Você está na página 1de 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengendalian kuantitas berkaitan dengan beberapa masalah seperti,
perpindahan udara, arah aliran, dan jumlah aliran udara. Dalam pengendalian
kualitas udara tambang baik secara kimia atau fisik, udara segar perlu dipasok dan
pengotor seperti debu, gas, panas, dan udara lembab harus dikeluarkan oleh sistem
ventilasi. Dengan memperhatikan beberapa faktor tersebut diatas, maka kebutuhan
udara segar di tambang bawah tanah kadang-kadang lebih besar dari pada 200
cfm/orang atau bahkan hingga 2.000 cfm/orang. Kondisi tambang bawah tanah saat
ini sudah banyak yang menyediakan aliran udara untuk sebanyak 10 – 20 ton udara
segar per ton mineral tertambang.

1.2 Tujuan Praktikum


Setelah mengikuti praktikum Ventilasi ini, diharapkan praktikan dapat:
1. Memahami teori aliran udara pada sistem ventilasi tambang bawah tanah.
2. Melakukan pengukuran kecepatan udara dengan variasi bukaan regulator.
3. Melakukan pengukuran faktor kehilangan jumlah udara.
4. Menghitung kuantitas udara yang dihasilkan oleh fan dengan variasi bukaan
regulator.

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 1


BAB II
DASAR TEORI

2.1. Perubahan Energi di dalam Aliran Fluida


Ventilasi tambang biasanya merupakan suatu contoh aliran tunak (steady), artinya
tidak ada satupun variabelnya yang merupakan fungsi waktu. Salah satu tujuan dari
perhitungan ventilasi tambang adalah penentuan kuantitas udara dan rugi-rugi, yang
keduanya dihitung berdasarkan perbedaan energi.

Hukum konservasi energi menyatakan bahwa energi total di dalam suatu sistem
adalah tetap, walaupun energi tersebut dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk
lainnya.

Gambar 2.1
Sistem Aliran Fluida

Perhatikan gambar 2.1, dimana;


Energi total 1 = energi total 2 + kehilangan energi ............................................. (1)
Atau;
Energi masuk sistem = energi keluar sistem
Jadi didapat persamaan yang disebut persamaan Bernouli :
(P1/w) + (V12/2g) + ( Z1) = (P2/w) + (V22/2g) + ( Z2) + Hl ................................ (2)

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 2


Keterangan :
(P/w) = energi statik /head statik
(V2/2g) = energi kecepatan /head kecepatan
Z = energi potensial /head potensial
Hl = energi kehilangan /head kehilangan

Setiap suku dalam persamaan diatas pada dasarnya adalah energi spesifik dalam
satuan ft. lb/lb atau ft. Karena ft adalah ukuran head fluida, maka suku-suku
tersebut dapat dinyatakan sebagai ‘presure head’ atau ‘head’ saja.
Sehingga persamaan (1) dapat ditulis menjadi :
Ht1 = Ht2 + Hl ........................................................................................... (3)
Dan Persamaan (2) menjadi :
Hs1 + Hv1 + Hz1 = Hs2 + Hv2 + Hz3 + Hl .................................................... (4)
Dimana ;
Hs = head statik
Hv = head kecepatan
Hz = head potensial

Energi potensial dapat dihitung dengan cara memasukkan besaran


perbedaan tinggi, yakni;
P = w1 H1 = w2 H2
Dimana :
P = tekanan, dalam Pa atau lbs/sq.ft.
W1 = bobot isi udara, dalam kg/m3 atau lbs/cuft.
H = head, dalam m atau ft.
Dengan bobot isi air = 62,4 lb/ft3, pengaruh berada tinggi untuk kolom 1 inci air
pada kondisi udara standar adalah :
H1 = (w2 H2/ w1) = ((62,4 lb/ft3)(1 in)/ (0,0750 lb/ft3))
= 532 in = 69,3 ft udara

Jadi untuk udara diatas permukaan air laut, suatu kenaikan elevasi sebesar
69,3 ft akan menaikkan head potensial Hz sebesar 1 in dan sebagai kompensasinya
head statik akan turun juga sebesar 1 in. Dalam praktek, konversi sebesar 70 ft
udara ekuivalen dengan 1 in air.

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 3


Jika head potensial (Hz) diperhitungkan dalam persamaan (4) maka head statik
dinyatakan dalam tekanan gauge. Oleh karena itu head statik diukur dari datum
tertentu.

