Você está na página 1de 26

BAB 1

PENDAHULUAN

Pengelolaan anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif psikologis, dan
bila perlu, pengobatan preoperatif. Beberapa macam obat dapat diberikan sebelum
dimulainya operasi. Obat-obatan tersebut disesuaikan pada setiap pasien. Seorang ahli
anestesi harus menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik selama visite preoperatif.
Sebab hal tersebut akan berpengaruh pada obat-obatan preanestesi, tehnik yang digunakan,
dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan yang buruk akan berakibat pada berbagai
permasalahan dan ketidaksesuaian setelah operasi.
Tidak ada suatu kesepakatan yang muncul untuk obat-obatan yang digunakan sebelum
operasi,sebagian besar digunakan hanya sebagai tradisi yang telah dimodifikasi akhir-akhir
ini seturut dengan kemajuan tehnik dan obat anestesi. Salah satu alasan mengapa obat-obatan
tersebut hanya berdasar tradisi ialah gabungan beberapa obat anestesi akan mencapai tujuan
yang sama. Namun satu hal yang jelas ialah, seorang penderita yang hendak masuk ke kamar
operasi harus terbebas dari rasa cemas dan beberapa tujuan khusus telah tercapai dengan
pemberian obat-obatan preoperatif.

A. Persiapan fisik

Persiapan fisik pada pasien meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan pasien
dan anggota keluarganya. Seorang ahli anestesi harus menjelaskan apa yang akan terjadi dan
tujuan tindakan anestesi sebagai upaya untuk mengurangi rasa cemas. Sebagian besar
penderita beranggapan hari operasi mereka adalah hari terbesar dalam hidup mereka. Pasien
tidak ingin diperlakukan tidak baik selama di ruang operasi. Kunjungan preoperasi harus
dilakukan secara efisien, tetapi harus bersifat memberikan informasi, rasa aman, dan
menjawab segala pertanyaan. Sebagian ahli anestesi berinteraksi dengan pasien dalam
keadaan tidak sadar atau tertidur, oleh sebab itu seorang ahli anestesi hendaknya berinteraksi
dengan pasien sebelum operasi untuk mendapatkan rasa percaya dan meningkatkan rasa
percaya diri pasien.
Sebagian besar pasien datang ke kamar operasi dalam keadaan cemas sebelum
pembedahan, sebuah studi menunjukan dari analisa terhadap 500 pasien bedah dewasa,
didapat pasien wanita lebih merasa cemas dibandingkan padien laki-laki sebelum operasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pasien dengan berat badan lebih dari 70 kg lebih mudah
merasa cemas.Sebuah studi oleh egbert dan rekan-rekan dengan pemberian 2 mg/kgBB
pentobarbital yang diberikan secara im 1 jam sebelum operasi dan mendapatkan penjelasan
mengenai tindakan yang akan dilakukan lebih tenang saat masuk ke dalam kamar operasi.
Penelitian Kogh menyatakan bahwa pasien dewasa yang mendapatkan kunjungan sebelum
operasi menunjukan level kecemasan yang lebih rendah dibandingkan apabila tidak
mendapatkan kunjungan sama sekali. Lebih lanjut dikatakan bahwa kunjungan sebelum
operasi lebih bermakna bagi pasien dibandingkan bila pasien mendapatkan informasi hanya
dari buku saja.Persiapan psikologis tidak menyelesaikan segalanya dan tidak meninggalkan
seluruh kecemasan. Di samping persiapan psikologis ada beberapa tujuan lain dari
pengobatan preoperatif. Pengendalian rasa sakit, dan level yang memuaskan dari sedasi tidak
dicapai dengan kunjungan preoperasi semata.Sebagai tambahan, situasi emergensi mungkin
menyediakan sedikit atau tidak ada sama sekali kunjungan preoperatif.

