Você está na página 1de 52

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

(Makalah)

disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan


Kewarganegaraan

Dosen Pembimbing
Ade Engkus Kusnadi, S. Pd., M. Pd.

Oleh

Afifah Fauziah Huwaida NIM 181411065


Alya Rahmawati Dewi NIM 181411068
Hervita Khoirun Nisa NIM 181411078
Ripa Mardiani NIM 181411087
Ririn Rismawati NIM 181411088

PROGRAM STUDI D III TEKNIK KIMIA


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Swt. karena atas rahmat,
nikmat, ridho, karunia, kasih sayang dan petunjuk-Nya mustahil makalah yang berjudul
Efektifitas Pelaksanaan Otonomi Daerah ini dapat dirampungkan. Sholawat serta
salam senantiasa tercurah limpahkan kepada Rasulullah Saw. keluarga, sahabat, dan
para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah ikut serta
membantu dalam penyusunan makalah ini. Bapak Ade Engkus Kusnadi, S. Pd., M. Pd.
selaku Dosen Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah mengajarkan dan
membimbing dengan penuh kesabaran sehingga makalah ini dapat selesai pada
waktunya, kepada orangtua kami yang telah membantu kami baik secara moril maupun
materil, kepada kawan-kawan seperjuangan yang telah memberi kami inspirasi.
Makalah yang berjudul Efektifitas Pelaksanaan Otonomi Daerah ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan oleh Bapak Ade
Engkus Kusnadi, S. Pd., M. Pd. serta untuk menambah informasi tentang segala yang
berkaitan dengan judul makalah tersebut.

Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata kebahasaannya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka penyusun menerima segala saran dan kritik yang
membangun dari pembaca agar penyusun dapat memperbaiki makalah ini. Semoga
makalah ini membawa manfaat luar biasa bagi semua orang.

Bandung, April 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ........................................................................... ii

DAFTAR ISI .......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakanng ................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................. 2
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................ 3

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Sejarah Otonomi Daerah .................................................. 4


2.2 Pengertian Otonomi Daerah ............................................ 9
2.3 Visi Otonomi Daerah ...................................................... 10
2.4 Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah .................. 11
2.5 Asas-Asas Otonomi Daerah ............................................ 13
2.6 Ruang Lingkup Otonomi Daerah .................................... 14
2.7 Tujuan Otonomi Daerah ................................................. 16
2.8 Prinsip Otonomi Daerah ................................................. 18
BAB III METODEOGI PENELITIAN

3. 1 ......................................................................................... 31
3. 2 ......................................................................................... 31

BAB IV SIMPULAN

4. 1 ........................................................................................ 33

iii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 34

iv
BAB I

PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Desentralisasi
merupakan sebuah konsep yang mengisyaratkan adanya pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus wilayahnya
sendiri. Desentralisasi bertujuan agar pemerintah dapat lebih meningkatkan
efisiensi serta efektifitas fungsi-fungsi pelayanannya kepada seluruh lapisan
masyarakat. Di Indonesia dianutnya desentralisasi kemudian diwujudkan dalam
bentuk kebijakan Otonomi Daerah. Menurut UU No.32 tahun 2004 yang dikenal
dengan UU otonomi daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pemerintah pusat berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur,
monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas nasional. Pemerintah provinsi berwenang mengatur dan
mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternal regional, dan
kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan
dengan eksternalitas lokal.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah disesuaikan dengan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah

1
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Republik Indonesia.
Terdapat beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan
desentralisasi. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat
terpusat di Jakarta sebagai ibu kota. Sementara itu, pembangunan dibeberapa
wilayah lain cenderung bahkan dijadikan objek perahan pemerintah pusat. Kedua,
pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki
sumber kekayaan alam melimpah ternyata tidak menerima perolehan dana yang
patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial antara satu daerah degan
daerah lain sangat mecolok. Sehingga otonomi daerah merupakan langkah yang
strategis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan
daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah di
Indonesia. Oleh karena itu, perlu ditelaah dengan lebih lanjut bagaimana
pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia khususnya di Jawa Barat, karena
pelaksanaan Otonomi Daerah merupakan sesuatu yang vital bagi jalannya roda
pemerintahan.

2.2 Rumusan Masalah


Adapun ruang lingkup pokok permasalahan yang akan dibahas, terdiri atas:
a. Bagaimana pelaksanaan Otonomi Daerah di Jawa Barat?
b. Apa yang menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia menjadi
tidak optimal?
c. Apa yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk mengoptimalkan pelaksanaan
Otonomi Daerah?

2.3 Tujuan Penelitian

Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut

2
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Otonomi Daerah di Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui penyebab pelaksanaan Otonomi Daerah di Jawa Barat
menjadi tidak optimal.
3. Untuk mengetahui langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk
mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah.

2.4 Manfaat Penelitian

Setelah mengetahui tujuan penelitian di atas, dari penelitian ini diharapkan akan
dapat memperoleh kegunaan, sebagai berikut:

a. Secara akademik, dapat membantu civitas akademika yang ingin mengetahui


tentang pelayanan publik yang efektif.

b. Secara praktis, penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan


sumbangan informasi yang terkait dengan efektivitas pelayanan publik.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sejarah Otonomi Daerah


a. Warisan Kolonial Pada tahun 1903
Pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri.
Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-
undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie,
regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya
menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang
merupakan persekutuan asli masyarakat setempat. Pemerintah kerajaan satu per
satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah kontrak politik
(kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa
pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi
pemerintahan.
b. Masa Pendudukan Jepang
Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur
mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara
ini berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya,
AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang
yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-
perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak
penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No.
27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada masa
Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan

4
daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat
misleading.
c. Masa Kemerdekaan
1) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas
dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di
keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang
dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam
yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni, Provinsi,
Kabupaten/kota besar, Desa/kota kecil. UU No.1 Tahun 1945 hanya
mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang
tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal dan tidak memiliki penjelasan.
2) Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di
Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai
berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah
Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni, Provinsi, Kabupaten/kota
besar, Desa/kota kecil.
3) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan
istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil
yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu,
Daerah swatantra tingkat I (termasuk kotapraja Jakarta Raya), Daerah
swatantra tingkat II, dan Daerah swatantra tingkat III.
4) Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November
1959 menitik beratkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah,
dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dengan daerah tingkat I, tingkat

5
II, dan daerah tingkat III. Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan
otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh
pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5) Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan
yakni, Provinsi (tingkat I), Kabupaten (tingkat II), Kecamatan (tingkat III).
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan
koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan
kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala
daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang
ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6) Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur rumah
tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan
daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-
bagi menurut tingkatannya menjadi, Provinsi/ibu kota Negara,
Kabupaten/kotamadya, dan Kecamatan. Titik berat otonomi daerah terletak
pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung
dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
7) Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam
penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:

6
a) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip
pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam
kerangka NKRI.
b) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan
dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah
kota.
c) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten. Secara umum,
UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan
keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum
memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8) Periode Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini dan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan
mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara
provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan
kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi,
dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar
antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas. Paling
tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya
kebijakan otonomi daerah berupa UU No.22 Tahun 1999. Faktor internal

7
yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan poitik sentralisme di masa
lampau. Faktor eksternal yang di pengaruhi oleh dorongan internasional
terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi
yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.

d. Masa Orde Baru


Otonomi daerah sendiri pada asas orde baru lahir di tengah gejolak
tuntutan daerah terhadap berbagai kewenangan yang selama 20 tahun
pemerintahan orde baru menjalankan mesin sentralistiknya. Dalam UU No. 5
Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disusul dengan UU
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya
sentralisasi kekuasaan orde baru Semua mesin partisipasi dan Prakarsa yang
sebelumnya tumbuh sebelum orde baru, berkuasa secara perlahan dilumpuhkan
di bawah kontrol keluasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan pertumbuhan
ekonomi menjadi alasan pertama bagi masa orde baru untuk mematahkan setiap
gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat sendri.
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk sentralisasi yang sangat kuat di
masa orde baru, berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa
perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakat daerah, ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintahan
pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan
pemerintah daerah pada saat itu. Otonomi sendiri mempunyai makna
kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan, kebebasan terbatas atau
kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan secara implisit definisi otonomi tersebut mengandung
dua unsur, yaitu adanya pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang
harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya, dan adanya
pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan
menetapkan sendiri berbagai penyelesaian tugas itu.

8
2.2 Pengertian Otonomi Daerah
a. Menurut otonomi terdiri dari dua kata, “autos” yang berarti sendiri dan
“nomos” yang berarti pemerintahan.
b. Menurut Bagir Manan, mendefinisikan sebagai kebebasan dan kemandirian
satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian
urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara
bebas dan mandiri itu menjadi urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang
lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi
otonomi.
c. Menurut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan otonomi (daerah) sebagai hak,
wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatu dan mengurus ruma
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e. Menurut Suparmoko mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Jadi otonomi daerah adalah Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang menjadi
wilayah otonomi daerah itu sendiri di sebut daerah otonom, yaitu kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

9
2.3 Visi Otonomi Daerah
Dalam menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah tentunya harus
mempunyai visi untuk proses implementasi pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri
agar proses yang dijalankan sesuai yang direncanakan. Visi otonomi daerah dapat
dirumuskan dala tiga ruang lingkup utama yaitu:
a. Politik
Di bidang politik, pelaksanaan otonomi harus dipahami sebagai proses
untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yan dipilih
secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan
pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas terutama
kepentingan daerahnya, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan
keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik. Gejala yang
muncul dewasa ini parisipasi masyarakat begitu besar dalam pemilihan Kepala
Daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota. Hal ini bisa dibuktikan dari
membanjirnya calon-calon Kepala Daerah dalam setiap pemilihan Kepala
Daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten atau kota.
b. Ekonomi
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin
lancarnya pelaksanaan kebjakan ekonomi nasional di daerah, dan pihak lain
terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan
regioanal dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di
daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya
berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi,
memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur
yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi
daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi
dari waktu ke waktu.
c. Sosial Budaya

10
Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus di kelola sebaik
mungkin demi manciptakan harmoni sosial, dan pada saat yang sama, juga
memelihara nilai-nilai local yang dipandang kondusif terhadap kemampuan
masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa konsep otonomi


daerah mengandung makna :
1) Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintah dalam hubungan
donestik kepada daerah.
2) Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah, menilai
keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
3) Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuia dengan kultur (budaya) setempat
demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi
tinggi dengan tingkat akseptabilitas (kepercayaan) yang tinggi.
4) Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan
organisasi dan intitusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup
kewenangan yang telah didesentralisasikan.
5) Peningkatan efesiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang
lebih jelas atas sumber-sumber pendapatn negara.
6) Perwujudan desentralisasi fiscal melalui pembesaran alokasi subsidi pusat
bersifat block grant.
7) Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai losal yang
bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni socsal.

2.4 Dasar Hukum Pelaksanaan Otonomi Daerah


Menurut Indra Bastian, amandemen UUD 1945 menjadi acuan konstitisi
dalam penetapan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah.
Dalam perkembangan sejarahnya, ide otonomi daerah itu mengalami berbagai

11
perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik di
kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah
dianalisis sejak tahun 1945, maka perubahan-perubahan konsep otonomi terlihat
banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat
jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang
terdapat dalam UU berikut :
a. UU No. 1 Tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih
menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala Daerah hanyalah kepanjangan
tangan pemerintah pusat.
b. UU No. 22 Tahun 1948. mulai tahun ini, kebijakan otonomi daerah lebih
menitikberatkan kepada desentalisasi.
c. UU No. 1 Tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat
dualism, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi
juga masih alat pemerintah pusat.
d. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah
lebih menekankan pada dekonsentrasi.
e. UU No. 18 Tahun 1965. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah
menitikberatkan pada desentralisasi yang memberikan otonomi yang seluas
f. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah. Setelah
terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dan tugas
pembantu. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru, pada masa
berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding
dengan politik.
g. UU No. 22 Tahun 1999. Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan
pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab.

12
h. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
i. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
j. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
k. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah
l. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

2.5 Asas-Asas Otonomi Daerah


Ada beberapa asas penting dalam Undang-Undang Otonomi Daerah yang
perlu dipahami Menurut Indra Bastian dalam bukunya “Akuntansi Sektor Publik
Suatu Pengantar”, yaitu :
a. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan daerah oleh
pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada
Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah.
c. Tugas pembantu adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa
serta dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai
pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya
kepada yang menugaskan.
d. Pertimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu
sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka Negara kesatuan, yang
mencangkup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan

13
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi serta kebutuhan daerah,
sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan
keuangannya.

