Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
b. Tulang tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak
akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (Syaifuddin 2006).
c. Selaput otak
1. Durameter
Adalah meningens terluar yang merupakan gabungan dari dua lapisan selaput
yaitu: lapisan bagian dalam (yang berlanjut ke durameter spinal) dan lapisan
bagian luar (yang merupakan lapisan periosteum tengkorak). Lapisan bagian
dalam akan melebar serta melekuk membeentuk sekat-sekat otak (falks,
tentorium). Lapisan bagian luar merupakan jaringan fibrosa yang lebih padat dan
mengandung vena serta arteri untuk memberi makan tulang. Gabungan kedua
lapisan ini melekat erat dengan permukaan dalam tulang sehingga tidak ada celah
diantaranya. Kedua lapisan durameter ini pada lokasi-lokasi tertentu akan
terpissah dan membentuk rongga (sinus durameter) berisi darah vena serta
berfungsi untuk drainase otak. Dibawah durameter terdapat rongga subdural yang
tidak berisi liquor cerebro spinalis.
2. Arakhnoid
3. Piameter
Piameter merupakan lapisan selaput otak yang paling dalam yang langsung
berhubungan dengan permukaan jaringan otak serta mengikuti konvolusinya
(Syaifuddin 2006).
d. Otak
Gambar 2. Anatomi Otak (Satyanegara 2010).
Berat otak manusia sekitar 1.400 gram, tersusun oleh sekitar 100 triliun neuron.
Masing-masing neuron mempunyai 1.000 sampai 10.000 koneksi sinaps dengan
sel saraf lainnya. Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal dan
terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak).
Kranium ini secara absolut tidak dapat bertambah volumenya terutama pada orang
dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung yaitu rambut, kulit
kepala, tengkorak, selaput otak (meningens), dan cairan otak (liquor cerebro
spinalis). Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan (Satyanegara 2010).
Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan
nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian
otak yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia
memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan,
memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga
ditentukan oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit
disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal,
Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal.
a. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak
Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi
penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan
kemampuan bahasa secara umum.
b. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk
suara.
d. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Arif,2008).
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak,
diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan,
koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan
koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang
tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak
mampu mengancingkan baju(Arif,2008).
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang
belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan,
denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan
merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat
datangnya bahaya.
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu,
batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur
“perasaan teritorial” sebagai insting primitif. Contohnya akan merasa tidak
nyaman atau terancam ketika orang yang tidak dikenal terlalu dekat.
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat
kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini
sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak
mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala,
hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan,
mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar,
dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.
Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu
fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan
mana yang tidak(Arif,2008).
e. Cairan serebrospinalis
f. Tentorium
g. Vaskularisasi otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis (Satyanegara.2010).
Dengan meningkatnya aliran darah pada pembuluh darah otak, maka perdarahan
intra cerebral akan meningkat volumenya, sehingga dapat mendorong atau
menekan masa otak. Otak yang normal mempunyai kemampuan melakukan
autoregulasi aliran darah serebral. Autoregulasi menjamin aliran darah konstan
melalui pembuluh serebral di atas rentang tekanan perfusi dengan mengubah
diameter pembuluh darah dalam berespon terhadap tekanan perfusi serebral.
Faktor-faktor yang mengubah kemampuan pembuluh darah serebral untuk
berkontraksi dan berdilatasi, seperti iskemia, hipoksia, hiperkapnea, dan trauma
otak dapat mengganggu autoregulasi.
Karbon dioksida merupakan vasodilator yang paling potensi pada pembuluh
serebral, menyebabkan kenaikan aliran darah serebral yang mengakibatkan
peningkatan volume intrakranial, mengarah pada peningkatan tekanan
intrakranial. Agar autoregulasi berfungsi, kadar karbon dioksida harus dalam
batasan yang dapat diterima dan tekanannya dalam batasan : tekanan perfusi
serebral di atas 60 mmHg, tekanan arteri rata-rata dibawah 160 mmHg dan
tekanan sistolik antara 60 – 160 mmHg dan, TIK di bawah 30 mmHg. Cedera otak
juga dapat merusak autoregulasi. Bila autoregulasi mengalami kerusakan, alirah
darah serebral berfluktuasi berkaitan dengan tekanan darah sistemik. Pada klien
dengan kerusakan autoregulasi, setiap aktivitas yang menyebabkan tekanan darah,
seperti batuk, suction, dan ansietas dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
serebral yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Nilai normal CPP adalah 60 – 150 mmHg, mekanisme autoregulator dari otak
mengalami kerusakan akan menyebabkan CPP lebih dari 150 mmHg atau kurang
dari 60 mmHg. Klien dengan CPP kurang dari 50 mmHg memperlihatkan
disfungsi neurologis yang tidak dapat pulih kembali. Hal ini terjadi disebabkan
oleh penurunan perfusi serebral yang mempengaruhi perubahan keadaan sel dan
mengakibatkan hipoksia serebral (Smeltzer and Bare, 2002).
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius dan perlu
mendapatkan penanganan yang cepat. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat
dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Cedera
kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan (Suriadi &
Rita Yuliani, 2001).