B. Persiapan farmakologi

Dalam memilih obat-obatan yang sesuai untuk pengobatan preoperatif kondisi psikologis
pasien dengan status fisik tetap menjadi pertimbangan.Seorang ahli anestesi harus
mengetahui berat badan pasien, dan respon terhadap obat-obatan depresan, termasuk efek
samping yang tidak diinginkan, dan alergi. Tujuan yang hendak dicapai pada setiap pasien
dengan pengobatan preopertif disesuaikan pada setiap pasien. Tujuan melepaskan rasa
cemas,dan membentuk sedasi, dapat diterapkan pada setiap pasien.
Pengobatan profilaksis terhadap alergik merupakan beberapa penyesuaian. Pencegahan reflek
otonom yang dimediasi oleh saraf vagus dan efek antiemetik lebih diutamakan pada saat
pengobatan preoperatif. Sebagian besar pengobatan preoperatif tidak mengurangi
keseluruhan anestesi, tetapi pengobatan preoperatif mencegah peningkatan konsentrasi
plasma dari β-endorphin, yang secara normal mengikuti respon terhadap stress.Pada beberapa
pasien sebaiknya tidak menerima antidepresan sebelum pembedahan. Pasien dengan usia
lanjut, atau trauma kepala atau hipovolemia akan lebih merasakan sakit dibandingkan dengan
yang telahmenerimaterapi premedikasi. Pada pembedahan yang bersifat elektif, seorang ahlin
anestesi akan menginingkan pasiennya masuk ke kamar operasi terbebas dari rasa cemas dan
tersedasi.

Various goals for preoperatif medicine

1. Relief of anxiety.
2. Sedation
3. Amnesia
4. Analgesia
5. Drying of airway secretions
6. Prevention of autonomic reflex responses
7. Reduction of gastric fluid volume and increased ph
8. Antiemetic effects
9. Reduction of anesthetic requirements
10. Facilitation of smooth induction of anesthesia
11. Prophylaxsis againts allergic reactions
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Premedikasi

Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi.

Obat analgesik akan menghilangkan rasa sakit, sementara obat tranquilliser akan

menenangkan hewan untuk memudahkan penanganan (Boden, 2005). Tujuan dari

pemberian premedikasi yaitu (a) untuk menenangkan hewan sehingga

memudahkan penanganan, (b) untuk relaksasi otot sehingga terjadi immobilisasi

dan hiporefleksi, (c) untuk memberikan analgesia (menghilangkan rasa sakit), (d)

untuk memperoleh induksi anestesi yang perlahan dan aman, stadium anestesi

yang stabil dan pemulihan dari anestesi yang baik, dan (e) untuk mengurangi

dosis obat anestesi sehingga efek samping dapat dikurangi.

Obat-obat yang bersifat sedatif dan anxiolitik berperan besar dalam meningkatkan
kualitas anestesi dan pemulihan, serta meminimalisir efek samping dari obat-obat
anestesi yang tidak diinginkan (Lee, 2006a). Obat-obat premedikasi yang umum
diberikan untuk anjing adalah (a) tranquilliser seperti acepromazin, diazepam,
midazolam, xilazin dan medetomidin, (b) narkotik seperti morfin, oksimorfon,
meperidin dan (c) antikolinergik seperti atropin dan glikopirolat.

A. SEDASI

Sedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-agen farmakologik


untuk menghasilkan depresi tingkat kesadaran secara cukup sehingga menimbulkan
rasa mengantuk dan menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal.
The American Society of Anesthesiologists menggunakan definisi berikut untuk
sedasi :

1.Sedasi minimal

Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien
berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi
terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan ventilasi tidak dipengaruhi.

2.Sedasi sedang (sedasi sadar)

Sedasi sedang adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat
di mana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah
diikuti oleh rangsangan taktil cahaya. Tidak diperlukan intervensi untuk menjaga
jalan napas paten dan ventilasi spontan masih adekuat. Fungsi kardiovaskuler
biasanya dijaga.

3.Sedasi dalam

Sedasi dalam Adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran
setelah terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap
rangsangan berulang atau rangsangan sakit. Kemampuan untuk mempertahankan
fungsi ventilasi dapat terganggu dan pasien dapat memerlukan bantuan untuk
menjaga jalan napas paten. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. Dapat terjadi
progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam dimana kontak verbal dan refleks
protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan dengan
anestesi umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat
keahlian yang lebih tinggi untuk penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk
menjaga jalan napas paten sendiri merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang
atau sedasi sadar, tetapi pada tingkat sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks
protektif masih baik. Beberapa obat anestesi dapat digunakan dalam dosis kecil
untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat sedative dapat menghasilkan efek
anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar.
Indikasi Penggunaan Obat-Obat Sedatif

1. Premedikasi

Obat-obat sedative dapat diberikan pada masa preoperatif untuk mengurangi


kecemasan sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Sedasi dapat digunakan
pada anak-anak kecil, pasien dengan kesulitan belajar, dan orang yang sangat
cemas. Obat-obat sedatif diberikan untuk menambah aksi agen-agen anestetik.
Pemilihan obat tergantung pada pasien, pembedahan yang akan dilakukan, dan
keadaan-keadaan tertentu: misalnya kebutuhan pasien dengan pembedahan darurat
berbeda dibandingkan pasien dengan pembedahan terencana atau pembedahan
mayor. Penggunaan oral lebih dipilih dan benzodiazepin adalah obat yang paling
banyak digunakan untuk premedikasi.