Gambar 2.2 menunjukkan perhitungan energi aliran udara untuk susunan saluran
udara yang diletakkan secara mendatar dan tegak.
 Untuk posisi mendatar :
HT1 = Hs1 + Hv1 + Hz1
HT2 = Hs2 + Hv2 + Hz2
HT1 = HT2 + HL
Dengan menggunakan tekanan absolute :
(4 + 408) + 1 + 0 = ( 1 + 408 ) + 1 + 0 + 3
413 = 413
Dengan tekanan gauge :
4+1+0 = 1+1+0+3
5 = 5

Gambar 2.2
Susunan Saluran Udara Mendatar dan Tegak

 Untuk posisi tegak :


HT1 = HT2 + HL
Dengan tekanan absolute :
(4 + 408) + 1 + 0 = (1 + 407 ) + 1 + 1 + 3
413 = 413
Dengan tekanan gauge :

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 4


4+1+0  1+1+1+3
5  6
Perhitungan dengan tekanan gauge salah karena tidak mempertimbangkan
perubahan datum yang terjadi karena perubahan elevasi.

Pada prakteknya penggunaan tekanan absolute dalam perhitungan ventilasi


membuat rumit. Oleh karena itu diterapkan konvensi penggunaan tekanan gauge
sebagai basis perhitungan dengan cara menghilangkan Hz dalam semua
perhitungan.
Dengan demikian persamaan energi yang disederhanakan menjadi :
Ht1 = Ht2 + HL
Hs1 + Hv1 = Hs2 + Hv2 + HL ................................................................. (5)

Persamaan ini berlaku selama pengukuran dan perhitungan head statik didasarkan
pada tekanan gauge. Namun persamaan tersebut tidak berlaku untuk ventilasi alam
dimana Hz tidak bisa diabaikan.

2.2. Prinsip Pengaliran Udara Serta Kebutuhan Udara Tambang


a. Head Loss
Aliran udara terjadi karena adanya perbedaan tekanan yang ditimbulkan antar dua
titik dalam sistem. Energi yang diberikan untuk mendapatkan aliran yang tunak
(steady), digunakan untuk menimbulkan perbedaan tekanan dan mengatasi
kehilangan aliran (HL).

Head loss dalam aliran udara fluida dibagi atas dua komponen, yaitu : ‘friction loss
(Hf)’ dan ‘shock loss (Hx)’. Dengan demikian head loss adalah:

HL = Hf + Hx ........................................................................................... (6)

Friction loss menggambarkan head loss pada aliran yang linear melalui saluran
dengan luas penampang yang tetap. Sedangkan shock loss adalah kehilangan head
yang dihasilkan dari perubahan aliran atau luas penampang dari saluran, juga dapat
terjadi pada inlet atau titik keluaran dari sistem, belokan atau percabangan, dan
halangan-halangan yang terdapat pada saluran.

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 5


b. Mine Head
Untuk menentukan jumlah aliran udara yang harus disediakan untuk mengatasi
kehilangan head (head loss) dan menghasilkan aliran yang diinginkan, diperlukan
penjumlahan dari semua kehilangan energi aliran.

Pada suatu sistem ventilasi tambang dengan satu mesin angin dan satu saluran
keluar, komulatif pemakaian energi disebut ‘mine head’, yaitu perbedaan tekanan
yang harus ditimbulkan untuk menyediakan sejumlah tertentu udara ke dalam
tambang.
1) Mine statik head (mine Hs)
Merupakan energi yang dipakai dalam sistem ventilasi untuk mengatasi seluruh
kehilangan head aliran. Hal ini sudah termasuk semua kehilangan dalam head loss
yang terjadi antara titik masuk dan keluaran sistem dan diberikan dalam bentuk
persamaan:
Mine Hs =  HL =  (Hf + Hx)

2) Mine velocity head (mine Hv)


Dinyatakan sebagai velocity head pada titik keluaran sistem. Velocity head akan
berubah dengan adanya luas penampang dan jumlah saluran dan hanya merupakan
fungsi dari bobot isi udara dan kecepatan aliran udara. Jadi bukan merupakan suatu
head loss komulatif, namun untuk suatu sistem merupakan kehilangan, karena
energi kinetik dari udara dilepaskan ke atmosfer.