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar
tengkorak. Fraktur dapat berupa garis/linear, mutlipel dan menyebar dari
satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif).
Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak
memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan
perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
Fraktur tengkorak : Fraktur tengkorak ialah terjadinya diskontinyuitas
jaringan tulang yang melindungi otak dan struktur lain yang meliputinya,
terdiri dari :
1. Kecelakaan industri
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan karena terkena tembakan dan bom
4. Kecelakaan karena kejatuhan benda tumpul
5. Kecelakaan karena terjatuh maupun membentur benda keras
Insiden cedera kepala dua kali lebih besar dialami oleh pria dibandingkan wanita
dan paling tinggi terjadi pada kelompok remaja, dewasa muda, dan lansia di atas
75 tahun (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Remaja berumur 15-17
tahun mempunyai angka tabrakan lebih dari dua kali per 1.000 pengemudi yang
terjadi 4 jam sebelum atau sesudah tengah malam dengan penyebab utama
penggunaan alkohol (Behrman, Kliegman, & Alvin, 2000). Lansia beresiko tinggi
untuk terjadinya kepala bisa disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: atrofi
kortikal pada lansia yang memungkinkan otak memiliki ruang yang lebih luas
dalam rongga kranial, lansia yang hidup sendiri, sinkop, disritmia jantung, sering
berkemih pada malam hari yang menyebabkan lansia sering bolak-balik ke kamar
mandi, riwayat stroke, serta penggunaan antikoagulan (Morton, Dorrie, Carolyn,
& Barbara, 2008).
2. Manifestasi Klinis
Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut memiliki
beberapa tanda dan gejala, antara lain:
1. Cedera ringan
2. Tanda-tanda progresitivitas
3. Cedera berat
Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atu tidaknya
fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat kesadaran, dan
kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013).
Fraktur pada tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf yang ada di
otak, merobek durameter yang dapat mengakibatkan perebesan serebrospinal.
Kemungkinan tanda dan gejala yang muncul, antara lain:
Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan terjadi gangguan pada saraf kranial dan
kerusakan pada bagian dalam telinga. Kemungkinan tanda dan gejala yang
muncul, antara lain:
3. Tingkat kesadaran
Hal ini tergantung dari berat ringannya cedera kepala, ada atau tidaknya amnesia
retrogat, mual, dan muntah.
Untuk melihat ada tidaknya cedera kepala perlu dilakukan pemeriksaan CT scan
atau MRI.
2. Klasifikasi
Trauma kepala dibagi atas trauma kepala tumpul dan trauma kepala tembus.
Trauma kepala tumpul bisanya disebabkan oleh kecelakaan mobil –motor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul. Sedangkan trauma tembus disebabkan oleh peluru
atau tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menjadi indikasi apakah suatu
trauma termasuk trauma tembus atau tumpul (Hernanta, 2013).
2. Beratnya trauma
Jika GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrogade. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio serebral maupun hematoma.
Jika GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrogade lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Jika GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalamai kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intrakranial.
Tebel 1. Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS)
3. Morfologi trauma
Trauma kepala berdasarkan morfologi trauma dibagi atas fraktur kranium dan lesi
intrakranial (Hernanta, 2013).
a. Fraktur kranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat terbentuk garis atau bintang,
serta dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
diperlukan pemeriksaan CT scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadi petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan yang lebih rinci . tanda dan gejalanya yaitu:
b. Lesi intrakranial
Diklasifikasikan menjadi lesi lokal dan lesi difus, walaupun keduanya sering
terjadi bersamaan.
1. Lesi lokal
a. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural adalah akumulasi darah diantara dura dan struktur bagian
dalam otak, yang biasanya disebabkan oleh laserasi arteri ekstradural (Morton,
Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Ciri dari perdarahan epidural adalah berbentuk
bikonveks atau menyerupai lensa cembung (Hernanta, 2013). Klien dengan
perdarahan epidural awalnya dapat mengalami kehilangan kesadaran, kembali
sadar, dan kemudian dengan cepat mengalami perburukan hingga menjadi tidak
sadar kembali. Sikap tubuh dan dilatasi unilateral pupil menunjukkan tanda lanjut
herniasi serebral (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
b. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural adalah akumulasi darah di bawah dura dan di atas arakhnoid
yang menutupi otak (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008). Perdarahan
subdural sering terjadi akibat robeknya jembatan vena yang terletak antara korteks
serebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat juga terjadi
akibat laserasi pembuluh arteri permukaan otak. Perdarahan ini biasanya menutupi
seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat.
Prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural (Hernanta, 2013).
A B C
Gambar 1. A.Hematoma peidural B.Hematoma subdural C.Hematoma
intraserebral (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
2. Lesi difus
Gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi
hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrogad,
mual, muntah, dan nyeri kepala.
c. Laserasio serebri
Gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur
tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas ke luar dari rongga intrakranial.
2. Patofisiologi
Mekanisme khas dari trauma kepala adalah (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara,
2008):
1. Akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak. Misalnya
alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang ditembakkan ke kepala.
2. Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek diam. Misalnya pada pada
kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur kaca. Akselerasi-
deselerasi sering kali dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan
fisik.
