Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
(Makalah)
Dosen Pembimbing
Ade Engkus Kusnadi, S. Pd., M. Pd.
Oleh
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Swt. karena atas rahmat,
nikmat, ridho, karunia, kasih sayang dan petunjuk-Nya mustahil makalah yang berjudul
Efektifitas Pelaksanaan Otonomi Daerah ini dapat dirampungkan. Sholawat serta
salam senantiasa tercurah limpahkan kepada Rasulullah Saw. keluarga, sahabat, dan
para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah ikut serta
membantu dalam penyusunan makalah ini. Bapak Ade Engkus Kusnadi, S. Pd., M. Pd.
selaku Dosen Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah mengajarkan dan
membimbing dengan penuh kesabaran sehingga makalah ini dapat selesai pada
waktunya, kepada orangtua kami yang telah membantu kami baik secara moril maupun
materil, kepada kawan-kawan seperjuangan yang telah memberi kami inspirasi.
Makalah yang berjudul Efektifitas Pelaksanaan Otonomi Daerah ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan oleh Bapak Ade
Engkus Kusnadi, S. Pd., M. Pd. serta untuk menambah informasi tentang segala yang
berkaitan dengan judul makalah tersebut.
Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata kebahasaannya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka penyusun menerima segala saran dan kritik yang
membangun dari pembaca agar penyusun dapat memperbaiki makalah ini. Semoga
makalah ini membawa manfaat luar biasa bagi semua orang.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
3. 1 ......................................................................................... 31
3. 2 ......................................................................................... 31
BAB IV SIMPULAN
4. 1 ........................................................................................ 33
iii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 34
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Republik Indonesia.
Terdapat beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan
desentralisasi. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat
terpusat di Jakarta sebagai ibu kota. Sementara itu, pembangunan dibeberapa
wilayah lain cenderung bahkan dijadikan objek perahan pemerintah pusat. Kedua,
pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki
sumber kekayaan alam melimpah ternyata tidak menerima perolehan dana yang
patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial antara satu daerah degan
daerah lain sangat mecolok. Sehingga otonomi daerah merupakan langkah yang
strategis yang diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan
daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah di
Indonesia. Oleh karena itu, perlu ditelaah dengan lebih lanjut bagaimana
pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia khususnya di Jawa Barat, karena
pelaksanaan Otonomi Daerah merupakan sesuatu yang vital bagi jalannya roda
pemerintahan.
2
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Otonomi Daerah di Jawa Barat.
2. Untuk mengetahui penyebab pelaksanaan Otonomi Daerah di Jawa Barat
menjadi tidak optimal.
3. Untuk mengetahui langkah yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk
mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Setelah mengetahui tujuan penelitian di atas, dari penelitian ini diharapkan akan
dapat memperoleh kegunaan, sebagai berikut:
3
BAB II
LANDASAN TEORI
4
daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat
misleading.
c. Masa Kemerdekaan
1) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas
dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di
keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang
dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam
yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni, Provinsi,
Kabupaten/kota besar, Desa/kota kecil. UU No.1 Tahun 1945 hanya
mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang
tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal dan tidak memiliki penjelasan.
2) Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di
Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai
berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah
Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni, Provinsi, Kabupaten/kota
besar, Desa/kota kecil.
3) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan
istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil
yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu,
Daerah swatantra tingkat I (termasuk kotapraja Jakarta Raya), Daerah
swatantra tingkat II, dan Daerah swatantra tingkat III.
4) Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November
1959 menitik beratkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah,
dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak
mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dengan daerah tingkat I, tingkat
5
II, dan daerah tingkat III. Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan
otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh
pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
5) Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan
yakni, Provinsi (tingkat I), Kabupaten (tingkat II), Kecamatan (tingkat III).
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan
koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan
pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan
kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala
daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang
ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6) Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur rumah
tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan
daerah, yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-
bagi menurut tingkatannya menjadi, Provinsi/ibu kota Negara,
Kabupaten/kotamadya, dan Kecamatan. Titik berat otonomi daerah terletak
pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II berhubungan langsung
dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
7) Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam
penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut:
6
a) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip
pembagian kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam
kerangka NKRI.
b) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan
dekonsentrasi adalah daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk
berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan daerah
kota.
c) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
d) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten. Secara umum,
UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan
keinginan masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum
memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
8) Periode Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini dan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan
mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara
provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan
kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi,
dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar
antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas. Paling
tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya
kebijakan otonomi daerah berupa UU No.22 Tahun 1999. Faktor internal
7
yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan poitik sentralisme di masa
lampau. Faktor eksternal yang di pengaruhi oleh dorongan internasional
terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi
yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
8
2.2 Pengertian Otonomi Daerah
a. Menurut otonomi terdiri dari dua kata, “autos” yang berarti sendiri dan
“nomos” yang berarti pemerintahan.
b. Menurut Bagir Manan, mendefinisikan sebagai kebebasan dan kemandirian
satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian
urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara
bebas dan mandiri itu menjadi urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang
lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi
otonomi.
