Você está na página 1de 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cholelitiasis saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat karena frekuensi
kejadiannya tinggi yang menyebabkan beban finansial maupun beban sosial bagi
masyarakat. Sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat.
Angka kejadian lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan bertambahnya
usia. Cholelitiasis sangat banyak ditemukan pada populasi umum dan laporan
menunjukkan bahwa dari 11.840 yang dilakukan otopsi ditemukan 13,1% adalah pria
dan 33,7% adalah wanita yang menderita batu empedu.Di negara barat penderita
cholelitiasis banyak ditemukan pada usia 30 tahun, tetapi rata-rata usia tersering
adalah 40–50 tahun dan meningkat saat usia 60 tahun seiring bertambahnya usia, dari
20 juta orang di negara barat 20% perempuan dan 8% laki-laki menderita cholelitiasis
dengan usia lebih dari 40 tahun (Cahyono, 2014).
Cholelitiasis merupakan kondisi yang paling banyak ditemukan. Kondisi ini
menyebabkan 90% penyakit empedu, dan merupakan penyebab nomor lima
perawatan di rumah sakit pada usia muda. Choleltiaisis biasanya timbul pada orang
dewasa, antara usia 20-50 tahun dan sekitar 20% dialami oleh pasien yang berumur
diatas 40 tahun. Wanita berusia muda memilikiresiko 2-6 kali lebih besar mengalami
cholelitiasis. Cholelitiasis mengalami peningkatan seiring meningkatnya usia
seseorang.
Sedangkan kejadian cholelitiasis di negara Asia 3%-15% lebih rendah
dibandingan negara barat. Di Indonesia, cholelitiasis kurang mendapat perhatian
karena sering sekali asimtomatik sehingga sulit di deteksi atau sering terjadi
kesalahan diagnosis. Penelitian di Indonesia pada Rumah Sakit Columbia Asia Medan
sepanjang tahun 2011 didapatkan 82 kasus cholelitiasis (Ginting, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ndraha (2014) didapatkan hasil
sebanyak 87 pasien didiagnosis cholelitiasis dengan rentang usia 45,6. Prevalensi
pada pasien perempuan lebih banyak daripada laki-laki. (54,47) dengan usia rata-rata
40 tahun (80,46%). Sejumlah 68,97 merupakan pasien di ruang rawat inap.
Saat ini penderita cholelitiasis di Indonesia cenderung meningkat karena
perubahan gaya hidup seperti orang-orang barat yang suka mengkonsumsi makanan
cepat saji yang dapat menyebabkan kegemukan karena timbunan lemak dan
menjadikan pemicu terjadinya cholelitiasis. Tetapi jumlah secara pasti berapa
banyaknya penderita batu empedu belum diketahui karena belum ada studi mengenai
hal tersebut (Djumhana, 2010).
Banyaknya faktor yang mempengaruhi terjadinya cholelitiasis adalah faktor
keluarga, tingginya kadar estrogen, insulin, dankolesterol, penggunaan pil KB,
infeksi, obesitas, gangguan pencernaan, penyakit arteri koroner, kehamilan, tingginya
kandung lemak dan rendah serat, merokok, peminum alkohol, penurunan berat badan
dalam waktu yang singkat,dan kurang olahraga (Djumhana, 2010).
Menurut data pelaporan dari bidang rekam medis di RSI Surakarta penyakit
cholelitiasis masuk dalam daftar 10 besar diagnosa pasien yang rawat inap di RSI
Surakarta, berdasarkan catatan bagian rekam medis RSI Surakarta pada bulan Mei
2014 sampai dengan bulan Desember 2014 merawat 129 pasien, kemudian pada bulan
Januari 2015 sampai dengan bulan Mei 2015 merawat 113 pasiendan disemua ruang
rawat inap hampir setiap bulan merawat pasien dengan cholelitiasis dan beberapa
diantaranya menjalani pembedahan pengangkatan batu empedu (Kepala Rekam Medis
Rumah Sakit Islam Surakarta).
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka kelompok tertarik untuk
membuat Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada pasien dengan choletiasis di
Ruang Melati 3 RSUD dr. Moewardi kota Surakarta sebagai kasus yang akan kami
bahas pada presentasi kasus stase KMB (Keperawatan Medikal Bedah)
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada pasien dengan Choletiasis
di RSUD dr. Moewardi.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai penugasan kelompok yang akan di persentasikan sebagai kasus
kelolaan kelompok pada stase Keperawatan Medikal Bedah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu empedu
adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu.
Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan
batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise
Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol,
pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran
empedu adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan
komposisi yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama dari
batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung
kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia, volum 57, 2007).
B. Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3%
bilirubin. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun
yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang
biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena
kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di
luar empedu.
C. Patofisiologi
Sekitar 75% pasien, batu empedu terdiri atas kolesterol, dan sisanya
merupakan batu pigmentasi yang terutama mengandung bilirubin tidak
terkonjugasi. Secara normal, kolesterol tidak mengendap dalam empedu, karena
mengandung garam empedu terkonjugasi dan phosphatidylcholine secukupnya
dalam bentuk micellar solution. Jika rasio konsentrasi kolesterol : garam empedu
dan phosphatidylcholine meningkat, kelebihan kolesterol dalam batas minimal,
kejenuhannya akan meningkat (supersaturasi) dalam larutan lumpur. Adanya
supersaturasi oleh peningkatan rasio kolesterol, akan menyebabkan hepar
mensekresi kolesterol konsentrasi tinggi sebagai inti vesikel unilamelar dalam
kandung empedu dimana phosphatidylcholine menjadi kulit luar pembungkus
vesikel dengan diameter 50-100 nm. Jika jumlah kandungan kolesterol relatif
meningkat, vesikel multilamelar akan terbentuk (diameter melebihi 1000 nm).
Vesikel-vesikel ini tidak stabil dan mengendap lingkungan cairan dalam bentuk
kristal kolesterol. Kristal kolesterol ini merupakan prekursor batu empedu.
Penyebab penting peningkatan rasio kolesterol : garam empedu dan
phosphatidylcholine adalah:
1. Peningkatan sekresi kolesterol, baik oleh karena peningkatan sintesis
kolesterol (peningkatan aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl [HMG]-
CoA-kolesterol reduktase) ataupun penghambatan esterifikasi kolesterol
seperti progesterone selama kehamilan
2. Penurunan sekresi garam empedu oleh karena penurunan simpanan garam
empedu pada penyakit Crohn’s atau setelah reseksi ataupun selama puasa dan
nutrisi parenteral
3. Penurunan sekresi phosphatidylcholine sebagai penyebab batu kolesterol
ditemukan pada wanita Chili yang hidup hanya memakan sayuran.
Batu pigmen terdiri atas sebagian besar kalsium bilirubinat (50%) yang
memberikan warna hitam atau coklat pada empedu. Batu hitam juga
mengandung kalsium karbonat dan fosfat, dimana batu coklat juga
mengandung stearat, palmitat dan kolesterol. Peningkatan jumlah bilirubin tak
terkonjugasi pada empedu, yang dipecahkan hanya dalam micelles, ini
merupakan penyebab utama pembentukan batu empedu, dimana normalnya
mengandung hanya 1-2% dalam empedu.
Adapun sebagai penyebab meningkatnya konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi
adalah:
1. Meningkatnya pemecahan hemoglobin seperti pada anemia hemolitik, yang
mana terdapat banyak bilirubin yang akan mengalami proses konjugasi dengan
perantara enzim glukorunidase dalam hepar, ditemukan kelainan sebagai
berikut:
 Penurunan kapasitas konjugasi dalam hepar seperti pada sirosis hepar
 Dekonjugasi non-enzimatik bilirubin dalam empedu khususnya
monoglukoronat
 Dekonjugasi enzimatik (β-glucosidase) oleh bakteri.
Skema patofisiologi pembentukan batu empedu kolesterol
Bakteri juga tidak mengkonjugasi secara enzimatik garam empedu sehingga terjadi
pembebasan palmitat dan stearat (dari phoshatidylcholine) dalam presipitat sebagai garam
kalsium. Batu hitam dibentuk oleh tiga mekanisme pertama diatas, mengandung komponen
tambahan, kalsium karbonat dan fosfat, inilah yang akan menurunkan kapasitas keasaman
dalam kandung empedu.
Kandung empedu, dimana komponen spesifik (kolesterol, garam empedu,
phoshatidylcholine) terkonsentrasi dalam waktu yang lama keterikatan dalam air, juga
merupakan bagian penting dalam pembentukan batu empedu. Gangguan pengosongan
kandung empedu bisa menjadi salah satu penyebab baik karena insufisiensi CCK (tidak ada
asam lemak bebas yang dilepaskan dalam lumen pada insufisiensi pancreas) sehingga
rangsangan kontraksi ke kandung empedu melemah, ataupun karena vagotomy nonselektif
tidak terdapat sinyal kontraksi dan asetilkolin. Kontraksi kandung empedu melemah juga
pada keadaan kehamilan. Saat itu menjadi waktu yang sangat cukup terjadi endapan kristal
untuk membentuk batu yang besar. Peningkatan sekresi mukus (dirangsang oleh
prostaglandin) bisa memicu peningkatan jumlah inti kristalisasi.
Konsekuensi yang mungkin terjadi pada kolelitiasis adalah kolik. Jika terjadi
penghambatan saluran empedu oleh sumbatan batu empedu, tekanan akan meningkat dalam
saluran empedu dan peningkatan kontraksi peristaltik di daerah sumbatan menyebabkan nyeri
viseral pada daerah epigastrik, mungkin dengan penyebaran nyeri ke punggung dan disertai
muntah.

