun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa, suatu sengketa juga
dapat diselesaikan diluar lembaga peradilan (non litigasi) yang disebut dengan
penyelesaian sengketa secara alternative. Disamping itu juga perlu dibaca pasal
666 KUHperdata.
Ada beberapa pendapat ahli berkaitan dengan pengertian Hukum Acara Perdata
diantaranya:
1. Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang
mengatur bagaimmana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim.1
2. Abdulkadir Muhamad, mengemukakan bahwa hukum acara perdata
peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum
perdata.
3. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa hukum acara perdata adalah
sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang yang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, dan cara
bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.2
4. R. Supomo, memberikan pengertian bahwa dalam hokum acara perdata
hakim melaksanakan tugasnya untuk mempertahankan tata hokum perdata
(burgerlijke rechts orde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hokum
dalam suatu perkara.3
5. Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa hukum acara perdata adalah
merupakan ketentuan hukum yang mengatur bagaimana proses seseorang
untuk berperkara perdata di depan sidang pengadilan serta bagaimanakah
proses hakim (pengadilan) menerima, memeriksa serta memutus perkara
4
dalam rangka memperthankan eksistensi hukum perdata materiil.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum acara perdata bukan
hukum yang berdiri sendiri, karena hukum acara perdata tidak dapat dilepaskan
dengan hukum perdata materiil atau dengan kata lain, hukum acara perdata tidak
akan ada artinya atau tidak berfungsi jika tidak ada hukum perdata materiil.
11
Demikian sebaliknya hukumperdata materiil tidak akan dapat lancar tanpa peranan
hukum acara perdata.
5 Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 16-17
12
a. Menurut Undang-undang darurat nomor tahun 1961, masih ditunjukan
Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut HIR) atau
reglemen Indonesia yang diperbaharui Stb.1848 Nomor 16, Stb. 1941
Nomor 44 yang hanya berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura,
serta Reglement Buitengewestwn (selanjutnya disebut Rbg) atau
reglemen daerah Seberang Stb. 1927 Nomor 227 yang berlaku untuk
daerah luar pulau jawa dan Madura.
b. Reglement op de Burgelijk rechtvordering (selanjutnya disenut RV atau
BRV) Stb. 1847 No. 52 Stb. 1849 nomor 63. Namun hal ini hanya
berlaku untuk mereka yang tunduk pada hukum eropa. Oleh karenanya
hal ini hanya sebagai pedoman.
c. Reglement op de Rechteelijke Organisasi in het beleid der jutitie ind
Indonesie atau reglement tentang kekuasaan kehakiman. Hal ini juga
hanya berlaku untuk golongan Eropa. Oleh karenanya hanya sebagai
pedoman.
d. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).
e. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
f. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan peraturan pemerintah No
10 tahun 1983
g. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
h. Yurisprudensi Mahkamah agung
i. Hukum Adat
j. Traktat
k. Doktrin
l. Peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung, seperti Peraturan
Mahkamah agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.
13
atau masuknya perkara (iudek ne procedat ex officio). Tidak ada hakim jika
tidak ada tuntutan hak (nommo judex sine actore). Proses perkara baru aka
nada jika yang berkepentingan mengajukan kepada hakim (pengadilan) dan
oleh hakim perkara yang masuk diproses sesuai hukum yang berlaku.
b. Asas hakim tidak boleh Menolak Perkara (ius curia novit)
Jika inisiatif tentang datang dari pihak yang berkepentingan serta tuntutan
hak telah diajukan kepada hakim atau ke pengadilan, maka hakim tidak
boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya atau
hukumnya kurang jelas. Dalam hal ini hakim dianggap tahu hukumnya (ius
curia novits). Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
mengatur bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya. Sedangkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman mengatur bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hkum yang hidup dalam masyarakat.
Oleh karenanya hakim harus terus mengikuti perkembangan hukum serta
mengahayti dan melaksanakan nilai-nilai hukum yang ada dalam
masyarakat..
c. Asas Hakim Pasif.
Asas ini mengandung arti bahwa hakim dalam memeriksa suatu perkara
adalah bersikap pasif, artinya ruang lingkup atau luas perkara yang
diajukan ke pengadilan untuk diperiksa oleh hakim adalah ditentukan oleh
para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya
membantu para pihak pencari keadilan untuk mengatasi segala hambatan
dan rintangan agar tercapainya peradilan yang sesuai dengan Trilogi
Peradilan.6 Sehubungan dengan asas ini perlu mendapat perhatiian pasal
178 HIR/189 R.Bg. yang pada pokoknya menentukan hakim wajib
mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap
sesuatu yang tidak dituntut atau mangbulkan lebih dari pada yang dituntut.
Para pihak yang berperkara juga bebas untuk mengajukan atau tidak
mengajukan upaya hukum, bahkan dapat mengakhiri sengketa kapan saja
dengan perdamaian tanpa persetuujuan hakim.7 Dalam asashakim pasif ini
juga mengandung asas hakim aktif misalnya agar persidangan berjalan
14
dengan aman dan lancar, menunda persidangan, memerintah pembuktian,
menjelaskan mengenai upaya hukum dan sebagainya.
d. Asas Verhandelung Maksim
Asasini berhubugan dengan pembuktian dalam hukum acara perdata. Oleh
karenanya lebih lanjut akan diuraikan dalam pokok bahasan pembuktian.
Asas ini mengandung arti bahwa proses pembuktian dalam hukum acara
perdata adalah merupakan kewjiban penggugat dalam membuktikan dalil-
dalil gugatannya dan tergugat dalam membuktikan dalil-dalil bantahannya.
e. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum
Tujuan asas ini adalah untuk menjamin objektifitas daripada persidangan
pengadilan karena adanya control social dari masyarakat luas, menghindari
subjektifitas dari hakim dalam memeriksa perkara. Demikian juga putusan
hakim harus diucapkan didepan sidang terbuka untuk umum.
Namun terhadap sidang-sidang yang berkaitan dengan kesusilaan seperti
perkara perceraian menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 serta
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 sidang perceraian dilakukan dalam
sidang yang tertutup untuk umum. Demikian pula halnya dengan sengketa-
sengketa rahasia dagang juga dapat dilakukan secara tertutup sesuai
dengan UU No 30 Tahun 2000.
f. Asas Audi at Alteram Parterm
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak harus diperlakukan sama di
depan hukum. Hal ini juga mengadung maksud hakim harus bersifat objektif
di dalam menangani suatu perkara, tidal boleh memihak atau bersikap
subjektif. Diperlakukan sama juga berarti para pihak harus diberiakn
kesempatan yang sama baik pada saat pemeriksaan perkara dalam
persidangan maupun pada saat pembuktian. (pasal 1221, 132 HIR/ psal
145, 147 R.Bg)
g. Asas Actor Sequituur Forum Rei
Asas ini mengandung arti bahwa gugatan diajukan pada pengadilnn di
wilayah hukum diaman tergugat bertempat tinggal. Jikahal ini dihubungkan
dengan kewenangan mengadili (kompetensi) hal ini merupakan kompetensi
relative. Dalam hukum cara dikeanal adanya 2 kompetensi yaitu absolute
dan relative. Asas ini juga mengenal beberpa pengecualian, yang akan
dibahas lebih lanjut dalam kompetensi /kewenangan mengadili.
h. Asas Putusan Harus Disertai dengan alasan.
Hakim didalam menjatuhkan putusan harus disetai degan alasan. Hal ini
juga bertujuan agar hakim bersifat objektif, dengan memeberikan alasan
15
dan pertimbangan yang cukup terhadap putusan yang dijatuhkannya. Hal
ini bukan saja merupakan pertranggungjawaban hakim kepada para pihak
yang berperkara, akan tetapi juga pertanggungjawaban hakim kepada
masyarakat, Pengadilan yang lebih tinggi oleh Sudikno Mertokusumo
mengemukakan itu artinya mempunyai nilai objektif. 8 Dengan disertai
alasan yang kuat dalam suatu putusan tersebut mempunyai wibawa dan
tidak mudah untuk dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
i. Asas Berperkara Kena Biaya
Berdasarkan ketentuan Pasal 121 ayat (4), Pasal 182, 183, HIR/ Pasal 145
ayat (4), 192, 194 R.Bg. berperkara dikenakan biaya. Biaya- biaya perkara
ini adalah diperuntukan:
- Biaya kepaniteraan;
- Biaya pemanggilan/ pemberitahuan;
- Biaya materai dll.
Bagi mereka yang tidak mampu, dapat berperkara dengan Cuma- Cuma
atau tanpa biaya yang disebut berperkara secara Prodeo demikian
ditentukan dalam pasal 271-274 R.Bg/ 235-238 HIR. Sudah tentu harus
dilengkapi dengan surat keterangan tidak mampu dari aparat yang
berwenang untuk itu.
16
sesuatunya dapat berjalan dengan lancer dan putusan dijatuhkan dengan
seadil-adilnya.9
k. Asas Hakim Majelis
Asas hakim majelis dapat dilihat dalam pasal 11 Undang-undang Kekuasan
Kehakiman.
l. Asas Trilogi Peradilan
Asastrilogi peradilan dimaksudkan adlah dalam proses pemeriksaan
perkara harus memperhatikan tiga hal yaitu:
- Sederhana;
- Cepat;
- Biaya ringan
17
6. Pejabat Dilingkungan Peradilan
Disamping hakim yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara
dilingkungan peradilan atau yang berwenang untukmelakukan kekuasaan
kehakiman, masih ada beberapa pejabat lainnya yaitu panitera (griffier). Dalam
setiap pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang terdiri dari seorang
panitera, seorang wakil panitera, beberapa panitera muda dan beberapa panitera
engganti. Serta juru sita (deurwaarder) dan juru sita pengganti. Panitera bertugas
untuk menyelenggarakan administrasi peradilan dan mengikuti semua lajannya
persidangan, dengan membuat berita acara (proses verbal), termasuk untuk
melaksanakan putusan, yang dibantu oleh juru sita. Sedangkan tugas juru sita
adalah untuk melakukan pemanggilan atau pemberitahuan.
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti serta juru sat
diangkat ileh Menteri Kehakiman. Sedangkan juru sita pengganti diangkat oleh
Ketua Pengadilan.
18
Untuk mrngajukan suatu perkara kepada hakim, (pengadilan) memerlukan
persiapan yang sangat matang, disamping harus mempelajari kasus posisinya
dengan seksama.
Hal yang utama harus dilihat terlebih dahulu sebagai suatu proses tindakan
persiapan sebelum sidang, adlaah “apakah orang yang akan mengajukan tuntutan
hak tersebut memang mempunyai kepentingan yang cukup”. Orang yang haknya
merasa dilanggar, diganggu atau mengalami kerugian, mengajukan perkaranya ke
pengadilan untuk mendapat perlindungan hukum dan untuk menghindari terjadinya
eigenrcting, adalah orang yang mempunyai kepentingan. Namun perlu diperhatikan
disini bahwa tidak setiap kepentingan bisa dijadikan dasar untuk mengajukan
tuntutan hak ke pengadilan, melainkan kepentingan yang cukup yang dpaat dipakai
dasar alasan sebagai pengajuan tuntutan hakk. Maksudnya adalah kepentingan
yang cukup, yang layak dan yang mempunyai landasan hukum saja yang dapat
dipakai landasan penggajuan tuntutan hak ke pengadilan.
Pengertian perkara dalam hal ini adlah baik perkara yang mengandung sengketa
maupun yang tidak mengandung sengketa, maksudnya baik itu berupa
“permohonan” maupun “gugatan”. Yang kedua-duanya disebut dengan “tuntutan
hak”.
Tuntutan hakadlah tndakan yang bertujuan untuk memproleh perlindunga hak yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eingenrichting. Orang yang
mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan
hukum. 10
Dalam perkara gugatan dan permohonan terdapat suatu perbedaan, dimana dalam
perkara gugatan di dalamanya terdapat suatu sengketa/konflik yang harus
diselesaian dan diputus oleh pengadilan, di dalam perkara gugatan, terdapat
minima dua pihak, dimana ada seorang atau lebih yang “ merasa” haknya telah
dilanggar. Pihak yang haknya merasa dilanggar itulah yang mengajukan gugatn ke
pengadilan dan mereka disebut pihak penggugat (eiser plaintiff). Sedangkan
dipihak yang lainnya ada satu orang atau lebih sevagai pihak yang diseret dalam
kepentingan piihak penggugat, mereka disebut dengan “pihak tergugat”
(gedaagde, defendant). Dalam perkara yang mengandung sengketa yang disebut
gugatan ini hakim sungguh-sungguh berfungsi sebagai hakim yang bertugas untuk
memutus suatu perkara, sehingga disebut dengan “peradilan yang sesunggunya”
(constentius jurisdictie). Setelah hakim memeriksa perkara yang mengadung
10 Ibid, h.33
19
sengketa tersebut maka hakim akan mengeluarkan “putusan “atas perkara
dimaksud,
Pada asasnya, setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntut,
atau ingin mempertahankan haknya wenang untuk bertindak sebagai pihak baik
selaku penggugat maupun selaku tergugat (legitima persona standi in judicio)
Dalam perkara yang disebut dengan permohonan, di dalamnya tdak terdapat suatu
sengketa atau konflik. Karena tidak mengndung sengketa maka dlam perkara
permohonan itu di dalamnya hanya terdapat satu pihak, yaitu satu orang atau lebih
yang bertindak sebagai “pemohon”. Dalam hal ini hakim hanya bertindak sebagai
bbadan administrasi belaka dalam memeriksa permohonan yang kemudian dibuat
penetapan atas permohonan tersebut. Maka oleh karenanya terhadap perkara
yang tidak mengandung sengketa ini juga disebut dengan peradilan yang tidak
sesungguhny atau peradilan sukarela dalam proses ini hakim tidak menyelesaikan
suatu sengketa.
Permohonan yang banyak diajukan ke pengadilan adalah permohonan penetapan
pengangkatan anak, permohonan penetapan kelahiran (karena lewaat kurun waktu
tertentu belum dimohonkan akte kelahiran pada Kantor Catatan Sipil, permohonan
penetapan kematian, permohonan penetapan ahli waris, permohonan penetapan
tim likuidasi bank, permohonan penetapan dan lain sebagainya.
20
b. Dalil-dalil tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar
serta alasan-alasan dari pada tuntutan atau lebih dikenal dengan
fundamentum petendi, dan
c. Tuntutan atau petiitum.11
Sedangkan dalam Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata dalam pasal
8 ada ditentukan bahwa surat gugat hendaklah memuat:
a. Nama, tempat tinggal, dan pekerjaan kedua belah pihak yaitu
penggugat dan tergugat.
b. Hal-hal yang nyata atau peristiwa-peristiwa yang terjadi terutama dalam
hubungan antara penggugat dan tergugat;
c. Hal-hal yang diminta oleh penggugat supaya hakim memberikan
putusannya.
