Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
&
Mekanisme Cedera Neuronal Sekunder
Katharine Hunt
Gahan Bose
Abstrak
Cedera otak adalah penyebab umum morbiditas berat dan kematian yang sering dihadapi
oleh dokter anestesi dan dokter perawatan intensif dalam praktek klinis. Efek samping
yang mungkin timbul dari berbagai kondisi medis dan bedah, termasuk stroke,
perdarahan subarachnoid, infeksi sistem saraf pusat, epilepsi, post-cardiac arrest, dan
Traumatic Brain Injury (TBI).
Meskipun kerusakan utama pada jaringan otak tidak dapat dikembalikan seperti
semula (bersifat ireversibel), namun pengobatan dini yang agresif dapat mengecilkan
kejadian cedera otak sekunder berikutnya dan mengurangi risiko cacat berat bahkan
kematian. Neuroproteksi melibatkan fisiologis, farmakologis dan intervensi bedah, yang
dilakukan sebelum onset iskemik dapat mengubah tahap kejadian yang menuju kepada
kerusakan sel permanen apabila tidak ditangani.
Tahap terjadinya kematian sel otak dimulai bersamaan langsung dengan cedera otak
primer. Berikut ini adalah efek samping lokal dan sistemik yang mungkin terjadi sendiri,
atau bersama-sama yang menyebabkan cedera otak sekunder (Tabel 1).
Faktor yang paling umum menyebabkan cedera otak sekunder adalah hipoksia
dan hipoperfusi, yang mengakibatkan sel iskemik, edema, pembengkakan otak, dan
gangguan sawar darah otak. Faktor-faktor ini secara bergilir meningkatkan tekanan
intrakranial yang selanjutnya mengurangi perfusi serebral dan akhirnya menjadi
lingkaran setan efek dari iskemik tersebut.
Hipoksia Hemoragik
Hipotensi Ekstradural
Metabolik Subdural
Intraserebral
Hiponatremia
Intraventrikular
Hipertermia
Pembengkakan subarachnoid
Hipoglikemia / hiperglikemia
Kongesti vena / hiperemia
Edema
Vasogenik
Sitotoksik
Interstisial
Infeksi
Meningitis
Abses otak
Infark
Patofisiologi
Pada sel, iskemik jaringan menyebabkan konversi dari metabolisme aerob ke anaerob
seiring dengan peningkatan produksi laktat. Karena produksi energi yang tidak
mencukupi akibat metabolisme anaerob, penyimpanan ATP terkuras habis dan pompa
ion membran sel yang bergantung pada energi menjadi rusak. Ketika hal ini terjadi pada
intraseluler akan menyebabkan peningkatan permeabilitas membran, dan edema pada sel
dan jaringan.1
Tahap kedua dari urutan patofisiologi ini ditandai oleh depolarisasi membran
terminal yang terjadi bersamaan dengan pengeluaran yang berlebihan pada excitatory
neurotransmitters (glutamat dan aspartat), aktifasi N-methyl-D-aspartate, 𝛼 -amino-3
hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate, dan voltage-dependent calcium (Ca2+) and
sodium (Na+) channels. Akibat terjadinya influks pada kalsium dan natrium, secara
bergilir, menyebabkan proses katabolisme intraseluler. Kalsium mengaktifkan
peroksidase lipid, protease dan fosfolipase yang meningkatkan kadar asam lemak bebas
dan radikal bebas intraseluler. Ini, bersama dengan aktifasi endonuklease, translokase dan
kaspase menyebabkan disintegrasi struktural membran sel dan DNA nukleosomal
sehingga terjadi fragmentasi DNA dan inhibisi perbaikan DNA.
Tahap akhirnya adalah terjadi ekspresi gen yang berlebihan dalam memastikan
kematian sel yang disengaja yang dapat mengakibatkan nekrosis (apoptosis).
Bagian otak lainnya memberi respon yang berbeda terhadap efek samping
tersebut dengan beberapa daerah menjadi lebih mudah diserang bila dibandingkan dengan
yang lain.
Neuromonitoring
Neuromonitoring dapat mendeteksi dini kejadian sekunder pada pasien kritis dengan
cedera otak.
Tujuan keseluruhan neuromonitoring adalah untuk:
Mengidentifikasi memburuknya fungsi neurologis dan efek sekunder serebral
hasil dari perawatan khusus.
Meningkatkan pemahaman tentang patofisiologi penyakit serebral.
Menyediakan data fisiologis yang jelas untuk menuntun dan mengkhususkan
terapi.
Membantu dalam memprediksi prognosis.