Skema patofisiologi pembentukan batu pigmen empedu


Patway
D. Manifestasi Klinik
1. Rasa nyeri dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan
mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik
bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar ke
punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah
dan bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada sebagian
pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik
bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam
keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini
menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga
dada.
2. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam
duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit
dan menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan
gejal gatal-gatal pada kulit.
3. Perubahan warna urine dan feses.
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat
gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka tampak kelabu,
dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored”.
4. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K
yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin
K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.(Smeltzer, 2002).
5. Regurgitasi gas: flatus dan sendawa
E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan ikterus.
Disamping itu, pemeriksaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi
inisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien
sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada
dalam keadan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada gelombang
suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli
dalam kandung empedu atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral
kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice karena liver tidak dapat
menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang mengalami obstruksi.
(Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung
empedu telah menebal. (Williams 2003).
4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi
endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga mencapai
duodenum pars desendens. Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus
koleduktus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikan ke
dalam duktus tersebut untuk menentukan keberadaan batu di duktus dan
memungkinkan visualisassi serta evaluasi percabangan bilier (Smeltzer,SC
dan Bare,BG 2002).
5. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kenaikan serum kolesterol
2. Kenaikan fosfolipid
3. Penurunan ester kolesterol
4. Kenaikan protrombin serum time
5. Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl)
6. Penurunan urobilirubin
7. Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 - 10.000/iu)
8. Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di
duktus utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml)

G. Penatalaksanaan (medis dan keperawatan)


Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah
dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang
menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan
kolelitiasis yang asimptomatik.
1. Penatalaksanaan Nonbedah
a) Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh
dengan istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer, SC
dan Bare, BG 2002). Manajemen terapi :
 Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
 Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
 Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
 Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
 Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
b) Oral Dissolution Therapy
adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan oral.
Ursodeoxycholic acidlebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic
karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan
chenodeoxycholicseperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrasedan
hiperkolesterolemia sedang.
c) Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu
kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu
melalui kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter
nasobilier. Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini
dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu
yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan
iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu
kandung empedu.
d) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated
Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau
duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa
sejumlah fragmen. (Smeltzer & Bare, 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-
manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada
pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
e) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran
empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot
sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada
90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7%
mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan
pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu
saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat
2. Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90%
batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko
kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan
mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat
melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan
pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparoskopi.
H. Asuhan Keperawatan Keperawatan Medikal Bedah Cholletiasis
A. Pengkajian
Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan . Data yang dikumpulkan
meliputi :

1. Identitas
Kolelitiasis merupakan batu pada kandung empedu yang banyak terjadi pada
individu yang berusia di atas 40 tahun dan semakin meningkat pada usia 75 tahun.
Dan wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria.