11 Ibid, 34
21
yang disebut pihak formil. Pihak materiil adalah pihak yang langsung mempunyai
kepentingan atas perkara tersebut. Jika mereka yang mempunyai kepentingan itu
langsung bertindak aktif maju ke pengadilan untuk menuntut atau
mempertahankan kepentingannya maka ia merupakan pihak materiil dan pihak
formil. Seorang yang tidak mempunyai kepentingan langsung bertindak aktif di
depan pengadilan seperti seorang kuasa, (Pasal 142 RBg / Pasal 118 HIR; Buku
Ketga Bab XVI tentang pemberian Kuasa, pasal 1792 s/d pasal 1819
KUHPerdata), seorang wali pengampu, mereka yang mewakili suatu badan hukum,
adalah merupakan pihak formil. Orang yang bertindak sebagai kuasa dari pihak
materiil, harus dilengkapi dengan suatu surat kuasa khusus, yang biasanya
dilengkapi dengan hak substitusi (untuk itu berlaku ketentuan-ketentuan pemberian
kuasa).
Dasar-dasar Tuntutan
Fundamentum Petendi yang disebut Posita atau dasar-dasar tuntutan
sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Bagian yang menguraikan mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa
yang juga disebut dengan duduknya masalah; dan
2. Bagian yang menguraikan tentang hukum, maksudnya adalah
hubungan hukum baik antara subjek dengan subjek ataupun antara
subjek dengan objek atau hubugan hukum dalam peristiwa tersebut.
Disini bukanlah dimaksudkan untuk menguraikan pasal-pasal Undang-
undang atau peraturan yang berlaku yang dipakai sebagai dasar
tuntutan, karena untuk menemukan hukum adalah merupakan tugas
hakim bukan tugas penggugat ataupun tergugat.
22
saja umpamanya membicarakan masalah hak tertentu, dalam teori ini tidaklah
cukup menguraikan bahwa penggugat mempunyai suatu hak dengan menunjukan
alat bukti hak tersebut, melainkan haruslah dipaparkan bagaimana searahnya atau
yang menjadi landasan yuridis sampai pada mereka mempunyai suatu hak yang
digugatkan itu. Sehingga apa yang digugatkan menjadi jelas dan gambling.
Sedangkan menurut teori individualisasi, bahwa dalam menyusun suatu
posita atau dasar-dasar tuntutan dari surat gugatan, adalah sudah cukup dengan
menguraikan peristwa dan hubungan hukum tanpa menguraikan sejarah atau
landasan yuridis dari peristiwa dan hubungan hukum tersebut. Sehingga surat
gugatan dapat dibuat dengan singkat, cepat dan tepat. Dengan dasar pemikiran
bahwa sepanjang tidak dipertanyakan atau dibantah tentang peristiwa dan
hubungan hukum tersebt tidaklah perlu dari sejak awal yaitu baru mengajukan
gugatan sudah menguraikan mengenai sejarah alat landasan yuridis dari suatu
peristiwa atau hubungan hukum yang ada. Seandainnya hal itu dipertanyakan atau
dibantah, maka substansinya dapat diuraikan dalam proses jawab menjawab
berikutnya yaitu baik dalam replik maupun dalam rereplik. Menurut yurisprudensi
Mahkamah Agung, penyusunan posita gugatan dengn prumusan secara singkat
sudah dapat dikatakan memenuhi syarat. Putusan Mahkamah agung Republik
Indonesia Nomor 547 K/Sip/1971. Tertanggal 15 maret 1972.
23
terhadap anak dari perkawinan tersebut, tuntutan biaya hidup, biaya pendidikan
anak-anak dan sebagainya.
Tuntutan tambahan mempunyai kaitan yang amat erat dengan tuntutan
pokok, karena tuntutan tambahan adalah merupakan akibat langsung dari tuntutan
pokok (sebagai pelengkap), jika tuntutan pokok ditolak, maka tuntutan tambahan
menjadi tidak berarti. Sedangkan tuntutan sibsider adalah tuntutan pengganti dari
tuntutan primer, juga kiranya tuntutan primer tiidak dikabulkan nantinya. Jika
tuntutan primer dikabulkan tuntutan subside menjadi tidak mempunyai arti.12
Setelah diketahui atau gugatan dibuat sebagaimana ketentuan isi atau
sistimatika gugatan sebagai uraian diatas, agar gugatan dapat diajukan ke
pengadilan maka gugatan harus ditandatangani oleh yang bersangkutan dalam hal
ini penggugat atau kuasanya/wakilnya, (baca pasal 142 dan 147 Rbg/pasal 118
dan 123 HIR) tempat dan tanggal gugatan ditanda tangani.
Oleh karena dalam Rv. Ketentuan mengani isi gugatan demikian sumir
adanya bahwa dalam HIR/RBg. Hal itu tidak diatur maka dalam praktek masih
terlihat beranekaragamnya cara penyusunan gugatan, namun minimal tiga hal
yang harus dimuat telah terpenuhi. Jika ada pihak yang belum paham bagaimana
caranya membuat atau menyusun gugatan, berdasarkan pasal 143 RBg/119 HIR,
ketua pengadilan mempunyai wewenang untuk memberikan nasehat kepada pihak
yang mengajukan gugatan. Setelah gugatan selesai dibuat. Untuk kepentingan
atau menjwab pertnyaan tersebut terlebih dahulu haruus diketahui apa yang
disebut kompetensi atau kewenangan lembbaga peradilan.
24
membuat catatan tentang gugatan itu. Dalam pengajuan gugatan secara lisan ini
tiidak berlaku terhadap orang yang dikuasakan.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa memang
dimungkinkan untuk mengajukan gugatan secara lisan namun nantinya akan
menjadi suatu gugatan yang tertulis (surat gugatan), karena dibuatkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri atau oleh yang disuruh oleh Ketua Pengadilan negeri.
1) Komulasi Subjektif
2) Komulasi Objektif
25
a) Bila tuntutan yang satu dengan yang lainnya harus diperiksa dengan
harus diperiksa dengan acara khusus dan yang lainnya dengan acara
biasa contohnya perkara perceraian harus diperiksa secara khusus dan
tuntutan yang lainnya dengan acara terbuka untuk umum (acara biasa)
b) Bila tuntutan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat digabungkan
karena perbedaan kompetensi (kewenangan mengadili) baik secara
absolute maupun secara relative
c) Tuntutan tentang “bezit” disatu pihak dengan tuntutan “egendom”
sebagai tuntutan yang lainnya menurut pasal 103 Rv. Tidak dapat
digabungkan dalam satu surat gugatan.
26
dijadikan sebagai alat pembayaran sebagai peunasan hutang
debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang barang yang
disita tersebut.
4) Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama
proses pemeriksaan sampai ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidak sahnya
tindakan penyitaan tersebut. 14
Penyitaan dilihat dari segi fungsinya adalah merupakan tindakan persiapan
untuk menjamin dapat dilaksankannya putusan hakim perdata. Oleh karena untuk
menjamin maka sita tersebut juga disebut dengan “sita jaminan” atau “consenvatoir
beslag”. Jika telah terjadi penyitaan maka barang-barang yang diletakan sita itu
dibekukan, sehingga tidak dapat dialihkan oleh siapapun atau pihak yang
menguasai kehilangan hak untuk berbuat bebas terhadap benda yang diletakkan
sita. Mengalhkan barang yang dalam keadaan diletakan sita adalah merupakan
perbuatan pidana (baca pasal 231 dan 232 KUHP).
Sita jaminan dapat dibedakan menjadi dua yaitu sita jaminan terhadap
barang miliknya sendiri (dalam hal ini pemohon sita) dan sita jaminan barang milik
debitur (termohon sita).
14 M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta, h.282
27
yang beralasan “. Dalam sita revidicatoir pihak pemohon tidak dapat menguasai
barang sitaan, karena barang sitaan masih dimungkinkan untuk tetap dikuasai oleh
pihak termohon, namun termohon sudah kehilangn haknya untuk berbuat bebas
terhadap barang tersebut atau ditaruh ditempat lain sesuai penetapan hakim
pimpoinan sidang yang memerintah sita.
b) Marital Beslag
Marital beslag atau sita marital ini tidak ada diatur dalam HIR maupun
dalamRbg. Namun pengaturannya dapat dilihat dalam Rv (pasal 823 a-j Rv).
Marital Beslag ini hanya dikenal dalam hukum perdata barat yang berhubungan
degan harta perkawinan yang menurut pasal 119 KUHPerdata, mulai sejak
perkawinan telah terjadi percampurn harta secara bulat, dengan konsekwensi
yuridis bila terjadi perceraian harta perkawinan harus dibagi dua tanpa melihat asal
mula benda tersebut. Terhadap barang-barang harta perkawinan ini dapat
dimohonkan sita oleh salah satu pihak. Sita inilah yang disebut dengan sita merital.
Yang mengajukan permohonan sita marital adalah pihak istri yang tunduk pada
KUHPerdata, karena menurut KUHPerdata seorang istri adalah termasuk orang
yang tidak cakap untuk bertindak (pasal 1330 KuHperdat). Jadi seorang istri
mohon sita marital adalah untuk menghindari kekuasaan marital dari seorang
suami dalam hukum perdata barat.
28
sitayang telah diletakkan ditolak dalam putusan dicantumkan bahwa sita yang telah
diletakkan dinyatakan diangkat atau dicabut.
Tersita juga setiap saat dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan yang memeriksa perkara agar sta yang diletakkan terhadap barang
milik debitur diangkat. Permohonan tersebut dapat saja dikabulkan jika termohon
menyediakan jaminan yang cukup untuk itu. Demikian pula apabila sita jaminan itu
tidak ada manfaatnya atau barang yang telah diletakan sita ternyata bukan barang
milik debitur.
Dalam prakteknya pengadilan biasanya gampang saja mengabulkan
sita pemohon sita jaminan tanpa membuktikan adanya duga yang beralasan. Yang
dapat disita secara conservatoir:
1) Barang bergerak milik debitur
2) Barang tetap milik debitur
3) Barang bergerak milik debitur yang berada pada orang lain.
(Pasal 261, 208 RBg/pasal 227, 197 HIR)
Barang yang telah diletakan sita harus dibiarkan pada kekuasaan
termohon sita namun tidak dapat dialihkan. Pengalihan barang yang diletakkan sita
melanggar pasal 231 dan 232 KUHP.
b) Derden beslag (sita jaminan atas milik pihak ketiga)
Sita jaminan terhadap barang milik debitur, juga dapat dilakukan
terhadap barang milik debitur yang berada pada pihak ketiga (pasal 211 RBg/Pasal
197 HIR/Pasal 728 Rv). Jika debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga maka
kreditur untuk menjamin haknya kreditur dapat melakukan sita jaminan
concervatoir beslag terhadap benda bergerak milik pihak ktiga hal ini disebut
dengan derden beslag.
c) Pandbeslag (sita gadai)
Sita gadai ini hanya dapat diajukan atas tuntutan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 1139 sub 2 KUHPerdata (pemenuhan kewajiban si
penyewa) dan dilaksanakan atas barang-barang tersebut di dalam pasal 1140
KUHPerdata.
12. Kompetensi
Kemana gugatan diajukan adalah merupakan pertanyaan yang sangat
sederhana, namun untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu harus diketahui
mengani kompetensi yang dalam hal ini dikenal kompetensi absolute (kewenangn
mutlak) dan kompetensi relative (kewenangan nisbi). Pasal 50 UU No 2 Tahun
1986 yang telah dirubah dengan UU No 8 than 2004 ada menentukan pengadilan
29
Negeri bertugas dan berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara
pidana dan perdata ditingkat pertama. Pasal 10 ayat 1 UU No 4 tahun 2004
tentang kekuasaan Kehakiman menentukan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
sebuah mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
30
yang lainnya dalah sebagai penjamin, maka gugatan diajukan pada
pihak berutang (pasal 142 (2) RBg/118 (2) HIR)
c) Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka gugatn dapat diajukan
pada pengadilan diwilayah hukum penggugat bertempat tinggal (pasal
142 (3) RBg/118 (3) HIR).
d) Jikaonjek sengketa adlah berupa barang tetap, maka gugatan dapat
diajukan pada pengadilan diwilayah hukum dimana objek sengketa
berada (pasal 99 ayat (8) Rv, Pasal 142 (5) RBg/118 (5) HIR)
e) Jika ada tempat tinggal yang dipilih maka gugatan diajukan pada
pengadilan diwilayah hukum tempat tinggal yang dipilih (pasal 142 (4)
RBg / 188 (4) HIR)
f) Jika tergugat adalah orang yang tidak cakap, gugatan diajukan pada
pengadilan diwilayah hukum dimana walinya bertempat tinggal (pasal
21 KUHPerdata)
g) Tenang kepailitan gugatan diajukan pada pengadilan yang menetapkan
pailit (pasal 15 Rv).
h) Gugatan perceraian dimana tergugatnya berada diluar negeri diajukan
pada pengadilan diwilayah hukum tempat tinggal penggugat (pasal 63
ayat (1) b. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 20 ayat (2)
dan (3) peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
i) Masalah pengangkatan anak, gugatan ataupun permohonan diajukan
pada pengadilan diwilayah hukum dimana anak yang akan diangkat
bertempat tingal
j) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan pada pengadilan
diwilayah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau
ditempat tinggal kedua suami istri atau istri (pasal 38 peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975).
15 Ibid, h.204
31
13. Gugatan Perwakilan
Dewasa ini persoalan-persoalan yang merugikan masyarakat dalam jumlah
yang besar semakin banyak terjadi dalam masyarakat, hal demikian akan semakin
banyak terjadi seiring dengan kemajuan masyarakat. Tuntutan atas kerugian yang
melibatkan masyarakat dalam jumlah yang banyak yang disebut dengan class
action yang dikenal dalam system hukum Anglo Saxon, tidak ada diatur dalam
hukum acara yang berlaku sampai saat ni yaitu HIR/RBg. Oleh karenanya banyak
gugatan class action (gugatan perwakilan) yang dilakukan oleh masyarakat selalu
ditolak oleh hakim dengan alasan bahwa hukum acara tidak mengatur tentang hal
ini.
Dengan mengutip pendapat Mas Achmad Santosa dalam konteks gugatan
yang melibatkan masyarakat banyak yang bersifat masal, maka class action
sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dikatakan pula bahwa ada 3
manfaat dari gugatn class action:
a. Proses perkara bersifat ekonomis (judicial economy) dengan gugatan class
action mencegah pengulangan (repetition) gugatan-gugatan serupa secara
individual. Tindakan ekonomis bagi pengadilan apa bila harus melayani
gugatan-gugatan sejenis secara individual. Bagi tergugat hanya
mengeluarkan biaya hanya satu kali.
b. Akses pada keadilan (acces to justie)
c. Perubahan prilaku pelanggaran memberikan akses yang lebih luas pada
pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan cara cost efficiency:
akses class action ini berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka
yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.