2. Sedo-analgesia

Istilah ini menggambarkan penggunaan kombinasi obat sedatif dengan anestesi


lokal, misalnya selama pembedahan gigi atau prosedur pembedahan yang
menggunakan blok regional. Perkembangan pembedahan invasif minimal saat ini
membuat teknik ini lebih luas digunakan.

3. Prosedur radiologik

Beberapa pasien, terutama anak-anak dan pasien cemas, tidak mampu mentoleransi
prosedur radiologis yang lama dan tidak nyaman tanpa sedasi. Perkembangan
penggunaan radiologi intervensi selanjutnya meningkatkan kebutuhan penggunaan
sedasi dalam bidang radiologi.

4. Endoskopi

Obat-obat sedatif umumnya digunakan untuk menghilangkan kecemasan


danmemberi efek sedasi selama pemeriksaan dan intervensi endoskopi. Pada
endoskopi gastrointestinal (GI), analgesik lokal biasanya tidak tepat digunakan,
perlu penggunaan bersamaan obat sedatif dan opioid sistemik. Sinergisme antara
kelompok obat-obat ini secara signifikan meningkatkan resiko obstruksi jalan napas
dan depresi ventilasi.
5. Terapi intensif

Kebanyakan pasien dalam masa kritis membutuhkan sedasi untuk memfasilitasi


penggunaan ventilasi mekanik dan intervensi terapetik lain dalam Unit Terapi
Intensif (ITU). Dengan meningkatnya penggunaan ventilator mekanik, pendekatan
modern yaitu dengan kombinasi analgesia yang adekuat dengan sedasi yang cukup
untuk mempertahankan pasien pada keadaan tenang tapi dapat dibangunkan.
Farmakokinetik dari tiap-tiap obat harus dipertimbangkan, di mana sedatif terpaksa
diberikan lewat infus untuk waktu yang lama pada pasien dengan disfungsi organ
serta kemampuan metabolisme dan ekskresi obat yang terganggu.

Beberapa obat yang berbeda digunakan untuk menghasilkan sedasi jangka pendek
dan jangka panjang di ITU, termasuk benzodiazepin, obat anestetik seperti propofol,
opioid, dan agoni α2-adrenergik.

6.Suplementasi terhadap anestesi umum

Penggunaannya yaitu dari sinergi antara obat-obat sedatif dan agen induksi
intravena dengan teknik ko-induksi. Penggunaan sedatif dalam dosis rendah dapat
menghasilkan reduksi signifikan dari dosis agen induksi yang dibutuhkan, dan
dengan demikian mengurangi frekuensi dan beratnya efek samping.

TUJUAN

1. Meningkatkan dan memaksimalkan kualitas serta keamanan dalam Pelayanan


Sedasi dengan menciptakan standarisasi prosedur yang aman

2.Adanya kebutuhan pelayanan Sedasi yang memudahkan petugas kesehatan


menjalankan tugasnya dengan optimal, khususnya dalam penanganan klinis
penyakit sehubungan dengan deteksi dini, perawatan, pengobatan dan pencegahan.

3. Me-recall memori, terutama pada hal-hal kecil yang gampang terabaikan pada
keadaanpasien yang komplek
.
Obat-Obatan Sedatif

Kebanyakan obat-obatan sedatif dikategorikan dalam satu dari tiga kelompok


utama, yaitu: Benzodiazepin, neuroleptik dan agonis a2- adrenoseptor. Obat-obatan
ini lebih sering di klasifikasikan sebagai jenis anestesi intravena, terutama propofol
dan ketamin, juga digunakan sebagai obat sedatif dengan dosis subanestetik;
farmakologi obat ini telah dijelaskan pada bab 3. Anestesi inhalasi juga sering
digunakan sebagai sedatif dalam kadar subanestetik.

A. BENZODIAZEPIN
Obat-obatan ini awalnya dikembangkan untuk keperluan obat anxiolytik dan
hypnotik dan pada tahun 1960-an menggantikan obat barbiturat oral. Agar sediaan
parenteral tersedia, mereka terus mengembangkan di anestesi dan perawatan
intensif. Semua benzodiazepin mempunyai efek farmakologi yang sama, efek
terapi ini ditentukan oleh potensi dan ketersediaan obat-obatan. Benzodiazepin
diklasifikasi berdasarkan lama kerja obat, yaitu sebagai lama kerja panjang
(diazepam), lama kerja sedang(temazepam), lama kerja pendek (midazolam).