3. Coup-contre coup
Terjadi jika kepala terbentur, yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang
kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta
area kepala yang pertama kali terbentur. Cedera tersebut disebut juga cedera
translasional karena benturan dapat berpindah ke area otak yang berlawanan.
Misalnya ketika pasien dipukul dengan objek tumpul pada bagian kepala.
4. Cedera rotasional
Gambar 2. Mekanisme tipikal cedera (Morton, Dorrie, Carolyn, & Barbara, 2008).
Patofisiologi trauma kepala dapat digolongkan menjadi dua proses, yaitu proses
primer dan proses sekunder (Tarwoto, 2013).
1. Proses primer
Merupakan trauma yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma.
Trauma ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh
darah, dan struktur pembentuknya (Tarwoto, 2013).
2. Proses sekunder
Merupakan proses lanjutan dari proses primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik. Biasanya klien mengalami hipoksi, hipotensi, asidosis, penurunan
suplai oksigen ke otak. Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan edema serebri dan
peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan adanya penurunan
kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, nyeri kepala. Peningkatan tekanan
intrakranial harus segera ditangani karena dapat menimbulkan gangguan perfusi
jaringan otak dan herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan. Prinsip dari
penalaksanaan peningkatan TIK adalah dengan mengontrol cerebral blood flow
(CBF) untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Keadaan CBF
ditentukan oleh berbagai faktor seperti tekanan darah sistemik, cerebral metabloic
rate, dan PCO2. CBF yang adekuat akan berpengaruh terhadap tekanan prfusi otak
(CPP), sehingga kebutuhan metabolisme otak terjaga (Tarwoto, 2013).
2. WOC
(Terlampir)
Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma kepala dapat
dilakukan primary dan secondary survei. Survei primer mengkaji ABCDE
(airway, breathing, circulation, disability, exposure), dan survei sekunder terdiri
dari observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera.
Survei Primer
1. Airway
2. Breathing
3. Circulation
Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktatatau
Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15 ml/kgBB
harus dipertimbangkan.
4. Disability
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunkan GCS.
Anak dengan kelainan neurologis yang berat, seperti anak dengan nilai GCS ≤ 8,
harus diintubasi.
Hiperventilasi menurunkan pCO2 dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi
vasokontriksi pembuluh darah di otak, yang menurunkan aliran darah ke otak dan
menurunkan tekanan intracranial. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan
intracranial.
5. Exposure
Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak
sering datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka
lebih luas. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat,
maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkans ampai 390C)
(Dewanto et al.2009).
Survei Sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan
dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang
dalami akibat cidera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain
itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum
penderita diizinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita,
dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit. Bila pada CT scan kepala
ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom subdural (SDH), maka
indikasi bedah adalah:
1. EDH simtomatik
2. EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal> 1 cm (EDH yang lebih
besar dari pada ini akan sulit diresopsi)
3. EDH pada pasien pediatric.
b. Indikasi bedah pada perdarahan subdural (SDH)
1. SDH simtomatik
2. SDH dengan ketebalan> 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada pediatric
(Dewantoet al, 2009).
2.11 Komplikasi
Komplikasi akibat dari trauma kepala, antara lain: (Engram 1998; Ginsberg 2008)
2.12 Penatalaksanaan
a. Anamnese singkat
b. Stabilisasi kardiopulmoner dengan segera sebelum pemeriksaan neulorogis
c. Pemeriksaan CTscan
d. Penderita harus dirawat untuk diobservasi
e. Penderita dapat dipulangkan setelah dirawat apabila:
2.13 Prognosis
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami.Nilai
GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis yang
besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan
nilai GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul
pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak
mampu berkonsentrasi dan irritable. 17% pasien sakit cedera kepala berat
mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post trauma.
Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.
A. Definisi ICP
Kranium merupakan kompartemen yang kaku kecuali pada bayi, hingga setiap
penambahan massa didalamnya akan berakibat peningkatan tekanan intrakranial
bila kemampuan kompensasi sudah terlampaui. Didalamnya berisi jaringan otak,
cairan serebrospinal serta darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Terdapat
satu lubang utama yaitu foramen magnum, hingga bila terjadi peingkatan tekanan
intrakranial jaringan otak akan mencari jalan keluar melalui lubang ini. Disamping
itu pada tentorium yang memisahkan otak besar dan otak kecil terdapat lubang
yang disebut hiatus yang mana disana terletak batang otak, sehingga apabila
terjadi peninggian tekanan intrakranial pada daerah otak besar, akan terjadi
pergeseran jaringan otak besar kedalam hiatus ini hingga akan menekan batang
otak yang merupakan pusat dari fungsi vital.
Pada keadaan normal, aliran darah otak (CBF) adalah 50 cc/100 gr jaringan otak
tiap menitnya. Pada keadaan sehat dimana mekanisme autoregulasi bagus, CBF
50 cc/100 gr jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP 40-
140 mmHg. Kerusakan jaringan otak akan irreversibel terjadi jika CBF kurang
dari 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan emergensi neurologi seperti
infeksi atau trauma kapitis akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
akibat adanya edema otak. Tekanan intrakranial normal adalah < 10 mmHg atau
15 cmH2O (rasio 3:4 untuk mmHg ke cmH2O). Dianggap meningkat bila > 20-25
mmHg. CPP merupakan selisih dari Mean Arterial Pressure (MAP) dengan TIK,
maka sangat penting menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan atau
menurunkan tekanan intrakranial. TIK dapat dipantau dengan menggunakan alat
monitor TIK yang biasanya tersedia di ICU sehingga dapat dilakukan tindakan
dan terapi dengan cepat dan tepat.