Beberapa teknik telah tersedia sekarang untuk mengawasi otak baik secara
keseluruhan maupun regional sehingga tanda-tanda awal impending iskemik otak dapat
dikenali dan mengoptimalkan hemodinamik dan oksigenasi otak (Tabel 2). Penanganan
neurointensif modern memanfaatkan kombinasi teknik-teknik monitoring ini (multimodal
monitoring) untuk mengidentifikasi atau memprediksi efek sekunder serebral dan
membimbing intervensi terapeutik untuk memaksimalkan hasil yang baik setelah cedera
otak. Perkembangan monitoring multimodal telah memungkinkan pengaturan target
fisiologis menjadi lebih fleksibel terhadap penanganan khusus untuk setiap pasien.2
Kateter intraventrikuler
Sistem mikrotransduser
Perangkat fibreoptik
Autoregulasi otak
Oksigenasi otak
Mikrodialisis otak
Glukosa
Ratio laktat-piruvat
Gliserol
Glutamat
Continuous electroencephalography
Multimodal monitoring
Fisiologi
Pemeliharaan oksigenasi
Kontrol tekanan darah
Kontrol suhu
Kontrol glikemik
Manajemen kejang
Kontrol CO2 arteri
Manajemen hemoglobin
Farmakologi
Thiopental
Propofol
Benzodiazepin
Agen anestesi volatil
Agen hiperosmolar
Nimodipin
Magnesium
Bedah
Kraniektomi dekompresi
Drainase cairan serebrospinal – drainase ventrikuler eksterna
Strategi fisiologis untuk pelindung saraf
Kontrol hipoksemia: hipoksemia (PaO2 < 8 kPa) dikaitkan dengan peningkatan
mortalitas yang signifikan pada pasien dengan traumatic brain injury (TBI) berat (yaitu
orang-orang dengan GCS <8) dan tekanan oksigen jaringan otak lokal rendah sering
menunjukkan iskemia serebral yang sedang berlangsung. Hipoksemia wajib diperbaiki
secara agresif dan mungkin dibutuhkan intubasi trakea dini dan ventilasi mekanik pada
kasus-kasus yang berat. Pedoman saat ini menyarankan bahwa PaO2 yang lebih dari 13
kPa harus ditargetkan.3
Kontrol tekanan darah dan tekanan perfusi serebral: tingkat tekanan darah sistolik
(SBP) berperan penting pada cedera sekunder.
Ada beberapa mekanisme patofisiologis yang mendasari. Jika autoregulasi intak,
penurunan SBP memicu vasodilatasi autoregulasi dalam upaya mempertahankan perfusi
otak yang adekuat. Hal ini menyebabkan peningkatan volume darah otak yang akan
meningkatkan tekanan intrakranial. Jika autoregulasi tidak intak, ada ketergantungan
pada SBP untuk mencegah iskemia serebral.
Definisi hipotensi pada zaman dulu adalah tekanan darah sistolik yang kurang
dari 90 mmHg, yang pada saat itu merupakan target yang direkomendasikan oleh
pedoman sebelumnya. Namun, literatur sekarang ini menyarankan untuk
mempertahankan SBP pada tingkat yang lebih tinggi berdasarkan usia (yaitu SBP ≥100
mmHg pada pasien dengan usia 50-69 tahun atau ≥110 mmHg untuk pasien 15-49 tahun
atau lebih dari 70 tahun).3 Hal ini dapat dicapai dengan resusitasi volume yang sesuai
dan, jika diperlukan, dukungan inotropik, yang harus dititrasi dengan menggunakan
monitoring invasif tekanan darah.
Tekanan perfusi serebral (CPP) adalah perbedaan antara rata-rata tekanan darah
arteri dan tekanan intrakranial (ICP). Pandangan tentang CPP optimal telah berevolusi
selama bertahun-tahun. Beberapa tahun terakhir, status tekanan autoregulasi pasien
tampak menarik banyak perhatian dengan anggapan bahwa pasien dengan autoregulasi
yang intak sangat disarankan nilai-nilai tekanan perfusi serebralnya lebih tinggi,
sementara pasien tekanan pasif dengan disfungsional tekanan autoregulasi lebih baik
dengan nilai tekanan perfusi serebral yang lebih rendah. Juga disarankan bahwa nilai CPP
yang optimal perlu disesuaikan dengan keadaan pasiennya, sehingga hasil akhir yang
lebih baik dapat tercapai sepanjang perawatan pasien. Nilai CPP yang direkomendasikan
untuk pertahanan dan hasil akhir yang baik adalah 60-70 mmHg. Upaya agresif untuk
mempertahankan CPP di atas 70 mmHg dengan cairan dan vasopressor harus dihindari
karena meningkatkan risiko kegagalan pernafasan pada orang dewasa.3
Kontrol suhu dan hipotermia: pada model eksperimen dengan cedera otak, hipotermia
telah terbukti menurunkan tingkat metabolisme otak sebesar 7% per derajat Celcius
penurunan suhu. Ini tidak hanya memperlambat proses metabolisme tetapi juga imun
dan respon inflamasi terhadap cedera. Hipotermia juga mengurangi pelepasan
neurotransmitter yang dapat mencegah terjadinya apoptosis.