FARMAKOLOGI
Mekanisme Aksi
Benzodiazepin bekerja oleh daya ikatan yang spesifik pada reseptor benzodiazepin,
yang mana merupakan bagian dari kompleks reseptor asam gaminobutirik
(GABA). GABA merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan saraf
pusat (SSP), melalui neuron-neuron modulasi GABA ergik. Reseptor
Benzodiazepin berikatan dengan reseptor subtipe GABA Berikatan dengan
reseptor agonis menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang
menyebabakan hiperpolarisasi dari membran postsinpatik, dimana dapat membuat
neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian obat ini
memfasilitasi efek inhibitor dari GABA. Reseptor benzodiazepin dapat ditemukan
di otak dan medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks serebral,
serebelum dan hipokampus dan densit rendah pada medula spinalis. Tidak adanya
reseptor GABA selain di SSP, hal ini aman bagi sistem kardiovaskuler pada saat
penggunaan obat ini. Efek Benzodiazepin pada SSP ditunjukan pada hubungan
dengan kemampuan reseptor.
Dosis midazolam Efek Kemampuan Dosis flumazenil
reseptor (%) untuk
membalikan

Dosis rendah Antiepilepsi 20-25


Anxiolisis 20-30
Sedasi ringan 25-50
Penurunnanperhatian 60-90
Amnesia
Sedasi kuat
Relaksasi otot

Dosis tinggi Anestesi Dosis tinggi

Reseptor GABA merupakan reseptor dengan struktur besar yang mempunyai


ikatan yang terpisah dengan obat lain yaitu barbiturat, alkohol dan propofol. Ikatan
dengan komponen yang lain pada reseptor benzodiazepin menunjukan efek
sinergis dengan beberapa obat lain. Efek sinergis ini menunjukan bahaya depresi
SSP jika obat digunakan secara bersamaan dan juga menyebabkan efek
farmakologi toleransi silang dengan penggunaan alkohol. Hal ini juga konsisten
dengan penggunaan benzodiazepin untuk mengatasi gejala timbal balik akut atau
detoksifikasi alkohol atau obat-obatan lain.
Antagonis benzodiazepin yaitu flumazenil dapat menempati reseptor tapi
tidakdapat menyebabkan aktifitas. Senyawa benzodiazepin telah dikembangkan
pada reseptor ligand tapi menyebabkan pergerakan terbalik dari agonis, akibatnya
terjadi rangsangan pada otak. Senyawa ini juga merupakan antagonis dari
flumazenil. diazepin diturunkan secara teratur setelah penggunaan yang lama.
Efek Samping

Efek samping dari benzodiazepin tergantung dosis dan dapat diprediksi dari efek
farmakodinamiknya. Oversedasi, depresi ventilasi, ketidakstabilan hemodinamik
dan obstruksi jalan napas dapat terjadi pada kelebihan dosis yang tidak
diperhatikan dan lebih sering terjadi pada orang tua atau pasien dengan kondisi
yang lemah. Pada penderita yang telah lama menggunakan obat ini sensitif
terhadap efek dari benzodiazepin dan dosis harus diturunkan secara teratur
.
Efek pada SSP

Efek benzodiazepin pada SSP yaitu anxiolysis, sedasi, amnesia dan aktifitas
antiepileptik.
Anxiolysis terjadi pada penggunaan obat dengan dosis yang rendah dan
apabila obat ini digunakan secara efektif untuk pengobatan anxietas yang akut
maupun kronik. Efek yang panjang dari obat oral seperti diazepam dan
chlordaizepoksid dapat mengobati efek timbal balik dari alkohol akut. Anxiolysis
lebih sering terjadi pada saat premedikasi dan pada prosedur yang salah.
Efek sedasi terjadi pada ketergantungan dosis yang menyebabkan depresi
aktivitas serebral, dan efek sedasi yang ringan pada kemampuan reseptor yang
rendah yang sama dengan pada anestesi umum jika ruang reseptor terisi.
Midazolam terbukti benar aman sebagai obat sedatif intravena.
Amnesia paling sering terjadi pada penggunaan benzodiazepin secara
intravena dan yang digunakan pada penderita yang menjalani pengobatan atau
penggunaan pada prosedur yang berulang. Anterograd amnesia mempengaruhi
ambilan informasi. Retrograd amnesia tidak ditemukan pada penggunaan
benzodiazepin. Periode kronik pada amnesia dilaporkan terjadi pada penggunaan
obat oral lorazepam, yang dapat berpotensi bahaya pada kasus ini.
Relaksasi Otot

Benzodiazepin menyebabkan reduksi otot ringan yang bisa menguntungkan


misalnya pada penggunaan ventilasi mekanik di unit perawatan intensif, yang
mengurangi resiko dari dislokasi artikular atau saat pemasangan endoskopi.