TIK normal bervariasi menurut umur, posisi tubuh, dan kondisi klinis. TIK
normal adalah 7-15 mm Hg pada dewasa yang berbaring, 3-7 mm Hg pada anak-
anak, dan 1,5-6 mm Hg pada bayi cukup umur. Definisi hipertensi intracranial
tergantung pada patologi spesifik dan usia, walaupun TIK>15 mmHg umumnya
abnormal. Contohnya TIK>15 mmHg umumnya abnormal, akan tetapi
penanganan diberikan pada tingkat berbeda tergantung patologinya. TIK>15
mmHg memerlukan penanganan pada pasien hidrosefalus, sedangkan setelah
cedera kepala, penanganan diindikasikan bila TIK>20 mmHg. Ambang TIK
bervariasi pada anak-anak dan telah direkomendasikan bahwa penanganan
sebaiknya dimulai selama penanganan cedera kepala ketika TIK >15 mmHg pada
bayi, 18 mmHg pada anak yang lebih tua dan remaja.
1. CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya
lebih besar).
2. CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP – ICP
3. CPP normal 80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada
MAP
4. Peningkatan sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan
CPP dan CBF, meskipun MAP normal.
5. CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP antara 25-40
mmHg menunjukkan gambaran flat, tekanan perfusi terus menerus < 25
mmHg menyebabkan kerusakan otak irreversibel.
Kenaikan Tekanan Intrakranial yang disebut PTIK yang merupakan hal yang
menjadi perhatian utama bila kita mendapatkan perhatian utama bila kita
mendapatkan pasien dengan kelainan tekanan intra kranial.Tekanan intrakranial
normal berkisar antara 10-15 mmHg atau setara dengan 136-204 mmH2O.
Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah suatu keadaan
terjadinya peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15 mmHg atau > 250
mmH2O. Peningkatan tekanan intracranial merupakan komplikasi yang serius
yang biasanya terjadi pada trauma kepala, perdarahan subarahnoid, hidrosefalue,
SOL, infeksi intracranial, hipoksia dan iskemi pada otak yang dapat menyebabkan
herniasi sehingga bisa terjadi henti nafas dan jantung ( Hudak & Gallo, 1998 ).
2. Lanjut
a. Sebagian besar otak terbentuk dari sel-sel tubuh yang sangat khusus, tetapi
sensitif terhadap perubahan kadar oksigen. Respon otak terhadap tidak
mencukupinya kebutuhan oksigen terlihat sebagai somnolen dan gangguan
daya nalar (kognisi).
b. Fluktuasi TIK akibat perubahan fisik pembuluh darah terminal. Oleh
karena itu gejala awal dari penurunan derajat kesadaran adalah somnolen,
delirium dan letargi. Penderita menjadi disorientasi, mula-mula terhadap
waktu, lalu tempat, dan akhirnya dalam hal memgenali seseorang, Dengan
semakin meningginya TIK, derajat kesadaran semakin rendah, dimana
rangsang nyeri mulai memberi reaksi adequat, hingga akhirnya
kompensasi.
2. Disfungsi pupil
Akibat peninggian TIK supratentorial atau oedema otak, perubahan ukuran pupil
terjadi.Tidak saja ukuran pupil yang berubah, tetapi dapat juga bentuk dan reaksi
terhadap cahaya. Pada tahap awal ukuran pupil menjadi berdiameter 3,5 mm atau
disebut sebagai ukuran tengah. Lalu makin melebar (dilatasi) secara
bertahap.Bentuknya dapat berubah menjadi melonjong dan reaksi tyerhadap
cahaya menjadi lamban.Perlambatan reaksi cahaya dan tau perubahan melonjong,
merupakan gejala awal dari penekanan pada saraf okulomotor. Karena sumber
PTIK cenderung berdampak sesuai kompartemen pada tahap awal, disfungsi pupil
masih ipsilateral (pada sisi yang yang sama terhadap penyebabnya). Pada tahap
lanjut PTIK, pupil ipsilateral berdilatasi bilateral dan non reaktif terhadap cahaya.
Pupil menjadi berdilatasi bilateral dan non reaktif pada fase terminal, karena PTIK
menyebabkan proses herniasi
3. Abnormalitas visual
Devisit visual dapat terjadi sejak gejala masih awal. Gangguan tersebut dapat
berupa Ketajaman visus, Kabur dan Diplopia.Menurutnya ketajamanpenglihatan
danpenglihatan kabur adalah keluhan yang sering terjadi, karena
diperkirakanakibat penekanan saraf-saraf nervus optikus (N. 11) melintasi
hemisfer cerebri. Diplopia berkaitan dengan kelumpuhan dari satu atau lerbih
saraf-saraf penggerak bola mata ekstra-okuler(N. III, IV, VI) Sehingga pasien
melihat dobel pada posisi tertentu.Gejala-gejala visual semakin menonjol seiring
semakin meningkatnya TIK. Gangguan Diplopia / Blurring / penurunan ketajaman
biasannya terjadi pada pasien dengan peningkatan ICP.Diplopia biasa karena
paralisis otot yang mengatur gerakan mata.