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual muntah.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien,
quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien,
regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi
yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa
nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal
tersebut. Klien sering mengalami nyeri di ulu hati yang menjalar ke
punggung , dan bertambah berat setelah makan disertai dengan mual dan
muntah.
c. Riwayat penyakit dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di
riwayat sebelumnya. Klien memiliki Body Mass Index (BMI) tinggi,
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan
dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun
tinggi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini
menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola makan dan gaya
hidup yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis
mempunyai resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
e. Riwayat psikososial
Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan informasi dan
mempercayakan sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien pasrah terhadap
tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal cepat sembuh. Persepsi diri
baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul sehubungan telah dilakukan
tindakan cholesistektomi.
f. Riwayat lingkungan
Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit kolelitiasis. Karena
kolelitiasis dipengaruhi oleh pola makan dan gaya hidup yang tidak baik.
3. Pemeriksaan fisik
Pada hasil pemeriksaan fisik abdomen didapatkan :
a) Inspeksi : datar, eritem (-), sikatrik (-)
b) Auskultasi : peristaltik (+)
c) Perkusi : timpani
d) Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio kuadran kanan atas, hepar-lien tidak teraba,
massa (-)
e) Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada
penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi
pembengkakan pada kandung empedu.
4. Pola aktivitas
1. Nutrisi
2. Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
1. Aktivitas
2. Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran
bedrest
1. Aspek Psikologis
2. Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati.
1. Aspek penunjang
2. Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin,amylase serum meningkat).
3. Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter
Diagnosa Keperawatan
1. Nyerin Akut b/d Agen injury
2. Resiko Perdarahan
3. Resiko Kerusakan Intergritas kulit
4. Resiko ketidakseimbangan volume cairan
5. Disfungsional Motilitas Gastrointestinal