Efek pada Respirasi

Dosis benzodazepin dapat menyebabkan depresi sentral pada ventilasi . respon


ventilasi terhadap CO2 dapat terganggu dan respon dari ventilasi yang kurang
ditandai dengan adanya depresi. Hal ini diikuti juga dengan adanya sindrom
hipoventilasi dan gagal napas tipe 2 yang peka terhadap depresi pernapasan akibat
efek dari benzodiazepin. Depresi ventilasi merupakan efek eksaserbasi dari
obstruksi jalan napas dan hal ini paling sering pada dari yang sebelumnya.

Efek Kardiovaskuler

Benzodiazepin menghasilkan efek hemodinamik yang tidak terlalu besar dimana


mekanisme- refleks hemostatik masih tetap terpelihara dan lebih aman dari agen
anastesi intravena. Suatu penekanan pada resistensi vaskuler perifer menghasilkan
sedikit penekanan pada tekanan arteri. Hipotensi yang signifikan dapat terjadi pada
pasien yang mengalami hipovolemia atau vasokonstriksi.
.
B. DIAZEPAM
Diazepam adalah golongan benzodiazepin pertama yang tersedia untuk
penggunaan parenteral. Tidak larut dalam air dan pada awalnya diformulasikan
dalam propyleneglikol, yang sangat iritan untuk vena dan dihubungkan dengan
peningkatan insidens dari tromboflebitis. Suatu emulsi lemak (diazemuls)
ditingkatkan/ditemukan selanjutnya. Kedua formasi tersebut disediakan dalam
ampul 2 ml yang terdiri dari 5 mg/ml. Diazepam juga tersedia untuk oral yaitu
tablet atau sirup dengan 100% bioavibilitas dan larutan rectal dan supositoria.
Eliminasi waktu paru 20-50 jam, tetapi metabolit-metabolit aktif diproduksi
termasuk desmetil diazepam dengan waktu paru 36-200 jam, clearance menurun
pada disfungsi hepar.
Dosis
- Premedikasi : 10 mg oral 1-1,5 jam sebelum operasi
- Sedasi : 5-15 mg IV perlahan-lahan, peningkatan bolus 1-2 mg.
- Status epileptikus : 2 mg, diulang setiap menit sampai kejang berhenti. Dosis
maksimal 20 mg.
- Terapi intensif : Tidak cocok untuk infus, dosis bolus IV 5-10 mg/4 jam.

C. MIDAZOLAM
Midazolam adalah suatu derivat imidazoensodiazepinedan cincin imidazol yang
mencapai kelarutan air pada pH 2.9 – 3.7
Dosis
-Premedikasi : 15 mg oral atau 5 mg IM, anak > 6 bulan 70-100 μg/kg
-Sedasi : 2-7 mg IV
-Terapi intensif : IV 0,03-1 mg/kg/jam

D. TEMAZEPAM
Golongan benzodiazepin ini hanya tersedia bentuk oral, namun digunakan lebih
luas sebagai suatu obat premedikasi karena sifat anxiolitiknya. Pemberian secara
oral absorpsinya sempurna tapi membutuhkan waktu sampai dengan 2 jam untuk
mencapai konsentrasi puncak di plasma. Metabolisme berlangsung di hepar lewat
konjugasi dengan glukoronidase dan tidak ada produksi metabolit yang penting.
Memiliki eliminasi waktu paru relatif lama 8-15 jam. Dosis 20 mg efektif dalam 1-
2 jam dan bertahan sekitar 2 jam, dengan gejala siksa mengantuk. Toleransi dan
ketergantungan jarang terjadi pada pemakaian lama dari temazepam, ditujukan
secara luas sebagai suatu hipnotik.

E. LORAZEPAM
Obat ini tersedia untuk penggunaan parenteral dan oral, tetapi tidak digunakan
secara rutin sebagai sedatif IV karena dibatasi oleh aksi dari onset yang pelan.
Metabolisme oleh glukoronidasi dengan eliminasi waktu paru 15 jam dan durasi
yang lebih panjang dibandingkan temazepam. Jika digunakan untuk premedikasi,
dosis 2-4 mg diberikan malam sebelumnya atau pada permulaan hari pembedahan.
Amnesia adalah suatu tanda yang menyertai pemberian obat ini.
Saat ini lorazepam IV merupakan drug of choice pada penanganan status
epileptikus, karena memiliki durasi yang lebih panjang untuk aksi antilepilepsi
dibanding diazepam. Juga bisa digunakan untuk penanganan serangan akut panik
yang berat, baik secara IM/IV dengan dosis 25-30 μg/kg (dosis biasa 1,5-2.5 mg).
Jalur IM hanya digunakan jika tidak ada jalur lain yang tersedia.