5. Nyeri kepala
Pada tahap paling awal PTIK, beberapa penderita mengeluh nyeri kepala ringan
atau samar-samar.Secara umum, nyeri kepala sebenarnya tidak terlalu sering
terjadi seperti diperkirakan banyak orang.Nyeri kepala terjadi akibat pereganggan
struktur intrakranial yang peka nyeri (duramater, pembuluh darah besar basis
kranji, sinus nervus dan bridging veins).Nyeri terjadiakibat penekanan langsung
akibat pelebaran pebuluh darah saat kompensasi.Nyeri kepala I pada kelainan ini
sering dilaporkan sebagi nyeri yang bertambah hebat saat bangkit dari tidur di
pagi hari.Hal ini dikarenakan secara normal terjadipeningkatan aktivitas
metabolisme yang paling tinggi saat pagi hari, dimana pada saat
tidurmenjelangbangun pagi fase REM mengaktifkan metabolisme dan produksi
CO2. Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah vasodilatasi.
6. Muntah
Pada tahap awal tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil pada tahap
selanjutnya karena penekanan ke batang otak terjadi perubahan tekanan
darah.Penekananke batang otak menyebabkan susasana iskemik di pusat
vasomotorik di batangotak.Seiring dengan meningkatnya TIK, refleks rtespon
Chusing teraktivasi agar tetap menjaga tekanan didalam pembuluh darah serebral
tetap lebih tinggi daripada TIK.
Dengan meningginya tekanan darah, curah jantungpun bertambah dengan
meningkatnyakegiatan pompa jantung yang tercermin dengan semakin
memburuknya kondisipenderitaakan terjadi penurunan tekanan darah.Pada tahap
awal denyut nadi masih relatif stabil dengan semakin meningkatnyaTIK, denyut
nadi akan semakin menurun kearah 60 kali permenit sebagai usahakompensasi.
Menurunnya denyut nadi dan “isi“ denyut terjadi sebagai upaya jatung untuk
memompa akan ireguler, cepat, “ halus“ dan akhirnya menghilang.
Pada tahap lanjut PTIK terjadi penekanan kebatang otak yang berakibat hilangnya
atau disfungsi refleks-refleks batang otak.Refleks-refleks ini diantaranya Refleks
kornea, Oukosefalik, dan Aukulovestibuler. Prognosis penderita akan menjadi
buruk bila terjadi refleks-refleks tersebut.
11. Papiledema
Tergantung keadaan yang ada, papil oedema dapat terjadi akibat PTIK,
ataumemang sudah ada sejak awal. Papiloedema akibat PTIK tak akan terjadi
seandainya belum menjadi tingkat yang sangat tinggi. Tetapi perlu diingat bahwa
tak adanya papiloedema tak beraarti tak ada PTIK.Pada beberapa orang dapat ada
jika PTIK terjadi secara bertahap.
D. Monitoring ICP
Terlihat adanya variasi dalam rekaman pengukuran ICP normal yang berasal dari
denyutan kecil yang ditransmisikan dari tekanan darah sistemik ke rongga
intrakranial. Dalam melakukan pemeriksaan dasar apakah sinyal ICP benar-benar
representatif terhadap tekanan intrakranial, dokter harus memastikan bahwa
terdapat kurva tekanan berosilasi dengan penurunan progresif dari notche P1, P2
dan P3, yang menunjukkan propagasi dari pulsasi tekanan jantung (Gbr. 1)
b. Waveform patologis
Analisis kurva tekanan lebih lanjut juga dapat digunakan dengan mengidentifikasi
gelombang Lundberg A dan B. Gelombang A (juga dikenal sebagai gelombang
plateau) yang ditandai dengan peningkatan dan penurunan yang cepat pada
tekanan sampai nilai 50-100 mmHg dan berlangsung dari 5 sampai 20 menit
dengan durasinya yang bervariasi. Mereka adalah tanda dari gangguan
autoregulasi serebral yang lebih parah. Gelombang B yang berosilasi secara ritmik
muncul dengan frekuensi 1/2-2 kali per menit, dan dapat menjadi tanda disfungsi
serebral. Dengan meningkatnya ICP, akan terjadi penurunan compliance otak,
pulsasi arteri menjadi lebih jelas, dan komponen vena menghilang. Waveform
patologis termasuk Lundberg tipe A, B, dan C. Gelombang Lundberg A atau
gelombang plateau adalah elevasi ICP ke nilai yang lebih tinggi dari 50 mmHg
berlangsung selama 5 sampai 20 menit. Gelombang ini disertai dengan
peningkatan simultan dari MAP, tetapi tidak jelas dipahami apakah perubahan
MAP adalah sebagai penyebab atau efek Gelombang Lundberg B atau pulsasi
tekanan, memiliki amplitudo 50 mmHg dan terjadi setiap 30 detik sampai 2 menit.
