Você está na página 1de 4

MENUNGGU

Karya : M. Edi Kurniawan


Aku kembali terpaku pada panorama yang tak asing lagi. Sebuah panorama yang
selama ini begitu akrab dengan kehidupanku disekolah hijau ini. Didepanku berdiri kokoh
sebatang pohon palem yang tegar dalam kesendirian. Pohon itu dikelilingi rumput basah
yang bermandi matahari. Perlahan sisa tetesan embun yang hendak diatasnya sirna seiring
dengan pagi yang semakin tua. Ditempat yang penuh kenangan ini aku masih
menunggunya dengan setia, bagiku setia tidak pernah sia sia.
Masih bisa kuhirup aroma pagi walau matahari sudah agak meninggi. Pukul sepuluh,
saat yang tepat untuk menunggunya disini, selasar sebuah masjid yang selalu teduhkan
jiwaku. Melapangkan pikiranku dari jenuhnya suasana kelas. Hal inilah yang menjadi salah
satu alasanku untuk segera kembali ketempat ini begitu hari minggu tiba. Begitu juga
dengan teman teman ku yang saat ini dibelakangku, sedang asyik membicarakan rencana
perjalanan kami kejakarta beberapa minggu lagi. Dan kini masih asyik sendiri, nikmati
matahari dan berbagai aktifitas kehidupan yang saat ini terpajang didepan mataku
Kutebarkan pandanganku. Di kananku sebuah masjid berdiri dengan megah walau tak
semegah masjid raya yang ada dialun alun kotaku. Masjid itu bernama al-furqon. Tempat
ini adalah salah satu tempat yang paling sering kusinggahi. Diberanda masjid kulihat
beberapa siswa sedang membaca al-Qur’an.
Tanpa terasa matahari semakin tinggi, hampir tepat diatas kepalaku. Langit yang
menyajikan biru muda nyaris tak dihinggapi awan. Udara sudah mulai panas. Kulepaskan
sweater putih yang kupakai sejak pagi. Ternyata leherku basah karena keringat. Suasana
disekelilingku semakin ramai saja. Berbondong-bondong orang dari berbagai arah
menyerbu selasar masjid yang sebelumnya tampak lengang. Teman-temanku tak lagi
membicarakan rencana perjalanan kami ke Jakarta. Beberapa diantara mereka ada yang
pulang kerumah. Sedang yang lain terlihat sedang tidur-tiduran, mengerjakan tugas,
mengobrol,dan makan.
***
Siang semakin garang.Mengucurkan keringat disekujur tubuhku. Saat inin aku sudah
bisa mencium aroma siang. Kurasa panas pada kulit tanganku yang terjemur langsung
dibawah terik matahari.
Aku berpindah tempat,mencari tempat yang lebih teduh.Kini aku bersandar di sebuah
lemari kayu yang biasa dijadikan tempat penitipan sepatu. Orang-orang lalu lalang
didepan wajahku. Tiba-tiba seorang anak menghampiriku dengan membawa sebuah
kecrek yang terbuat dari kayu dan tutup botol soft drink yang dipipihkan. Kukecilkan suara
walkman untuk mendengarkan bocah yang seumuran dengan adik bungsuku bernyany, ‘’
ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati lintangan, demi aku anakmu’’.
Hatiku benar-benar tersentuh. Bagaimana bisa seorang bocah yang belum bisa
mengucapkan huruf ‘R’ berada disini mencari makan? Inikah tanda-tanda ketidak adilan
dunia? Lalu bagaimana dengan masa depan mereka? Ah, kurasa inilah salah satu
penyebab keterbelakangan bangsa kita disbanding bangsa lain. Tapi mau bagaimana lagi?
Apasih yang bisa dilakukan oleh seorang siswa miskin seperti aku selain berdoa, berdoa,
dan berdoa. Mudah-mudahan kelak tak ada lagi anak yang kurang beruntung seperti dia.
Setelah kukeluarkan uang receh secukupnya anak itun berlalu. Ia berkumpul dengan
teman-temannya didekat menara putih yang menjulang tinggi di depan masjid ini. Mereka
begitu menikmati penatnya siang. Seakan tanpa beban mereka berlarian dibawah jemuran
matahari. Sementara itu aku kembali menebar pandanganku. Masih dalam rangka
mencari sosoknya yang selama ini kurindukan.
Di masjid ini berkali-kaali terjadi kasus kehilangan barang baik itu tas, sepatu, jaket,
dan handphone. Oleh karena itulah salah bergantian dianggap sebagai solusi terbaik untuk
menghindari kehilangan barang. Begitu juga dengan aku, 2 tahun yang lalu aku sempat
menjadi korban kehilangn tas di masjid ini. Betapa kesalnya aku saat itu. Isi tas memang
tidak bernilai jual tinggi bagi orang lain, tetapi bagiku sangat berarti. Isinya disket tugas
akhir semester yang belum sempat di print, dan foto-foto kenanganku.
Segera kumatikan walkman, setelah menitipkan tas dan sepatu pada temanku yang
kebetulan sedang “libur shalat”, aku segera mengambil air wudhu dan shalat berjamaah.
Seusai shalat aku berdoa kepada tuhan agar aku bisa dipersatukan dengannya, aku inggin
menjadikannya mentari cintaku. Kemudian aku segera kembali ke selasar masjid. Aku
masih berharap bisa bertemu dengannya siang ini, atau paling tidak aku bisa melihatnya
walaupun dari kejauhan. Yang jelas didasar hati terdalamku aku inggin menyatakan isi
hariku untuk siang ini juga.
Pukul setengah satu, matahari benar-benar tak selembut tadi pagi suasana di
sekelilingku semakin ramai. Para penjual makanan mulai berdatangan untuk menyajikan
hidangan makanan siang berupa batagor, siomay, es cendol, cincau, dan berbagai
makanan lain dengan harga murah tentunya. Tetapi aku sedikitpun tidak bergerak untuk
makan.
Aku segera merapihkan barang bawaanku, lalu segera kupakai sepatuku. Tetapi aku
tidak segera beranjak.
Aku masih begitu ingin bertemu dengannya. Sekali lagi ku amati sekelilingku. Masih
bisa kurasakan suasana ramai khas tempat ini yang terjadi setiap Hari Sabtu dan Minggu.
Dan akhirnya penantianku tidak sia-sia. Tepat didepanku, didekat gerbang sekolah aku
melihatnya berjalan menuju tempat parkir motor. Tapi jantungku seakan berhenti
berdegub. Dia tidak sendiri. seorang lelaki mendampingi langkahnya. Tak lama kemudian
mereka berlalu, melaju dengan sebuah sepeda motor. Menara putih dan pohon palem
runtuh dalam semesta lukaku. Rumput terbakar terik matahari seperti hatiku yang
terbakar api yang takku mengerti. Kering dan layu. Dalam hitungan detik segalanya
berubah jadi debu. Tak ada lagi mawar atau kanigara. Yang ada hanyalah bangkai berbau
amis. Aku berlalu meninggalkan selasar masjid yang masih di penuhi manusia.
Kutinggalkan sebuah pertanyaan ,”mengapa dia tak menjadikan aku ssebagai
mataharinya?” pertanyaan itu terjawab setelah aku tahu bahwa lelaki itulah matahari
pilihannya. Dan aku, masih akan selalu menunggun di selasar masjid ini. Bukan lagi
menunggu kedatangannya tetapi menunggu kematian sebuah pijaran jiwa yang kini telah
diliputi luka mengaga aku terluka.

Você também pode gostar