F. FLUMAZENIL
Flumazenil adalah suatu kompetitif antagonis berafinitas tinggi untuk semua ligand
reseptor benzodiazepin. Obat ini secara cepat melawan semua efek benzodiazepin
di CNS dan juga efek berbahaya yang berpotensi muncul melawan efek fisiologis
termasu depresi respirasi dan kardiovaskuler dan obstruksi jalan napas.
Flumazenil memiliki sangat sedikit aktivitas intrinsik pada dosis tinggi dan
ditoleransi dengan baik dengan efek samping minimal.Flumazenil secara cepat
dibersihkan dari plasma den dimetabolisme oleh hati. Flumazenil memiliki waktu
paruh eliminasi yang sangat singkat yaitu kurang dari 1jam. Lama kerja tergantung
pada dosis yang diberikan dan identitas dan dosis agonis. Berkisar antara 20 menit
sampai 2 jam untuk potensi resedasi jika agonis memiliki waktu paruh yang lebih
panjang, yang mengharuskan suatu periode observasi tertutup.
Dosis dan pemberian
Flumazenil tersedia untuk penggunaan IV dalam ampul 5 ml terdiri dari 100 μg/ml.
Dosis efektif yang biasa digunakan adalah 0,2-1 mg diberikan dalam bentuk 0,1-
0,2 mg bolus dan diulang tiap interval 1 menit. Dosis untuk pasien koma tidak
boleh lebih dari 2 mg.
2.1.1 Atropin

Atropin merupakan agen antimuskarinik yang menghambat asetilkolin

atau stimulan kolinergik lain. Dengan dosis yang tinggi atropin dapat memblokir

reseptor nikotin.

Penggunaan dengan dosis rendah atropin akan menghambat produksi

saliva, menghambat sekresi bronkus serta keringat. Pada dosis medium atropin

menyebabkan dilatasi pupil mata dan meningkatkan denyut jantung.


Penggunaan dosis tinggi akan mengurangi motilitas gastrointestinal dan saluran urinaria,

sedangkan untuk dosis yang sangat tinggi atropin akan menghambat sekresi lambung

(FKH IPB, 2012).

Atropin dapat diabsorbsi dengan baik apabila diberikan secara oral, injeksi

dan inhalasi. Jika atropin diberikan secara injeksi intravena, efek terhadap denyut

jantung akan tampak dalam 3 – 4 menit setelah pemberian, lalu akan diikuti

dengan blokade kolinergik. Atropin terdistribusi dengan baik di dalam tubuh dan

melalui sistem saraf pusat, dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin

(Plumb, 2008).

2.1.2 Xilazin

Xilazin sering digunakan pada anjing untuk tujuan sedasi dengan periode

analgesia yang lebih singkat, juga digunakan sebagai obat premedikasi sebelum

anestesi lokal atau anestesi umum. Xilazin memberikan relaksasi otot, dan pada

anjing obat ini dapat menyebabkan muntah. Xilazin juga menekan mekanisme

pengaturan suhu sehingga kemungkinan bisa menyebabkan hypothermia atau

hyperthermia, tergantung pada temperatur udara sekitar, berpengaruh terhadap

sistem kardiovaskuler yang meliputi tekanan darah, ritme jantung dan frekuensi

denyut jantung. Pada anjing xilazin dapat memberikan efek samping seperti

tremor otot, bradikardia dengan blokade A-V dan mengurangi frekuensi respirasi

(FKH IPB, 2012).

Mulai kerja xilazin yang diberikan pada anjing secara intramuskuler

mencapai 10 – 15 menit dan 3 – 5 menit apabila diberikan secara intravena. Efek

analgesik xilazin bisa bertahan selama 15 – 30 menit, namun efek sedasinya bisa

bertahan hingga 1 – 2 jam tergantung pada dosis yang diberikan, sedangkan waktu
7

pemulihan sempurna setelah pemberian xilazin pada anjing membutuhkan waktu

antara 2 – 4 jam (Plumb, 2008).

