Você está na página 1de 4

MENTARI

Penulis : I Gusti Ayu Niken

“Mentari bersinar dan selalu menari...”.


Setiap potongan syair itu terdengar, para teman-temannya segera paham. Reni baru
saja pulang dari sekolah, ia pasti sedang santai-santai sambil memeluk kucingnya.

Kalau saya punya adik, reni begitu perempuan pelajar itu dipanggil. Tentu pantas
dipanggil kakak, tapi jangankan kok dipanggil kakak sampai usianya yang menginjak 17
tahun. Seorang adik pun tak ia miliki. Pernah memang seorang anak kecil mewarnai
hari-hari dan kehidupannya. Perempuang lagi. Tetapi nasib malang merengguh hidup
anak kecil itu ketika belum genap berumur 5 tahun.

Kehadiran mentari sangat berarti bagi keluarga itu, terutama untuk reni. Sekian
lama, sejak kematian adik satu-satunya, hidup reni terasa kering. Tutik ibunya pun
merasakan hal yang sama. Oleh karena itu, tutik bisa memahami prilaku reni terhadap
mentari, si kucing betina itu.

“Lihat, lihat bu. Matanya bu kaya mata adek”. Pujian terhadap mentari yang
diungkapkan kepada ibunya itulah yang meyakinkan teman-teman reni bahwa
perlakuan reni terhadap mentari sangat dihidupi oleh semangat kerinduan seorang
kakak dengan adiknya. Mentari, nama yang diberikannya untuk si kucing. Tak lain
adalah nama panggilan adiknya.

Mentari memang kucing cantik. Lihat bulunya yang belang tiga, ekornya yang
panjang meliuk. Sementara bulu hitam yang mengalungi lehernya menambah
keanggunannya. Matanya buat bening, biru kehijauan sepolos anak kecil. Hitam di
kedua kelopak matanya menegaskan kekanak-kanakkannya.

Sebab itulah, tampaknya kucing lain harus iri pada mentari. Ya, ia dianggap adik,
tidak sebagaimana kucing lain. Mentari tidak pernah harus mengorek-ngorek sisa
makan, apalagi mencuri-curi. Reni juga tak membiarkan mentari menggaruk-garuk
kutu di bulunya. Ia begitu rajin memandikan mentari.
Suatu hari tiba-tiba mentari tak pulang. Reni yang kembali dari sekolah, saat itu
tak menemukan mentari, ribut bukan main.

“Kamu lihat mentari? Ken”.

“Tadi kawin sama kucingnya lindhi, ren”.

“Heh, kawin.....??” Reni melotot.”mentari kawin?”.

Teman yang ditanya reni sesaat terkesima. Tapi, ia yang tahu bagaimana reni
memperlakukan mentari segera paham. Ia nyengir.

“Ya pingin Kawin kok Ren”.

“ya sudah, kawin”.

“Tapi terus kemana? Tahu nggak?” teman itu menggeleng.

Reni pontang-pating. Hampir seluruh desa diacak-acak tak ada yang bisa memberi
keterangan yang baik.

“Bu !!! Mentari sudah pulang belom?”

Mentari tak kunjung ketemu.

Tiga hari lewat. Mentari belum juga pulang, sampai kemudian , saat di sekolah,
Ikke seorang pelajar juga teman sekelasnya, yang biasa berangkat ke sekolah sama-
sama. Ikke bilang bahwa dua hari lalu ia melihat Mentari ketiduran di atas rumah
Pandi, teman Reni sendiri. Maka, tanpa ba bi bu, reni bergegas pulang.

“Pan Mentari di tempat mu ya ?”

“Enggak tau ya. Tapi, kemarin ada kucing yang mati keracunan. Karna bau, aku titipkan
Galih waktu buang sampah.”

“Mata Reni membulat. Namun ia meyakinkan diri.

“Nggak Mentari kan ?”


“Ngak tau Ren.”

Dengan kalut Reni meninggalkan rumah Pandi. Dicarinya Galih. Ternyata benar,
bangkai kucing itu adalah Mentari.

“Kok kamu gak bilang, Lih” bentak reni dengan kacau.

Galih yang tau reni terpukul tak menjawab.

“Kamu buang dimana......” tanya itu masih bernada membentak, tapi melemah dan
dibayangiu isak.

“Tempat biasanya Ren .”

“Ayo dicari ...... “ kali ini ada rasa yang ditabah-tabahkan.

“Bu! Cari Mentari bu!”

Berapa teman yang kasihan ikut berangkat ketempat bangkai Mentari di buang. Tapi
bangkai mentari sudah tak ada.

“Mana Lih?”

Tempat pembuangan sampah pinggir desa itu diubek-ubek tapi bangkai mentari tetap
tak ditemukan. “Mana lih....?” isak Reni hampir meratap. Ibunya bahkan sudah
menangis seperti orang tua yang ditinggal mati anaknya.

Para teman pun larut, mereka turut merasakan kesedihan reni. Rata-rata mereka
menyalahkan pandi. Apalagi setelah terbukti racun tikus yang dipasang pandi yan g
membunuh mentari

Sebagai tanda solidaritas beberapa teman sepakat untuk mengganti dengan


kucing lain. Tentu saja seistimewa mentari. Mereka kemudian mendapatkan kucing
jantan berbelang tiga.
Besok sorenya, entah mengapa para teman merasa kangen dengan dendangan
reni. “mentari.... mentari... atau entah lagu apapun, paling tidak dijadikan pertan da
usaha mereka membuahkan hasil. Tapi sampai maghrib, jangankan dendang, orangnya
saja tak tampak. Kata ibunya reni belum pulang dari sekolah.

Sampai beberapa hari kemudian, dendang itu tetap saja tak terdengar. Tak
terlihat pula reni menimang-nimang kucing pemberian teman tersebut. Ditengah
suasana menunggu tersebut, seorang teman melaporkan tentang tanah mengunduk,
semacam kuburan dibelakang rumah reni. Diatas gundukan itu terdapat palang
sederhana dengan tulisan “Mentari”.

Editor : Ikke Sepriyanti

Você também pode gostar