Perencanaan Keperawatan pasien dengan cholelitiasis


No Diagnosa NOC NIC
(NANDA)
1 Nyeri akut b.d. Pain Level Pain Management
agen injury Setelah dilakukan - Kaji nyeri secara
Definisi : perawatan 3 hari, nyeri komprehensif termasuk
Sensori yang tidak berkurang atau hilang lokasi, karakteristik,
menyenangkan dan dengan kriteria : durasi, frekuensi, kualitas
pengalaman - Klien tenang, klien dapat dan faktor presipitasi
emosional yang istirahat dengan tenang - Observasi reaksi nonverbal
muncul secara - Skala nyeri 1-2 dari ketidaknyamanan
aktual atau - Tanda vital normal - Gunakan teknik komunikasi
potensial terapeutik untuk
kerusakan jaringan Pain control mengetahui pengalaman
atau Setelah dilakukan nyeri pasien
menggambarkan perawatan 3 hari pasien:- Evaluasi pengalaman nyeri
adanya kerusakan mampu mengontrol nyeri masa lampau
(Asosiasi Studi dengan kriteria hasil : - Evaluasi bersama pasien
Nyeri - pasien mengetahui dan tim kesehatan lain
Internasional): penyebab nyeri tentang ketidakefektifan
serangan - mampu menggunakan kontrol nyeri masa lampau
mendadak atau tehnik nonfarmakologi- Kurangi faktor presipitasi
pelan intensitasnya untuk mengurangi nyer nyeri
dari ringan sampai - Melaporkan gejala yang- Ajarkan tentang teknik
berat yang dapat dirasakan kepada tenaga relaksasi, sentuhan dan
diantisipasi dengan kesehatan dorong ambulasi dini
akhir yang dapat - Evaluasi keefektifan kontrol
diprediksi dan Comfort level nyeri
dengan durasi Setelah dilakukan - Tingkatkan istirahat
kurang dari 6 perawatan pasien - Kolaborasikan dengan tim
bulan. menyatakan rasa nyaman medis dalam pemberian
Batasan setelah nyeri berkurang oabat analgetik.
karakteristik : - Monitor penerimaan pasien
- Laporan secara tentang manajemen nyeri
verbal atau non
verbal
- Tingkah laku
ekspresif
- Gangguan tidur
2 Cemas Anxiety control Anxiety Reduction
berhubungan Setelah dilakukan (penurunan kecemasan)
dengan perawatan 3x24 jam,- Gunakan pendekatan yang
perubahan status pada klien tidak menenangkan
kesehatan menunjukkan kecemasan- Jelaskan semua prosedur
Definisi : dengan indikator: dan apa yang dirasakan
Perasaan gelisah - Klien mampu selama prosedur
yang tak jelas dari mengidentifikasi dan- Temani pasien untuk
ketidaknyamanan mengungkapkan gejala memberikan keamanan
atau ketakutan cemas dan mengurangi takut
yang disertai
- Mengidentifikasi,- Berikan informasi faktual
respon autonom mengungkapkan dan mengenai diagnosis,
(sumner tidak menunjukkan tehnik tindakan prognosis
spesifik atau tidak untuk mengontol cemas - Dorong keluarga untuk
diketahui oleh
- Vital sign dalam batas menemani anak
individu); perasaan normal - Lakukan back / neck rub
keprihatinan - Postur tubuh, ekspresi- Dengarkan dengan penuh
disebabkan dari wajah, bahasa tubuh dan perhatian
antisipasi terhadap tingkat aktivitas- Identifikasi tingkat
bahaya. Sinyal ini menunjukkan kecemasan
merupakan berkurangnya kecemasan- Bantu pasien mengenal
peringatan adanya situasi yang menimbulkan
ancaman yang kecemasan
akan datang dan - Dorong pasien untuk
memungkinkan mengungkapkan perasaan,
individu untuk ketakutan, persepsi
mengambil - Instruksikan pasien
langkah untuk menggunakan teknik
menyetujui relaksasi
terhadap tindakan. - Barikan obat untuk
mengurangi kecemasan
Batasan
karakteristik:
- Gelisah
- Sedih
- Insomnia
- Cemas
- Resah
- Khawatir
- Ketakutan
3 Risiko infeksi Risk Control Infection Control :
Definisi : Pasien dapat mengetahui intraoperative
peningkatan risiko cara mengontrol infeksi monitor dan pertahankan
invasi oleh dengan indikator : suhu ruang operasi antara
organisme Mendeskripsikan model 20-24 0C
patogen. transmisi monitor dan pertahankan
Mendeskripsikan faktor kelembaba ruangan antara
Faktor resiko: yang berkontribusi 40-60
- prosedur invasif terhadap transmisi Membatasi dan mengontrol
- kerusakan Mendeskripsikan praktek lalu lintas personal (di
jaringan yang dapat menurunkan dalam ruangan operasi)
transmisi Verifikasi pemberian
Mendeskripsikan tanda antibiotik profilaksis
& gejala infeksi sebelum operasi
Mendeskripsikan Menggunakan universal
prosedur skreening precaution
Mendeskripsikan Verifikasi keutuhan set
monitoring prosedur steril
Mendeskripsikan Verifikasi indikator
aktivitas yang sterilisasi
meningkatkan resisten Membuka set steril dengan
terhadap infeksi teknik aseptik
Mendeskripsikan Menggunakan gown dan
treatment untuk diagnosa gloves steril
infeksi Mempertahankan keutuhan
Mendeskripsikan follow kaeter dan IV lines
up untuk diagnosa infeksi
Menginspeksi kulit/
jaringan sekitar insisi
operasi
Mempertahankan kerapian
ruangan untuk membatasi
kontaminasi
Melakukan dressing
pembedahan yang aman
dan rapi
Membersihkan dan
menstreilkan instrumen
Mengkoordinasikan
kebersihan dan persiapan
ruangan untuk pasien
berikutnya.
4 Risk for bleeding Blood loss severity Surgical assistance
Definisi: Selama Menentukan peralatan dan
tindakan
Resiko penurunan pembedahan instrumen yang dibuthkan
volume darah yang berlangsung, pasien tidak saat pembedahan
dapat digunakan mengalami Mengecek instrumen dan
kehilangan
untuk kompromi darah yang banyak mengatur/ menata di meja
kesehatan. dengan indikator: Menyalakan lampu oeprasi
kehilangan darah visibleMembantu
Faktor resiko: sedikit memperkirakan jumlah
-kurangnya distensi abdomen kehilangan darah
pengetahuan berkurang Menyiapkan dan merawat
- trauma Perdarahan post-op dapat spesimen
-Tindakan dikontrol Mengkomunikasikan
pembedahan Tidak ada penurunan informasi kepada tim
tekanan darah bedah
Mengkomunikasikan
status pasien dan
perkembangannya kepada
keluarga
Mengatur kembali
peralatan setelah
digunakan
Mendokumentasikan
anestesi dan tindakan
pembedahan
Membantu memindahkan
pasien ke recovery room