2.2 Anestesi

Anestesi adalah suatu keadaan temporer dimana terjadinya relaksasi otot,

hilangnya rasa sakit dan hilangnya rasa terhadap rangsangan, tanpa atau disertai

dengan hilangnya kesadaran (Wikipedia, 2014). Pemberian anestesi bertujuan

untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa sakit saat dilakukan tindakan

medis seperti operasi. Penggunaan anestesi juga dimaksudkan untuk

menenangkan hewan sehingga memudahkan dalam melakukan diagnosa,

transportasi bagi hewan liar dan eksotik, dan prosedur pengobatan. Di samping itu

anestesi dapat juga digunakan untuk menjalankan prosedur etanasi (Tranquilli et

al., 2007).

2.2.1 Penggolongan anestesi

Anestesi umumnya digolongkan berdasarkan cara penggunaan obatnya

dan berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi

dibagi menjadi (a) anestesi inhalasi yaitu obat anestesi berupa gas/uap

diaplikasikan melalui respirasi dengan kombinasi oksigen; (b) anestesi injeksi

yaitu obat anestesi diberikan dengan cara injeksi/suntikan, bisa melalui IV, IM
dan SC; (c) anestesi oral atau rektal yaitu obat yang diberikan melalui saluran

pencernaan (gastrointestinal); dan (d) anestesi topikal yaitu anestesi yang

diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal

(Tranquilli et al., 2007).


8

Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi:

 
Anestesi lokal

Anestesi lokal adalah tindakan menghilangkan rasa sakit terbatas pada

area yang diberikan obat yang mampu menghambat konduksi saraf perifer

tanpa mengakibatkan kerusakan pada saraf yang berkaitan. Anestesi lokal

bekerja dengan cara blokade saluran ion natrium saraf perifer sehingga

konduksi saraf terhambat dan respon terhadap stimulasi hilang secara lokal.

Anestesi lokal dilakukan dengan cara pemberian obat melalui permukaan

tubuh, subkutan dan infiltrasi. Anestesi ini tidak disertai dengan hilangnya

kesadaran;

 
Anestesi regional

Anestesi regional adalah tindakan menghilangkan rasa sakit pada regio

tertentu dengan cara pemberian obat anestesi pada lokasi saraf yang

menginervasi regio tertentu sehingga terjadi hambatan konduksi impuls saraf

yang reversibel tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi regional

diberikan secara epidural, spinal dan paravertebral (Sudisma et al., 2006).

Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol motorik daerah pelvis,

ekor, abdominal dan kaki belakang;

 
Anestesi umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa sakit dan refleks

otot di seluruh tubuh, disertai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat

sementara. Anestesi ini diberikan dengan cara inhalasi, injeksi, atau gabungan

injeksi dan inhalasi. Tujuan utama dilakukannya anestesi umum adalah untuk
9

memperoleh kondisi sedasi, analgesia, relaksasi dan tidak adanya refleks

sehingga memudahkan dalam melakukan diagnosa atau tindakan pembedahan.

2.2.2 Ketamin

Ketamin merupakan obat anestesi umum yang memiliki efek analgesik

yang kuat. Ketamin umumnya tidak menghilangkan refleks pinnal (telinga) dan

pedal (kaki), juga refleks terhadap cahaya, refleks kornea, laryng atau pharyng.

Efek ketamin terhadap sistem kardiovaskuler meliputi peningkatan output

jantung, denyut jantung, tekanan aorta dan arteri pulmoner. Menurut Stawicki

(2007), ketamin memiliki efek klinik yang bervariasi yakni analgesik, anestesi,

halusinasi, neurotoksisitas, hipertensi arteri dan bronkodilatasi.

Setelah diberikan secara injeksi intramuskuler ketamin akan dengan cepat

didistribusikan ke semua jaringan tubuh dan mengikat protein plasma sekitar 53%

pada anjing (Plumb, 2008). Obat ini kemudian dimetabolisme di hati dan

dieliminasi melalui urin.

2.3 Monitoring Pasien

Monitoring terhadap pasien selama teranestesi sangat penting dilakukan

untuk mempertahankan kestabilan anestesi dan untuk mencegah gangguan fungsi

kardiovaskuler, respirasi dan sistem saraf pusat (Lee, 2006c). Monitoring


dilakukan terhadap kedalaman anestesi dan fungsi fisiologis pasien. Kedalaman

anestesi dapat diukur dengan melakukan pemeriksaan terhadap beberapa aspek

seperti ada atau tidaknya refleks/respon terhadap stimulasi, tonus otot, refleks

palpebra, refleks kornea, nystagmus, lakrimasi, denyut jantung, respirasi dan

tekanan darah (Lee, 2006b). Monitoring terhadap fungsi fisiologis pasien


10

mencakup pemeriksaan terhadap denyut dan ritme jantung, pulsus, CRT, warna

membran mukosa, darah, respirasi dan temperatur tubuh, oksigenasi, EKG dan

tekanan darah.