3) Mine total head (mine HT)


Merupakan jumlah keseluruhan kehilangan energi dalam sistem ventilasi. Secara
matematis, merupakan jumlah dari mine statik (Hs) dan velocity head (Hv), yaitu :
Mine HT = mine Hs + mine Hv

2.3. Gradien Tekanan (Gradien Hidrolik)


Penampilan berbagai komponen head dari persamaan umum energi secara
grafis dapat menjelaskan gradien tekanan. Gambar 2.3 menunjukkan gradien
tekanan untuk suatu sistem aliran udara sederhana. Tampak dari gambar tersebut
bahwa ada 3 gradien yang jelas, yaitu : elevasi, statik + elevasi (termasuk tekanan
atmosfer) dan head total. Dalam ventilasi tambang, hanya gradien tekanan statik

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 6


dan total yang di plot. Efek elevasi dapat diabaikan dan datum yang digunakan
paralel dengan garis tekanan barometrik.

Pengaliran udara melalui sistem tekan (boeling) dilakukan dengan meletakkan


sumber penekan udara di lubang masuk dan menaikkan tekanan udara tambang
hingga diatas tekanan atmosfer (lihat gambar 2.4). Pada gambar 2.4 tampak bahwa
perubahan tekanan ditunjukkan oleh head kecepatan (Hv), head gesek (Hf),
subskrip a, b, c, menggambarkan posisi saluran, sedangkan subskrip d, e, dan f
masing-masing mewakili kondisi shock loss akibat pengembangan, penyempitan,
dan pengeluaran. Perlu diperhatikan bahwa pada sistem ini semua head positif
kecuali pada bagian masuk.

Gambar 2.3
Gradien Tekanan Untuk Sistem Aliran Udara Sederhana

Gambar 2.4
Gradien Tekanan Pada Sistem Ventilasi Tekan

Untuk menggambarkan sistem gradien tekanan perlu memperhatikan beberapa hal


berikut :

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 7


 Head tekanan total selalu nol pada bagian masuk sistem, tetapi positif dan sama
dengan head kecepatan di bagian keluar.
 Head keamanan statik selalu negatif dan sama dengan head kecepatan pada
bagian masuk tetapi nol pada bagian keluar.
 Head total pada setiap titik digambarkan dahulu, dan head statik berikutnya yang
sama dengan pengurangan head total terhadap head kecepatan.

Bila sumber tekanan aliran udara ditempatkan pada bagian keluar disebut sistem
ventilasi exhaust. Penggambarannya dilakukan sama dengan sistem tekan, kecuali
bahwa bagian masuk dianggap sebagai titik mula (lihat gambar 2.5).

Pada sistem ‘booster’, sumber pembuat tekanan (fan) diletakkan antara bagian
masuk dan bagian keluar. Umumnya fan akan menerima udara di bawah tekanan
atmosfer dan mengeluarkan di atas tekanan atmosfer (lihat gambar 2.6).

Gambar 2.5
Gradien Tekanan Sistem Ventilasi Exhaust

Gambar 2.6
Gradien Tekanan Pada Sistem ‘Booster’

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 8


2.4. Keadaan Aliran Udara Di Dalam Lubang Bukaan
Dalam sistem aliran fluida akan selalu ditemui keadaan aliran : laminer,
entermediate dan turbulent. Kriteria yang dipakai untuk menentukan keadaan aliran
adalah bilangan Reynold (NRe). Bilangan Reynold untuk aliran laminer adalah 
2000 dan untuk turbulent di atas 4000.

NRe = ( D V)/() = (D V) / () ............................................................. (7)

Keterangan:
 = rapat massa fluida (lb.det2/ft4 atau kg/m3)
 = viskositas kinematik (ft2/detik atau m3/detik)
 = viskositas absolut (= ; lb detik/ft2 atau a.detik)
D= diameter saluran fluida (ft atau m)
V= kecepatan aliran fluida (ft/detik)

Untuk udara pada temperatur normal  = 1.6 x 10-4 ft2/detik atau 14.8 x 10-6
m2/detik.
Maka:
NRe = 6.250 DV
atau,
NRe = 67.280 DV untuk SI

Dengan menganggap bahwa batas bawah aliran turbulent dinyatakan dengan NRe =
4.000, maka kecepatan kritis dari suatu dimensi saluran fluida dapat ditentukan
dengan :

Vc = (60 NRe)/ 6.250 D = (60)(4000)/ (6.250 D) = 38,4 / D (fpm)

Atau kira-kira Vc  40 / D

Aliran turbulent hampir selalu terjadi pada lubang bukaan tambang bawah tanah.
Pipa saluran udara dengan diameter lebih kecil 1 ft jarang dipakai di tambang, oleh
karena itu kecepatan di atas 40 fpm selalu menghasilkan aliran turbulent.