c. Menurut UU No.5 Tahun 1974 mendefinisikan otonomi (daerah) sebagai hak,
wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatu dan mengurus ruma
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
e. Menurut Suparmoko mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Jadi otonomi daerah adalah Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang menjadi
wilayah otonomi daerah itu sendiri di sebut daerah otonom, yaitu kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
9
2.3 Visi Otonomi Daerah
Dalam menjalankan otonomi daerah, pemerintah daerah tentunya harus
mempunyai visi untuk proses implementasi pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri
agar proses yang dijalankan sesuai yang direncanakan. Visi otonomi daerah dapat
dirumuskan dala tiga ruang lingkup utama yaitu:
a. Politik
Di bidang politik, pelaksanaan otonomi harus dipahami sebagai proses
untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yan dipilih
secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan
pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas terutama
kepentingan daerahnya, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan
keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik. Gejala yang
muncul dewasa ini parisipasi masyarakat begitu besar dalam pemilihan Kepala
Daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota. Hal ini bisa dibuktikan dari
membanjirnya calon-calon Kepala Daerah dalam setiap pemilihan Kepala
Daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten atau kota.
b. Ekonomi
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin
lancarnya pelaksanaan kebjakan ekonomi nasional di daerah, dan pihak lain
terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan
regioanal dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di
daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya
berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi,
memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur
yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi
daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi
dari waktu ke waktu.
c. Sosial Budaya
10
Di bidang sosial budaya, otonomi daerah harus di kelola sebaik
mungkin demi manciptakan harmoni sosial, dan pada saat yang sama, juga
memelihara nilai-nilai local yang dipandang kondusif terhadap kemampuan
masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
11
perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik di
kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah
dianalisis sejak tahun 1945, maka perubahan-perubahan konsep otonomi terlihat
banyak ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat
jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang
terdapat dalam UU berikut :
a. UU No. 1 Tahun 1945. Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih
menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala Daerah hanyalah kepanjangan
tangan pemerintah pusat.
b. UU No. 22 Tahun 1948. mulai tahun ini, kebijakan otonomi daerah lebih
menitikberatkan kepada desentalisasi.
c. UU No. 1 Tahun 1957. Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat
dualism, di mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi
juga masih alat pemerintah pusat.
d. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah
lebih menekankan pada dekonsentrasi.
e. UU No. 18 Tahun 1965. Pada masa ini kebijakan otonomi daerah
menitikberatkan pada desentralisasi yang memberikan otonomi yang seluas
f. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah. Setelah
terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dan tugas
pembantu. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Orde Baru, pada masa
berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding
dengan politik.
g. UU No. 22 Tahun 1999. Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan
pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan dengan mengedepankan otonomi luas, nyata, dan
bertanggung jawab.
12
h. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
i. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
j. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
k. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah
l. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
13
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi serta kebutuhan daerah,
sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan
keuangannya.
14
gaji tunjangan dan kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
2) Kewenangan Propinsi meliputi :
a) Sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintah yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan
dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
b) Sebagai daerah otonom juga kewenangan yang tidak atau belum dapat
dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota.
c) Sebagai wilayah administrasi mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil
pemerintah.
d) Sebagai daerah otonom secara lebih rinci diatur dalam PP No. 25 tahun
2000 yang dikenal dengan 20 kewenangan.
3) Kewenangan Pemerintah (Pusat) dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a) Kewenangan umum yaitu politik dalam negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal.
b) Kewenangan lainnya menyangkut kebijakan tentang perencanaan
Nasional dan pengendalian pembangunan nasional serta makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga
perekonomian Negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya
manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konversi dan standarissasi nasional.
b. Legislatif
Dalam rangka pelaksanaan otonomi, pemerintah daerah berwenang
menetapkan berbagai peraturan yang disebut sebagai Peraturan Daerah (Perda).
Beberapa hal penting menyangkut Perda dalam Undang-Undang No 22
tahun1999, sebelum direvisi menjadi UU N0. 32 tahun 2004, antara lain :
15
1) Kepala daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2) Peraturan darah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan darah lain, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3) Peraturan daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya
paksaan penegakan hukum seluruh atau bagian kepada pelanggar.
4) Peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama
enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 dengan atau
tidak merampas barang tertentu untuk daerah, kecuali jika ditentukan lain
dalam peraturan perundang-undangan.
c. Keuangan Daerah
16
memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat
daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum
dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi
daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa
dan kreativitas pemerintah daerah aka terpacu, sehingga kemampuannya dalam
mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi daerah kepada daerah adalah sebagai
berikut:
a. Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semaikn baik
b. Pengembangan kehidupan demokrasi
c. Keadilan.
d. Pemerataan
e. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah
f. Mendorong untuk memberdayakan masyarakat
g. Menimbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
mengembangakan peran dan fungsi DPRD.
Dibawah ini adalah beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi
politik, ekonomi, pemerintahan dan sosial budaya, yaitu sebagai berikut.
17
d. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing. Untuk
mencapai tujuan otonomi daerah tersebut, sebaiknya dimulai dari diri sendiri.
Para pejabat harus memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang diembannya
merupakan sebuah amanah yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan.
Selain itu, kita semua juga memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam
rangka tercapainya tujuan otonomi daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut
tentunya bukan hal yang mudah karena tidak mungkin dilakukan secara instan.
Butuh proses dan berbagai upaya serta partisipasi dari banyak pihak. Oleh
karena itu, diperlukan kesungguhan serta kerjasama dari berbagai pihak untuk
mencapai tujuan ini.
18
Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggunjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
19
bersangkutan tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak tersebut dalam
undang-undang pembentukannya. Segala langkah kerja daerah itu tidak dapat
keluar dari ketentuan-ketentuan yang telah tercantum dalam undang-undang
daerah itu tidak dapat secara leluasa bergerak dan mengembangkan
inisiatifnya kecuali rumah tangganya, menurut tingkatan dan ruang lingkup
pemerintahannya. Di dalam literatur Belanda ada ajaran yang disebut sebagai
de drie kringenleer yang menganjurkan ditetapkannya secara pasti mana soal-
soal yang masuk 2 lingkungan negara, lingkungan propinsi, dan lingkungan
gemeente. Dengan demikian, ajaran ini tidak mendorong daerah untuk
berprakarsa dan mengembangkan potensi wilyah di luar urusan yang
tercantum dalam undangundang pembentukannya. Padahal, kebebasan untuk
berprakars, memilih alternatif dan mengambil keputusan justru merupakan
prinsip dasar dalam mengembangkan otonomi daerah. Karena kelemahan
yang terdapat dalam ajaran rumah tangga materiil ini, orang cenderung untuk
memilih ajaran rumah tangga formal, Ajaran otonomi materiil, yang mana
ajaran ini bertitik tolak pada adanya perbedaan hakekat yang prinsipil antara
tugas yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah otonom.
b. Ajaran rumah tangga formal
Ajaran rumah tangga formal (formele huishoudingsleer), tidak ada
perbedaan sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan pemerintah pusat
dan oleh daerah-daerah otonom. Yang dapat dikerjakan oleh masyarakat
hukum yang satu pada prinsipnya juga dapat dilakukan oleh masyarakat
hukum yang lain. Bila dilakukan pembagian tugas, hal itu semata-mata
didasarkan atas pertimbangan rasional dan praktis. Artinya, pembagian itu
tidak karena materi yang diatur berbeda sifatnya, tetapi semata-mata karena
keyakinan bahwa kepentingan-kepentingan daerah itu dapat lebih baik dan
lebih berhasil diselenggarakan sendiri oleh setiap daerah daripada oleh
pemerintah pusat. Jadi, pertimbangan efisiensilah yang menentukan
pembagian tugas itu dan bukan disebabkan perbedaan sifat dari urusan-urusan
20
yang menjadi tanggungan masing masing. Di dalam ajaran ini tidak secara
apriori ditetapkan hal yang termasuk rumah tangga daerah, tetapi sepenuhnya
tergantung atas prakarasa atau inisiatif daerah yang bersangkutan.
Urusan rumah tangga daerah ditentukan dalam suatu prinsipnya saja,
sedangkan pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada prakarsa daerah yang
bersangkutan. Batas-batas pelaksanaan urusan juga tidak ditentukan,
tergantung kepada keadaan, waktu, dan tempat. Dari batasan rumah tangga
formal bisa dilihat bahwa pemerintah daerah dapat lebih leluasa untuk
bergerak (vrife taak), untuk mengambil inisiatif, memilih alternatif, dan
mengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan
daerahnya. Walaupun keleluasaan (discretion) pemerintah daerah dalam
sistem rumah tangga formal lebih besar, tetap ada pembatasan. Pertama,
pemerintah daerah hanya boleh mengatur undang-undang atau peraturan
daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Kedua, bila negara atau daerah yang
lebih tinggi tingakatannya kemudian mengatur sesuatu urusan yang semula
diatur oleh daerah yang lebih rendah, peraturan daerah yang lebih rendah
tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Secara positif sistem rumah tangga
formal sudah memenuhi kriteria keleluasaan berprakarsa bagi daerah untuk
mengembangkan otonomi daerahnya.
Di lain pihak, sistem ini kurang memberi kesempatan kepada
pemerintah pusat untuk mengambil inisiatif guna menyerasikan dan
menyeimbangkan pertumbuhan dan kemajuan antara daerah yang kondisi dan
potensinya tidak sama. Pemerintah pusat membiarkan setiap daerah
berinisiatif sendiri, tanpa melihat kondisi dan potensi riil daerah masing-
masing. Bagi daerah yang kondisi dan potensinya menguntungkan,
keleluasaan dan inisiatif daerah akan mendorong pertumbuhan dan
perkembangan yang lebih cepat. sebaliknya, bagi daerah yang kondisi dan
potensinya kurang menguntungkan (minus, miskin, terpencil, dan
sebagainya), keleluasaan dan prakarsa dihadapinya. Oleh karena itu,
21
intervensi pemerintah pusat untuk pemerataan dan memelihara keseimbangan
laju pertumbuhan antar daerah dipandang perlu, Ajaran otonomi formil,
didasarkan atas pandangan bahwa tidak ada perbedaan hakiki antara urusan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
c. Ajaran rumah tangga riil
Ajaran Rumah Tangga Riil, sistem ini tampaknya mengambil jalan
tengah antara ajaran rumah tangga materiil dan rumah tangga formal, dengan
tidak melepaskan prisip sistem rumah tangga formal. Konsep rumah tangga
riil bertitik tolak dari pemikiran yang mendasarkan diri kepada keadaan dan
faktor-faktor yang nyata mendasarkan diri kepada keadaan dan faktor-faktor
yang nyata untuk mencapai keserasian antara tugas dengan kemampuan dan
kekuatan, baik yang ada pada daerah sendiri maupun di pusat. Dengan
demikian, pemerintah pusat memperlakukan pemerintah daerah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari pusat, dikatakan bahwa sekalipun
pemerintah pusat yang bertanggung jawab lebih cenderung memberikan
kepercayaan teknis kepada masyarakat.
Oleh karena itu, sampai sejauh mana petunjuk dan campur tangan pusat
kepada daerah, sangat tergantung kepada sampai seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah itu sendiri dikatakan bahwa the degree of central
prescrioption and control depends largely on the capability of the local
authorities. Di dalam sistem rumah tangga riil dianut kebijakan bahwa setiap
undang-undang pembentukan daerah mencantumkan beberapa urusan rumah
tangga daerah yang dinyatakan sebagai modal pangkal dengan disertai segala
atributnya, berupa kewenangan, personil, alat perlengkapan dan sumber
pembiayaan. Dengan modal pangkal itu, setiap saat urusan-urusan tersebut
dapat ditambah sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan daerah yang
bersangkutan. Cara ini menurut Tresna telah ditetapkan sejak zaman Belanda.
Ada beberapa keuntungan apabila ajaran rumah tangga riil ini diterapkan.
22
1) Sistem rumah tangga riil memberikan kesempatan kepada daerah yang
beraneka ragam (heterogeneous) untuk menyesuaikan faktor-faktor
otonomi itu dengan keadaan daerahnya masingmasing.
2) Sistem ini berlandaskan kepada faktor-faktor yang nyata di daerah dan
memperhatikan keadaan khusus (local spesific) daerah.
3) Sistem ini mengandung fleksibilitas tanpa mengurangi kepastian sehingga
daerah bebas berprakarsa mengembangkan modal pangkal yang sudah
ada, dengan memperoleh bimbingan/pembinaan tanpa melepaskan
pengawasan pusat.
4) Sampai seberapa jauh pusat melakukan pembinaan dan campur tangan
terhadap daerah tergantung kepada kemampuan pemerintah daerah itu
sendiri.
5) Prakarsa untuk mengembangkan urusan di luar modal pangkal juga bisa
dilakukan, asal tidak bertentangan dengan atau belum/tidak diatur oleh
pusat atau daerah yang tingkatannya lebih tinggi.
6) Sistem ini memperhatikan keseimbangan pertumbuhan antardaerah,
Ajaran otonomi riil menekankan pada suatu prinsip bahwa pemberian
otonomi kpd daerah otonom didasarkan pada pertimbangan kondisi nyata
dan kebutuhan serta kemampuan dari daerah otonom untuk
menyelenggarakan urusan tertentu.
23
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut
menunjukkan bahwa makna dasar dari otonomi adalah adanya suatu kewenangan
bagi Pemerintah Daerah untuk menentukan kebijakan-kebijakan sendiri yang
ditujukan bagi perlaksanaan roda pemerintahan daerahnya sesuai dengan aspirasi
masyarakatnya
Otonomi Daerah pada dasarnya berkaitan erat dengan pola pembagian
kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun tidak dapat
dipungkiribahwa dalam pelaksanaanya memberikan dampak baik yang cukup
positif bagi Daerah, maupun yang mungkin akan menyulitkan Daerah bahkan
Pemerintah pusat. Sebagai konsekuensi maka diperlukan pengaturan yang
sistematis yang menggambarkan adanya hubungan berjenjang baik yang
berkaitan dengan koordinasi, pembinaan dan pengawasan.Oleh karena itulah,
pelaksanaan kebijakan ini kemudian menimbulkan tanggapan yang beragam dari
Pemerintah maupun masyarakat.
a. Perspektif Pemerintah Daerah
1) Pelaksanaan Dan Dampak Kebijakan Otonomi Daerah Penyelenggaraan
Desentralisasi sebagaimana di amanahkan dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 mengisyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah umumnya menganggap bahwa kebijakan Otonomi
Daerah yang ada saat ini melalui UU No. 32 tahun 2004 merupakan
sebuah kebijakan yang sangat baik terutama bagi daerah dalam rangka
mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini di karenakan :
a) Secara politis kebijakan tersebut akan memberikan keleluasaan
pada Pemerintah Daerah untuk dapat mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah.
24
b) Secara ekonomis Pemerintah Daerah akan diuntungkan karena
mempunyai wewenang yang lebih besar untuk mengelola dan
memanfaatkan potensi sumber daya alam yang terdapat di
wilayahnya.
25
Dalam konteks kewenangan pusat dan daerah dalam pelaksanaan
kebijakan Otonomi Daerah belum sepenuhnya bisa terlaksana dengan
baik. Disatu sisi, Pemerintah Daerah merasa bahwa pemerintah Pusat
masih belum sepenuh hati untuk memberikan kewenangan-kewenangan
tersebut kepada Pemerintah Daerah. Adanya keengganan Pemerintah
Pusat untuk memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada daerah,
didasarkan pada alasan bahwa belum semua daerah siap untuk
melaksanakan Kebijakan Otonomi Daerah. Selain itu kurangnya sumber
daya manusia yang cukup memadai serta belum terbiasanya Daerah
menerima kewenangan yang begitu luas. Ditambah lagi dengan alasan
bahwa segala sesuatunya harus tetap berada dalam konteks Negara
Kesatuan dalam rangka menjaga keutuhan wilayah dan mewujudkan
tujuan negara. Alasan-alasan tersebut menjadi pembenaran daripada
sikap Pemerintah Pusat. Disatu sisi, alasan-alasan tersebut cukup
memiliki dasar yang kuat dimana hampir sebagaian besar Daerah di
Indonesia masih memiliki keterbatasan-keterbatasan. Akan tetapi tetap
saja bahwa pihak Daerah haruslah diberikan ruang berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh konstitusi kepadanya, untuk dapat
menata wilayahnya sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakatnya.
Dalam kondisi tarik menarik tersebut, berbagai permasalahan kemudian
dapat timbul akibat keengganan Pemerintah Pusat untuk lebih
mempercayai Pemerintah Daerah dalam mengelola daerahnya. Hal
tersebut akan tampak dalam operasioanlisasi kebijakan Otonomi Daerah,
yang kerapkali membingungkan Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaan
kebijakan Otonomi Daerah, kebingungan yang dialami oleh Pemerintah
Daerah disebabkan oleh karena masih tumpang tindihnya wewenang
yang mengatur berbagai persoalan dalam rangka pelaksanaan kebijakan
ini. Hal tersebut justru disebabkan karena masih belum jelasnya aturan-
aturan pelaksanaan yang akan menjadi panduan dalam pelaksanaan
26
kebijakan tersebut. Dampak nyata dari kondisi tersebut adalah terjadinya
rebutan lahan kewenangan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah
Pusat dalam mengatur berbagai permasalahan.
b. Perspektif Masyarakat Desa
1) Dampak Otonomi Daerah bagi Desa
Kehadiran arus reformasi yang berhasil membawa era
keterbukaan bagi masyarakat, kemudian membawa implikasi pada
terbukanya berbagai tanggapan serta protes-protes masyarakat akan
berbagai macam hal termasuk perbaikan pola hubungan Negara dan
Masyarakat. Dalam era ini merupakan sebuah kewajaran kemudian
apabila masyarakat di daerah menuntut agar pola hubungan antara Pusat
dan Daerah diperbaharui kearah yang lebih demokratis. Utamanya
menyangkut berbagai hal dalam penataan daerah, termasuk
proporsipembagian hasil-hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yang
ada di daerah antara Pemerintah Pusat dan Daerah, agar masyarakat di
daerah dapat lebih menikmati hasil-hasilnya. Masyarakat menganggap
bahwa sebuah hal yang logis apabila kemudian masyarakat di daerah
menerima kewenangan yang lebih besar di era reformasi ini. Dalam hal
mengelola daerahnya melalui kebijakan Otonomi Daerah baik secara
politik dalam arti berbagai kebijakan daerah maupun secara ekonomi,
karena selama ini yang paling banyak menikmati hasil-hasil
pembangunan justru Pemerintah Pusat dan bukannya masyarakat di
daerah yang notabene adalah tempat dari berbagai sumber daya alam
yang dikelola. Menurut Masyarakat desa kehadiran kebijakan Otonomi
Daerah merupakan hal yang wajar sebagai proses perkembangan
demokratisasi bagi bangsa Indonesia. Pemberlakuan kebijakan Otonomi
Daerah membawa pengharapan yang besar bagi perbaikan tingkat
kesejahteraan hidup masyarakat. Kebijakan Otonomi Daerah ini
nantinya diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup bagi masyarakat
27
di desa.Impian yang sangat diharapkan dari masyarakat desa dengan
adanya kebijakan ini adalah masyarakat diberi kewenangan dan
tanggungjawab atas pemanfaatan sumberdaya alam yang ada didesanya
dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya. Kebijakan ini bagi masyarakat desa dianggap akan memberikan
kesempatan kepada Pemerintah Daerah untuk lebih dapat memajukan
masyarakatnya melalui berbagai langkah-langkah kebijakan yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat di wilayahnya.
2) Kebijakan Otonomi Daerah dan Penerimaan Masyarakat
Selain karena dianggap akan membawa manfaat bagi masyarakat
di daerah, tanggapan masyarakat desa tentang Otonomi Daerah adalah
bahwa hal tersebut harus diterima karena sudah merupakan Peraturan
Pemerintah dalam wujud Undang-undang. Melalui kebijakan Otonomi
Daerah yang berarti bahwa Pemerintah Daerahlah kemudian yang akan
sangat menentukan bagaimana kebijakan Otonomi Daerah ini akan dapat
menguntungkan dan bermanfaat bagi masyarakat di wilayahnya. Jika
Pemerintah Daerah melalui kebijakan Otonomi Daerah kemudian
mempunyai wewenang yang luas dalam menata wilayahnya, maka
Pemerintah Daerah tentu akan dapat memajukan masyarakat sesuai
dengan kondisi masyarakatnya. Pemerintah Daerah sebagai pemegang
wewenang yang besar dalam pelaksanaan Kebijakan Otonomi Daerah
sesuai yang diisyaratkan oleh UU No. 32 Tahun 2004, akan menjadi titik
pusat seluruh pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah. Wajah Otonomi
Daerah akan tampak melalui kebijakankebijakan yang akan dikeluarkan
oleh Pemerintah Daerah.
28
Rumusan formal mengenai otonomi yang seluas-luasnya pertama kali
dijumpai dalam pasal 131 ayat 2 UUDS 1950 yang berbunyi “kepada daerah-
daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya
sendiri.” Dalam proses penyusunan rancangan Pasal UUDS 1950 tersebut,
Danurejo mengemukakan pendapatnya mengenai otonomi seluas-luasnya itu
dengan mengatakan konsepsi tentang otonomi seluas-luasnya hendaknya
diartikan sebagai hak/wewenamg daerah untuk menyelenggarakan ruma
tangganya yang seluas-luasnya itu bersangkut paut dengan pekerjaan bebas
dari pada daerah baik mengenai kualitas maupun kuantitasnya. Pengertian
tersebut ditujukan kepada hak daerah, sehinga menjadi hak seluas-luasnya.
Bila demikian maka ini menjadi kekuasaan mutlak dari pada daerah. Ini terang
tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang dianut bahwa di atas daerah-
daerah masih ada pemerintah pusat. Pemberian otonomi seluas-luasnya
pertama-tama berarti bahwa bilamana perkembangan telah memungkinkan,
daerah-daerah akan mempunyai lapanga kerja dalam bidang pengaturan,
pemerintahan, peradilan dan kepolisian. Selanjutnya konsepsi itu mengandung
pengertian bahwa daerah-daerah berhak memperhatikan segala kepentingan
dan meyelenggarakan segala sesuatu dalam lingkungan wilayahnya sendiri.
Terhadap usaha daerah itu dapat saja pemerintah pusat dilakukan pembatasan
menurut metode hierarchische taakafbakening. Tapi hendaknya daerah tidak
dibatasi dalam pekerjaan bebas yang dapat diselenggarakannya atas inisiatif
sendiri dengan suatu daftar perincian urusan-urusan daerah, apalagi kalau
untuk memulainya daerah masih harus menunggu penyerahan urusan secara
nyata dari pusat. Konsepsi tentang otonomi seluas-luasnya dimasukan dalam
UUDS 1950 untuk memberi kepuasan segenap daerah RIS yang meleburkan
diri menjadi Negara Kesatuan. Dari pernyataan tersebut jelas bahwa otonomi
yang seluas-luasnya memberikan hak/wewenang terhadap daerah untuk
mengembangkan daerahnya masing-masing sesuai dengan kualitas dan
kuantitas daerah tersebut, namun tetap ada batasan dari pemerintah pusat agar
29
otonomi yang dijalankan setiap daerah tidak menyompang dari prosedur yang
telah ada.
30
daerah harus benar-benar melihat kebutuhan yang saat ini diperlukan oleh
masyarakatnya, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah bisa
dipergunakan dan dijalankan masyarakat yang di pimpinnya. pemerintah
daerah diberikan kewenangan ini dikarenakan, pemerintah daerah lah yang
paling tahu dan mengerti apa kebutuhan/kebijakan yang harus dijalankan oleh
pemerintahannya, guna mensejahterakan kehidupan masyarakat yang ada
didaerah tersebut. Pemerintah daerah juga harus memberikan fasilitas serta
sarana dan prasarana yang dapat menunjang terhadap kebutuhan masyarakat
tersebut, agar kebutuhan-kebutuhan masyarakat senantiasa terpenuhi.
c. Otonomi Yang Bertanggungjawab
Otonomi yang bertanggung jawab ini baru dikenal pada UU No.5 Tahun
1974. Penjelasan Undang-undang ini menyebutkan bahwa otonomi yang
bertanggung jawab adalah pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan
tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di pelosok Negara,
dan sesuai atau tidak bertentangan dengan pengarahan yang telah diberikan,
sesuai dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan
yang serasi antara pemerintah pusat dan Daerah serta dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan daerah.
d. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah
Otonomi daerah sebagai komitmen dan kebijakan politk nasional
merupakan langkah strategis yangdiharapkan akan mempercepat pertumbuhan
dan pembangunan daerah, disamping menciptakan keseimbangan
pembangunan antar daerah Indonesai. Kebijakan pembangunan yang
sentralsistis pada masa lalu dampaknya sudah diketahui, yaitu adanya
ketimpangan antar daerah. Namun demikian, pembangunan daerah tidak akan
terjadi dengan begitu saja. tanpa proses-proses pelaksanaan pemerintahan
yang akuntabel yang dilakukan oleh para penyelenggara pemerintahan di
daerah, yaitu pihak legislative (DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota) dan
eksekutif di daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Kebijakan otonomi
31
daerah memiliki implikasi sejumlah kewenangan yang dimiliki pemerintah
daerah. Selain itu terdapat faktor-faktor prakondisi yang diharapkan dari
pemerintah daerah, antara lain1:
1) Fasilitasi
2) Pemerintah daerah harus kreatif
3) Politik lokal yang stabil
4) Pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha
5) Pemerintah daerag harus komunikatif dengan LSM/NGO, terutama dalam
bidang perburuhan dan lingkungan hidup.
1
A. Ubaidillah, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
hlm. 150
32
c. Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18A ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam UU Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
d. Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki hubungan
keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya
e. Pengaturan hubungan sebagaimana disebutkan pasal 18 ayat (2) diatur lebih
lanjut dalam UU Republik Indonesia No.33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
33
15) Penyeleggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten / kota
16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan
17) Urusan pemerintahan propinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
Kewenangan kabupaten / kota diatur dalam pasal 14 yang dapat diuraikan sebagai
berikut:
34
2.13 Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah
Partisipasi masyarakat sebenarnya mencakup peran serta dalam proses
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan penerimaan manfaat pembangunan
dengan mempertimbangkan otonomi dan kemandirian masyarkat. Pandangan ini
sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh Sjahir. Sjahir berpendapat 2 bahwa
pengertian partisipasi dalam pembangunan bukanlah semata-mata partisipasi
dalam pelaksanaan program, rencana, dan kebikjakan pembangunan, tetapi juga
partisipasi yang emansifatif. Artinya, sedapat mungkin penentua alokasi sumber-
sumber ekonomi semakin mangacu pada motto pembangunan dari, oleh, dan
untuk rakyat. Dengan demikian partispasi masyarakat dalam pemerintahan
daerah dapat dimengerti sebagai keterlibatan langsung masyarakat secara
sukarela dan mandiri, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan
daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
2
M.F.Khairul Muluk. 2007. Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintah Daerah. Malang:
Bayumedia Publishing. hlm. 51
35
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan
dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari
pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi Daerah,
banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak
menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam pelaksanaan otonomi
daerah yaitu:
a. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang
mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang
suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat
kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan pada bulan
Oktober yang memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat
untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
b. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-
LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru
tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah
perikanan tradisional/adat mereka.
36
daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-
daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika
Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan.
37
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya
kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi
besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini
merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan
punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan
kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan sumber
daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan
yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan
ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas
vegetasi dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat
untuk menjaga kelestarian alam.
d. Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah
Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-
barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah
barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya
di pasar.
e. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang
diperoleh dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget
mereka.
38
menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan
sejahtera.
c. Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana
(pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa
Pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas
dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, dan juga menguras
sumberdaya alam yang tersedia.
d. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah
merasa diberi kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan
cara masing-masing semaunya sendiri.
e. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan
mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi
Daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan
seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil untung dari
perilaku aparat dan masyarakat yang salah . Semua itu terjadi karena
Otonomi Daerah lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan
pembangunan fisik dan ekonomi.
f. Kurangnya pembangunan sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia
(moral, spiritual intelektual dan keterampilan) yang seharusnya
diprioritaskan. Sumber Daya Manusia berkualitas ini merupakan kunci
penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah. Sumber Daya
Manusia yang tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan
penyelenggaraan Otonomi Daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya,
penuh dengan intrik, konflik dan penyelewengan serta diwarnai oleh
menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok.
39
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang seharusnya membawa perubahan
positif bagi daerah otonom ternyata juga dapat membuat daerah otonom tersebut
menjadi lebih terpuruk akibat adanya berbagai penyelewengan yang dilakukan
oleh aparat pelaksana Otonomi Daerah tersebut.
Penerapan Otonomi Daerah yang efektif memiliki beberapa syarat yang
sekaligus merupakan faktor yang sangat berpengaruh bagi keberhasilan Otonomi
Daerah, yaitu:
a. Manusia selaku pelaksana dari Otonomi Daerah harus merupakan manusia
yang berkualitas.
b. Keuangan sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah harus
tersedia dengan cukup.
c. Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai.
d. Organisasi dan manajemen harus baik.
Dari semua faktor tersebut di atas, “faktor manusia yang baik” adalah
faktor yang paling penting karena berfungsi sebagai subjek dimana faktor
yang lain bergantung pada faktor manusia ini. Oleh karena itu, sangat penting
sekali untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah
kunci penentu dari berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus
ditempuh berbagai cara, seperti:
1) Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah.
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah
otonom akan terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut
tidak akan bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya
tersebut. Berbagai penyelewengan yang dapat dilakukan oleh Kepala
Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan diperketatnya mekanisme
pengawasan ini.
2) Memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat
40
dilakukan oleh Badan Kehormatan yang siap mengamati dan
mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk
menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya
Dengan berbekal ketentuan yang baru tersebut, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang telah jelas-jelas terbukti melanggar
larangan atau kode etik dapat diganti.
41
BAB V
PENUTUP
Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Otonomi daerah harus dipahami
sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan megatur
urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat
kepentingan pemerintah pusat melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah. Pemerintah daerah diharapkan mempunyai daya kreativitas dan
tata pengelolaan pemerintahan yang baik dan benar guna memajukan kehidupan
masyarakat dan berbagai pembangunan yang ada didaerah. Oleh karena itu otonomi
daerah merupakan langkah yang strategis yang diharapkan akan mempercepat
pertumbuhan dan pembangunan daerah, disamping menciptakan keseimbangan
pembangunan antar daerah di Indonesia.
3.1. Kesimpulan Otonomi berasal dari 2 kata yaitu , auto berarti sendiri,nomosberarti
rumah tangga atau urusan pemerintahan.Otonomi dengan demikian berarti mengurus
rumah tangga sendiri.Dengan mendampingkan kata ekonomi dengan kata daerah,maka
istilah “mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan
dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah
sendiri. Sejarah otonomi daerah : 1. Masa Kolonial 2. Masa Pendudukan Jepang 3.
Masa Kemerdekaan beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi politik,
ekonomi, pemerintahan dan sosial budaya. Dalam menyelenggarakan
pemerintahannnya dianut 3 (tiga) asas yaitu: 1. Desentralisasi 2. Dekonsentrasi 3.
Tugas pembantuan 3.2. Saran Semoga masyarakat dapat memahami tentang otonomi
daerah masing-masing agar tercipta kehidupan masyarakat yang teratur. Untuk
42
pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kinerja dalam otonomi daerah yang diatur
sesuai dengan bagiannya masing-masing.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia masih belum optimal. Walaupun di daerah
Wonosobo dan Gorontalo terdapat contoh nyata keberhasilan pelaksanaan
Otonomi Daerah, tetapi kedua daerah tersebut hanya merupakan contoh
keberhasilan kecil dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Secara
keseluruhan, pelaksanaan Otonomi Daerah di tempat-tempat lain di seluruh
pelosok Indonesia masih belum dapat berjalan dengan optimal.
Belum optimalnya pelaksanaan Otonomi Daerah antara lain disebabkan
karena adanya berbagai macam penyelewengan yang dilakukan oleh berbagai
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah di daera-daerah
otonom.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan
Otonomi Daerah, tetapi hal yang paling penting yang harus dilakukan untuk
meningkatkan pelaksanaan Otonomi Daerah itu adalah dengan meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia sebagai pelaksana dari Otonomi Daerah
tersebut. Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan subjek dimana
faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah ini bergantung. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk
43
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia karena inilah kunci penentu dari
berhasil tidaknya pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
B. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas, maka dapat diberikan saran antara
lain:
1. Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan
antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintah daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah.
2. Konsep otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab tetap dijadikan acuan
dengan meletakkan pelaksanaan otonomi pada tingkat daerah yang paling
dekat dengan masyarakat.
3. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah
juga perlu diupayakan. Kesempatan yang seluas-luasnya perlu diberikan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran. Masyarakat
dapat memberikan kritik dan koreksi membangun atas kebijakan dan tindakan
aparat pemerintah yang merugikan masyarakat dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah. Karena pada dasarnya Otonomi Daerah ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga
44
perlu bertindak aktif dan berperan serta dalam rangka menyukseskan
pelaksanaan Otonomi Daerah.
4. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
sebaiknya membuang jauh-jauh egonya untuk kepentingan pribadi ataupun
kepentingan kelompoknya dan lebih mengedepankan kepentingan
masyarakat. Pihak-pihak tersebut seharusnya tidak bertindak egois dan
melaksanakan fungsi serta kewajibannya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 tahun
2004. Pasal 1 butir 5.
DAFTAR PUSTAKA
45
Djohan, Djohermansyah, Problematik Pemerintahan dan Politik Lokal (Cet.Pertama),
Jakarta, Bumi Aksara,1990
Sakinah Nadir
Pratikno, Perumusan Pola Hubungan Pusat Daerah dalam Rangka Realisasi Otonomi
Daerah, Laporan Penelitian, Yogyakarta, Fak. Sospol UGM, 1991
46
Sujamto, Otonomi Daerah Yang Nyata Dan Bertanggung Jawab, edisi revisi, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1990
DAFTAR PUSTAKA
Mustari, Andi. 1998. Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI.
Bandung: Gaya Media Pratama.
DAFTAR PUSTAKA
47
Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan. Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi
Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten.Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak
diterbitkan. Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai
dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan. Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi
Daerah di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
48