2.6 Ruang Lingkup Otonomi Daerah


Ruang lingkup otonomi daerah Menurut Indra Bastian dalam bukunya
Akuntansi Sektor Publik Suatu Pengantar, yaitu meliputi :
a. Pembagian Kewenangan
Pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintah secara umum
dibagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut :
1) Kewenangan Daerah, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a) Kewenangan maksimum : seluruh bidang pemerintahan kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
b) Kewenangan minimum : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan
kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga
kerja.
c) Kewenangan lainnya :
i. Mengelola sumberdaya nasional dan kelestarian lingkungan di
wilayahnya.
ii. Kewenangan di wilayah laut : eksplorasi, eksploitasi, konservasi,
pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif,
pengaturan tata ruang, dan penegakan hokum terhadap pengaturan
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
iii. Kepegawaian daerah : kewenangan untuk melakukan
pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,

14
gaji tunjangan dan kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
2) Kewenangan Propinsi meliputi :
a) Sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintah yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
b) Sebagai daerah otonom juga kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota.
c) Sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah.
d) Sebagai daerah otonom secara lebih rinci diatur dalam PP No. 25 tahun
2000 yang dikenal dengan 20 kewenangan.
3) Kewenangan Pemerintah (Pusat) dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a) Kewenangan umum yaitu politik dalam negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal.
b) Kewenangan lainnya menyangkut kebijakan tentang perencanaan
Nasional dan pengendalian pembangunan nasional serta makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga
perekonomian Negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya
manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konversi dan standarissasi nasional.
b. Legislatif
Dalam rangka pelaksanaan otonomi, pemerintah daerah berwenang
menetapkan berbagai peraturan yang disebut sebagai Peraturan Daerah (Perda).
Beberapa hal penting menyangkut Perda dalam Undang-Undang No 22
tahun1999, sebelum direvisi menjadi UU N0. 32 tahun 2004, antara lain :

15
1) Kepala daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2) Peraturan darah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan darah lain, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3) Peraturan daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya
paksaan penegakan hukum seluruh atau bagian kepada pelanggar.
4) Peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama
enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 dengan atau
tidak merampas barang tertentu untuk daerah, kecuali jika ditentukan lain
dalam peraturan perundang-undangan.
c. Keuangan Daerah

Masalah yang sangat penting dalam kerangka Otonomi Daerah adalah


menyangkut pembagian atau perimbangan pusat dan daerah. Perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah sangat penting, karena keadilan
sesungguhnya harus meliputi dua hal, yaitu keadilan politik dan ekonomi.
Dalam kerangka itulah pengaturan masalah ini termuat dalam Undang-Undang
tersebut lebih spesifik diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya. Beberapa hal penting dalam UU tersebut, antara lain :

1) Pembiayaan penyelenggaraan pemerintah


2) Sumber pendapatan daerah
3) Persentase dana perimbangan

2.7 Tujuan Otonomi Daerah


Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah
membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam
menangani urusan daerah. Dengan demikian, pusat berkesempatan mempelajari,

16
memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat
daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum
dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi
daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa
dan kreativitas pemerintah daerah aka terpacu, sehingga kemampuannya dalam
mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah adalah sebagai
berikut:
a. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semaikn baik
b. Pengembangan kehidupan demokrasi
c. Keadilan.
d. Pemerataan
e. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah
f. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat
g. Menimbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangakan peran dan fungsi DPRD.

Dibawah ini adalah beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi
politik, ekonomi, pemerintahan dan sosial budaya, yaitu sebagai berikut.

a. Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk


mencegah penumpukan kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang
demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih
diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
b. Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk
mencapai pemerintahan yang efisien.
c. Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaran otonomi daerah diperlukan
agar perhatian lebih fokus kepada daerah.

17
d. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing. Untuk
mencapai tujuan otonomi daerah tersebut, sebaiknya dimulai dari diri sendiri.
Para pejabat harus memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang diembannya
merupakan sebuah amanah yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan.
Selain itu, kita semua juga memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam
rangka tercapainya tujuan otonomi daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut
tentunya bukan hal yang mudah karena tidak mungkin dilakukan secara instan.
Butuh proses dan berbagai upaya serta partisipasi dari banyak pihak. Oleh
karena itu, diperlukan kesungguhan serta kerjasama dari berbagai pihak untuk
mencapai tujuan ini.

2.8 Prinsip Otonomi Daerah


Atas dasar pencapaian tujuan diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan
pedoman dalam pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan
UU No. 32 Tahun 2004) :
a. Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan
pemerintah diluar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
b. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata
dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa
untuk menangani urusan pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas,
wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

18
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

2.9 Ajaran Otonomi Daerah


Desentralisasi juga mempunyai dua otonomi dan medebewind untuk
memahami ajaran luas dan isi otonomi daerah perlu ditelusuri dari ajaran yang
menjadi pangkal lahirnya konsep desentralisasi. Terdapat 3 ajaran itu antara lain:
a. Ajaran rumah tangga materiil
Ajaran rumah tangga materiil (materiele huishoudingsleer) adalah suatu
sistem dalam penyerahan urusan rumah tangga daerah antara pemerintah
pusat dan daerah terdapat undang-undang yang diperinci secara tegas di
dalam undangundang pembentukannya. Dalam ajaran ini ada yang disebut
taak verdeling antara pusat dan daerah Jadi, apa yang tidak tercantum dalam
rincian itu tidak termasuk kepada urusan rumah tangga daerah. Daerah tidak
mempunayai kewenangan untuk mengatur kegiatan di luar yang sudah
diperinci atau yang telah ditetapkan. Rasio dari pembagian tugas ini di
dasarkan kepada suatu keyakinan bahwa ada perbedaan tugas yang azasi
dalam menjalankan pemerintahan dan memajukan kesejahteraan masyarakat
antara negara dan daerah-daerah otonom yang lebih kecil. Daerah otonom
sebagai masyarakat hukum yang lebih kecil mempunyai urusan-urusan yang
secara prinsipil berbeda dari negara sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
lebih besar. Negara dan daerah-daerah otonom masing-masing mempunyai
urusan-urusan sendiri yang spesifik. Karena itulah, ajaran ini disebut juga
ajaran rumah tangga materiil. Bila ditinjau secara seksama, akan kelihatan
bahwa isi dan luas otonomi itu akan sangat terbatas, daerah yang

19
bersangkutan tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak tersebut dalam
undang-undang pembentukannya. Segala langkah kerja daerah itu tidak dapat
keluar dari ketentuan-ketentuan yang telah tercantum dalam undang-undang
daerah itu tidak dapat secara leluasa bergerak dan mengembangkan
inisiatifnya kecuali rumah tangganya, menurut tingkatan dan ruang lingkup
pemerintahannya. Di dalam literatur Belanda ada ajaran yang disebut sebagai
de drie kringenleer yang menganjurkan ditetapkannya secara pasti mana soal-
soal yang masuk 2 lingkungan negara, lingkungan propinsi, dan lingkungan
gemeente. Dengan demikian, ajaran ini tidak mendorong daerah untuk
berprakarsa dan mengembangkan potensi wilyah di luar urusan yang
tercantum dalam undangundang pembentukannya. Padahal, kebebasan untuk
berprakars, memilih alternatif dan mengambil keputusan justru merupakan
prinsip dasar dalam mengembangkan otonomi daerah. Karena kelemahan
yang terdapat dalam ajaran rumah tangga materiil ini, orang cenderung untuk
memilih ajaran rumah tangga formal, Ajaran otonomi materiil, yang mana
ajaran ini bertitik tolak pada adanya perbedaan hakekat yang prinsipil antara
tugas yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah otonom.
b. Ajaran rumah tangga formal
Ajaran rumah tangga formal (formele huishoudingsleer), tidak ada
perbedaan sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan pemerintah pusat
dan oleh daerah-daerah otonom. Yang dapat dikerjakan oleh masyarakat
hukum yang satu pada prinsipnya juga dapat dilakukan oleh masyarakat
hukum yang lain. Bila dilakukan pembagian tugas, hal itu semata-mata
didasarkan atas pertimbangan rasional dan praktis. Artinya, pembagian itu
tidak karena materi yang diatur berbeda sifatnya, tetapi semata-mata karena
keyakinan bahwa kepentingan-kepentingan daerah itu dapat lebih baik dan
lebih berhasil diselenggarakan sendiri oleh setiap daerah daripada oleh
pemerintah pusat. Jadi, pertimbangan efisiensilah yang menentukan
pembagian tugas itu dan bukan disebabkan perbedaan sifat dari urusan-urusan

20
yang menjadi tanggungan masing masing. Di dalam ajaran ini tidak secara
apriori ditetapkan hal yang termasuk rumah tangga daerah, tetapi sepenuhnya
tergantung atas prakarasa atau inisiatif daerah yang bersangkutan.
Urusan rumah tangga daerah ditentukan dalam suatu prinsipnya saja,
sedangkan pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada prakarsa daerah yang
bersangkutan. Batas-batas pelaksanaan urusan juga tidak ditentukan,
tergantung kepada keadaan, waktu, dan tempat. Dari batasan rumah tangga
formal bisa dilihat bahwa pemerintah daerah dapat lebih leluasa untuk
bergerak (vrife taak), untuk mengambil inisiatif, memilih alternatif, dan
mengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan
daerahnya. Walaupun keleluasaan (discretion) pemerintah daerah dalam
sistem rumah tangga formal lebih besar, tetap ada pembatasan. Pertama,
pemerintah daerah hanya boleh mengatur undang-undang atau peraturan
daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Kedua, bila negara atau daerah yang
lebih tinggi tingakatannya kemudian mengatur sesuatu urusan yang semula
diatur oleh daerah yang lebih rendah, peraturan daerah yang lebih rendah
tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Secara positif sistem rumah tangga
formal sudah memenuhi kriteria keleluasaan berprakarsa bagi daerah untuk
mengembangkan otonomi daerahnya.
Di lain pihak, sistem ini kurang memberi kesempatan kepada
pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif guna menyerasikan dan
menyeimbangkan pertumbuhan dan kemajuan antara daerah yang kondisi dan
potensinya tidak sama. Pemerintah pusat membiarkan setiap daerah
berinisiatif sendiri, tanpa melihat kondisi dan potensi riil daerah masing-
masing. Bagi daerah yang kondisi dan potensinya menguntungkan,
keleluasaan dan inisiatif daerah akan mendorong pertumbuhan dan
perkembangan yang lebih cepat. sebaliknya, bagi daerah yang kondisi dan
potensinya kurang menguntungkan (minus, miskin, terpencil, dan
sebagainya), keleluasaan dan prakarsa dihadapinya. Oleh karena itu,

21
intervensi pemerintah pusat untuk pemerataan dan memelihara keseimbangan
laju pertumbuhan antar daerah dipandang perlu, Ajaran otonomi formil,
didasarkan atas pandangan bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara urusan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
c. Ajaran rumah tangga riil
Ajaran Rumah Tangga Riil, sistem ini tampaknya mengambil jalan
tengah antara ajaran rumah tangga materiil dan rumah tangga formal, dengan
tidak melepaskan prisip sistem rumah tangga formal. Konsep rumah tangga
riil bertitik tolak dari pemikiran yang mendasarkan diri kepada keadaan dan
faktor-faktor yang nyata mendasarkan diri kepada keadaan dan faktor-faktor
yang nyata untuk mencapai keserasian antara tugas dengan kemampuan dan
kekuatan, baik yang ada pada daerah sendiri maupun di pusat. Dengan
demikian, pemerintah pusat memperlakukan pemerintah daerah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari pusat, dikatakan bahwa sekalipun
pemerintah pusat yang bertanggung jawab lebih cenderung memberikan
kepercayaan teknis kepada masyarakat.
Oleh karena itu, sampai sejauh mana petunjuk dan campur tangan pusat
kepada daerah, sangat tergantung kepada sampai seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah itu sendiri dikatakan bahwa the degree of central
prescrioption and control depends largely on the capability of the local
authorities. Di dalam sistem rumah tangga riil dianut kebijakan bahwa setiap
undang-undang pembentukan daerah mencantumkan beberapa urusan rumah
tangga daerah yang dinyatakan sebagai modal pangkal dengan disertai segala
atributnya, berupa kewenangan, personil, alat perlengkapan dan sumber
pembiayaan. Dengan modal pangkal itu, setiap saat urusan-urusan tersebut
dapat ditambah sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan daerah yang
bersangkutan. Cara ini menurut Tresna telah ditetapkan sejak zaman Belanda.
Ada beberapa keuntungan apabila ajaran rumah tangga riil ini diterapkan.

22
1) Sistem rumah tangga riil memberikan kesempatan kepada daerah yang
beraneka ragam (heterogeneous) untuk menyesuaikan faktor-faktor
otonomi itu dengan keadaan daerahnya masingmasing.
2) Sistem ini berlandaskan kepada faktor-faktor yang nyata di daerah dan
memperhatikan keadaan khusus (local spesific) daerah.
3) Sistem ini mengandung fleksibilitas tanpa mengurangi kepastian sehingga
daerah bebas berprakarsa mengembangkan modal pangkal yang sudah
ada, dengan memperoleh bimbingan/pembinaan tanpa melepaskan
pengawasan pusat.
4) Sampai seberapa jauh pusat melakukan pembinaan dan campur tangan
terhadap daerah tergantung kepada kemampuan pemerintah daerah itu
sendiri.
5) Prakarsa untuk mengembangkan urusan di luar modal pangkal juga bisa
dilakukan, asal tidak bertentangan dengan atau belum/tidak diatur oleh
pusat atau daerah yang tingkatannya lebih tinggi.
6) Sistem ini memperhatikan keseimbangan pertumbuhan antardaerah,
Ajaran otonomi riil menekankan pada suatu prinsip bahwa pemberian
otonomi kpd daerah otonom didasarkan pada pertimbangan kondisi nyata
dan kebutuhan serta kemampuan dari daerah otonom untuk
menyelenggarakan urusan tertentu.

2.10 Kebijakan Otonomi Daerah


Kebijakan Otonomi Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini juga menyatakan bahwa
daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas

23
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut
menunjukkan bahwa makna dasar dari otonomi adalah adanya suatu kewenangan
bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan-kebijakan sendiri yang
ditujukan bagi perlaksanaan roda pemerintahan daerahnya sesuai dengan aspirasi
masyarakatnya
Otonomi Daerah pada dasarnya berkaitan erat dengan pola pembagian
kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun tidak dapat
dipungkiribahwa dalam pelaksanaanya memberikan dampak baik yang cukup
positif bagi Daerah, maupun yang mungkin akan menyulitkan Daerah bahkan
Pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi maka diperlukan pengaturan yang
sistematis yang menggambarkan adanya hubungan berjenjang baik yang
berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.Oleh karena itulah,
pelaksanaan kebijakan ini kemudian menimbulkan tanggapan yang beragam dari
Pemerintah maupun masyarakat.
a. Perspektif Pemerintah Daerah
1) Pelaksanaan Dan Dampak Kebijakan Otonomi Daerah Penyelenggaraan
Desentralisasi sebagaimana di amanahkan dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 mengisyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah umumnya menganggap bahwa kebijakan Otonomi
Daerah yang ada saat ini melalui UU No. 32 tahun 2004 merupakan
sebuah kebijakan yang sangat baik terutama bagi daerah dalam rangka
mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini di karenakan :
a) Secara politis kebijakan tersebut akan memberikan keleluasaan
pada Pemerintah Daerah untuk dapat mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah.

24
b) Secara ekonomis Pemerintah Daerah akan diuntungkan karena
mempunyai wewenang yang lebih besar untuk mengelola dan
memanfaatkan potensi sumber daya alam yang terdapat di
wilayahnya.

Dengan demikian maka Pemerintah Daerah kabupaten


mempunyai wewenang yang sangat luas dalam menata daerahnya
dalam hal ini menjalankan dinamika pemerintahannya serta
memanfaatkan berbagai sumber daya yang berada diwilayahnya.
Penekanan pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah yang berada pada
daerah kabupaten dan kota, kemudian menciptakan anggapan bahwa
Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk melakukan berbagai
langkah sesuai dengan kondisi obyektif daerah serta disesuaikan pula
dengan tuntutan dari dinamika masyarakat daerah dalam rangka
pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah.

Berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah Daerah kemudian


menjabarkan pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah ke dalam berbagai Peraturan Daerah (PERDA),
peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya Dengan
demikian maka posisi Pemerintah Daerah menjadi sangat penting
karena menjadi titik sentral dari seluruh proses pelaksanaan berbagai
kebijakan yang diterapkan diwilayahnya. Kondisi ini tentu dapat
menjelaskan bagaimana sikap Pemerintah Daerah yang kemudian
berubah menjadi pusat dari seluruh pelaksanaan kebijakan dan tidak
hanya sebagai pelaksana saja dari apa yang telah diatur oleh Pemerintah
Pusat, seperti pada era sebelumnya.

2) Kewenangan Antara Pusat dan Daerah

25
Dalam konteks kewenangan pusat dan daerah dalam pelaksanaan
kebijakan Otonomi Daerah belum sepenuhnya bisa terlaksana dengan
baik. Disatu sisi, Pemerintah Daerah merasa bahwa pemerintah Pusat
masih belum sepenuh hati untuk memberikan kewenangan-kewenangan
tersebut kepada Pemerintah Daerah. Adanya keengganan Pemerintah
Pusat untuk memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada daerah,
didasarkan pada alasan bahwa belum semua daerah siap untuk
melaksanakan Kebijakan Otonomi Daerah. Selain itu kurangnya sumber
daya manusia yang cukup memadai serta belum terbiasanya Daerah
menerima kewenangan yang begitu luas. Ditambah lagi dengan alasan
bahwa segala sesuatunya harus tetap berada dalam konteks Negara
Kesatuan dalam rangka menjaga keutuhan wilayah dan mewujudkan
tujuan negara. Alasan-alasan tersebut menjadi pembenaran daripada
sikap Pemerintah Pusat. Disatu sisi, alasan-alasan tersebut cukup
memiliki dasar yang kuat dimana hampir sebagaian besar Daerah di
Indonesia masih memiliki keterbatasan-keterbatasan. Akan tetapi tetap
saja bahwa pihak Daerah haruslah diberikan ruang berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh konstitusi kepadanya, untuk dapat
menata wilayahnya sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.
Dalam kondisi tarik menarik tersebut, berbagai permasalahan kemudian
dapat timbul akibat keengganan Pemerintah Pusat untuk lebih
mempercayai Pemerintah Daerah dalam mengelola daerahnya. Hal
tersebut akan tampak dalam operasioanlisasi kebijakan Otonomi Daerah,
yang kerapkali membingungkan Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaan
kebijakan Otonomi Daerah, kebingungan yang dialami oleh Pemerintah
Daerah disebabkan oleh karena masih tumpang tindihnya wewenang
yang mengatur berbagai persoalan dalam rangka pelaksanaan kebijakan
ini. Hal tersebut justru disebabkan karena masih belum jelasnya aturan-
aturan pelaksanaan yang akan menjadi panduan dalam pelaksanaan

26
kebijakan tersebut. Dampak nyata dari kondisi tersebut adalah terjadinya
rebutan lahan kewenangan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah
Pusat dalam mengatur berbagai permasalahan.
b. Perspektif Masyarakat Desa
1) Dampak Otonomi Daerah bagi Desa
Kehadiran arus reformasi yang berhasil membawa era
keterbukaan bagi masyarakat, kemudian membawa implikasi pada
terbukanya berbagai tanggapan serta protes-protes masyarakat akan
berbagai macam hal termasuk perbaikan pola hubungan Negara dan
Masyarakat. Dalam era ini merupakan sebuah kewajaran kemudian
apabila masyarakat di daerah menuntut agar pola hubungan antara Pusat
dan Daerah diperbaharui kearah yang lebih demokratis. Utamanya
menyangkut berbagai hal dalam penataan daerah, termasuk
proporsipembagian hasil-hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yang
ada di daerah antara Pemerintah Pusat dan Daerah, agar masyarakat di
daerah dapat lebih menikmati hasil-hasilnya. Masyarakat menganggap
bahwa sebuah hal yang logis apabila kemudian masyarakat di daerah
menerima kewenangan yang lebih besar di era reformasi ini. Dalam hal
mengelola daerahnya melalui kebijakan Otonomi Daerah baik secara
politik dalam arti berbagai kebijakan daerah maupun secara ekonomi,
karena selama ini yang paling banyak menikmati hasil-hasil
pembangunan justru Pemerintah Pusat dan bukannya masyarakat di
daerah yang notabene adalah tempat dari berbagai sumber daya alam
yang dikelola. Menurut Masyarakat desa kehadiran kebijakan Otonomi
Daerah merupakan hal yang wajar sebagai proses perkembangan
demokratisasi bagi bangsa Indonesia. Pemberlakuan kebijakan Otonomi
Daerah membawa pengharapan yang besar bagi perbaikan tingkat
kesejahteraan hidup masyarakat. Kebijakan Otonomi Daerah ini
nantinya diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat

27
di desa.Impian yang sangat diharapkan dari masyarakat desa dengan
adanya kebijakan ini adalah masyarakat diberi kewenangan dan
tanggungjawab atas pemanfaatan sumberdaya alam yang ada didesanya
dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya. Kebijakan ini bagi masyarakat desa dianggap akan memberikan
kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk lebih dapat memajukan
masyarakatnya melalui berbagai langkah-langkah kebijakan yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat di wilayahnya.
2) Kebijakan Otonomi Daerah dan Penerimaan Masyarakat
Selain karena dianggap akan membawa manfaat bagi masyarakat
di daerah, tanggapan masyarakat desa tentang Otonomi Daerah adalah
bahwa hal tersebut harus diterima karena sudah merupakan Peraturan
Pemerintah dalam wujud Undang-undang. Melalui kebijakan Otonomi
Daerah yang berarti bahwa Pemerintah Daerahlah kemudian yang akan
sangat menentukan bagaimana kebijakan Otonomi Daerah ini akan dapat
menguntungkan dan bermanfaat bagi masyarakat di wilayahnya. Jika
Pemerintah Daerah melalui kebijakan Otonomi Daerah kemudian
mempunyai wewenang yang luas dalam menata wilayahnya, maka
Pemerintah Daerah tentu akan dapat memajukan masyarakat sesuai
dengan kondisi masyarakatnya. Pemerintah Daerah sebagai pemegang
wewenang yang besar dalam pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah
sesuai yang diisyaratkan oleh UU No. 32 Tahun 2004, akan menjadi titik
pusat seluruh pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah. Wajah Otonomi
Daerah akan tampak melalui kebijakankebijakan yang akan dikeluarkan
oleh Pemerintah Daerah.

2.11 Berbagai Pelaksanaan Otonomi Daerah


a. Otonomi Yang Seluas-luasnya

28
Rumusan formal mengenai otonomi yang seluas-luasnya pertama kali
dijumpai dalam pasal 131 ayat 2 UUDS 1950 yang berbunyi “kepada daerah-
daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya
sendiri.” Dalam proses penyusunan rancangan Pasal UUDS 1950 tersebut,
Danurejo mengemukakan pendapatnya mengenai otonomi seluas-luasnya itu
dengan mengatakan konsepsi tentang otonomi seluas-luasnya hendaknya
diartikan sebagai hak/wewenamg daerah untuk menyelenggarakan ruma
tangganya yang seluas-luasnya itu bersangkut paut dengan pekerjaan bebas
dari pada daerah baik mengenai kualitas maupun kuantitasnya. Pengertian
tersebut ditujukan kepada hak daerah, sehinga menjadi hak seluas-luasnya.
Bila demikian maka ini menjadi kekuasaan mutlak dari pada daerah. Ini terang
tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang dianut bahwa di atas daerah-
daerah masih ada pemerintah pusat. Pemberian otonomi seluas-luasnya
pertama-tama berarti bahwa bilamana perkembangan telah memungkinkan,
daerah-daerah akan mempunyai lapanga kerja dalam bidang pengaturan,
pemerintahan, peradilan dan kepolisian. Selanjutnya konsepsi itu mengandung
pengertian bahwa daerah-daerah berhak memperhatikan segala kepentingan
dan meyelenggarakan segala sesuatu dalam lingkungan wilayahnya sendiri.
Terhadap usaha daerah itu dapat saja pemerintah pusat dilakukan pembatasan
menurut metode hierarchische taakafbakening. Tapi hendaknya daerah tidak
dibatasi dalam pekerjaan bebas yang dapat diselenggarakannya atas inisiatif
sendiri dengan suatu daftar perincian urusan-urusan daerah, apalagi kalau
untuk memulainya daerah masih harus menunggu penyerahan urusan secara
nyata dari pusat. Konsepsi tentang otonomi seluas-luasnya dimasukan dalam
UUDS 1950 untuk memberi kepuasan segenap daerah RIS yang meleburkan
diri menjadi Negara Kesatuan. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa otonomi
yang seluas-luasnya memberikan hak/wewenang terhadap daerah untuk
mengembangkan daerahnya masing-masing sesuai dengan kualitas dan
kuantitas daerah tersebut, namun tetap ada batasan dari pemerintah pusat agar

29
otonomi yang dijalankan setiap daerah tidak menyompang dari prosedur yang
telah ada.

b. Otonomi Yang Real


Istilah ini dijumpai pada Penjelasan Umum Undang-Undang No.1
Tahun 1957. Menurut penjelasan umum ini pemecahan perihal dasar dan isi
otonomi itu hendaknya didasarkan pada keadaan dan faktor-faktor yang real /
nyata, sehinga dapat mewujudkan keinginan kepentingan umum dalam
masyarakat. Sistem ketatanegaraa yang terbaik untuk melaksanakan tujuan
tersebut adalah sistem yang bersesuaian dengan keadaan dan susunan
masyarakat yang sewajarnya itu. Jadi, yang menjadi persoalan pada otonomi
itu menurut Penjelasan Umum Undang-Undang No.1 Tahun 1957 ialah
bagaimanakah sebaiknya kepentingan umum itu dapat diurus dan
dipelihara,sehingga dapat dicapai hasil yang besar dan maksimal. Dalam
memecahkan persoalan tesebut perlu kiranya kita mendasarkan diri pada
keadaan yang real, pada kebutuhan dan kemampuan yang nyata, sehingga
dapat tercapai harmoni antara tugas dan kemampuan dan kekuatan, baik dalam
daerah itu sendiri, maupun dengan pusat Negara. Oleh UU No.5 Tahun 1974,
dalam penjelasan umumnya, otonomi yang nyata diartikan sebagai pemberian
otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor perhitungan-
perhitungan dan tindakan-tindakan atau kejadian-kejadian yang benar-benar
dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus
rumah tangga sendiri. Penjelasan ini dapat diartikan sebagai pemberian
otonomi harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah otonom. Hal
ini dimaksukan agar pelaksanaan otonomi daerah dapat sesuai sasaran/ tujuan,
yaitu mensejahterakan kehidupan masyarakat daerah. Maka dari itu kebijakan-
kebijakan yang dilaksanakan oleh setiap pemerintah daerah janganlah bersifat
statis, namun kebijakan itu harus dinamis, karena kebutuhan masyarakat setiap
saat akan berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. pemerintah

30
daerah harus benar-benar melihat kebutuhan yang saat ini diperlukan oleh
masyarakatnya, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah bisa
dipergunakan dan dijalankan masyarakat yang di pimpinnya. pemerintah
daerah diberikan kewenangan ini dikarenakan, pemerintah daerah lah yang
paling tahu dan mengerti apa kebutuhan/kebijakan yang harus dijalankan oleh
pemerintahannya, guna mensejahterakan kehidupan masyarakat yang ada
didaerah tersebut. Pemerintah daerah juga harus memberikan fasilitas serta
sarana dan prasarana yang dapat menunjang terhadap kebutuhan masyarakat
tersebut, agar kebutuhan-kebutuhan masyarakat senantiasa terpenuhi.
c. Otonomi Yang Bertanggungjawab
Otonomi yang bertanggung jawab ini baru dikenal pada UU No.5 Tahun
1974. Penjelasan Undang-undang ini menyebutkan bahwa otonomi yang
bertanggung jawab adalah pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan
tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di pelosok Negara,
dan sesuai atau tidak bertentangan dengan pengarahan yang telah diberikan,
sesuai dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan
yang serasi antara pemerintah pusat dan Daerah serta dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan daerah.
d. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah
Otonomi daerah sebagai komitmen dan kebijakan politk nasional
merupakan langkah strategis yangdiharapkan akan mempercepat pertumbuhan
dan pembangunan daerah, disamping menciptakan keseimbangan
pembangunan antar daerah Indonesai. Kebijakan pembangunan yang
sentralsistis pada masa lalu dampaknya sudah diketahui, yaitu adanya
ketimpangan antar daerah. Namun demikian, pembangunan daerah tidak akan
terjadi dengan begitu saja. tanpa proses-proses pelaksanaan pemerintahan
yang akuntabel yang dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan di
daerah, yaitu pihak legislative (DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota) dan
eksekutif di daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Kebijakan otonomi

31
daerah memiliki implikasi sejumlah kewenangan yang dimiliki pemerintah
daerah. Selain itu terdapat faktor-faktor prakondisi yang diharapkan dari
pemerintah daerah, antara lain1:
1) Fasilitasi
2) Pemerintah daerah harus kreatif
3) Politik lokal yang stabil
4) Pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha
5) Pemerintah daerag harus komunikatif dengan LSM/NGO, terutama dalam
bidang perburuhan dan lingkungan hidup.

2.12 Kewenangan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah


Dalam susunan pemerintahan di negara kita ada Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta
Pemerintahan Desa. Masing-masing pemerintahan tersebut memiliki hubunga
yang bersifat hierarkis. Dalam UUD Negara Indonesia tahu 1945 ditegaskan,
bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah [pasal 18 A (1)]. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang [pasal 18 A ayat (2)].
Berdasarkan kedua ayat tersebut dapat dijelaskan lebih spesifik , bahwa:
a. Antar susunan pemerintahan memiliki hubungan yang besifat hierarkis
b. Pengaturan hubungan pemerintahan tersebut memperhatikan kekhususan
dan keragaman daerah

1
A. Ubaidillah, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
hlm. 150

32
c. Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam UU Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
d. Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki hubungan
keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya
e. Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18 ayat (2) diatur lebih
lanjut dalam UU Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kewenangan provinsi diatur dalam pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 dapat


diuraikan sebagai berikut:

a. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi


meliputi:
1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan
2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
4) Penyediaan sarana dan prasarana umum
5) Penanganan bidang kesehatan
6) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
7) Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten / kota
8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten / kota
9) Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk
lintas kabupaten / kota
10) Pengendalian lingkungan hidup
11) Pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten / kota
12) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan
14) Pelayanan administrasi penanaman modal,termasuk lintas kabupaten / kota

33
15) Penyeleggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten / kota
16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan
17) Urusan pemerintahan propinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.

Kewenangan kabupaten / kota diatur dalam pasal 14 yang dapat diuraikan sebagai
berikut:

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan


b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum
e. Penanganan bidang kesehatan
f. Penyelengggaraan pendidikan
g. Penangulangan masalah social
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan
i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
j. Pengendalian lingkungan hidup
k. Pelayanan pertahanan
l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan
n. Pelayanan administrasi penanaman modal
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
p. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.

34
2.13 Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah
Partisipasi masyarakat sebenarnya mencakup peran serta dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan
dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarkat. Pandangan ini
sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Sjahir. Sjahir berpendapat 2 bahwa
pengertian partisipasi dalam pembangunan bukanlah semata-mata partisipasi
dalam pelaksanaan program, rencana, dan kebikjakan pembangunan, tetapi juga
partisipasi yang emansifatif. Artinya, sedapat mungkin penentua alokasi sumber-
sumber ekonomi semakin mangacu pada motto pembangunan dari, oleh, dan
untuk rakyat. Dengan demikian partispasi masyarakat dalam pemerintahan
daerah dapat dimengerti sebagai keterlibatan langsung masyarakat secara
sukarela dan mandiri, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan
daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.

2.14 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia


Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-
Undang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di
daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan
ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik
cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu
penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah
sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya,
mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan
pembangunan.

2
M.F.Khairul Muluk. 2007. Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintah Daerah. Malang:
Bayumedia Publishing. hlm. 51

35
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan
dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah,
banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi
daerah yaitu:
a. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang
mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang
suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan
Oktober yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat
untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
b. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-
LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru
tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah
perikanan tradisional/adat mereka.

Kedua contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi


Daerah dapat membawa dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua
contoh diatas dapat terjadi berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut.
Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan
Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal
pelaksanaan Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra.
Suara pro umumnya datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-
daerah tersebut tidak sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera
diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya,
mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut. Masalahnya, otonomi

36
daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-
daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika
Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.

Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan


sumber daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi
daerah juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam
pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.

a. Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:


Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat
melalui pengumpulan pendapatan daerah. Keterbatasan sumberdaya
dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin
operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa Pemerintah
Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas
dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan
perkembangan ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif
memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah
beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
b. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat
daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti
ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
c. Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari
Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di
mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada,
tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip

37
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya
kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi
besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini
merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan
punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan
kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber
daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan
yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan
ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas
vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat
untuk menjaga kelestarian alam.
d. Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah
Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-
barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah
barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya
di pasar.
e. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang
diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget
mereka.

2.15 Hal-Hal Yang Menyebabkan Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia


Menjadi Tidak Optimal
a. Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia:
Lemahnya pengawasan maupun check and balances.
Kondisi inilah kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan
ketidakseimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi Daerah
b. Pemahaman terhadap Otonomi Daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun
oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah

38
menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan
sejahtera.
c. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana
(pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa
Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas
dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, dan juga menguras
sumberdaya alam yang tersedia.
d. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah
merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan
cara masing-masing semaunya sendiri.
e. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan
mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi
Daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan
seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil untung dari
perilaku aparat dan masyarakat yang salah . Semua itu terjadi karena
Otonomi Daerah lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan
pembangunan fisik dan ekonomi.
f. Kurangnya pembangunan sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia
(moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya
diprioritaskan. Sumber Daya Manusia berkualitas ini merupakan kunci
penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Sumber Daya
Manusia yang tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan
penyelenggaraan Otonomi Daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya,
penuh dengan intrik, konflik dan penyelewengan serta diwarnai oleh
menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok.

2.16 Cara Mengoptimalkan Pelaksanaan Otonomi Daerah

39
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seharusnya membawa perubahan
positif bagi daerah otonom ternyata juga dapat membuat daerah otonom tersebut
menjadi lebih terpuruk akibat adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan
oleh aparat pelaksana Otonomi Daerah tersebut.
Penerapan Otonomi Daerah yang efektif memiliki beberapa syarat yang
sekaligus merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan Otonomi
Daerah, yaitu:
a. Manusia selaku pelaksana dari Otonomi Daerah harus merupakan manusia
yang berkualitas.
b. Keuangan sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah harus
tersedia dengan cukup.
c. Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai.
d. Organisasi dan manajemen harus baik.
Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah
faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor
yang lain bergantung pada faktor manusia ini. Oleh karena itu, sangat penting
sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah
kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus
ditempuh berbagai cara, seperti:
1) Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah.
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah
otonom akan terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut
tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya
tersebut. Berbagai penyelewengan yang dapat dilakukan oleh Kepala
Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan diperketatnya mekanisme
pengawasan ini.
2) Memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat

40
dilakukan oleh Badan Kehormatan yang siap mengamati dan
mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk
menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya
Dengan berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti melanggar
larangan atau kode etik dapat diganti.

41
BAB V

PENUTUP

Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Otonomi daerah harus dipahami
sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan megatur
urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat
kepentingan pemerintah pusat melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah. Pemerintah daerah diharapkan mempunyai daya kreativitas dan
tata pengelolaan pemerintahan yang baik dan benar guna memajukan kehidupan
masyarakat dan berbagai pembangunan yang ada didaerah. Oleh karena itu otonomi
daerah merupakan langkah yang strategis yang diharapkan akan mempercepat
pertumbuhan dan pembangunan daerah, disamping menciptakan keseimbangan
pembangunan antar daerah di Indonesia.

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan Otonomi berasal dari 2 kata yaitu , auto berarti sendiri,nomosberarti
rumah tangga atau urusan pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus
rumah tangga sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka
istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan
dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah
sendiri. Sejarah otonomi daerah : 1. Masa Kolonial 2. Masa Pendudukan Jepang 3.
Masa Kemerdekaan beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi politik,
ekonomi, pemerintahan dan sosial budaya. Dalam menyelenggarakan
pemerintahannnya dianut 3 (tiga) asas yaitu: 1. Desentralisasi 2. Dekonsentrasi 3.
Tugas pembantuan 3.2. Saran Semoga masyarakat dapat memahami tentang otonomi
daerah masing-masing agar tercipta kehidupan masyarakat yang teratur. Untuk

42
pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kinerja dalam otonomi daerah yang diatur
sesuai dengan bagiannya masing-masing.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah
Wonosobo dan Gorontalo terdapat contoh nyata keberhasilan pelaksanaan
Otonomi Daerah, tetapi kedua daerah tersebut hanya merupakan contoh
keberhasilan kecil dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Secara
keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah di tempat-tempat lain di seluruh
pelosok Indonesia masih belum dapat berjalan dengan optimal.
Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan
karena adanya berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah
otonom.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan
Otonomi Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk
meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah
tersebut. Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan subjek dimana
faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk

43
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari
berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.

B. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara
lain:
1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan
antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah.
2. Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan
dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling
dekat dengan masyarakat.
3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah
juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat
dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan
aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga

44
perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan
pelaksanaan Otonomi Daerah.
4. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
sebaiknya membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun
kepentingan kelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan
masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak bertindak egois dan
melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

A. Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 tahun
2004. Pasal 1 butir 5.

DAFTAR PUSTAKA

45
Djohan, Djohermansyah, Problematik Pemerintahan dan Politik Lokal (Cet.Pertama),
Jakarta, Bumi Aksara,1990

DadangJuliantara, Arus Bawah demokrasi: Otonomi dan Pembangunan, Yogyakarta,


Lapera Pustaka Umum, 2000

Imawan, Riswandha, Dampak Pembangunan Nasional terhadap Peningkatan


Kemampuan Daerah, Laporan penelitian. Yogyakarta, PAU Studi Sosial UGM,1991

Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa Jurnal Politik ProfetikVolume 1 Nomor1


Tahun 2013

Sakinah Nadir

Maschab, Mashuri, Pemerintahan Desa di Indonesia, Yogyakarta, Pusat Antar


Universitas UGM, 1992

Pratikno, Perumusan Pola Hubungan Pusat Daerah dalam Rangka Realisasi Otonomi
Daerah, Laporan Penelitian, Yogyakarta, Fak. Sospol UGM, 1991

Riwu Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia(Cetakan


ke-4),PT.RajaGrafindo Persada, 1997.

46
Sujamto, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggung Jawab, edisi revisi, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1990

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

DAFTAR PUSTAKA

Priyanto, AT Sugeng ,dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat


Perbukuan Departemen Pendidkan Nasional.

Ubaedillah, A, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group.

Muluk, M.F.Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintah


Daerah. Malang: Bayumedia Publishing.

Yuwono, Sony, dkk. 2005. Penanggaran Sektor Publik. Dumai: Bayumedia


Publishing.

Mustari, Andi. 1998. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI.
Bandung: Gaya Media Pratama.

DAFTAR PUSTAKA

Fajri,Muhammad,dkk. 2012. Otonomi Daerah. Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas


Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Islam Riau Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah
1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial sampai

47
Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan. Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi
Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten.Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak
diterbitkan. Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai
dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan. Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi
Daerah di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

1 Djohermansyah Djohan, Problematik Pemerintahan dan Politik Lokal,


Cet I (Jakarta, Bumi Aksara, 1990), h.52. 2 Mengenai penjelasan beberapa Undang-
undang tentang Otonomi Daerah lihat, Sujamto, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan
Bertanggung Jawab, edisi revisi(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990), h. 101-121

Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa Jurnal Politik ProfetikVolume 1 Nomor1


Tahun 2013

48

Você também pode gostar