Distribusi kecepatan dan bilangan Reynold didalam suatu saluran bulat ditunjukkan
pada gambar 2.7 berikut.

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 9


Gambar 2.7
Distribusi Kecepatan Aliran Di Dalam Lubang Bulat

Kecepatan maksimum terjadi pada pusat lubang, tetapi bilangan Reynoldnya


berbeda-beda. Yang paling penting untuk ventilasi adalah kecepatan rata-rata,
karena itu pengukuran kecepatan pada garis sumbu saja tidak cukup. Karena
bilangan Reynold di dalam suatu sistem ventilasi tambang biasanya lebih besar dari
pada 10.000, kecepatan rata-rata seringnya dapat dinyatakan sebagai berikut :

V = 0.8 Vmax.

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 10


BAB III
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

3.1. Lokasi Pengambilan Data


Pelaksanaan praktikum ventilasi dilaksanakan di Laboratoruim Ventilasi Tambang
dan wilayah kampus 2 UPN “Veteran” Yogyakarta pada tanggal 02 April 2019.

3.2. Peralatan dan Perlengkapan


Peralatan dan perlengkapan yang dipakai dalam praktikum Ventilasi ini adalah :
1. Meteran
2. Vane Anemometer
3. Stopwatch.
4. Rangkaian jaringan ventilasi.

Gambar 3.1
Vane Anemometer

3.3. Prosedur Pengambilan Data


1. Siapkan alat yang akan digunakan terlebih dahulu.
2. Ukur diamater, panjang, lebar dan tinggi dari jaringan yang sudah tersedia.
3. Nyalakan mesin, sehingga udara akan masuk melalui jaringan, dan atur
kecepatannya sebesar 5.

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 11


4 Ukur kecepatan setiap saluran ( lubang yang sudah tersedia pada jaringan )
dengan menggunakan Vane Anemometer. Untuk rangakain seri, setiap saluran
yang bercabang ditutup , sedangkan untuk rangkain paralel semua jaringannya
dibuka.
5. Setalah 1 menit, lakukan pembacaan Vane Anemometer yang menunjukkan
angka tertentu kecepatan udara dalam jaringan yang diukur.
6. Masukkan data parameter yang diperoleh pada tabel pengisisan data yang
tersedia.

Frans Juliardo S Simandalahi /112160139 12


BAB IV
PENGOLAHAN DATA

4.1 Hasil Pengambilan Data

Ditutup

Ditutup

Gambar 4.1
Rangkaian Jaringan Ventilasi Seri

Dibuka

Dibuka

Gambar 4.2
Rangkaian Jaringan Ventilasi Paralel

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 13


Gambar 4.3
Besar Sudut Bukaan Regulator (Tampak Atas)

Gambar 4.4
Besar Sudut Bukaan Regulator (Tampak Depan)

Tabel 4.1
Hasil Pengambilan Data Variasi Bukaan Regulator pada Jaringan Ventilasi

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 14


4.2 Hasil Pengolahan Data
Luas Regulator
Adimensi= w . H
Aregulator= 2 [0,5 w – (0,5 w cos α) H]
1. Luas Dimensi
 Section EF, dan HI
=w.H
= 0,55 x 0,55
= 0,3025 ft2
 Section DE’
=w.H
= 0,59 x 0,59
= 0,3481 ft2
 Section IJ
=w.H
= 0,72 x 0,72
= 0,5184 ft2
2. Luas Regulator
 Section EF & HI
0o = A = 2[0,5x0,55 – (0,5x0, 55xcos0)x0,55]
=0
30o = A = 2[0,5x0,55 – (0,5x0, 55xcos30)x0, 55]
= 0,0405 ft2
45o = A = 2[0,5x0, 55 – (0,5x0, 55xcos45)x0, 55]
= 0,0886 ft2
60o = A = 2[0,5x0, 55 – (0,5x0, 55xcos60)x0, 55]
= 0,15122 ft2
90o = A = 2[0,5x0, 55 – (0,5x0, 55xcos90)x0,55]
= 0,3025 ft2
 Section DE’
0o = A = 2[0,5x0,59 – (0,5x0, 59.cos0)x0, 59]
=0

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 15


30o = A = 2[0,5x0,59 – (0,5x0,59.cos30)x0,59]
= 0,0466 ft2
45o = A1 = 2[0,5x0,59 – (0,5x0,59.cos45)x0,59]
= 0,101 ft2
60o = A1 = 2[0,5x0,59 – (0,5x0,59.cos60)x0,59]
= 0,17405 ft2
90o = A1 = 2[0,5x0,59 – (0,5x0,59.cos90)x0,59]
= 0,3481 ft2

1. Perhitungan Debit
Q = A.V
Section EF
Q0o = 2400 x 0,3025 = 727,815 ft3/min
Q30o = 2249 x 0,3025 = 680,3275 ft3/min
Q45o = 2263 x 0,3025 = 684,5875 ft3/min
Q60o= 2392 x 0,3025= 723,58 ft3/min
Q90o = 2510x 0,3025= 758,275 ft3/min

Section DE’
Q0o = 0 x 0,3481 = 0 ft3/min
Q30o = 1558 x 0,3481 = 542,3398 ft3/min
Q45o = 2468 x 0,3481 = 859,1108 ft3/min
Q60o = 2625 x 0,3481= 913,7625 ft3/min
Q90o = 2373x 0,3481= 826,0413 ft3/min

Section HI
Q0o = 2185 x 0,3025 = 660,9625 ft3/min
Q30o = 2145 x 0,3025 = 648,,8625 ft3/min
Q45o = 1675 x 0,3025 = 506,6875 ft3/min
Q60o = 1389 x 0,3025= 420,1725 ft3/min
Q90o = 1254x 0,3025= 379,335 ft3/min

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 16


Section IJ
Q0o = 1381x 0,5184 = 715,914 ft3/min
Q30o = 1232 x 0,5184 = 638,6685 ft3/min
Q45o = 1041 x 0,5184 = 539,6544 ft3/min
Q60o = 1231 x 0,5184= 648,1504 ft3/min
Q90o = 1056x 0,5184= 547,4304 ft3/min

2. Perhitungan Hambatan (R)

𝐾𝑃 (𝐿+𝐿𝑒)
R= 5,2 𝐴 ³

Perhitungan Hambatan (R) dimensi


Section EF
10.10−10 .2(4,16+0)
R= = 5,64 . 10-8
5,2 0,3025³

Section DE’
10.10−10 .1,32(4,19+105)
R= = 6,5711 . 10-7
5,2 0,3481³

Section HI
10.10−10 .2(4,43+35)
R= = 5,4786 . 10-7
5,2 0,3025³

Section IJ
10.10−10 .3,2(3,64+85)
R= = 3,9154 . 10-7
5,2 0,5184³

Perhitungan Hambatan (R) Regulator


Section EF
10.10−10 .2(4,16+0)
R 0= =0
5,2 0³
10.10−10 .2(4,16+0)
R 30= = 2,470 . 10-3
5,2 0,04105³
10.10−10 .2(4,16+0)
R 45= = 8,88 . 10-4
5,2 0,0886³
10.10−10 .2(4,16+0)
R 60= = 3,21 . 10-6
5,2 0,15122³
10.10−10 .2(4,16+0)
R 90= = 5,7802 . 10-8
5,2 0,3025³

Section DE’

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 17


10.10−10 .1,32(4,19+105)
R= =0
5,2 0³
10.10−10 .1,32(4,19+105)
R= = 2,739 . 10-4
5,2 0,0466³
10.10−10 .1,32(4,19+105)
R= = 2,69 . 10-5
5,2 0,101³
10.10−10 .1,32(4,19+105)
R= = 5,25 . 10-6
5,2 0,17405³
10.10−10 .1,32(4,19+105)
R= = 6,5711 . 10-7
5,2 0,3481³

Section HI
10.10−10 .2(4,43+35)
R= =0
5,2 0³
10.10−10 .2(4,43+35)
R= = 2,1923 . 10-4
5,2 0,04105³
10.10−10 .2(4,43+35)
R= = 2,1804 . 10-5
5,2 0,0886³
10.10−10 .2(4,43+35)
R= = 4,39211 . 10-6
5,2 0,151122³
10.10−10 .2(4,43+35)
R= = 5,4786 . 10-7
5,2 0,3025³

Section IJ
10.10−10 .3,2(3,64+85)
R= =0
5,2 0³
10.10−10 .3,2(3,64+85)
R= = 1,6604. 10-4
5,2 0,069³
10.10−10 .3,2(3,64+85)
R= = 1,559 . 10-5
5,2 0,1518³
10.10−10 .3,2(3,64+85)
R= = 2,3234 . 10-6
5,2 0,2591³
10.10−10 .3,2(3,64+85)
R= = 3,9154 . 10-7
5,2 0,5184³

3. Perhitungan R ekuivalen
1
𝑅𝑒𝑞 = [ ]2
1 1
( )+( )
√𝑅𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛𝑠𝑖 √𝑅𝑟𝑒𝑔𝑢𝑙𝑎𝑡𝑜𝑟

 Section EF

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 18


1
𝑅𝑒𝑞 ° = [ 1 1 ]2 = 0
0 ( ) +( )
√5,6412 x 10−8 √0

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 2,3638 x 10-4
30° ( ) +( )
√5,6412 x 10−8 √2,470 x 10−3

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 2,25 x 10-4
45° ( ) +( )
√5,6412 x 10−8 √8,8 x 10−4

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 2,097 x 10-4
60° ( ) +( )
√5,6412 x 10−8 √3,21 x 10−6

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 1,1947 x 10-4
90° ( ) +( )
√5,6412 x 10−8 √5,7802 x 10−8

 Section DE’
1
𝑅𝑒𝑞 ° = [ 1 1 ]2 = 0
0 ( ) +( )
√6,5711 x 10−7 √0

1
𝑅𝑒𝑞 =[ 1 1 ]2 = 7,727 x 10-4
30° ( ) +( )
√6,5711 x 10−7 √2,739 x 10−4

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 7,1050 x 10-4
45° ( ) +( )
√6,5711 x 10−7 √2,69 x 10−5

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 5,98 x 10-4
60° ( ) +( )
√6,5711 x 10−7 √2,013,25 x 10−6

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 4,0531 x 10-4
90° ( ) +( )
√6,5711 x 10−7 √6,571.10 −7

 Section HI
1
𝑅𝑒𝑞 ° = [ 1 1 ]2 = 0
0 ( ) +( )
√5,4786 x 10−7 √0

1
𝑅𝑒𝑞 =[ 1 1 ]2 = 7,0493 x 10-4
30° ( ) +( )
√5,4786 x 10−7 √2,1923 x 10−4

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 6,3890 x 10-4
45° ( ) +( )
√5,4786 x 10−7 √2,1804 x 10−5

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 5,47 x 10-4
60° ( ) +( )
√5,4786 x 10−7 √4,394 x 10−6

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 3,7008 x 10-4
90° ( ) +( )
√5,4786 x 10−7 √5,4786.10 −7

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 19


 Section IJ
1
𝑅𝑒𝑞 ° = [ 1 1 ]2 = 0
0 ( ) +( )
√3,9154x10−7 √0

1
𝑅𝑒𝑞 =[ 1 1 ]2 = 5,9675 x 10-4
30° ( ) +( )
√3,9154x10−7 √1,6604 x 10−4

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 5,401 x 10-4
45° ( ) +( )
√3,9154x10−7 √1,559 x 10−5

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 4,4368 x 10-4
60° ( ) +( )
√3,9154x10−7 √2,3259 x 10−6

1
𝑅𝑒𝑞 = [ 1 1 ]2 = 3,1286 x 10-4
90° ( ) +( )
√3,9154x10−7 √3,9154.10 −7

4. Perhitungan Hambatan Total (Rtotal)


𝑅𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 ° = 0
0

𝑅𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 2,3638 x 10-4 + 7,727 x 10-4 + 7,0493 x 10-4 + 5,9675 x 10-4


30°

= 2,31076 x 10-3
𝑅𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 2,35 x 10-4 + 7,0105 x 10-4+ 6,3890 x 10-4 + 5,401 x 10-5
45°

= 1,62896 x 10-3
𝑅𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 2,097 x 10-4 + 5,98 x 10-4+ 5,47 x 10-4 + 4,4368 x 10-4
60°

= 1,798 x 10-3
𝑅𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = 1,1947 x 10-4 + 4,053 x 10-4 + 3,7008 x 10-4 + 3,1286 x 10-4
90°

= 1,20772 x 10-3

HS = Rtotal . Q2

Hs 0 = 0 . 715,9142= 0
Hs 30= 2,31076 x 10-3 . 638,66852 =
Hs 45 = 1,62896 x 10-3 . 539,65442 =
Hs 60 = 1,798 x 10-3 . 648,15042 =
Hs 90o = 1,20772 x 10-3. 547,43042 =

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 20


BAB V
HASIL ANALISA

5.1 Analisis Jaringan


Hasil dari bukaan sudut regulator pada jaringan ventilasi mempengaruhi kecepatan
aliran udara. Secara umum semakin besar sudut maka akan semakin besar pula
kecepatan udaranya, kecuali pada section HI. Pada section HI ini justru semakin
besar sudut kecepatan semakin menjadi kecil. Luas bukaan dari setiap section pada
jaringan pun akan mempengaruhi luas dan debit dari aliran udara yang masuk atau
melewati jaringan. Sehingga pada praktikum ini dilakukan pengamatan dan
perhitungan mengenai bukaan katup (radiator) pada jaringan ventilasi tambang
bawah tanah yang di simulasikan di laboratorium.

5.2 Pengaruh Bukaan Regulator Terhadap Debit


Pengaruh bukaan regulator sangat penting untuk diperhatikan. Setelah
dilakukannya pengolahan data hasil praktikum dapat diambil kesimpulan yaitu
semakin besar buka katup (sudut) maka semakin besar luas, sehingga kecepatan
akan semakin besar pula. Jika kecepatan dan luas besar tentunya debit yang
dihasilkan pun akan besar.

5.3 Analisis Faktor yang Mempengaruhi Nilai R Ekuivalen


Parameter yang mempengaruhi nilai R ekuivalen diantaranya yaitu
 faktor gesekan (K)
 keliling saluran (P)
 panjang saluran (L)
 panjang ekuivalen (Le)
 luas (A)
Bukaan katup pada setiap sudutnya. Untuk memperoleh R ekuivalen pada setiap
sudut bukaan regulator dengan cara nilai parameter-parameter yang didapat
dimasukan kedalam rumus umum untuk mendapatkan R ekuivalen.

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 21


5.4 Grafik Hubungan antara Sudut Regulator dengan Kecepatan

a. Grafik hubungan antara sudut regulator dengan debit pada Section EF

b. Grafik hubungan antara sudut regulator dengan debit pada Section DE

c. Grafik hubungan antara sudut regulator dengan debit pada Section HI

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 22


d. Grafik hubungan antara sudut regulator dengan debit pada Section IJ

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 23


BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Jaringan dikatakan seri apabila jaringan tersebut mempunyai jalur saling berkait
ujung satu dengan ujung lainnya sehingga kuantitas udara yang mengalir melalui
setiap jalur adalah sama.

Jaringan dikatakan paralel apabila total udara yang mengalir terbagi dalam masing-
masing jalur udara.

Dari hasil pegolahan data dari pengukuran langsung diperoleh perbedaan nilai
kecepatan setiap perbedaan sudut bukaan katup, yang berpengaruh pada debit yang
mengalir pada luasan yang sama, namun dapat berbeda luasannya pada setiap
section nya. Secara umum semakin besar sudut bukaan katup maka kecepatan akan
semakin besar karena luas penampangnya semakin besar juga, begitu juga
sebaliknya semakin besar sudut bukaan katup maka kecepatan akan semakin kecil.
Namun hal ini berbanding terbalik pada section HI dimana semakin besar bukaan
maka semakin kecil kecepatannya.

Parameter yang mempengaruhi nilai R ekuivalen diantaranya yaitu faktor gesekan


(K), keliling saluran (P), panjang saluran (L), panjang ekuivalen (Le), dan luas (A)
bukaan katup pada setiap sudutnya.

6.2 Saran
Kedepannya semoga alat-alat yang rusak dapat diperbaiki dan materi serta rumus-
rumus yang disampaikan kepada praktikan lebih detail dan dijelaskan secara lebih
rinci.

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 24


DAFTAR PUSTAKA

Sudarsono, Bagus Wiyono. 2003. Diktat Kuliah Ventilasi Tambang. Program


Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran”,
Yogyakarta.

Sudarsono, Bagus Wiyono. 2017. Buku Panduan Praktikum Ventilasi Tambang.


Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Mineral, UPN
“Veteran”, Yogyakarta.

Frans Juliardo S Simandalahi/112160139 25

Você também pode gostar