Shock prevention
Monitor status sirkulasi
(TD, HR, RR, suhu)
Monitor tanda-tanda
oksigenasi jaringan tidak
adekuat
Monitor hasil laboratorium
Monitor nyeri abdomen
Monitor respon
kompensasi awal
(peningkatan HR,
penurunan TD, penurunan
urine output, dan WPK
lambat)
Mengobservasi dan
monitor sumber
kehilangan cairan/ darah
(luka, drainage)
Mempertahankan
kepatenan jalan nafas
Memberikan terapi
intravena
Menyiapkan PRC untuk
persediaan tranfusi darah
Memberikan O2 untuk
oksigenasi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA An.T DENGAN KOLELITIASIS
DI RUANG MELATI 3 RSUD dr. MOEWARDI

Tgl/Jam MRS : 21/11/2018


Tanggal/Jam Pengkajian : 23 November 2018 / 08.00
Metode Pengkajian : Anamnese dan Pemeriksaan Fisik
Diagnosa Medis : Kolelitiasis
No.Registrasi : 0144xxx

A. PENGKAJIAN
1. BIODATA
a. Identitas Klien
Nama Klien : An.T
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sriwedari, Surakart
Umur : 14 tahun
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pelajar
b. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 38 tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Alamat : Jatipuro, Karanganyar
Hubungan dgn Klien : Ayah
II. RIWAYAT KESEHATAN
1. Keluhan Utama
Klien mengeluh sesak, gatal-gatal di kulit
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang ke RSDM pada tanggal 23/11/18 dengan keluhan lemah,
nyeri perut, sesak, gatal-gatal pada kulit dan muncul bercak-bercak di
sekujur tubuhnya, keluhan sudah muncul sejak 3 hari sebelumnya.
Klien didiagnosa kolelitiasis, dan mengalami penurunan HB sehingga
pasien perlu dirawat di ruang inap Melati 3.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga mengatakan 6 bulan yang lalu klien dirawat di rumah sakit
karena penyakit tifus selama 7 hari.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti yang klien alami.
Tidak ada riwayat penyakit keturunan

Genogram

Laki –Laki

Perempuan

Meninggal

Garis Hubungan Keluarga

Tinggal Satu Rumah

Pasien

III. PENGKAJIAN POLA FUNGSI GORDON


1. Pola Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Klien mengatakan tidak tahu tentang sakit yang dialami, keluarga klien sering
berobat ke dokter jika sakit yang diderita terasa mengganggu.
2. Pola Aktifitas dan Latihan (Kegiatan Sehari-hari)
Sebelum Sakit :
Sebagai seorang pelajar dan anak-anak yang suka bermain dengan teman-
temannya, klien melakukan aktivitas secara mandiri
Selama Sakit :
aktivitas klien hanya di tempat tidur dan dibantu oleh orangtua atau neneknya
yang menjaga
3. Pola Istirahat dan Tidur
Sebelum Sakit :
Pasien mengatakan tidur malam selama 7 jam, terkadang terbangun malam
hari untuk BAK ke kamar mandi. Tidur siang selama 1 jam.
Selama Sakit :
1. Kualitas dan Kuantitas Tidur
Pasien mengatakan tidur selama 5 jam, namun terkadang terbangun
karena merasa nyeri pada perutnya dan gatal pada kulitnya
2. Gangguan Tidur
Tidak bisa tidur karena punggungnya terasa sakit terus menerus.
4. Pola Nutrisi Metabolik
Klien tidak nafsu makan karena mual dan muntah semenjak 3 hari
sebelum MRS, klien tampak pucat, konjungtiva anemis, selama di rumah sakit
makan nasi 3x sehari porsi sedikit dan minum air 1600 ml/hari
5. Pola Eliminasi
a. BAB
1-2kali/3 hari, konsistensi lunak, warna normal feses, peristaltik usus
7x/menit
b. BAK
5x/hari, warna urine kekuningan dan tidak pakai kateter
6. Pola Kognitif dan Perceptual
Klien dan keluarga kurang mengetahui tentang penyakitnya dan tidak tahu
bagaimana menangani dan merawat keluarga yang sakit.
7. Pola Konsep Diri
Klien tampak malu dengan warna kulitnya yang berubah menjadi
kekuningan dan klien tampak menutupi bibirnya yang mulai kering dan
terdapat luka
8. Pola Koping

