Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
DEFINISI
B. ETIOLOGI
C. FAKTOR RESIKO
D. KLASIFIKASI
E. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan hingga 5
tahun. Di Amerika insidensinya 2%-5% anak dengan usia dibawah 5 tahun.
Sedangkan di Asia insidensinya meningkat dua kali lipat, seperti di jepang berkisar
8,3% - 9,9% bahkan di kepulauan Guam sudah mencapai 14%. (Sapiman, 2005)
Pada umumnya kasus kejang demam sembuh sempurna, sebagian kecil
berkembang menjadi epilepsi (2%-7%), dengan angka kematian 0,64%-0,75%.
Maka dari itu prognosis kejang demam biasanya baik (Knudzen, 2010).
F. PATOFISIOLOGI
(Terlampir)
G. MANIFESTASI KLINIK
Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah:
(Dewanto et al, 2009, dalam Pohan, 2010)
1. Suhu tubuh mencapai 39°C.
2. Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
3. Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan
mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang
tergantung pada jenis kejang.
4. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.
5. Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Fisik (from top to bottom) Menurut Capovilla at al. (2009) dan
Jones (2007):
1. Kejang Demam Sederhana
- Anak usia <18 bulan sangat disarankan untuk dilakukan observasi
dan pemeriksaan lebih lanjut seperti pungsi lumbal
- Anak usia >18 bulan tidak harus observasi di rumah sakit jika
kondisi stabil, keluarga perlu diberitahu jika terjadi kejang berulang
maka harus dibawa ke rumah sakit.
- Pemeriksaan darah rutin, elektroensefalografi, dan neuroimaging
tidak selalu dilakukan.
- Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada pasien umur ≤18 bulan
dengan meningeal sign serta pasien dengan kecurigaan infeksi
SSP.
2. Kejang Demam Kompleks
- Pemeriksaan difokuskan untuk mencari etiologi demam.
- Membutuhkan observasi lebih lanjut di rumah sakit, seperti pungsi
lumbal serta beberapa tindakan (elektroensefalografi dan CT scan)
mungkin diperlukan
1) Pemeriksaan Laboratorium
berfungsi untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau
keadaan lain, misalnya gastroenteritis, dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan darah perifer
b. Elektrolit
c. Gula darah
3) Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
kemungkinan terjadi meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis
0,6-6,7% pada bayi dan sangat sulit menegakkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan (sangat dianjurkan)
b. Bayi antara 12-18 bulan (dianjurkan)
c. Bayi >18 bulan (tidak rutin)
Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
4) Pemeriksaan Radiologi
Menilai adanya kelainan struktural di otak dan mendeteksi
perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang
fokal sekunder dilakukan pemeriksaan radiologi menggunakan Ct Scan
(Computed Temography Scan) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala. Indikasi dilakukan pemeriksaan adalah:
a. Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis)
b. Paresis nervus VI
c. Papiledema
Pemeriksaan MRI lebih direkomendasikan untuk melihat adanya
lesi kecil diotak, sclerosis hpokampus, disgenesis kortikal, tumor, dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsy refrakter yang sangat mungkin
dilakukan terapi pembedahan. MRI kepala biasanya meliputi T1 dan T2
weighted dengan minimal 2 irisan axial (coronal dan saggital) (Wendorff,
2011).
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
a. Profilaksis intermitten
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan
ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat
adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi
dan cepat masuk ke otak. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih
baik kerena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam
intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan
kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari
10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5°C atau lebih. Diazepam
dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari dibagi
dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam
adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia (Soetomenggolo, 2000).
b. Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari
Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah
sebesar 16 mgug/ml dalam darh menunjukkan hasil yang bermakna untuk
mencegah berulanggnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan
untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau
bahkan lebih baik dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang
menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-
40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus
menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang
dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjandinya
epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).
J. KOMPLIKASI
Gangguan – gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak
anatara lain:
1. Kejang demam berulang
2. Kerusakan neuron otak
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot
yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak
teratur, serta suhu tubuh yang makin meningkat sejalan dengan
meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan metabolisme otak.
3. Retardasi mental
Terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat
4. Epilepsi
Terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
5. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai
serta wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita
yang mengalami kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-mula
kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu timbul spasitas
K. PENCEGAHAN
2. Pencegahan Primer
Disusun Oleh:
Kelompok 6, Reguler 2