Akhirnya class action dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan di
Indonesia seperti dalam UU no 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; UU no
41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Namun masih sulit diterapkan dalam praktek karena pengadilan masih
mengacu pada HIR/RBg yang tidak menganal gugatan perwakilan. Selankjutnya
oleh Mahkamah Agung sikeluarkan peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1
tahun 2002 tentang cara gugatan perwakilan kelompok.
14. Penutup
Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya akan dikemukakan
kembali dalam rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi
32
secara komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian pembelajaran, maka
akan diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.
Rangkuman
Perkuliahan pertama disuguhi tentang adanya pengertian hukum menurut
fungsinya dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu hukum formil dan hukum
materiil. Hukum acara perdata merupakan hukum formil (Burgelijk Procesrecht,
Civil Procedural Law) karena memiliki fungsi mempertahankan atau menegakan
hukum perdata materiil. Hukum acara perdata tidak membebani dengan hak dan
kewajiban sebagaimana halnya dalam hukum perdata materiil. Sumber hukum
acara perdata menurut Undang-undang darurat nomor tahun 1961, masih
ditunjukan Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut HIR),
Reglement Buitengewestwn (selanjutnya disebut Rbg), Reglement op de Burgelijk
rechtvordering (selanjutnya disenut RV atau BRV), Reglement op de Rechteelijke
Organisasi in het beleid der jutitie ind Indonesie atau reglement tentang kekuasaan
kehakiman, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-
undang Nomor 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004
tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahunn 1986 tentang Peradilan
Umum, Yurisprudensi Mahkamah agung, Hukum Adat, Traktat, Doktrin, Peraturan
dan Surat Edaran Mahkamah Agung, seperti Peraturan Mahkamah agung
(PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.
Dalam pertemuan ini juga akan dijelaskan beberapa asas dalam hukum
acara perdata seperti Asas hakim bersifat Menunggu; Asas hakim tidak boleh
Menolak Perkara (ius curia novit), Asas Hakim Pasif, Asas Verhandelung Maksim,
Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, Asas Audi at Alteram Parterm, Asas Actor
Sequituur Forum Rei, Asas Putusan Harus Disertai dengan alasan, Asas
Berperkara Kena Biaya, Asas tidak ada keharusan mewakili, Asas Hakim Majelis
dan Asas Trilogi Peradilan
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
Peradilan-peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Badan peradilan yang berada di bawahnya meliputi lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.
Pejabat yang ada dalam hukum acara perdata adalah Panitera, wakil
panitera, panitera muda, dan panitera pengganti serta juru sita diaangkat oleh
Menteri Kehakiman. Sedangkan juru sita pengganti diangkat oleh Ketua
Pengadilan.
33
Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugatn lisan dan tertulis.
Dalam membuat gugatan harus berisikan Identitas dari para pihak, Dalil-dalil
tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari
pada tuntutan atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi, dan Tuntutan atau
petiitum.
Bahan Pustaka
34
2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
35
PERTEMUAN II: TUTORIAL 1
PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA, SUMBER-SUMBER HUKUM
ACARA PERDATA, ASAS- ASAS HUKUM ACARA PERDATA, SUSUNAN
BADAN KEKUASAAN PERADILAN, PEJABAT DI LINGKUNGAN PERADILAN
1. Pendahuluan
Pertemuan kedua adalah kegiatan tutorial pertama. Kegiatan tutorial ini
merupakan pendalaman atas materi Pengertian hukum Acara Perdata, Sumber-
sumber hukum Acara Perdata, Asas- Asas Hukum Acara Perdata, Susunan Badan
Kekuasaan Peradilan, Pejabat di Lingkungan Peradilan Perdata. Mahasiswa
bediskusi di dalam kelompok atas tugas Discussion task yang mengilustrasikan
materi perkuliahan kesatu terutama mengenai peristilahan, pengertian, Sumber
hokum Acara Perdata asas-asas Hukum Acara Perdata dan Badan Kekuasaan
Peradilan. Dengan demikian diharapkan mahasiswa dengan rasa tanggung jawab,
jujur dan demokratis mampu:
a. Menjelaskan status A. Hong dan Rudi Hartono sebagai apabila
permasalahan ini akan di bawa kepengadilan perdata, dan
b. Mengidentifikasi dan menunjukkan pernyataan-pernyataan yang bermakna
istilah penggugat, Tergugat, serta asas acara perdatayang inklusif di
dalam wacana.
36
a. Perjanjian sewa menyewa kios selama 10 (sepuluh) tahun yang dimulai
tahun 2000 hingga tahun 2012.
b. Uang sewa dibayarkan di tanggal 10 Januari awal tahun dengan biaya Rp
240.000.000,-per tahun.
c. Kios tersebut berukuran 80 M2.
d. Bahwa biaya tersebut sudah termasuk fasilitas biaya listrik, keamanan dan
kebersihan.
Pada bulan November 2008 ada Gentlement Agreement antara A Hong dan Rudi
yangdisaksikan oleh Fajar Komaruddin berisi:
A Hong : “Hei Rudi, nanti tahun 2010, perjanjian kita perpanjang ya”.
Rudi : “Tapi 2008 ini saja usahaku mulai macet”
A Hong : “Ah masalah pembayaran gampanglah itu, kita kan friend.”
Dengan berjalannya waktu mulai pada tahun 2008 dan 2009 usaha Tuan
Rudi mulaimerugi. Tuan Rudi Hartono tidak membayar kewajibannya terkait sewa
kiosnya. Pihak A Hongsudah menemui Rudi untuk menagih uang sewanya namun
Rudi tidak segera membayarnya danmenganggap gentlement agreement bisa
menjadi alasan Rudi tidak membayar biaya sewa padatahun 2008 dan 2009.
Kemudian A Hong sudah memberi Surat Peringatan sebanyak 3 (tiga) kalikepada
Tuan Rudi yaitu masing-masing pada tanggal 20 April 2009, 20 Mei 2009 dan 20
Juni2009.Karena pihak Rudi tidak segera membayar biaya sewa pada tahun 2008
dan 2009,maka pada bulan Juli 2009 Tuan A Hong menggugat Tuan Rudi ke
Pengadilan Negeri Sleman sesuai yang tertuang dalam Akta Perjanjian.
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.
37
PERTEMUAN III: TUTORIAL 2
PERBEDAAN GUGATAN DAN PERMOHONAN, ISI GUGATAN DAN DASAR
HUKUMNYA, GUGATAN LISAN DAN GUGATAN TERTULIS,
PENGGABUNGAN/ KOMULATIF
1. Pendahuluan
Pertemuan kedua adalah kegiatan tutorial pertama. Kegiatan tutorial ini
merupakan pendalaman atas materi Perbedaan Gugatan dan Permohonan, Isi
Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,
Penggabungan/ Komulatif dalam Hukum Acara Perdata. Mahasiswa bediskusi di
dalam kelompok atas tugas Discussion task yang mengilustrasikan materi
perkuliahan kesatu terutama mengenai Perbedaan Gugatan dan Permohonan, Isi
Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,
Penggabungan / Komulatif dalam Hukum Acara Perdata.
38
Tentu saja kita tidak mau gugatan yang diajukan menjadi sia-sia atau gugatan tidak
dapat diterima/ ditolak (niet onvankelijke verklaard), dan dapat dibayangkan berapa
biaya yang harus dikeluarkan lagi bila ini terjadi.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat gugatan adalah sebagai
berikut:
a. Kewenangan Pengadilan
b. Isi Posita dan Petitum
c. Para Pihak
Tiga hal tersebut diatas; Kewenangan Pengadilan, Posita dan Petitum, serta Para
Pihak merupakan hal yang paling dasar dalam gugatan untuk dicermati sebelum
pemeriksaan ke pokok perkara oleh Majelis Hakim bila Penggugat tidak cermat
dalam gugatan ini akan menjadi fatal dan gugatan dapat ditolak (niet onvankelijke
verklaard) dengan dipatahkan oleh eksepsi Tergugat.
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.
(sumber http://hendra-septianus.blogspot.co.id/2012/11/yang-perlu-diperhatikan-
sebelum-pokok.html)
39
PERTEMUAN IV: TUTORIAL 3
UPAYA UNTUK MENJAMIN HAK, KOMPETENSI PERADILAN, GUGATAN
PERWAKILAN
1. Pendahuluan
Pada tutorial yang ketiga ini merupakan pendalaman atas materi Upaya
untuk Menjamin Hak, Kompetensi Peradilan, Gugatan Perwakilan yang
divisualisasikan dengan wacana bertopik “Pertama di Indonesia, Class Action
Nasabah Menang Lawan Bank”. Mahasiswa mendiskusikan dengan sevent jumpt
approach dan presentasi dalam kelompok mengenai Upaya untuk Menjamin Hak,
Kompetensi Peradilan, Gugatan Perwakilan di dalam wacana tersebut. Setelah
selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan
demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan Gugatan Class
Action, Legal Standing, dan Citizen Law Suit yang terdapat di dalam wacana.
40
meminta uang tabungan Rp 478 juta dikembalikan dan dalam bentuk deposito Rp
3,5 miliar.
"Menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti kerugian imateril atas
tabungan adalah sebesar Rp 182 juta kerugian imateril atas deposito adalah
sebesar Rp 4,5 miliar," gugat nasabah.
Gayung bersambut. Meski model gugatan belum lazim, majelis PN Garut
mengabulkan permohonan itu. Majelis yang terdiri dari Daniel Ronald sebagai
ketua majelis dengan Hastuti dan Darmoko Yuti Witanto menghukum Para
Tergugat mengembalikan tabungan Rp 399 juta dan deposito Rp 3 miliar.
"Menghukum para tergugat membayar bunya tabungan sebesar Rp 1,2 juta dan
bunga deposito Rp 1,2 miliar," putus majelis hakim pada 15 Januari 2015 lalu.
Sumber: (http://news.detik.com/berita/2843788/pertama-di-indonesia-class-action-
nasabah-menang-lawan-bank di akses pada tanggal 16 September 2016)
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.
41
PERTEMUAN V: PERKULIAHAN 2
PROSES ACARA ISTIMEWA DAN PROSES JAWAB MENJAWAB
1. Pendahuluan
Pertemuan pertama pada perkuliahan ini akan disajikan pemahaman
mengenai pengertian hukum acara secara umum, pengertian hukum acara
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama
adalah mahasiswa mampu menguraikan mengenai pemahaman hukum acara
secara umum, pengertian hukum acara perdata, yaitu sebagai hukum formil yang
bertujuan untuk melaksanakan atau menjamin ditatainya hukum perdata materiil.
Dalam pertemuan ini pula dibahas mengenai asas-asas hukum acara perdata yang
merupakan fundamen untuk mempelajari hukumacara perdata lebih lanjut, sumber-
sumber hukum acara perdata yang sampai saat ini masih menggunakan sumber-
sumber hukum acara perdata dijaman colonial, peraturan perundang-undangan
yang baru menyangkut tentang hukum formil, Susunan Badan Kekuasaan
Peradilan, serta Pejabat di Lingkungan Peradilan.
Sedangkan pada tindakan sebelum siding dibahas Perbedaan Gugatan dan
Permohonan, Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan
Tertulis, Penggabungan/ Komulatif, Upaya untuk Menjamin Hak, Kompetensi
Peradilan, serta Gugatan Perwakilan.
Materi perkuliahan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata ini sangat
penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-
tugas tutorial dalam pertemuan kedua dan ketiga. Selain itu juga menghindari
terjadinya pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang berulang kali
diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan kedua, ketiga dan keempat.
42
Perkara yang telah masuk dengan memenuhi persyaratan hukum acara
yang berlaku, oleh ketua pengadilan didistribusikan kepada hakim atau majelis
hakim yang memeriksa perkara tersebut dengan suatu penetapan ketua
pengadilan, denagn menetapkan majelis hakim dan panitera atau panitera
pngganti yang menyertainya. Menurut M. Nur Rasaid, tugas pokok hakim adalah
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang
diajukan kepadanya.16 Berikutnya majelis hakim yang bersangkutan menetapkan
hari dan tanggal persidangan atas perkara tersebut. Agar kedua belah pihak hadir
kedalam persidangan yang telah ditentukan, maka para pihak harus dipanggil
untuk itu dengan melakukan pemanggilan secara patut. Pemanggilan dilakukan
oleh juru sita dengan menyerahkan surat panggilan beserta salinan surat gugatan
(khusus kepada tergugat) dimana tergugat bertempat tinggal. Jika yang dipanggil
tidaj diketahui tempat tinggalnya, panggilan dapat diserahkan kepada kepala desa.
Surat panggilan yang telah ditandatangani oleh pihak yang dipanggil atau oleh
kepala desa, risalah panggilan (relas) tersebut, oleh juru sita harus diserahkan
kepada hakim pimpinan sidang untuk membuktikan bahwa pemanggilan telah
dilakukan secara patut.
3. Acara Istimewa
Setelah dilakukan pemanggilan secara patut oleh juru sita atau juru sita
pengganti kepada kedua belah pihak, maka jika kedua belah pihak hadir, maka
dapat dilakukan pemerisaan perkara yang diwalai dengan pembacaan gugatan
oleh penggugt dan kepada tergugat diberikan kesempatan untuk menanggapinya
baik secara lisan maupun terlutis. Namun ada kalanya dimana para pihak sudah
dipanggil secara patut, salah satu pihak ada yang tidak hadir, maka terjadilah
acara istimewa dimana hakim pimpinan sidang dapat menjatuhkan putusan
gugatan gugur atau verstek. Ini berarti bahwa gugatan perdata dapat diputus
secara contraditoir dan diputus diluar hadirnya pihak-pihak.
Ada kalanya pengguggat yang mengajukan gugatn setelah dipanggil secara
patut justru mereka yang tidak hadir atau tidak mengirim wakilnya dalam
persidangan yang telah ditentukan. Menurut pasal 150 RBg/126 HIR. Jika yang
bersangkutan telah dipanggil satu kali secara patut, masih diberikan toleransi
pemanggilan sekali lagi, bahkan dalam praktek kadang-kadang sampai tiga kali
pemanggilan, juga penggugat tidak hadir, sedangkan tergugat hadir maka hakim
dapat menjatuhkan putusan gugatan gugur yang disertai dengan membebankan
43
kepada penggugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ni.