9. Pola Seksual-Reproduksi

10. Pola Peran Hubungan

11. Pola Nilai dan Kepercayaan


Agama : Islam
Klien yakin semua penyakit terjadi karena kehendak Allah

IV PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : lemah
a. Kesadaran : compos mentis
b. Tanda-Tanda Vital
1) Tekanan Darah : 110/70 mmHg
2) Nadi
 Frekuensi : 80 x / menit
 Irama : reguler
 Kekuatan : kuat
3) Pernafasan
 Frekuensi : 28x / menit
 Irama : cepat
4) Suhu : 38,5 C
2. Pemeriksaan Head To Toe
a. Kepala
a) Inspeksi : bentuk kepala bulat, tidak hydrosepalus, persebaran rambut
merata, rambut bersih
b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan
b. Muka
a) Inspeksi : bentuk waja oval, warna kulit ikterik, mata tampak
ikterik dan anemis, tidak ada polip, bibir tampak kering dan
terdapat lesi, idah tampak kotor
b) Palpasi : tidak ada neri tekan
c. Leher
Inspeksi : tidak ada distensi vena julgularis, tidak ada pembesaran kelenjar
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
d. Dada (Thorax)
 Inspeksi : entuk dada normal, tidak ada
penggunaan otot bantu nafas
 Palpasi : vomitus taktil teraba disetiap titik
lapang paru, tidak ada nyeri tekan, ictus kordis tidak teraba, tidak
ada krepitasi
 Perkusi : Perkusi dada sonor di seluruh lapang paru, batas
jantung tegas
 Aukultasi : Suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru, bunyi
jantung s1 dan s2

e. Gentalia : genetalia tampak bersih, namun tampak eritema yang


muncul pada sekitar kulit genetalia
f. Anus dan Rektum : tidak ada hemoroid
g. Ekstremitas
Tidak ada kelemahan ekstremitas atas maupun bawah, kekuatan otot penuh
untuk ekstremitas atas dan bawah, mampu mengikuti instruksi dan
melawan beban yang diberikan
5 5
5 5
h. Integumen
Warna kulit ikterik/kekuningan dan tampak eritema sebasia hyperpigmentasi
hampir seluruh tubuh. Turgor kulit baik.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (21-11-2018)

Jenis Pemeriksaan Nilai Normal Satuan Hasil Keterangan


Hasil
HEMATOLOGI
Darah Rutin 1
Hemoglobin 12,3-15,3 g/dl 6,7 Low
Hematokrit 33-45 % 28 Low
Leukosit 4,5-14,5 Ribu/u 3,6 Low
Index Eritrosit
MCV 80,0-96,0 /ul 65,5 Low
MCH 28,00-33,00 Pg 16,0 Low
MCHC 33,00-36,00 g/dl 24,0 Low
HPV 7,2-11,1 fl 7,0 Low
Limfosit 33,00-18,00 % 25,90 Low
Bilirubin total 4.00-8.00 mg/dl 18,75 High
Bilirubin direk 0.00-1.20 mg/dl 14,55 High
Bilirubin indirek 0.00-0.70 mg/dl 4,19 High
Albumin 3.8-5.4 g/dl 3 Low

2. Pemeriksaan Diagnostik (21-11-2018)


Jenis Hasil Pemeriksaan
Pemeriksaan
Pemeriksaan Leukosit : Hipoleukom, mikrosit, sel target, ertroblas (-)
gambaran Eritrosit : jumlah menurun, sel muda (-)
darah tepi Trombosit : Dalam batas normal
Kesimpulan : Anemia hipokromik mikrostastik dengan leukopenia
susp ec proses krosis dd hipathy HB elektrofotsa

3. TERAPI MEDIS

Hari/Tanggal Jenis Dosis Golongan & Fungsi


Terapi Kandungan
21 November Cairan
2018 Infus: 40 Cairan Menyeimbangkan
D5 1/2 NS cc/jam hipotonik balance cairan tubuh