Bagaimanapun proses ini belum dibuktikan secara klinis, dan pada temuan ini,
ada sebagian besar kondisi yang tidak terjadi perbaikan baik dalam morbiditas maupun
mortalitas akibat hipotermia yang diinduksi. Hipotermia yang diinduksi juga dapat
menyebabkan sepsis, koagulopati dan aritmia, terutama pada pasien dengan faktor risiko
kondisi tersebut di atas. Tidak ditemukan manfaat hasil pada pasien hipotermia yang
diberi propilaksis baik pada TBI maupun post-cardiac arrest.4 Oleh sebab itu,
mempertahankan normothermia lebih direkomendasikan daripada merangsang
hipotermia.
Kontrol glikemik: ada hubungan langsung yang terbukti antara hiperglikemia dan hasil
yang buruk setelah cedera otak. Dengan kata lain, hipoglikemia dapat merusak
pemulihan neurologis, sehingga hipoglikemia terinduksi insulin harus dihindari. Untuk
keperluan pelindung saraf, kontrol kadar glukosa darah yang proporsional (10
mmol/liter) harus dijaga setiap waktu.
Kejang: kejang dapat mengganggu pasokan oksigen dan substrat menuju otak. Hal
tersebut mungkin sulit untuk dideteksi pada pasien koma dan tandanya bisa berupa gagal
pulih dari blokade neuromuskular setelah operasi atau sedasi yang berkepanjangan dan
ventilasi. Kejang dapat tidak menarik perhatian, namun perlu berhati-hati dalam
mengosongkan jaringan otak sumber daya, pengenalan dini melalui pemeriksaan klinis
dan pemeriksaan dengan electroencephalogram (EEG), yang disertai dengan pengobatan
dini sangat penting. Pada saat ini tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung
penggunaan profilaksis sebagai antikonvulsan pada pasien cedera otak untuk mencegah
kejang pasca-trauma susulan / late post-traumatic seizures (7 hari setelah cedera).
Namun, antikonvulsan dapat digunakan untuk menurunkan angka kejadian kejang pasca-
trauma dini / early post-traumatic seizures (dalam waktu 7 hari cedera), ketika lebih
banyak manfaat yang dirasakan daripada komplikasinya terkait dengan pengobatan
tersebut.3
Hiperkapnia dan hipokapnia: diakui bahwa pada pasien hiperkapnia, perubahan 1 kPa
karbon dioksida arteri (PaCO2) meningkatkan aliran darah otak (Cerebral Blood Flow /
CBF) sebesar 25-35%. Sebaliknya, pada hipokapnia, perubahan 1 kPa PaCO2
menurunkan CBF sebesar 15%. Ada efek maksimal pada perubahan CBF di atas 10-11
kPa dan di bawah 2.5 kPa.
Hiperventilasi untuk mencapai hipokapnia dulu menjadi penatalaksanaan yang
disukai ketika merawat pasien dengan cedera otak. Ketika respon pada perubahan PaCO2
terjadi sangat cepat, dengan 20 detik setengah hidup, respon ini tidak akan berlangsung
lama, bahkan akan berkurang setelah 6-12 jam hipokapnia. Ada bukti juga yang
mengatakan bahwa hiperventilasi berlebihan dapat memperburuk perfusi ke beberapa
daerah iskemik di otak setelah trauma (TBI). Pedoman saat ini menganjurkan bahwa
PaCO2 harus dipertahankan antara 4.5-5 kPa. Hiperventilasi hanya dapat dianggap
sebagai penundaan tindakan dalam menurunkan ICP (Intracranial Pressure) yang
meningkat, dan selama intervensi aliran darah dan pengantaran oksigen ke otak ini
berlangsung harus diawasi dengan ketat.3
Manajemen hemoglobin: anemia sangat umum pada pasien cedera otak dan berkaitan
dengan hasil yang buruk pada TBI, perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral
dan stroke iskemik akut. Transfusi sel darah merah dapat dengan cepat meningkatkan
kadar hemoglobin pada pasien tersebut, tetapi juga dihubungkan dengan hasil yang buruk
dan komplikasi. Anemia dengan gangguan oksigenasi jaringan otak, dan anemia yang
tidak berdiri sendiri, merupakan faktor risiko untuk hasil yang buruk. Oleh karena itu,
membatasi kebijakan sel darah transfusi merah (yaitu pemicu hemoglobin 7 g / dl)
dianjurkan pada pasien tersebut, khususnya jika mereka terjaga dan sadar, kecuali
toleransi miskin untuk anemia (misalnya penyakit jantung iskemik) yang hadir. Strategi
transfusi individual dijamin pada pasien kelas miskin, dengan menggunakan alat yang
berbeda untuk mendeteksi / hipoksia serebral global, meskipun keandalan pendekatan
semacam itu perlu divalidasi sepenuhnya.5
Terapi hiperosmolar: saat ini ada dua agen osmotik biasa digunakan untuk efek mereka
pada edema serebral dan dibesarkan ICP.