Dan mereka dapat mengajukan gugatn lagi setelah membayar biaya perkara
tersebut. (Pasal 148 Rbg/124 HIR)
Jika yang tidak hadir atau tidak megirim wakilnya kedalam persidangan
setelah dipanggil secara patut itu adalah pihak tergugat, maka hakim dapat
manjatuhkan putusan verstek sebagaimana ditentukan dalam pasal 149 Rbg/125
HIR). Namun sebagaimana dikemukakan diatas, berdasarkan pasal 150 RBg/
Pasal 126 HIR, pengadilan dapat memerintahkan untuk melakukan pemanggilan
kepada pihak yang tidak hadir sekali lagi supaya hadir pada hari sidang yang lain.
Sedangkan bagi pihak yang hadir diberitahukan dan pemberitahuan itu dianggap
sebagai pamggilan.
Putusan verstek tiidak selalu mengabulkan gugatan penggugat. Jika
gugatan tidak berdasarkan ats hukum, yaitu peristiwa-peristiwa sebagai dasar dari
tuntutan tidak membenarkan tuntutan maka gugatan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet onvenklijk verklkelaard). Sedangkan jika gugatan tidak beralasan,
yaitu tidak diajukan alasan-alasn yang membenarkan tuntutan, maka gugatan
dinyatakan ditolak.17 Namun jika dalam sidang pertama tergugat hadir, dan dalam
sidang berikutnya walaupun telah dipanggil secara patut tergugat juga tidak hadir
atau tidak mengirim wakilnya, maka perkara dperiksa secara contradictoir.
4. Mediasi Litigasi
Istilah ini hanya untuk membedakan antara mediasi yang dilakukan diluar
sidang pengadilan (non litigasi) dengan mediasi yang dilakukan di pengadilan.
Setelah dilakukan pemanggilan secara patut kedua belah pihak hadir, maka para
pihak wajib untuk melakukan mediasi sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.
5. Perdamaian
Jika mediasi gagal dilakukan, maka acara dilanjutkan dengan pemeriksaan
perkara sesuai dengan hukum acara biasa dan masih dimungkinkan untuk
melakukan perdamaian sebagaimana ditentukan dalam pasal 154 Rbg/130 HIR. Jo
Bab kedelapanbelas pasal 1851-pasal 1864 KUHPerdata. Perdamaian ini tetap
harus diusahakan oleh hakim pimpinan sidang sejak pemeriksaan secara hukum
acara biasa sampai menjelang putusan diucapkan bahkan sampai sebelum
dilakukan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi). Jika perkara dapat
44
diselesaikan secara damai, yang kemudian dikukuhkan dengan penetapan akta
perdamaian, maka kekuatan putusannya sama dengan kekuatan putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Yahya Harahap juga
mengemukakan bahwa putusan akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum
yang sama dengan putusan prngadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.18
7. Jawaban Gugatan
Jika usaha hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil
sebelum ataupun telah pemeriksaan gugatan, maka sidang berikutnya dilanjutkan
dengan giliran tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Istilahnya sering
disebut dengan jawaban gugatan, atau jawaban terguagat atas gugatan
penggugat.
45
Dalam RBg/HIR memang tergugat tidak diwajibkan untuk menjawab
gugatan penggugat. Namun tergugat dapat menjawab gugatan penggugat baik
secara lisan maupun secara tulisan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 145 ayat
2 Rbg/121 ayat (2) HIR. Jika tergugat menjawab gugatan penggugat secara
tertulis, mka jawaban tergugat dapat berisikan pengakuan, bantahan diluar pokok
perkara yang disebut dengan tangkisan atau eksepsi, bantahan dalam yang
langsung mengenai pokok perkara (verweer ten pricipale) yang disebut dengan
sangkalan dan dimungkinkan pula bahwa tergugat menggugat penggugat yang
disebut dengan gugatan balik atau gugatan rekonvensi.
a. Pengakuan
Pengakuan haruslah dibedakan dengan referte (referte aan het oordeel des
rechters) yang artinya tidak membantah dan juga tidak mengakui artinya
menyerahkan kepada putusan pengadilan. Hal ini perlu dibedakan karena
mempunyai akibat hukum yang berbeda dalam pembuktian, dimana pengakuan
yang diucapkan dalam sidang adalah merupakan buktti yang sempurna (pasal 311-
313 RBg/174-176 HIR jo. 1926 KUHPerdata). Referte sering dilakukan oleh pihak
tergugat yang tidak langsung berkepentingan terhadap putusan tersebut.
b. Bantahan
Bantahan (verweer ten prinsipale) dapat dibedakan menjadi dua yaitu
bantahan diluar pokok perkara yang disebut dengan eksepsi dan
sangkalan.walaupun Rbg/HIR tidak mewajibkan bahwa bantahan dalam jawaban
gugatan disertai dengan alasan, namun seyogyanya jawaban gugatan disertai
dengan alasan sehingga semakin jelas dudk masalahnya.
Pada umumnya yang diatikan dengan tangkisan (eksepse) ialah suatu
sangkalan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang
tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan.19
Secara teoritis eksepsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksepsi
prosessuil, dan eksepsi materiil.
Eksepsi prosessuil, adalah tangkisan atau eksepsi yang berupaya untuk
menuju pada tidak diterimanya gugatan. Pernyataan tidak dapat diterimanya
gugatan adalah merupakan penolakan in limine litis berdasar alasan-alasan diluar
pokok perkara. Namun dalam hal eksepsi atas ketidak wenangan hakim dan
eksepsi atas batalnya gugatan hakim bukannya menyatakan gugatan tiidak dapat
diterima melainkan menyatakan gugatan batal. Yang termasuk eksepsi prosessuil
adalah tangkisan yang bersifat mengelakan (eksepsi declinatoir) seperti:
46
1) Eksepsi tidak berwenangnya hakim
2) Eksepsi gugatan batal
3) Eksepsi perkara telah diputus (ne bis in idem)
4) Pihak penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat.
47
b) Apabila pengadilan negeri tidak mempunyai wewenang mutlak
c) Dalam perselisihan mengenai pelaksanaan putusan hakim.
2) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan balas,
maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.
Dalam perkara tingkat pertama, gugatan balas harus diajukan
bersamaan dengan jawaban gugatan. Demikian ditentukan dalam pasal 158
RBg/132 b HIR. Namun dalam praktek masih terdapat perbedaan pandangan
dimana ada yang menyatakan gugatan balasan dapat diajukan sebelum dilakukan
pembuktian atau hanya boleh bersamaan dengan jawaban gugatan baik secara
lisan maupun tertulis.
48
11. Penutup
Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya dikemukakan kembali
dalam rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi secara
komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian pembelajaran, maka
diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.
Rangkuman
Setelah gugatan selesai dibuat dan diajukan ke pengadilan sebagaimana
persyaratan yang ditentukan sesuai dengan kompetensi atau kewenangan
mengadili baik kewenangan absolute maupun kewenangan relative. Gugatan yang
diajukan terlebih dahulu harus didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan untuk
mendapatkan nomor register perkara dengan terlebih dahulu membayar panjar
biaya perkara. Namun bagi yang tidak mampu juga dapat bererkara secara prodeo.
Terhadap perkara yang telah mendapatkan nomor register, hakim wajib untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut, sesuai dengan hukum acara yang
berlaku. Proses selanjutnya dilakukan pemanggilan secara patut.
Setelah dilakukan pemanggilan secara patut oleh juru sita atau juru sita
pengganti kepada kedua belah pihak, maka jika kedua belah pihak hadir, maka
dapat dilakukan pemeriksaan perkara yang diwalai dengan pembacaan gugatan
oleh penggugt dan kepada tergugat diberikan kesempatan untuk menanggapinya
baik secara lisan maupun terlutis. Namun ada kalanya dimana para pihak sudah
dipanggil secara patut, salah satu pihak ada yang tidak hadir, maka terjadilah
acara istimewa dimana hakim pimpinan sidang dapat menjatuhkan putusan
gugatan gugur atau verstek. Ini berarti bahwa gugatan perdata dapat diputus
secara contraditoir dan diputus diluar hadirnya pihak-pihak.
Dalam pertemuan ini juga dibahas mengenai mediasi litigasi. Istilah ini
hanya untuk membedakan antara mediasi yang dilakukan diluar sidang pengadilan
(non litigasi) dengan mediasi yang dilakukan di pengadilan. Setelah dilakukan
pemanggilan secara patut kedua belah pihak hadir, maka para pihak wajib untuk
melakukan mediasi sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun
2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.
Proses jawab menjawab dimana gugatan dibalas dengan jawaban gugatan,
jawaban gugatan berisikan pengakuan, bantahan diluar pokok perkara yang
disebut dengan tangkisan atau eksepsi, bantahan dalam yang langsung mengenai
pokok perkara (verweer ten pricipale) yang disebut dengan sangkalan dan
dimungkinkan pula bahwa tergugat menggugat penggugat yang disebut dengan
gugatan balik atau gugatan rekonvensi.
49
Pihak ketiga dapat masuk kedalam persidangan yang disebut dengan
intervensi, intervensi ada tiga jenis yaitu Vrijwaring, Voeginmg, Tusenkoms.
Bahan Pustaka
1. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
2. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV. Armico, Bandung.
3. Hamid, A.T. 1986, Hukum Acara Perdata Serta Susunan dan Kekuasaan
Peradilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
4. Darwis Prins, 1992, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
5. Lilik Mulyadi, 1999, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
6. Retnowulan Sutantio, Ny. Dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum
Acara Perdata dalam Teori dan Praktej, Alumni Bandung.
7. Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
8. Subekti, 1982, Praktek Hukum, Alumni, Bandung.
9. Yayahya Harahap. M, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta
50
PERTEMUAN VI: TUTORIAL 4
PEMANGGILAN SECARA PATUT, ACARA ISTIMEWA, MEDIASI LITIGASI,
PERUBAHAN DAN PENCABUTAN GUGATAN
1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas pemanggilan secara patut, acara
istimewa, mediasi litigasi, perubahan dan pencabutan gugatan yang
divisualisasikan dengan wacana bertopik “gugurnya suatu gugatan”. Mahasiswa
mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai unsur-unsur yang harus
dipenuhi dalam membuat gugatan dan apa upaya hukum yang dapat dilakukan
para pihak.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan unusur-
unsur apa saja yang harus terpenuhi dalam membuat suatu gugatan dan cara
membuat suatu gugatan.
51
terpenuhi. Dengan kata lain, bahwa kewenangan pengguguran gugatan itu dapat
dilakukan oleh hakim meskipun tidak ada permintaan dari pihak tergugat. Akan
tetapi, kewenangan pengguguran gugatan tidak bersifat imperatif, karena
berdasarkan Pasal 126 HIR menegaskan bahwa sebelum menjatuhkan putusan
pengguguran gugatan, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya pihak
yang tidka hadir dipanggil untuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada
hari sidang yang lain.
Disamping itu, apabila penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir
lagi, maka penggugat dipanggil sekali lagi dengan peringatan (peremptoir) untuk
hadir dan apabila tetap tidak hadir sedangkan tergugat tetap hadir, maka
pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir. Gugatan yang
digugurkan oleh pengadilan, maka dituangkan dalam putusan, dan penggugat
berhak mengajukan kembali atas gugatannya tersebut
Sumber http://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/gugurnya-suatu-
gugatan/ (diakses pada tanggal 12 November 2016)
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada
saat selesai tutorial.
52
PERTEMUAN VII: TUTORIAL 5
JAWABAN GUGATAN, REPLIK DUPLIK, MENGIKUT SERTAKAN PIHAK
KETIGA DALAM PROSES
1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi jawaban gugatan, replik
duplik, dan mengikut sertakan pihak ketiga dalam proses pemeriksaan. Mahasiswa
melakukan role play untuk menyelesaikan permasalahan gugatan yang tidak
berdasarkan hukum dan memformulasikan kedalam jawaban gugatan yang
terdapat dalam wacana. Dalam hal itu, setiap mahasiswa membuat skrip role play
yang mendeskripsikan adanya peran seorang penasihat hukum dank lien.
Setelah itu wacana tersebut diselesaikan melalui seven jump approacht
dengan catatan bahwa tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata slt
diabaikan dilewati.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggun
jawab, jujur dan demokratis mampu memainkan peran sebagai penasihat hukum
dan klien dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, mahasiswa dengan rasa
tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu membangun argumentasi dalam
menyelesaikan permasalahan dalam wacana.
2. Tugas
Gugatan Dinilai Tak Berdasar Hukum
PADANG, HALUAN — Tergugat I, II, III dan VI dalam perkara perdata
tanah seluas 1.678 m2 di Jalan Gajah Mada RT 02 RW 02, menyampaikan
jawaban atas gugatan yang disampaikan Rusman Haris selaku penggugat, yang
mengaku sebagai mamak kepala jurai dalam kaumnya. Dalam jawaban tergugat,
disebutkan beberapa unsur gugatan tidak memenuhi syarat sehingga tidak
memiliki dasar hukum yang jelas.
Jawaban tersebut disampaikan kuasa hukum dari keempat tergugat di
persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Padang yang dipimpin Leba Max Nandoko,
Selasa (27/9). Mewakili tergugat I, II dan III, Devi bertindak sebagai kuasa hukum.
Sedangkan Syofrina RozaCs bertindak sebagai kuasa hukum Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Kota Padang selaku tergugat VI.
Dalam jawabannya, Devi menjelaskan bahwa gugatan yang disampaikan
Rusman Haris tidak layak karena penggugat bukan kakak tertua dalam kaum,
sehingga tidak layak disebut sebagai mamak kepala jurai. Selain itu, pengangkatan
sebagai mamak kepala jurai tak pernah dilangsungkan secara adat.
53
Selain itu, tergugat I, II dan III juga menyebut gugatan kabur karena tidak
memenuhi syarat formal sebuah gugatan, di mana penggugat tidak dapat
menjelaskan secara konkrit tentang objek mana saja yang dikuasai oleh para
tergugat.
Di sisi lain, tergugat VI, Pimpinan BPN Kota Padang, melalui kuasa
hukumnya Syofrina Roza menilai gugatan yang diajukan tidak sesuai dengan
peristiwa hukum yang seharusnya menjadi dasar gugatan.
Dalam hal pengajuan sertifikat pengganti oleh pihak tergugat I, II dan III,
BPN menilai dasar penerbitannya telah sesuai dengan aturan yang berlaku, di
mana para pemohon menyetakan beberapa surat keterangan yang berkekuatan
hukum.
Selain itu BPN juga telah menerbitkan pengumuman melalui surat kabar
pada 4 Februari 1999, untuk mengantisipasi adanya pihak yang mengajukan
komplain atas rencana penggantian sertifikat pengganti di masa itu.