Injeksi: Anti bakteri


Ampicilin 125 gr Penicilin
sulbactan
Memenuhi nutrisi
Peroral 6000 Multivitamin tubuh dan
Vitamin A mg larut dalam membantu tumbuh
Vitamin D 0,25 lemak kembang
Vitamin E mg
Vitamin K 1000
Curcuma mg
2,5 mg
4 tablet
BAB IV
ANALISA JURNAL
“Profil Koleliliasis pada hasil Ultrasonografi di Rumah Sakit Umum Daerah Koja”
A. Latar Belakang
Kolelitiasis (penyakit batu empedu) menjadi masalah kesehatan utama di seluruh
dunia. Namun diagnosisnya sulit ditegakan karena sebagian besar tidak
menimbulkan gejala. Teknik pencitraan ultrasonografi (USG) pada pasien berisiko
tinggi merupakan metoda yang penting dalam diagnosis awal.
B. Tujuan
Tujuan artikel ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien kolelitiasis
berdasarkan gambaran USG.
C. Metode
Metode menggunakan penelitian potong lintang retrospektif di lakukan pada
pasien kolelitiasis yang di diagnosis berdasarkan hasil USG pada periode april
2012 sampai dengan September 2012. Di data usia,jenis kelamin,keluhan klinis,
dan gambaran USG. Data dianalisis dan di sajikan dalam diagram.
D. Hasil
Sebanyak 87 pasien di diagnosis kolelitiasis dengan usia rerata 45.6. prevalensi
pada pasien perempuan lebih banyak daripada laki-laki (57.47%), dengan usia
rata-rata di atas 40 tahun (80.46%). Sejumlah 68.97% merupakan pasien yang di
kirim dari ruang rawat inap.keluhan klinis yang terbanyak yang di temukan adalah
dyspepsia (42.53%). Kolelitiasis multiple merupakan gambaran USG terbanyak
yang ditemukan (36.78%) dimana 73.56% pasien tidak menunjukkan komplikasi
dan hanya 22.99% saja yang menunjukkan komplikasi kolelitiasis.
E. Rekomendasi
Penyakit batu empedu di RSUD Koja terjadi lebih banyak pada pasien perempuan
berusia lebih dari 40 tahun dengan keluhan klinis dyspepsia dan di dapatkan
gambaran kolelitiasis multiple tabpa komplikasi pada hasil USG. Di harapkan
dengan peningkatan kemajuan teknologi ini masyarakat lebih peduli terkait
kesehatannya dengan melakukan pencegahan dengan pemeriksaan melalui USG.

Sumber :
Ndraha, S dkk. 2014. Profil Koleliliasis pada hasil Ultrasonografi di Rumah Sakit
Umum Daerah Koja. (Journal Online) (J.Kedokteran Meditek Vol 20 No 53, di
akses pada tanggal 20 desember 2018)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul yakni dalam kasus coletiasis pada
An. T di ruang melati 3 RSUD dr. Moewardi yang kami angkat adalah Nyeri akut
b/d cidera biologis : obstruksi kandung empedu, Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan tubuh menyerap nutrisi,
Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi tentang prognosis penyakit.
B. Saran
Makalah yang kami susun jauh dari kata sempurna, untuk itu kami selaku penulis
membutuhkan kritik dan saran yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Gagola dkk (2015), Gambaran Ultrasonografi Batu Empedu Pria dan Wanita di
Bagian Radiologi FK Unsrat Blu RSUP Prof.DR. R. D.Kandau Manado. (diakses pada
tanggal 25 januari 2019)
Jaya (2010), Hubungan Kekerapan Tranfusi Darah dengan Kejadian Kolelitiasis dan
Billiary Sludge pada Pasien Talasemia Mayor Anak. (diakses pada tanggal 25 januari 2019)
Lesmana L. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia; 2006. hal: 479-481.
Ndraha, dkk(2014), Profil kolelitiasis pada hasil ultrasonografi di Rumah Sakit
Umum Daerah Koja. (diakses pada tanggal 25 januari 2019)
Silbernagl S, Florian Lang. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme Stuttgart;
2000.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005.hal: 570-579.

Você também pode gostar