Mannitol mengurangi kekentalan darah, yang menyebabkan peningkatan
microcirculatory aliran konstituen darah dan penyempitan akibat dari arteriol pial,
yang mengakibatkan penurunan volume darah otak dan ICP. Selain itu, juga telah
terbukti menurunkan tingkat formasi cairan serebrospinal (CSF).
Dalam keadaan sawar darah otak yang intak, manitol menarik keluar air dari
jaringan otak ke dalam plasma melalui osmosis; namun, agen harus digunakan dengan
hati-hati, pada sawar darah otak yang tidak intak molekul dapat bocor ke dalam
jaringan mereka sendiri dan menyebabkan edema jaringan melalui efek osmotik yang
sama dalam arah yang berlawanan.
Serta berpotensi menyebabkan Rebound hipertensi intrakranial, hal itu dapat
memicu gagal ginjal akut jika osmolaritas serum melebihi 320 mOsm/liter.
Hypertonic saline telah mendapatkan popularitas dalam beberapa tahun
terakhir sebagai pengganti mannitol karena sifat tonik yang sangat baik, dan
kurangnya hipotensi hipovolemik yang manitol penyebab. Tinjauan sistematis dari uji
coba terkontrol acak membandingkan natrium hipertonik dan manitol di cedera otak
traumatis tidak menunjukkan perbedaan klinis yang penting pada mortalitas, efek
neurologis, dan pengurangan ICP antara kedua kelompok. Namun, hypertonic saline
tampaknya telah menyebabkan lebih sedikit kegagalan pengobatan ICP.6
Selain bertindak sebagai agen osmotik seperti manitol, hal itu juga
menyebabkan dehidrasi sel endotel sehingga meningkatkan lumen pembuluh darah
dan meningkatkan perfusi serebral.
Ia juga dikenal untuk mengembalikan potensi membran neuronal dan
memiliki efek anti inflamasi-in pada sel saraf.
Terapi Metabolik: bahan bakar alternatif untuk otak manusia yang cedera: otak
dapat menggunakan substrat alternatif di luar glukosa, termasuk laktat, piruvat dan keton
tubuh, terutama dalam kondisi meningkatnya permintaan energi dan ketersediaan glukosa
terbatas. Studi awal telah menunjukkan pemulihan neurologis ditingkatkan dengan
pemberian larutan isotonik atau hipertonik mengandung laktat, piruvat atau keton dalam
pengobatan edema otak dan iskemia serebral berikut cedera otak akut.10
Hyperoxia: oksigen merupakan substrat penting bagi otak; namun, margin keamanan
antara dosis oksigen yang efektif dan beracun relatif sempit. Hyperoxia telah dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas pada pasien dengan berbagai proses penyakit saraf akut
melalui efek toksik diberikan atas paru-paru, sirkulasi dan bahkan otak itu sendiri. Di sisi
lain, hyperoxia juga dapat meningkatkan otak oksigenasi jaringan, mengembalikan
potensi redoks mitokondria, menurunkan ICP, mengembalikan metabolisme aerobik dan
meningkatkan tekanan autoregulasi. Beberapa studi kecil telah menunjukkan pengobatan
pada pasien TBI dengan oksigen normobaric dan hiperbarik untuk menjadi manfaat resmi
dalam mengurangi cedera neuronal dan edema, penurunan ICP dan meningkatkan
oksigenasi otak.10 Hasil ini namun perlu con fi knis dalam studi yang lebih besar.
Steroid gonad: dalam dekade terakhir, telah terjadi lonjakan dalam penelitian
tentang peran steroid gonad di pelindung saraf dan dampak positif terhadap cedera
otak yang berbeda. Administrasi awal progesteron, estrogen dan testosteron telah
menunjukkan anti-apoptosis, anti-inflamasi dan sifat antioksidan dalam berbagai
model. Namun, saat ini belum ada bukti klinis untuk mendukung penggunaan
hormon gonad di TBI.
DAFTAR PUSTAKA