Gelombang Lundberg C memiliki amplitudo 20 mmHg dan frekuensi 4 sampai 8
kali per menit, dapat terlihat pada waveform ICP normal, akan tetapi amplitudo
gelombang C yang tinggi dapat tumpang tindih dengan gelombang plateau.
G. Kontraindikasi
1. Infeksi intracranial
2. Kejang
3. Stroke
4. Perdarahan intraserebral
5. Kebocoran CSF ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid
6. Cairan CSF yang berlebihan yang menyebabkan kehancuran dan herniasi
7. Hilangnya pemantauan atau pembuangan disebabkan oleh sumbatan
kateter pada jaringan otak atau darah
8. Terapi yang tidak tepat karena salah pembacaan ICP disebabkan oleh
bentuk gelombang yang tidak tepat, kegagalan elektromekanis, atau
kesalahan operator
9. Kerusakan saraf
10. Kematian
I. Pencegahan PTIK
L. Prosedur Monitoring
1. Kumpulkan Cordis EDS sesuai dengan instruksi pada setiap paket dan
pada setiap kartu pemasangan pada diagram petunjuk menggunkan 0,9%
NaCl untuk membilas sistem. Tempatkan tabung 48 inci dengan
terhubung transduser tekanan pada kartu pemasangan plastic.
2. Tempatkan pasien pada posisi semi Fowler dan posisi titik acuan nol pada
canthus luar mata
3. Awasi gelombang tekanan ICP pada monitor cardiopulmonal. Nyalakan
kran yang paling dekat dengan pasien sehingga gelombang ICP
divisualisasikan.
4. Untuk drainase yang berkelanjutan, nyalakan kran yang paling dekat
dengan pasien sehingga drainase dapat dikaji dan tekanan monitor dapat
dihentikan sesuai indikasi. (G. Werren, 2014)
Ada dua metode pemantauan TIK yaitu metode invasif (secara langsung) dan non
invasive (tidak langsung). Metode non invasif (secara tidak langsung) dilakukan 8
pemantauan status klinis, neuroimaging dan neurosonology (Trancranial Doppler
Ultrasonography/TCD). Sedangkan metode invasif (secara langsung) dapat
dilakukan di beberapa lokasi anatomi yang berbeda yaitu intraventrikular,
intraparenkimal, subarakhnoid/subdural, dan epidural. Metode yang umum
dipakai yaitu intraventrikular dan intraparenkimal (microtransducer sensor).
Metode subarakhnoid dan epidural sekarang jarang digunakan karena akurasinya
rendah. Pengukuran tekanan LCS lumbal tidak memberikan estimasi TIK yang
cocok dan berbahaya bila dilakukan pada TIK meningkat. Beberapa metode lain
seperti Tympanic Membrane Displacement/TMD, Optic nerve sheath
diameter/ONSD namun akurasinya sangat rendah.
Pemantauan status klinis Beberapa kondisi klinis yang harus dinilai pada
peningkatan TIK yaitu
Oftalmoskopi
Neuroimaging
Gambar neuroimaging
Neurosonology
TCD telah terbukti merupakan alat klinis noninvasif yang berguna untuk penilaian
aliran darah arteri basal otak.Semua cabang utama arteri intrakranial biasanya
dapat diinsonasi baik arteri kranial anterior, media dan posterior melalui tulang
temporal (kecuali pada 10% pasien, dimana insonasi transtemporal tidak
memungkinkan), arteri oftalmika dan carotid siphon melalui orbita, dan arteri
vertebral dan arteri basilar melalui foramen magnum.TCD mengukur kecepatan
aliran darah, dalam sentimeter per detik, yang biasanya berkisar 40-70. Variabel
pemantauan esensial kedua berasal dari rekaman gelombang yang menggunakan
indikator pulsatility index (PI), rasio perbedaan antara kecepatan aliran sistolik
dan diastolik dibagi rata-rata kecepatan aliran, biasanya kurang lebih sama dengan
1. Penggunaan klinis yang paling umum dari TCD adalah pemantauan untuk
vasospasme, terutama setelah SAH.
Gambar neurosonologi
1. Subarachnoid Screw
1. Kateter intraventrikuler/Ventriculostomy
Tehnik intraventrikular merupakan gold standard pemantauan TIK, yaitu kateter
diinsersikan ke dalam ventrikel lateral biasanya melalui burr hole kecil di frontal
kanan. Tehnik ini juga dapat digunakan untuk mengalirkan LCS dan memberikan
obat intratekal seperti pemberian antibiotika pada kasus ventrikulitis yang
kemungkinan disebabkan oleh pemasangan kateter itu sendiri.