Atas jawaban tersebut, keempat tergugat menilai gugatan yang
disampaikan Rusman Haris layak untuk dibatalkan demi hukum, karena tidak
memenuhi unsur-unsur dasar hukum yang jelas. Sidang selanjutnya digelar pada
Selasa depan dengan agenda tanggapan dari penggugat. Sebelumnya di-
sampaikan dalam oleh Rusman Haris melalui kuasa hukumnya Herman Amir Cs,
bahwa secara berkaum/berjurai, penggugat memiliki hak di atas objek perkara,
tepatnya di lokasi bangunan Apikes Iris dan Gama 2000 Gunung Pangilun saat ini.
Jalan memilikinya karena penggugat adalah anak dari Almarhumah Nurlela
yang merupakan kemenakan dari Almarhum Prof Thamrin Nurdin yang tercatat
sebagai awal mula pemilik objek. (h/isq)
(Sumber ; http://harianhaluan.com/news/detail/60366/gugatan-dinilai-tak-
berdasar-hukum diakses pada tanggal 21 Oktober 2016)
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan
dikumpulkan pada saat selesai tutorial.
54
PERTEMUAN VIII: UJIAN TENGAH SEMESTER
55
PERTEMUAN IX: PERKULIAHAN 3
PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN
1. Pendahuluan
Bahan kajian Pembuktian dan Putusan memuat apa yang dilakukan
penggugat dalam gugatannya dalam persidangan haruslah dibuktikan
kebenarannya dalam persidangan. Pembuktian kebenaran dalil gugatan tersebut
dapat dilakukan dengan bukti surat, saksi-saksi, persangkaan, mungkin pengakuan
dari pihak lawan, atupun sumpah baik sumpah tambahan maupun sumpah
pemutus. Masalah pembuktian sangat menentukan apakah gugatan dpat
dikabulkan atau tidak nantinya. Sehingga masalah pembuktian mempunyai kaitan
dengan gugatan, maupun putusan hakim nantinya.
Setelah hakim memeriksa perkara dengan seksama dlam proses jawab
menjawab, maka giliran hakim untuk menjatuhkan putusan. Penjatuhan putusan
adalah sangat tergantung dari persidangan sebelumnya yaitu proses jawab-
menjawab maupun dalam proses pembuktian.
2. Pengertian Pembuktian
Membuktikan mengandung beberapa arti:
56
dibuktikan seperti dalil-dalil yang tidak disangkal, atau diakui kebenarannya
tidaklah perlu dibuktikan.21 Disamping itu hal-hal yang telah diketahui umum
yang disebut notoir, tidaklah perlu dibuktikan.
3. Beban Pembuktian
Pasal 283 RBg./163 HIR 1865 KUHPerdata, menentukan setiap orang yang
mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hk, atau guna meneguhkan haknya
sendiri, maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Dari rumusan pasal
tersebut jelaslah bahwa yang diwajibkan untuk membuktikan adalah keduabelah
pihak baik penggugat maupun tergugat. Dalam membagi beban pembuktian hakim
harus memegang teguh asas audi et alteram partam dimana kedua pihak haruslah
diperlakukan sama, diberikan kesempatan yang sama dalam segala hal termasuk
dalam pembuktian.
4. Alat –alat Bukti
Sesuai dengan ketentuan pasal 284 RBg/164 HIR, dalam hukum acara perdata
dikenal adanya 5 alat bukti yaitu:
Pada 1866 KUHPerdata menentukan juga ada 5 macam alat bukti dalam
hukum acara perdata yaitu:
a. Bukti tulisan
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah.
Dari ketentuan pasal RBg/HIR dengan ketentuan pasal KUHPerdata sedikit
menunjukan perbedaan namun secara sepintas perbedaan tersebut tidaklah
Nampak. Kenapa terjadi perbedaan yang demikian akan terungkap dalam uraian
dari masing-masing jenis alat bukti dimaksud.
21 Darwan Prints,1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, CV. Armico,
Bandung, h. 177
57
a. Alat Bukti Surat
1) Surat Berupa akta, adalah surat yang diberi tanda tangan memuat
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang
dibuat sejak semuala secara sengaja memang untuk membuktikan. Akta ini
lagi menjadi dua jenis:
a) Akta otentik, yaitu akta ang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah dterapkan baik
dengan ataupun tanpa bantuan pihak yang berkepentingan yang
mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang
berkepentingan.
Berdasarkan ketentuan pasal 185 RBg/165 HIR bahwa akte otentik
mempunyai kekuatan yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli
warisannya, dan orang-orang yang mendapat hak dari padanya. Akte
otentik ini dibagi lagimenjadi 2:
- Akta otentik yang dibuat hanya oleh pejabat (acta
ambtelijk/prosesverbal acta)
- Akta aotentik yang dibuat oleh para pihak (partijakta).
2) Akta dibawah tangan, adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
akan tetapi tanpa bantuan seorang pejabat pembuat pembuat akta, (lihat
pasal 1874-1880 KUHPerdata ; Pasal 286-305 RBg D. 1867 No 29)
3) Surat bukan akta, adalah surat lainnya selain yang disebutkan diatas, yang
sebenarnya tidak sengaja dibuat sebagai alat bukti akan tetapi ternyata
dikemudian hari dapat dijadikan alat bukti.
58
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang
peristiwa yang disengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil
untuk hadir dalam persidangan. Bambang Waluyo mengatakan bahwa bukti
dengan saksi atau kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seorang saksi
didepan sidang pengadilan, suatu peristiwa, kejadian atau keadaan tertentu yang
22
didengar sendri, lihat sendiri dan dialami sendiri.
Dalam halbukti saksi ada beberapa asas penting yaitu:
22 Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian dalam Sistem Peradilan Indonesia, Sinar
59
2) Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan
perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak;
3) Orang yang karena martabak, pekerjaan atau jabatannya yang sah,
diwajibkan menyimpan rahasia dalam hal yang semata-mata tentang hal itu
saja, yang dipercayakan karena martabat dan pekerjaannya itu.
60
1) Pengakuan dengan klausula, misalnya tergugat mengatakan benar
saya berhutang akan tetapi hutang tersebut sudah saya bayar;
2) Pengakuan dengan kwalifikasi, contohnya : benar saya membelinya,
akan tetapi setelah saya mencoba dan itupun juga saya setuju (dengan
syarat tangguh)23
e. Alat Bukti Sumpah
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan
bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci bahwa yang diketahui
atau dijanjikan itu benar. Sumpah dapat dibedakan menjadi:
1) Convirmatoir eed, yang dibagi lagi menjadi:
a) Suppletoir eed (sumpah pelengkap) diatur dalam pasal 182 Rbg/155
HIR jo. Pasal 1940 KUHPerdata. Termasuk didalamnya mengani
sumpah penaksir.
b) Descisoir eed (sumpah pemutut) diatur dalam pasal 183 RBg/156 HIR
jo. 1930 KUHPerdata.
2) Promisoir eed atau juga disebut dengan sumpah prosesusil. Hala mana
diatur dalampasal 175 Rbg/147 HIR. Sumpah ini berarti bahwa setiap orang
yang dimintai keterangan harus disumpah terlebih dahulu.
5. Pengertian Putusan
Menurut Sudikno Mertokusumo, adalah pernyataan yang oleh hakim yang
oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
atas sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja disebut
putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan oleh hakim dipersidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis)
tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan
oleh hakim.24 Putusan yang diucapkan tdak boleh berbeda dengan yang ditulis
(vonis). Menurut SEMA No 5 tahun 1959 tanggal 20-4-1959 dan No. 1 tahun 1962
tanggal 7-3-1962: Agar sewaktu putusan diucapkan konsep putusan sudah selesai.
Konsekwensi dari hal ini menjadi putusan hakim tiidak sah.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, dari sejak perkara diperiksa telah
melakukan tindakan yang disebut dengan mengconstatir (menyatakan benar telah
23 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1989, Hukum Acara Perdata Teori
dan Praktek, Alumni, Bandung, h.73
24 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 168
61
terjadi suatu peristiwa konkrit), mengkwalifisir berarti menentukan apa yang terjadi
termasuk peristiwa hukum apa, dan mengkonstituir, berarti menentukan atau
menemukan hukumnya yang terkait dengan ius curia novit (untuk teori penemuan
hukum, ingat kembali PIH).
Setelah tiga hal diatas dilakukan oleh hakim, maka hakim menjatuhkan putusan
dengan memperhatikan factor kedailan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
6. Sistimatika Putusan
Putusan pengadilan mempunyai sistimatika yang terdiri dari kepala putusan,
konsidran atau pertimbangan dan amar putusan.
a. Kepala putusan
Putusan pengadilan mempunyai kepala yang berbunyi DEMI KEADILAN
BERDASRKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Kepala putusan ini mempunyai
arti yang amat penting, karena kepala putusan aeperti tersebut diatas
menyebabkan putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekusi. Sehingga
konsekwensi yuridisnya, jika tdak mempunyai kekuatan eksekusi atau tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial.
b. Konsidrans
Bagaian yang kedua ini adalah berisikan pertimbangan-pertimbangan
hukum tentang kenapa suatu gugatan dikabulkan, ditolak atau tidak dapat diterima.
Setiap tuntutan penggugat haruslah cukup dipertimbangan dalam amar ini.
c. Amar
Amar adalah merupakan bagian akhir daripada putusan pengadilan. amar
merupakan jawaban dari petitum gugatan.
62
8. Jenis-jenis Putusan Pengadilan
Menurut asal 185 ayat 1 HIR, pasal 196 ayat 1 Rbg membedakan putusan akhir
dan bukan putusan akhir.
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengekta atau
perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.
Sifatnya:
a. Condemnatoir (penghukuman)
Adalah suatu putusan yang bersifat menghukum pihak yang telah dan
dihukum untuk memenuhi prestasi. Didalam putusan condemnatoir diakui
hak penggugat atas prestasi yang ditunttnya prestasi berisi: memberi,
berbuat, tidak berbuat. Condemnatoir ini umumnya pemenuhan sejumlah
uang (eksekusi sejumlah uang). Condemnatoir ini mempunyai
kekuatanmengikat, atas hak eksekutorial sehingga condemnatoir ini dapat
dilaksanakan dengan pksa (executiofircee)
b. Constitutive (menciptakan)
Yaitu putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu kedaan hukum.
Putusan ini tidak dapat dieksekusi karena tidak ada penemuan prestasi
seperti condemnatoir.
Contoh:
1) Pemutusan perkawinan
2) Pengangkatan wali
3) Penerimaan pengampunan
4) Pernyataan pailit
5) Pemutusan perjanjian
6) Dll
c. Declarative (menyatakan)
Yaitu putusan yang isinya bersifat menerangkan/menyatakan apa yang sah
1) Anak sah
2) Ahli waris yang sah dll
Yang bukan merupakan putusan akhir ialah: disebut dengan putusan sela, antara
yang berfungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara menurut pasal 185 ayat
1 HIR pasal 48 Rv yaitu: putusan praeparatoir dan putusan interlucotoir.
63
b. Contoh:
1) Kummulai (penggabungan)
2) Penolakan pengunduran pemeriksaan aksi
c. Putusan interlocotoir ialah: putusan yang memerintahkan pembuktian
Contoh: discente (pemeriksaan ditempat)
Putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir.
Menurut pasal 332 Rv dikenal juga putusan sela, insidentil dan frofisionil.
d. Putusan insientil ialah: putusan yang berhubungan dengan insiden,
peristiwa yang menghentikan prosedur pengadilan.
Contoh: interview vrijwaring
e. Putusan profisionil ialah : putusan yang menjawab tntutan provisi, tuntutan
pendahuluan
Contoh:
1) Alimentasi, nafkah
2) Scheiding van tepel and bed
3) Dll
9. Kekuatan Putusan
Ada tiga kekuatan putusan pengadilan yaitu kekuatan mengikat, kekuatan
pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Adapun yang dimaksud masing-masing
adalah sebagai berikut:
a. Kekuatan mengikat
Suatu putusan pengadilan hanya mengikat kedua belah pihak yang
berperkara (Pasal 1917 KUHPerdata). Terikatnya para pihak terhadap putusan
mempunyai dua arti yaitu arti positif dan negative.
Arti positif mengadung arti bahwa apa yang telah diputuskan oleh hakim
pengadilan harus dianggap benar. Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. (Pasal
1917, 1920 KUHPerdta)
Arti negative ini artinya hakim tidak boleh memutus suatu perkara yang
pernah diputus sebelumnya antara para pihak serta megenai pokok perkara yang
sama. Putusan tersebut tdak akan mempunyai kekuatan apa-apa, nebis in idem
(Pasal 134 Rv). Halini adalah merupakan asas litis finitri opertet yang artinya apa
yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tifdakboleh diajukan lagi
kepada hakim.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti apabila upaya
hukum biasa sudah tidak lagi tersedia untuk itu. Dengan kekuatan hukum yang
64
pasti, putusan tidak lagi boleh diubah kecuali dengan upaya hukum luarbiasa.
Mengikatnya putusan pengadilan melahirkan beberapa teori yaitu:
1) Teori Hukum Materiil
Menurut teori ini kekuatan mengikat dari putusan pengadilan
mempunyai sifat hukum materiil, atau member akibat pada hukum
materiil terhadap putusan. Contohnya dengan putusan pengadilan
seorang dapat mempunyai hak atas tanah dll, sehingga putusan
pengadilan juga sebagai sumber hukum materiil.
2) Teori hukum Acara
Menurut teori ini, putusan bukan sumber hukum materiil, melainkan
sumber dari hukum prosesuil. Karena siapa yang dutetapkan
sebagai pemilik melalui prosesuil ditetapkan pemilik dalam putusan
engadilan berulah mereka dapat bertindak sebagai pemilik terhadap
pihak lawannya. Kelihatannya ajaran ini sangat sempit, karena
putusan bukan saja merupakan hukum prosesuil melaikan juga
merupakan kepastian atas hubungan hukum yang ada.
3) Teori Hukum Pembuktian
Menurut teori ini putusan pengadilan merupakan bukti tentang apa
yang ditetapkan didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan
mengikat, karena menurut hukum pembuktian, pembuktian lawan
atas putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti
tidak diperkenankan. 25
b. Kekuatan Pembuktian
c. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan pengadilan adalah bertujuan untuk menyelesaikan suatu
senhketa serta menetapkan hak atau hukumnya. Suatu putusan belum berarti apa-
apa jika belum atau tidak dapat dilaksanakan. Kekuatan mengikat saja dari suatu
putusan belumlah cukup, karena yang lebih penting adalah pelaksanaan dari isi
putusan itu sendiri. Oleh karenanya putusan mempunyai kekuatan untuk
dilaksanakan (eksekusi) secara paksa oleh alat negara. Kekuatan eksekutorial dari
65
putusan pengadilan adalah terletak pada kepala putusan yang berbunyi Demi
Kedailan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 ayat 1 UU Nomor 4
tahun 2004). Suatu akte notariil juga mempunyai kekuatan eksekutorial kija
mempunyai kepala yang berbunyi Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa.