2.4 Leukosit

Leukosit atau sel darah putih adalah salah satu jenis sel yang membentuk

komponen darah dan berfungsi sebagai sel pertahanan tubuh yang akan membantu

tubuh melawan berbagai agen asing yang dapat menginfeksi tubuh. Sel darah

putih berperan sebagai penanda ada atau tidaknya infeksi dan menggambarkan

tingkat stres pada hewan. Kondisi hewan yang mengalami infeksi atau stres akan

menigkatkan risiko anestesi.

Sel darah putih tidak berwarna dan memiliki inti. Di dalam tubuh leukosit

bekerja secara independen, bergerak bebas dan akan mengeliminasi agen asing

yang dapat menginfeksi. Sel darah putih merupakan produk dari sel pluripoten

pada sumsum tulang dimana granulosit mengalami fase proliferasi mitosis yang

disusul dengan fase pematangan (Marsika, 2002). Secara umum, sel darah putih

dibedakan menjadi dua jenis yaitu sel darah putih yang bergranula yang disebut

granulosit atau polimorfonuklear dan sel darah putih yang tidak bergranula yang

disebut agranulosit atau monomorfonuklear (Colville dan Bassert, 2008).


Granulosit terdiri dari tiga jenis sel yaitu basofil, eosinofil dan neutrofil,

sedangkan agranulosit terdiri dari dua jenis yaitu limfosit dan monosit.

Basofil berperan pada beberapa tipe reaksi alergi, karena tipe antibodi

yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu immunoglobulin E (IgE) mempunyai

kecenderungan khusus untuk melekat pada basophil dan sel mast (Guyton, 2008).
11

Eosinofil berhubungan dengan infeksi parasit, apabila jumlah eosinofil meningkat

maka itu berarti terjadi infeksi parasit dalam tubuh. Neutrofil dikenal sebagai garis

pertahanan pertama (Junqueira dan Caneiro, 2005), merupakan sel darah putih

yang paling banyak jumlahnya dalam darah perifer dan berhubungan dengan

pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan proses peradangan. Neutrofil

bersama dengan makrofag memiliki kemampuan fagositosis untuk menelan

organisme patogen dan sel debris (Lee et al., 2003). Limfosit berperan dalam

pembentukan antibodi sebagai respon terhadap benda asing (Tizard, 2000),

limfosit juga berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi virus dan bakteri

intraseluler. Sel monosit memiliki peran yang serupa dengan sel neutrofil yaitu

sebagai sel fagosit, dikenal juga sebagai makrofag saat meninggalkan aliran darah

dan masuk ke dalam jaringan.

Jumlah leukosit anjing di dalam darah berkisar antara 6.000 – 17.000/µL

(Jain, 1986; Rizzi et al., 2010). Namun nilai tersebut dapat berubah, bisa menjadi

lebih tinggi dari 17.000/µL atau lebih rendah dari 6.000/µL, hal tersebut bisa

dikarenakan adanya gangguan pada fisiologis tubuh. Gangguan total leukosit yang

ditandai dengan peningkatan jumlah leukosit dalam sirkulasi darah disebut dengan

leukositosis, sedangkan gangguan total leukosit yang ditandai dengan penurunan

jumlah leukosit dalam sirkulasi darah disebut dengan leukopenia.


Leukositosis dan leukopenia bisa terjadi karena beberapa faktor seperti

gangguan produksi, distribusi atau pemanfaatan basofil, eosinofil, neutrofil,

limfosit, monosit dan sel mast. Kejadian leukositosis seringkali berhubungan

dengan neutrofilia (peningkatan jumlah neutrofil dalam darah) dan monositosis


12

(peningkatan jumlah monosit dalam darah). Kondisi yang dapat

menyebabkan leukositosis adalah adanya peradangan, respon

glukokortikoid, respon katekolamin, neoplasia, infeksi bakteri,

nekrosis pada jaringan dan kondisi herediter (Weltan, 2007; Freeman,

2014). Tidak berbeda jauh dengan leukositosis, yang memiliki

pengaruh besar dalam penurunan jumlah leukosit adalah menurunnya

jumlah neutrofil dalam darah atau yang disebut juga neutropenia.

Leukopenia terjadi karena adanya infeksi virus (akut), septicemia

(infeksi bakteri), anafilaksis, toxemia, pengaruh bahan kimia atau obat-

obatan, infeksi fungi sistemik, dan depresi sumsum tulang akibat

tumor tertentu (Freeman, 2014).

Você também pode gostar