Beberapa komplikasi bisa terjadi akibat pemasangan kateter ventrikel antara lain
kebocoran LCS, masuknya udara ke ruang subarachnoid dan ventrikel, drainase
LCS yang berlebihan dapat menyebabkan kolaps ventrikel dan herniasi, atau
terapi tidak sesuai berkaitan dengan pembacaan TIK dengan gelombang kecil,
kegagalan elektromekanikal, dan kesalahan operator. Lubang-lubang kecil di
ujung kateter dapat tersumbat oleh gumpalan darah atau deposit fibrin, dan kateter
dapat berpindah sehingga sebagian atau seluruh ujung kateter terletak dalam
parenkim otak bukan dalam ventrikel. Dalam kasus tersebut, drainase LCS akan
menghasilkan gradien tekanan signifikan antara lumen kateter ventrikel dan
ventrikel. Jika diduga ada obstruksi kateter, irigasi dengan NaCl 0,9% 2 ml dapat
mengembalikan patensi kateter. Prosedur ini harus dilakukan dengan
memperhatikan asepsis, dimana manipulasi berulang berhubungan dengan
tingginya insiden infeksi sistem saraf pusat.Jadi irigasi rutin tidak dianjurkan.
Ventrikulitis dan meningitis adalah komplikasi yang berpotensi mengancam
nyawa, yang disebabkan oleh kontaminasi langsung kateter selama pemasangan
atau secara retrograde oleh kolonisasi bakteri pada kateter. Kejadian infeksi
dilaporkan sekitar 5-20%.Penggunaan sistem drainase tertutup dan sampling LCS
aseptik dan pembilasan kateter dan pengangkatan yang benar kateter yang tidak
dibutuhkan dapat meminimalkan risiko infeksi terkait kateter.LCS dapat
mencetuskan infeksi karena pengulangan akses ke sistem drainase.Sampling LCS
lebih diindikasikan karena kriteria klinis khusus daripada menjadi sampling rutin.
Posisi pasien saat pengukuran ditinggikan 30-45 derajat. Tranduser harus sama
tinggi dengan titik referensi. Titik referensi yang paling umum adalah foramen
Monro. Titik referensi 0 adalah garis imajiner anatara puncak telinga dan kantus
bagian luar mata.
1. Primary Survey
Menurut Rab, Tabrani 2007, pengkajian primer dalam asuhan kegawatdaruratan
meliputi :
a. Airway
b. Breathing
Kaji ada atau tidaknya kelainan pada pernafasan misalnya dispnea, takipnea,
bradipnea, ataupun sesak.Kaji juga apakah ada suara nafas tambahan seperti
snoring, gargling, rhonki atau wheezing.Selain itu kaji juga kedalaman nafas
pasien.
c. Circulation
Kaji ada tidaknya peningkatan tekanan darah, kelainan detak jantung misalnya
takikardi, bradikardi. Kaji juga ada tidaknya sianosis dan capilarrefil.Kaji juga
kondisi akral dan nadi pasien.
d. Disability
Kaji ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi dan refleks, pupil
anisokor dan nilai GCS.Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya
respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan
mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelas dan cepat dengan metode
AVPU.Namun sebelum melakukan pertolongan, pastikan terlebih dahulu 3A yaitu
aman penolong, aman korban dan aman lingkungan.
A = Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
V = Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di
telinga korban, pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau
menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
P = Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital).
U = Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.
Menurut Arif Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat
keparahan cidera :
Ciri :
e. Exposure of extermitas
Mengkaji ada tidaknya peningkatan suhu pada pasien, adanya deformitas, laserasi,
contusio, bullae, atau abrasi.
2. Secondary Survey
1. Anamnesis
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan
keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan
kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat
digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association,
2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or
get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam
proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam
setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing
Association, 2007):
1. Hurtyou physically?
2. Insulted or talked down to you?
3. Threathened you with physical harm?
4. Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa.Sering terjadi pada penderita yang datang dengan
cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang
kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk
adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam,
perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk
adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosis, bekas luka,
frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (Lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Neurologis
3. Pemeriksaan Penunjang
4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
No NOC NIC
Keperawatan
Setelah diberikan asuhan Airway Management:
keperawatan selama…jam
1. Auskultasi suara napas, catat adanya
jalan napas klien bebas
suara napas tambahan (ronchi,
dengan KH:
wheezing,gurgling)
Selama dilakukan
1. Kaji adanya drainage pada area luka.
perawatan di Rumah Sakit
Resiko infeksi bd 2. Monitor tanda-tanda vital: suhu
klien tidak mengalami
tempat masuknya tubuh.
infeksi yang ditandai
6. organisme sekunder 3. Lakukan perawatan luka dengan steril
dengan KH:
akibat trauma dan hati-hati.
4. Kaji tanda dan gejala adanya
a. Tidak ada tanda-
meningitis, termasuk kaku kuduk,
tanda infeksi
(rubor, kalor, iritabel, sakit kepala, demam, muntah
dolor, hilangnya dan kenjang.
fungsio laesa)
b. suhu tubuh dalam
batas normal
c. tidak ada pus dari
luka
d. leukosit dalam
batas normal.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
1. Pengkajian
1. Primary Survey
a. Airway + cara mengontrol cairan cerebrospinal
terdapat sumbatan jalan napas berupa sisa muntahan
L = Look/Pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan
L = Listen/Terdengar suara napas tambahan (gargling),
F = Feel/ Aliran udara (hembusan) terasa lemah
a. Breathing
b. Circulation
TD: 110/70, Suhu: 38.5,RR: 24 x/mnt, Nadi 82 x/mnt regular, CRT > 2 detik,
kebiruan pada kedua bola mata dan terdapat edema pada wajah akral dingin,
basah, pucat.
c. Disability
d. Exposure of extermitas
2. Secondary survey
a. Anamnesis
A : Klien tidak memiliki riwayat Alergi
M : Klien tidak mengkonsumsi obat-obatan
P : Klien tidak pernah menderita penyakit sebelumnya.