10. Penutup
Bagian Penutup terdiri dari Rangkuman atas materi perkuliahan yang
dikemukakan di atas, dan latihan untuk mengetahui capaian pembelajaran.
Rankuman
66
Latihan
1. Apa perbedaan alat bukti yang diatur dalam HIR/R.Bg dengan alat bukti
yang diatur dalam KUHPerdata?
2. Apa Hubungan Alat Bukti dengan Posita Gugatan?
3. Apa perbedaan sumpah tambahan dengan sumpah putusan?
4. Mungkinkah apa yang diucapkan oleh hakim berbeda dengan apa yang
tertulis dalam vonis?
5. Apa yang dimaksud dengan kekuatan mengikat dari putusan pengadilan?
6. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?
7. Apa yang harus dilakukan oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan?
Bahan Pustaka
1. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada
Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta
67
PERTEMUAN X: TUTORIAL 6
PENGERTIAN, BEBAN PEMBUKTIAN DAN ALAT-ALAT BUKTI
1. Pendahuluan
68
sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan
seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:“Barang siapa
mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan
membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-
peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan
peristiwa-peristiwa itu”
(sumber diolah dari: http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-
pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html diakses pada tanggal 21 oktober 2016)
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan
dikumpulkan pada saat selesai tutorial.
69
PERTEMUAN XI: TUTORIAL 7
PENGERTIAN PUTUSAN, SISTEMATIKA PUTUSAN, ASAS-ASAS PUTUSAN,
JENIS-JENIS PUTUSAN DAN KEKUATAN PUTUSAN
1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi pengertian putusan,
sistematika putusan, asas-asas putusan, jenis putusan, dan kekuatan putusan
yang divisualisasikan dalam wacana rasa keadilan putusan hakim, Mahasiswa
diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam wacana dengan seven
jump approach.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur
dan demokratis mampu membangun argumentasi.
70
nilai-nilai kemanusiaan. Agar putusan memiliki efektivitas, harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridisch en filosofich veranwoord) karena
mampu menyelesaikan konflik dan diterima oleh pihak yang bersengketa.
Kedua, pendekatan empiris (sosiologis) lantaran hukum bertitik-tolak pada
manusia sebagai subjek kulturalnya. Hukum senantiasa bergelut dengan manusia
yang “bereksistensi kultural dan moral”. Artinya, putusan hakim selalu erat
kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang selain menuntut koherensi
logikal, juga menghendaki ada pembuktian empiris.
Putusan Kontradiksi Negeri yang dipenuhi persoalan hukum termasuk tidak
kuatnya logika hukum dalam putusan hakim. Itu dapat dilihat pada putusan yang
mengabaikan logika hukum dan nilai-nilai kemanusiaan di Pengadilan Negeri
Palembang (30/12/2015) yang menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8
triliun.
KLHK menuntut ganti rugi atas kerusakan hutan tanaman industri pohon
akasia seluas 20.000 hektare milik perusahaan tersebut pada 2014 di Ogan
Komering Ilir. Apalagi, Pasal 88 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut pemilik izin harus bertanggung jawab
mutlak (strict liability). Pertimbangan majelis hakim yang patut dikaji secara
akademik bahwa “lahan yang terbakar itu tidak merusak lingkungan hidup karena
masih dapat ditanami lagi”.
Logika hukum yang terbalikbalik sebab hilangnya hutan yang mestinya
dijaga agar tidak rusak, apalagi membiarkannya terbakar telah mencederai rasa
keadilan masyarakat. Bukan hanya merusak lingkungan hidup, melainkan juga
menimbulkan asap berkepanjangan yang merusak kesehatan manusia. Hutan
yang terbakar memang bisa saja ditanami kembali, tetapi butuh waktu bertahun-
tahun baru bisa tumbuh lagi.
Putusan itu kontradiksi dengan putusan hakim di Probolinggo. Lelaki Busrin
ditangkap dan diproses hukum gara-gara menebang satu pohon di hutan
mangrove di kampungnya, Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih (16/7/2014).
Hakim hanya melihat permasalahan sepotongsepotong tanpa memandang secara
holistik, sementara ada perusahaan besar yang membiarkan hutan terbakar yang
menjadi tanggung jawabnya untuk dijaga justru ditolak gugatannya.
Ini menunjukkan rasa keadilan masyarakat semakin jauh dari substansinya.
Padahal, kalau mau membuka mata hati, warga yang menebang pohon tidak
terlepas dari suatu kebijakan yang pukul rata, tetapi rakyat kecil yang jadi korban.
Faktanya, kebanyakan warga di desa itu memang mencari kayu bakar dari pohon
71
mangrove akibat masalah kemiskinan. Sulit memungkiri kalau negeri ini telah
berada pada ambang batas yang sangat jauh dari rasa keadilan.
Hukum tidak mampu memberikan kebenaran dan keadilan. Diperlukan
langkah konkret untuk menggerakkan legalitas dan wibawa hukum. Itu yang dikritisi
dalam sosiologi hukum disebutkan bahwa hukum tertulis itu barulah janji-janji
hukum. Dia menjadi hukum apabila sudah dilaksanakan dengan baik oleh
pelaksana hukum sesuai dengan cita dan tujuan hukum.
Beragamnya putusan hakim perlu disikapi secara bijak dengan memberikan
pemahaman secara holistik. Kiranya perlu menyimak kritikan Charles Sampford
dalam teorinya “the disorder theory of law “ yang memandang hukum tidak identik
dengan sebuah bangunan yang penuh dengan keteraturan yang logis-rasional.
Hukum adalah sesuatu yang bersifat cair (melee, fluid) yang perlu dihidupkan.
Hukum tidak selalu dimaknakan machine justice sehingga hakim sebagai
ujung tombak keadilan harus mampu menjaga hak-hak komunitas rakyat. Di
dalamnya selalu ada ruang ekstra yang dapat digunakan membangkitkan nilainilai
kehidupan sosial dan rasa keadilan masyarakat.
Sumber; http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-01-09
diakses pada tanggal 12 Oktober 2016
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan
dikumpulkan pada saat selesai tutorial.
72
PERTEMUAN XII: PERKULIAHAN 4
UPAYA HUKUM DAN PELAKSANAAN PUTUSAN
1. Pendahuluan
Hakim sebagai manusia biasa di dalam menjatuhkan putusan pengadilan
tidak luputu dari kekliruan atau keterpihakan pada salah satu pihak, sehingga
putusannya tidak mencerminkan rasa kedilan yang menyebabkan ada yang
merasa tidak puas atas putusan tersebut. Oleh karenanya demi keadilan setiap
putusan pengadilan hendaknya dapat dilakukan pemeriksaan ulang sehingga
kekeliruan terhadap putusan atau putusan yang memihak dapat diperbaiki
sehingga dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak pencari keadilan. Upaya
hukum secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Pembedaan menjadi dua bagian ini menunjukan sifat
berlakunya yang berbeda pula.
2. Upaya Hukum
Upaya hukum biasa terbuka untuk semua putusan sepanjang tenggang waktu
yang disediakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku masih
dimungkinkan untuk itu. Hak untuk mengajukan upaya hukum biasa menjadi hapus
dengan pernyataan menerima putusan atau jangka waktu untuk mengajukan
upaya hukum tersebut jangka waktunya telah lewat. Upaya hukum biasa terdiri
dari:
a. Perlawanan (verset)
Upaya hukum perlawanan (verset) adalah merupakan upaya hukum terhadap
putusan diluar hadirnya tergugat (verstek) namun jika putusan verstek tersebut
mengabulkan gugatan penggugat dan berarti mengalahkan pihak tergugat yang
tidak hadir dalam persidangan. (baca pasal 149 ayat 3 dan pasal 153 Rbg/pasal
125 ayat 3 dan pasal 129 HIR). Apa yang dimaksud dengan putusan verstek baca
kembali acara istimewa sebagaimana dalam BAB III terdahulu.
b. Banding
Upaya hukum banding adalah uapay hukum terhadap putusan npengadilan tingkat
pertama (putusan Pengadilan Negeri) yang dalam keadaan biasa baik untuk pihak
penggugat maupun pihak tergugat yang tidak puas atas putusan pengadilan tingkat
pertama.
Upaya hukum banding, disamping sebagaimana tersebut diatas, juga merupakan
upaya hukum terhadap putusan diluar hadirnya pihak tergugat, namun jika verstek
mengalahkan pihak penggugat (baca pasal 199-205 rbg untuk luar pulau Jawa dan
73
Madura ) dan UU No 20 Tahun 1947 tentang peradilan ulangan di Jawa dan
Madura. Pengaturan masalah banding masih bersifat pluralistis. Permohonan
banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan itu
diucapkan atau putusan itu diberitahukan bila ada pihak yang tidak hadir pada saat
putusan diucapkan.permohonan banding dapat pula disertakan dengan memori
banding (untuk emori banding baca kembali pemeriksaan dalam dua timgkat atau
judex faktie) sebagai bahan untuk menyampaikan keberatan-keberatan
pembanding atas putusan pengadilan tingkat pertama.
Upaya hukum banding hanya duperuntukan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh
adanya putusan pengadilan tingkat pertama. Namun jika kedua pihak merasa
dirugikan, maka kedua pihak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan agar
perkatanya diperiksa kembali dalam tingkat banding.
Yang dapat dimohonkan banding adalah semua putusan akhir kecuali ditentukan
lain oleh UU pasal 21 UU No 4 tahun 2004) sedangkan putusan sela tidak dapat
dimihonkan banding secara sendiri, kecuali bersamaan dengan putusan akhir.
Pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dilakukan pemeriksaan ulangan, oleh
karenanya dalam pemeriksaan tingkat banding ini dimungkinkan mengajukan alat
bukti yang baru.
c. Prorogasi
Prorogasi juga dikenal dengan istilah pelompatan satu tingkat maksudnya, atas
persetujuan kedua pihak, mereka sepakat untuk mengajukan perkaranya kepada
pengadilan yang sedungguhnya tidak berwenang untuk menangani perkara
tersebut jika dilihat dari hirarki dari badan pengadilan. Atas kesepakatan kedua
belah pihak mereka dapat engajukan perkaranya melompat satu tingkat dari
lembaga peradilan yang seharusnya berwenang untuk menangani perkara
tersebut.prorogasi ini tidak diatur dalam RBg maupun HIR melainkan diatur dalam
Pasal 324-326 Rv. Prorogasi dalam praktek sangat jarang dilakukan bahkan
hamper tidak ada yang menggunakan lembaga prorogasi ini.
d. Kasasi
Kasasi adalah merupakan upaya hukum biasa yang terakhir sebagai upaya
hukum terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding. Sama halnya dengan
putusan pengadilan dalam tingkat pertama, jika ada pihak yang tidak puas akan
putusan pengadlan dalam tingkat banding, maka mereka dapat mengajukan
permohonan kasasi. Pengajuan permohonan kasasi dapat diajukan kepada
Mahkamah agung melalui kepaniteraan pengadilan tingkat pertama yang
menangani perkara trersebut dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak putusan
74
pengadilan tingkat banding diberitahukan. (UU No 14 tahun 1980 yang telah
dirubah dengan UU No 5 Tahun 2004).
Pemohon kasasi diwajibakan untuk membuat memori kasasi sebagai alasan
bahwa judex faktie telah keliru dalam menerapkan huku. (baca kembali susunan
badan kekuasaan peradilan dan pemeriksaan dalam dua tingkat BAB I)
Dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak lagi dimungkinkan untuk
mengajukan alat bukti baru sebagaimana halnya dalam pemeriksaan dalam tingkat
banding. Karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak lagi memeriksa tentang
duduknya perkara melainkan hanya memeriksa tentang hukumnya. Oleh karena
dalam memori kasasi yang dipakai alasan adalah kesalahan penerapan hukum
oleh judex faktie.
e. Peninjauan Kembali (request civil)
Istilahnya request civil dapat dijumpai dalam pasal 385-401 Rv. Sedangkan
istilahnya peninjauan kembali dapat dilihat dalam pasal 21 UU No 14 1970 yang
telah dicabut dengan Uu No 4 Tahun 2004.
Pasal 23 UU No. 4 tahun 2004 menentukan:
75
5) Apabila mengenai pihak-pihak yang sama mengenai soal yang sama, atas
dasar yang smaa atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang
bertentangan satu denagn yang lainnya.
6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata
3. Pengertian eksekusi
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara, pada dasarnya membuat aturan dan tata
cara dari proses dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Oleh karena itu
eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara perdata.
Pada umumnya orang berpendaat, bahwa dengan dijatuhkannya putusan
oleh hakim/pengadilan persoalannya menjadi selesai, anggapan seperti itu adalah
tidak benar, artinya dengan dijatuhkannya putusan saja belum selesai
persoalannya. Ptusan itu harus dapat dilaksanakan/dijalankan, satu putusan
pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan/dijalankan.
Pembakuan istilah eksekusi kedalam Bahasa Indonesia barangkali
sebagian besar para sarjana hukum kita setuju dengan kata /istilah Pelaksanaan
Putusan.
Dengan diterimanaya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti istilah
eksekusi, janganlah menggabungkan kedua istilah itu dalam suatu rangkaian
kalimat agar tidak berlebihan (misalnya (pelaksanaan eksekusi).
76
Selanjutnya bila diperhatikan pasal-pasal yang terdapat didalam HIR
ataupun RBg pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan
putusan”. Menjalankan putusan pengadilan tiada lain, daripada melaksanakan isi
putusan pengadilan secara paksa dengan bantuan aparat keamanan apabila
tereksekusi tidak menjalankannya secara sukarela. Dengan demikian yang
dimaksud dengan eksekusi atau pelaksanaan putusan adalah: Tindakan yang
dilakukan secara paksaterhadap yang kalah dalam perkara, atas suatu putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
77
dapat dijalankan sesuai dengan antara tata cara eksekusi terhadap putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Bentuk-bentuk
pengecualian itu antara lain sebgai berikut:
78
Menurut pasal ini eksekusi yang dijalankan pengadilan bukan
berupa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Hal ini jelas merupakan
penyimpangan dan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun pasal 224 HIR/258
Rbg memperkenankan eksekusi terhadap pernanjian, asal itu
berbentuk grose akta.
79
Inilah rincian yang dapat dijadikan pedoman menetukan cirri suatu putusan
pengadilan yang bersifat komdemnator. Jika salah satu cirri tersebut
terdapat dalam amar putusan menandakan putusan itu bersifat
komdemnator.
Misalnya dalam amar putusan terdapat salah satu dictum yang menghukum
atau memerintahkan tergugat untuk menyerahkan suatu barang, maka
amar yang demikian telah mengandung cirri komdemnator, dan menjadikan
putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum eksekutoria. Artinya apabila
pihak yang kalah tidak menaati dan menjalankan putusan tersebut secara
sukarela maka dapat dilakukan secara paksa upaya hukum “eksekusi
Selain itu ada juga putusan yang bersifat deklarator yaitu amar putusan
hanya mengandung “pernyataan” hukum saja tanpa dibarengi dengan
penghukuman. Putusan deklarator pada umumnya terdapat dalam perkara
yang berbentuk “permohonan”
d. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pngadilan Negeri
Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat 1 /pasal 206 ayat 1 RBg. Yang
menentukan “tentang menjalankan putusan dalam perkara yang pada
tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri adalah atas perintah dan
dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama
memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut
ini”. Artinya bahwa eksekusi tersebut haruslah dilaksanakan atas perintah
dan dibawah pimpinan pengadilan negeri yang memutus.
Eksekusi dilakukan dengan surat perintah eksekusi dan untuk kepentingan
tersebut dibuat berita acara dan dihadiri oleh dua orang saksi (pasal 210
RBg/197 HIR).
6. Jenis-jenis Eksekusi
Menurut Sudikno Mertokusumo (dalam bukunya Hukum Acara Perdata) disebutkan
ada beberapa jenis eksekusi sbb:
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkn untuk membayar
sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang.
Eksekusi ini diatur didalam pasal 196 HIR/208 RBg.
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan. Halini diatur dalam pasal 225 HIR/259 RBg. Yang pada
hakekatnya menentukan bahwa orang tidak dapat dilaksanakan untuk
memenuhi syarat prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang
80
dimenangkan dapat diminta kepada hakim agar kepentingan yang akan
diperoleh dinilai dengan uang.
c. Eksekusi Riil, tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam pasal 1033 Rv,
yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan
benda tetap.
d. Parate Executie atau eksekusi langsung terjadi apabila seorang debitur
kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai title
eksekutorrial (pasal 1155 KUHPerdata)
Selanjutnya menurut Yaha Harahap (di dalam bukunya “Ruang Lingkup
Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata’), menyatakan bahwa pada dasarnya ada
dua bentuk eksekusi bila ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh
hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu:
a. Bila sasaran hubungan hukum yang hendakndipenuhi sesuai dengan amar
putusan ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan rii, maka
disebut eksekusi riil.
b. Bila hubungan hukum yang dipenuhi sesuai dengan amar putusan ialah
melakukan pembayaran sejumlah uang, maka disebut eksekusi
pembayaran uang.
Pertanyaan kita sekarang, apakah perbedaan antara eksekusi riil, dengan eksekusi
pembayaran sejumlah uang? Jawabannya dapat dicontohkan dalam putusan
pengadilan yang bersifat kondemnator sbb:
a. Menyerahkan suatu barang
b. Mengosongkan sebidang tanah
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu
d. Menghentikan suatu kedaan atau perbuatan
e. Membayar sejumlah uang.
81
eksekusi. Namun perlawanan tersebut tidaklah menghambat pelaksanaan putusan,
kecuali Ketua pengadilan memberikan perintah penangguhan eksekusi.
Disamping tereksekusi, orang lain pihak ketiga juga dapat mengajukan perlawanan
eksekusi dengan dalil bahwa barang yang diletakan sita eksekusi adalah miliknya.
Pasal 228 RBg/ pasal 208 HIR.
8. Pelaksanaan Eksekusi
Pelaksanaan putusan pengadilan harus dilakukan oleh pihak yang
berwenang untuk itu sebagaimana ditentukan dalam UU. Dalam bidang hukum
perdata yang bertindak sebagai pelaksana putusan adalah panitera dibantu oleh
juru sita (pasal 36 ayat 3 UU No 4 tahun 2004). Dalam pasal tersebut ditentukan
bahwa putusan dilaksanakan oleh panitera dibantu oleh jurusita dan dipimpin oleh
ketua pengadilan.
9. Penutup
Bagian Penutup terdiri dari Rangkuman atas materi perkuliahan yang
dikemukakan di atas, dan latihan untuk mengetahui capaian pembelajaran.
Rankuman
Hakim sebagai manusia biasa di dalam menjatuhkan putusan pengadilan
tidak luputu dari kekliruan atau keterpihakan pada salah satu pihak, sehingga
putusannya tidak mencerminkan rasa kedilan yang menyebabkan ada yang
merasa tidak puas atas putusan tersebut. Oleh karenanya demi keadilan setiap
putusan pengadilan hendaknya dapat dilakukan pemeriksaan ulang sehingga
kekeliruan terhadap putusan atau putusan yang memihak dapat diperbaiki
sehingga dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak pencari keadilan. Upaya
hukum secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa
dan upaya hukum luar biasa. Pembedaan menjadi dua bagian ini menunjukan sifat
berlakunya yang berbeda pula dimungkinkan untuk itu. Hak untuk mengajukan
upaya hukum biasa menjadi hapus dengan pernyataan menerima putusan atau
jangka waktu untuk mengajukan upaya hukum tersebut jangka waktunya telah
lewat. Upaya hukum biasa terdiri dari Perlawanan (verset), Banding, Prorogasi,
Kasasi, Peninjauan Kembali (request civil), Perlawanan Pihak ketiga,
Pengertian eksekusi.
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada
pihak yang kalah dalam suatu perkara, pada dasarnya membuat aturan dan tata
cara dari proses dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Oleh karena itu
82
eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara perdata. Eksekusi atau cara menjalankan putusan pengadilan
diatur mulai dari pasal 195 s/d pasal 224 HIR atau pasal 206 s/d pasal 258 RBg.
Namun sekarang yang efektif berlaku adalah pasal-pasal 195 sampai pasal 208
dan pasal 224 HIR, atau pasal 206 sampai pasal 204 dan pasal 258 RBg.
Jenis eksekusi terdiri dari Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang
dikalahkn untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah
membayar sejumlah uang, Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk
melakukan suatu perbuatan. Eksekusi Riil. Pelaksanaan putusan pengadilan harus
dilakukan oleh pihak yang berwenang untuk itu sebagaimana ditentukan dalam
UU. Dalam bidang hukum perdata yang bertindak sebagai pelaksana putusan
adalah panitera dibantu oleh juru sita (pasal 36 ayat 3 UU No 4 tahun 2004).
Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa putusan dilaksanakan oleh panitera
dibantu oleh jurusita dan dipimpin oleh ketua pengadilan.
Latihan
1. Apa sebenarnya dimaksud dengan novum dalam peninjauan kembali?
2. Kenapa upaya hokum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi?
3. Kenapa perlawanan terhadap sita eksekusi tidak menghentikan
eksekusi?
4. Bagaimana prosedur dari pelaksanaan eksekusi?
Bahan Pustaka
1. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata
pada Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Umum, Pustaka
7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
83
PERTEMUAN XIII: TUTORIAL 8
UPAYA HUKUM BIASA
1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi upaya hukum biasa.
Mahasiswa mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai
permaslahan yang divisualisasikan melalui wacana “Mahkamah Agung Sebagai
Judex Juris ataukah Judex Facti: Kajian Terhadap Asas, Teori dan Praktek”.
Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab,
jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan tugas dari
Mahkamah Agung.
Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai
permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.
Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht
dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata
sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang
terkandung di dalam wacana.
Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris ataukah Judex Facti: Kajian Terhadap
Asas, Teori dan Praktek
Jakarta, litbangdiklatkumdil.net - Selasa tanggal 10 September 2013,
Puslitbang mengadakan Seminar Focus Group Discussion dalam rangka
presentasi Hasil Penelitian yang dikoordinatori Sugeng Riyono, SH., MH dengan
judul Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris ataukah Judex Facti : Kajian
Terhadap Asas, Teori dan Praktek.
Berdasarkan hasil kajiannya, kordinator menarik kesimpulan:
a. Dalam penelitian ini setelah ditelusuri asas, norma dan peraturan
perundang-undangan tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan mengadili perkara baik dalam tingkat kasasi ataupun
tingkat peninjauan kembali tidak terdapat peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang apakah itu kewenangan Judex Factie
atau Judex juris, jadi istilah tersebut hanya sebatas istilah akademis
yang tidak mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.
84
b. Kewenangan hakim agung pada Mahkamah Agung dalam memeriksa
dan mengadili perkara berdasarkan pada kewenangan dengan alasan-
alasan yang secara imperatif diatur dalam UU 14 Tahun l985 Jo.
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung dan UU No. 8 Tahun l981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
c. Hakim agung pada Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili
perkara baik dalam tingkat kasasi atau peninjauan kembali dalam
proses mengambil putusan tetap mendasarkan pada fakta hukum
sebagaimana termuat dalam berkas perkara.
d. Secara substansial dengan kewenangan hakim agung pada Mahkamah
Agung sebagaimana diatur dalam undang-undang diharapkan akan
tercipta adanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan
hukum, karena seharusnya dalam setiap putusan pengadilan sudah
terkandung tentang adanya asas, nilai dan norma-norma hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Dalam hasil penelitiannya, Koordinator memberi saran:
a. Untuk kewibawaan hukum dan kepastian hukum yang berkeadilan:
Perlu dilakukan penelitian secara komprehensif untuk mengetahui
secara pasti sebab-sebab banyaknya perkara permohonan kasasi yang
membatalkan putusan peradilan dibawahnya, dan untuk mengetahui
sebab-sebab banyak permohonan peninjauan kembali yang
membatalkan putusan kasasi, selanjutnya dicarikan solusi yang tepat
untuk mengatasinya.
b. Untuk terciptanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan
hukum, maka sangat diperlukan adanya konsistensi alasan dalam
pertimbangan hukum terhadap penilaian asas, norma dan interpretasi
undang-undang dengan mengarah pada nilai-nilai keadilan masyarakat,
termasuk untuk terciptanya nilai-nilai hukum baru (rechvinding).
c. Untuk terciptanya putusan yang berkualitas, Mahkamah Agung perlu
menciptakan suatu sistem yang dapat dipakai untuk mengontrol agar
tercipta putusan yang berkualitas, antara lain: dengan perubahan
pengaturan regulasi terhadap suatuperaturan perundang-undangan
atau dengan suatu sikap Mahkamah Agung dengan mengeluarkan
peraturan Mahkamah Agung.
d. Untuk kewibawaan Mahkamah Agung, perlu dihindari adanya suatu
putusan yang saling bertentangan dan sangat diperlukan konsistensi,
85
maka dalam perkara permohonan peninjauan kembali terhadap putusan
kasasi diputus dengan majelis khusus dalam sidang pleno dengan
ketua majelis pimpinan Mahkamah Agung dan anggota majelis hakim
Ketua Muda pada Mahkamah Agun
(Sumber: http://www.litbangdiklatkumdil.net/puslitbang-hukum-dan-peradilan/dok-
kegiatan-litbangkumdil/759-mahkamah-agung-sebagai-judex-juris-ataukah-judex-
facti-kajian-terhadap-asas-teori-dan-praktek.html diakses pada tanggal 12 Oktober
2016)
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat
selesai tutorial.
Bahan Pustaka
Sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan keempat
86
PERTEMUAN XIV: TUTORIAL 9
UPAYA HUKUM LUAR BIASA
1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi upaya hukum luar biasa.
Mahasiswa mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai
permaslahan yang divisualisasikan melalui wacana “Merasa Tak Bersalah, IAS
Akan Ajukan PK”. Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa
tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan
tugas dari Mahkamah Agung.
Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai
permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.
Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht
dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata
sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang
terkandung di dalam wacana.
87
"Tidak semestinya beliau divonis bersalah dalam kasus tersebut. Itu kasus
perdata, bukan pidana," ungkap Alyas Ismail.
Alyas Ismail menjelaskan, pihaknya sudah memiliki bukti baru (novum)
yang tentunya akan meringankan tuduhan yang dialamatkan ke IAS.
"Ada bukti baru yang akan meringankan. Hukuman 4 tahun itu masih berat,
semestinya harus bebas. Kami tetap akan perjuangkan hingga bebas," demikian
Alyas.
Sumber: http://news.rakyatku.com/read/24835/2016/10/20/merasa-tak-
bersalah-ias-akan-ajukan-pk (diakses pada tanggal 12 Oktober 2016)
3. Penutup
Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat
selesai tutorial.
Bahan Pustaka
Sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan keempat
88
PERTEMUAN XV: TUTORIAL 10
PENGERTIAN, DASAR HUKUM, ASAS-ASAS, JENIS-JENIS, PERLAWANAN
TERHADAP SITA EKSEKUSI DAN PELAKSANAAN PUTUSAN
1. Pendahuluan
Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi eksekusi. Mahasiswa
mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai permaslahan yang
divisualisasikan melalui wacana “Aset Belum ‘Clear’, PN Jaksel Tidak Akan
Eksekusi Yayasan Supersemar”. Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa
diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mengidentifikasi dan menjelaskan apa kendala eksekusi Yayasan Supersemar.
Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai
permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.
Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht
dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata
sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung
jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang
terkandung di dalam wacana.
89
“Sebagai contoh kendaraan, apakah benar surat-surat kepemilikannya,
seperti BKKB (Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor) milik termohon,” ujarnya
mengumpamakan.
Dia enggan mengomentari, apakah dengan demikian terhadap aset-aset
yang dilakukan oleh pemohon (JPN), untuk dilakukan sita eksekusi ke PN Jaksel
belum disertai bukti-bukti kepemilikan.
“Itu tugas pemohon. Kita hanya bersoifat pasif. Jika semua sudah lengkap,
tentu kita akan laksanakan sesuai perintah undang-undang,” jelas Made.
Seperti yang diterangkan sebelumnya, Selasa (2/2) menurut Made langkah
itu guna menghindari gugatan dari pihak ketiga dan /atau perlawanan dari pihak
lain.
Sita Eksekusi
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang
Setyo Wahyudi, membenarkan JPN telah menyampaikan permohonan sita
eksekusi terhadap aset tidak begerak, berupa deposito, bilyet dan giro di sejumlah
bank dan tanah di Jakarta dan Bogor. Serta, aset tidak bergerak, berupa
kendaraan ke PN Jaksel.
Sita eksekusi dimaksudkan agar aset-aset itu tidak diperjual-belikan atau
berpindah tangan, agar saat dieksekusi tidak menimbulkan masalah hukum lain.
Namun, Bambang mengingatkan permohonan sita eksekusi tidak termasuk
deposito, yang bunganya dikucurkan kepada penerima bea siswa Supersemar
hingga kini.
“Kalau untuk beasiswa enggak, tidak terkait (untuk dimintakan sita
eksekusi). Kita jamin itu,” kata Bambang kepada wartawan, di Kejagung, Selasa
(2/2).
Bambang enggan merinci aset-aset yang dimonhonkan untuk sita eksekusi
tersebut, tetapi tidak ditepis, jika salah satu asetnya itu, berupa properti Gedung
Granadi, di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Dia berjanji akan menelusuri aset-aset lainnya, bila dari perhitungan aset-
aset yang disita untuk dieksekusi nilainya belum mencukupi. “Kita akan cari terus
sampai kewajiban Supersemar ke negara tercukupi,” katanya.
90
PERTEMUAN XVI: UJIAN AKHIR SEMESTER
91
LAMPIRAN I: SILABUS
Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata
kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah
satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai
Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai
istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,
sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara
dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;
Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya
Hukum; Eksekusi.
Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep
hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam
masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus
yang terjadi di dalam masyarakat.
8. Capaian Pembelajaran :
Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai konsep-konsep dan
peristilahan dalam Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata, sasa-asas Acara
dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek
Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;
Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya
Hukum; Eksekusi.
92
9. Bahan Kajian
Bahan Kajian mata kuliah terdiri dari: Pendahuluan, Tindakan Sebelum dan
Selama Sidang, Proses Acara Istimewa, Proses Jawab Menjawab, Pembuktian,
Putusan, Upaya Hukum, Pelaksanaan Putusan, dan Pelaksanaan Putusan.
10. Referensi
1. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
2. Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian dalam Sistem Peradilan di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
3. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.
4. Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Armico,
Bandung.
5. Darwan Prints,1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan
Perdata, CV. Armico, Bandung.
6. A.T. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata Serta Sususnan dan
Kekuasaan Peradilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
7. Lilik Mulyadi,1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata
pada Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.
8. Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata, pada Pengadilan Agama,
Pustaka Pelajar, Jakarta.
9. Nur Rasaaid, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.
10. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1989, Hukum
Acara Perdata Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.
11. Soeparmono, 2000, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, CV
Mandar Maju, Bandung,
12. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
13. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur
Bandung, Bandung.
14. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya
Paramita, Jakarta.
15. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung.
93
LAMPIRAN II: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
RPP PERTEMUAN KE I, II, III, dan IV
8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Pengertian, Dasar Hukum, Azas
Hukum Acara Perdata dan Tindakan Sebelum Sidang
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan Pengertian hukum Acara Perdata, Sumber-sumber hukum
Acara Perdata, Asas- Asas Hukum Acara Perdata, Susunan Badan
Kekuasaan Peradilan, Pejabat di Lingkungan Peradilan Tuntutan Hak, Isi
Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,
Penggabungan/ Komulatif, paya untuk Menjamin Hak, Kompetensi
Peradilan, Gugatan Perwakilan.
9. Materi Pokok
a. Pendahuluan:Pengertian hukum Acara Perdata
b. Sumber-sumber hukum Acara Perdata
c. Asas- Asas Hukum Acara Perdata
d. Susunan Badan Kekuasaan Peradilan
94
e. Pejabat di Lingkungan Peradilan
f. Tindakan Sebelum dan Selama Sidang
g. Tuntutan Hak
h. Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya
i. Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis
j. Penggabungan/ Komulatif
h. Upaya untuk Menjamin Hak
i. Kompetensi Peradilan
j. Gugatan Perwakilan
95
Kegiatan Inti Dosen melalui media 60 Menit
pembelajaran LCD
mendeskripsikan mengenai
ruanglingkup Dasar-dasar Hukum
Acara dan Praktek Perdadilan
Perdata.
Mahasiswa dengan rasa ingin
tahu, tangung jawab
dan jujur menganalisis,
mendeskripsikan dalam
bentuk catatan serta
menambahkan informasi
pelengkap dari sumber.
Mahasiswa secara mandiri
dengan cerdas dan
tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai
hasil analisis terkait dengan
Pengertian hukum Acara Perdata,
Sumber-sumber hukum Acara
Perdata, Asas- Asas Hukum
Acara Perdata, Susunan Badan
Kekuasaan Peradilan, Pejabat di
Lingkungan Peradilan Tuntutan
Hak, Isi Gugatan dan Dasar
Hukumnya, Gugatan Lisan dan
Gugatan Tertulis, Penggabungan/
Komulatif, paya untuk Menjamin
Hak, Kompetensi Peradilan,
Gugatan Perwakilan
Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 Menit
secara bertanggung
jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil
pembelajaran.
Dosen memberikan penguatan,
96
evaluasi, dan tugas
untuk mempelajari lebih
mendalam Pengertian hukum
Acara Perdata, Sumber-sumber
hukum Acara Perdata, Asas- Asas
Hukum Acara Perdata, Susunan
Badan Kekuasaan Peradilan,
Pejabat di Lingkungan Peradilan
Tuntutan Hak, Isi Gugatan dan
Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan
dan Gugatan Tertulis,
Penggabungan/ Komulatif, paya
untuk Menjamin Hak, Kompetensi
Peradilan, Gugatan Perwakilan
Untuk memahami materi dalam
tutorial pada pertemuan
berikutnya.
13. Tugas
97
m. Apakah semua macam sita dapat dikatakan sita jaminan
n. Apa yang tidak dimungkinkan untuk melakukan komulasi subjektif dan
objektif
98
RPP PERTEMUAN KE V, VI, VII
1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum
2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata
3. Kode MK : BNI5338
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kelima adalah
mahasiswa mampu menguasai Alur Acara Istimewa dan Proses Jawab Menjawab
Selain itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan
demokratis terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan keenam dan ketujuh
adalah mahasiswa mampu mendiskusikan mengenai Pemanggilan Secara Patut,
Acara Istimewa, Mediasi Litigasi, Perubahan dan Pencabutan Gugatan Jawaban
Gugatan, Replik Duplik, Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses. Selain itu,
mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis terampil
mengemukakan pandangannya dalam tutorial.
8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Alur Acara Istimewa dan Proses
Jawab Menjawab.
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan Pemanggilan Secara Patut, Acara Istimewa, Mediasi Litigasi,
Perubahan dan Pencabutan Gugatan Jawaban Gugatan, Replik Duplik,
Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses.
9. Materi Pokok
a. Proses Acara Istimewa
b. Pemanggilan Secara Patut
c. Acara Istimewa
d. Mediasi Litigasi
e. Perubahan dan Pencabutan Gugatan
f. Proses Jawab Menjawab
g. Jawaban Gugatan
99
h. Replik Duplik
i. Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses
100
mendeskripsikan dalam bentuk
catatan serta menambahkan
informasi pelengkap dari sumber.
Mahasiswa secara mandiri
dengan cerdas dan tanggun jawab
menyajikan secara lisan mengenai
hasil analisis terkait dengan Alur
Acara Istimewa dan Proses Jawab
Menjawab.
Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 Menit
secara bertanggung
jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil
pembelajaran.
Dosen memberikan penguatan,
evaluasi, dan tugas
untuk mempelajari lebih
mendalam Pemanggilan Secara
Patut, Acara Istimewa, Mediasi
Litigasi, Perubahan dan
Pencabutan Gugatan Jawaban
Gugatan, Replik Duplik, Mengikut
sertakan Pihak Ketiga Dalam
Proses untuk memahami materi
dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya.
101
c. Apa Tujuan diadakan Mediasi?
d. Benarkah Mediasi Litigasi dapat memperlancar jalur keadilan?
e. Sebutkan tahapan-tahapan pemeriksaan perkara dlam sidang?
f. Apa saja yang harus dimuat dalam jawaban gugatan?
g. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?
h. Apa persyaratan diajukan gugatan Reconvensi?
i. Apa perbedaan Antara intervensi dengan bentuk-bentuk masuknya pihak
ketiga yang lain?
102
RPP PERTEMUAN KE VIII
UJIAN TENGAH SEMESTER
103
RPP PERTEMUAN KE IX, X, dan XI
1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum
2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata
3. Kode MK : BNI5338
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kesembilan adalah
mahasiswa mampu menguasai Pembuktian dan Putusan, jujur dan demokratis
terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kesepuluh dan
kesebelas adalah mahasiswa mampu mendiskusikan mengenai Pengertian,
Beban Pembuktian dan Alat-alat Bukti Pengertian putusan, Sistematika Putusan,
Asas-asas Putusan, Jenis-jenis Putusan dan Kekuatan Putusan, mahasiswa
diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis terampil
mengemukakan pandangannya dalam tutorial.
8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Pembuktian dan Putusan.
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan Pengertian, Beban Pembuktian dan Alat-alat Bukti
Pengertian putusan, Sistematika Putusan, Asas-asas Putusan, Jenis-jenis
Putusan dan Kekuatan Putusan.
9. Materi Pokok
a. Pengertian,
b. Beban Pembuktian
c. Alat-alat Bukti P
d. engertian putusan
e. Sistematika Putusan
f. Asas-asas Putusan
g. Jenis-jenis Putusan
h. Kekuatan Putusan
104
10. Metode Pembelajaran
a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.
105
menambahkan informasi
pelengkap dari sumber.
Mahasiswa secara mandiri
dengan cerdas dan
tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai
hasil analisis terkait dengan
Pengertian, Beban Pembuktian
dan Alat-alat Bukti Pengertian
putusan, Sistematika Putusan,
Asas-asas Putusan, Jenis-jenis
Putusan dan Kekuatan Putusan.
Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 Menit
secara bertanggung
jawab dan logis menyimpulkan
proses dan hasil
pembelajaran.
Dosen memberikan penguatan,
evaluasi, dan tugas
untuk mempelajari lebih
mendalam Pengertian, Beban
Pembuktian dan Alat-alat Bukti
Pengertian putusan, Sistematika
Putusan, Asas-asas Putusan,
Jenis-jenis Putusan dan Kekuatan
Putusan untuk memahami materi
dalam tutorial pada pertemuan
berikutnya.
106
14. Tugas
a. Apa perbedaan alat bukti yang diatur dalam HIR/R.Bg dengan alat bukti yang
diatur dalam KUHPerdata?
b. Apa Hubungan Alat Bukti dengan Posita Gugatan?
c. Apa perbedaan sumpah tambahan dengan sumpah putusan?
d. Mungkinkah apa yang diucapkan oleh hakim berbeda dengan apa yang
tertulis dalam vonis?
e. Apa yang dimaksud dengan kekuatan mengikat dari putusan pengadilan?
f. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?
g. Apa yang harus dilakukan oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan?
107
RPP PERTEMUAN KE XII, XIII, XIV, dan XV
1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum
2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha
Negara
3. Kode MK : BNI6349
4. Semester : VI (Enam)
5. SKS : 3 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Administrasi Negara
7. Deskripsi Mata Kuliah :
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan keduabelas adalah
mahasiswa mampu menguasai Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan. Selain
itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis
terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.
Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan ketigabelas,
Keempatbelas dan kelimabelas adalah mahasiswa mampu mendiskusikan
mengenai Upaya Hukum Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa Pengertian, Dasar
Hukum, Asas-asas, Jenis-jenis, Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi dan
Pelaksanaan Putusan. Selain itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung
jawab, jujur dan demokratis terampil mengemukakan pandangannya dalam tutorial.
8. Indikator Pencapaian
a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Upaya Hukum dan Pelaksanaan
Putusan
b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu
mendiskusikan pengertian Upaya Hukum Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa
Pengertian, Dasar Hukum, Asas-asas, Jenis-jenis, Perlawanan Terhadap
Sita Eksekusi dan Pelaksanaan Putusan
9. Materi Pokok
a. Putusan
b. Upaya Hukum dan
c. Eksekusi.
108
11. Media, Alat dan Sumber Belajar
a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol.
c. Bahan bacaan/pustaka.
109
Mahasiswa secara mandiri
dengan cerdas dan
tanggun jawab menyajikan secara
lisan mengenai hasil analisis
terkait dengan pengertian
Upaya Hukum Biasa, Upaya
Hukum Luar Biasa Pengertian,
Dasar Hukum, Asas-asas, Jenis-
jenis, Perlawanan Terhadap Sita
Eksekusi dan Pelaksanaan
Putusan
Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 Menit
secara bertanggung jawab dan
logis menyimpulkan proses dan
hasil pembelajaran.
Dosen memberikan penguatan,
evaluasi, dan tugas mempelajari
lebih mendalam Upaya Hukum
Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa
Pengertian, Dasar Hukum, Asas-
asas, Jenis-jenis, Perlawanan
Terhadap Sita Eksekusi dan
Pelaksanaan Putusan untuk
memahami materi dalam tutorial
pada pertemuan berikutnya.
110
15. Evaluasi Soft Skills
111
LAMPIRAN III: KONTRAK PERKULIAHAN
8. Diskripsi Perkuliahan
Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata
kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah
satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai
Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai
istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,
sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara
dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;
Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya
Hukum; Eksekusi.
Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep
hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam
masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus
yang terjadi di dalam masyarakat.
9. Capaian Pembelajaran:
112
Pada akhir perkuliahan mata kuliah ini mahasiswa menguasai pengetahuan
mengenai seluk-beluk istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek
Peradilan Perdata, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah
pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan
Persiapan Sebelum Sidang; Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa;
Pembuktian, Putusan; Upaya Hukum; Eksekusi dan mengembangkan sikap
religius, rasa ingin tahu, kritis, logis dalam menyelesaikan masalah-masalah
kewarganegaraan serta peduli terhadap lingkungan masyarakat.
Pembuktian
Pengertian
Beban Pembuktian
Alat-alat Bukti
113
Putusan
Pengertian putusan
Sistematika Putusan
Asas-asas Putusan
Jenis-jenis Putusan
Kekuatan Putusan
Upaya Hukum
Upaya Hukum Biasa
Upaya Hukum Luar Biasa
Pelaksanaan Putusan
Pengertian
Dasar Hukum
Asas-asas
Jenis-jenis
Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi
Pelaksanaan Putusan
12. Tugas-tugas
Tugas-tugas dalam perkuliahan dalam satu semester terdiri dari:
a. Tugas-tugas latihan yang terdapat pada setiap sesi penutup
kegiatan pembelajaran seagai media evaluasi atas capaian
pembelajaran atas satu bahan kajian; dan
b. Tugas-tugas yang terdapat pada setiap kegiatan tutorial yang
divisualisasi dengan kasus-kasus untuk mencapai capaian
kemampuan akhir yang direncanakan pada setiap pertemuan.
114
13. Kriteria Penilaian
Penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat Pedoman
Pendidkan Fakultas Hukum Unud tahun 2013.
………………………………… …………………………………
Mengetahui
Ketua Bagian Acara,
………………………………………..
115