L : Sebelum kejadian, klien mengkonsumsi obat-obatan
E : Klien akan pulang ke rumah setelah pulang kerja dan mengalami
kecelakaan.
b. Pemeriksaan fisik
2. Analisa data
3. Diagnosa Keperawatan
4. Intervensi Keperawatan
N Diagnosa
NOC NIC
o Keperawatan
Setelah dilakukan Airway Management:
tindakan
1. Auskultasi suara napas
keperawatan
sebelum dan sesudah
selama 1x24 jam
Ketidakefektifan dilakukan pembebasan
jalan napas klien
bersihan jalan nafas bd kembali jalan napas, catat hasilnya
paten
1.
akumulasi sisa (terbebas 2. Lakukan fiksasi pada
dari
muntahan daerah kepala leher untuk
sumbatan), dengan
meminimalkan terjadinya
kriteria hasil:
gerakan
a. RR normal 3. Lakukan pembebasan jalan
(12- napas secara manual
24x/menit) dengan teknik jaw thrust
b. Ritme maneuver secara hati-hati
pernapasan untuk mencegah terjadinya
reguler gerakan leher
c. Klien 4. Lakukan pembebasan jalan
mampu napas dengan alat
untuk oropharyngeal airwayjika
mengeluark dibutuhkan
an sisa 5. Monitoring pernapasan
muntahan dan status oksigenasi klien
d. Tidak 6. Berikan oksigen
terdengar
suara
gurgling
5. Evaluasi Keperawatan
1. Jalan napas menjadi bersih dan tidak ada sisa muntahan dan sekret
2. Perfusi jaringan baik
3. Luka tertangani dengan baik dan tidak ada tanda-tanda infeksi
Daftar Pustaka
Aritonang,S.2007.Trauma Kepala.Artikel.eprints.undip.ac.id/29403/3/Bab_2.pdf
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Behrman, Kliegman, & Alvin, N. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 1.
Jakarta: EGC.
Baughman, Diane C., JoAnn C. Hackley. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah:
Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC, p.66.
Brain Trauma Foundation, 2007. Journal of Neurotrauma, Volume 24, Suplement
1.
Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing
Interventions Classification (NIC). USA: Mosby Elsevier
Cullagh S Mc, Feinstein A Outcome after mild traumatic brain injury: an
examination of recruitment biasJ Neurol Neurosurg Psychiatry 2003;74:39–43
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.
Doengoes, Marilyn, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta: EGC
Doenges M.E. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd
ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. 2009.
Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: ECG.
David S, Stephen A M, Jennifer A F. Management of Elevated Intracranial
Pressure in Decision Making in Neurocritical Care. Thieme. New York. 2009;
195-218.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics
Monitoring and Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology
and Neurosurgery. Surez, J.I. editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-
55.
Engram, barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Vol.3.
Jakarta: EGC
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Volume
3. Jakarta: EGC, p. 642.
Emergency Nurses Association. 2007. Sheehy`s manual of emergency care 6th
edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Eccher, M and Suarez J.I. 2004. Cerebral Edema and Intracranial Dynamics
Monitoring and
Irwana, Olva. 2009. Cedera Kepala.Faculty Of Medicine.Article pdf.Universitas
Pekan Baru Riau
Hudak CM & Gallo BM, 2010, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6,
EGC, Jakarta
Hernanta, I. (2013). Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains. Jogjakarta: D-
MEDIKA.
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:
Definitions & Classification, 2015–2017. 10nded. Oxford: Wiley Blackwell
Grace, Pierce Adan Borley, Neil R. 2006. At A Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga.
Jakarta: Erlangga.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
Erlangga, p.91
Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes: Neurologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga,
p.117.
Grace, Pierce A., Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
Erlangga, p.92.
MakalahCederaKepala.pdf.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21501/4/
Chapter%20II.pdf
Mark S Greenberg. Intracranial Pressure in Handbook of Neurosurgery. 6th ed.
Thieme. New York. 2006; 647-663
Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika
Morton, P. G., Dorrie, F., Carolyn, M. H., & Barbara, M. G. (2008). Keperawatan
Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik, Ed. 8, Vol. 2. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.
Management of Intracranial Pressure. In: Critical Care Neurology and
Neurosurgery. Surez, J.I. editor. New Jersey:Humana Press. pp 45-55.
Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed. USA:
Mosby
New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial
Management. 2nd Edition. NSW Health, p.8. Diakses pada
http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf
Purnama,Eka.2007.Makalah Cedera
Kepala.digilib.unimus.ac.id/files/.../jtptunimus-gdl-ekapurnama-5391-2-babii.pdf
Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Suriadi& Rita Yuliani. 2001. AsuhanKeperawatanPadaAnak, Edisi I. Jakarta: CV
SagungSeto.
Syaifuddin.2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC.