Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Di susun oleh :
Kelompok 3
Mastang
Intan Cahyani
Moh Rafli
Panji aulia Riska
A. LatarBelakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-
spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang
secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu
mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain
untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan
respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang
menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau
alergi.
B. Tujuan Penulisan
1. TujuanUmum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB II
2. TujuanKhusus
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Hipersensitivitas
2. Agar mahasiswa dapat melaksanakan dan memahami Asuhan Keperawatan
Hipersensitivitas
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell.
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan
yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan
terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya.
Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini
IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin.
Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi
berkisar antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat
mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai
oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit
atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan
eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I
adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan
antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang
dicurigai. Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi
akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen).
Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti
infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi
hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor
histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau
desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG)
dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang
langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang
langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal).
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah), dan
Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks
imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi
pada pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis
herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi
demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen,
2. Faktor Eksternal
1) Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress)
atau beban latihan (lari, olah raga).
3) Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.
C. PATOFISIOLOGI
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk
kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala –
gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul maka
antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana
sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses
ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil.
Apabila seseorang mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka
akan terjadi 2 hal yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek
terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan
eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak , kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai
kulit, allergen akan menyebabkan terjadinya
gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan pada kulit dan dermatitis. Pada saat
mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi
yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani
segera dapat menyebabkan kematian
D. KLASIFIKASI
1) Hipersensitivitas anafilaktif ( tipe 1 )
kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan
dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik.
4) Hipersensitivitas Tipe lambat (tipe 4 )
Reaksi ini yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga
72 jam sesudah kontak dengan allergen
E. TANDA DAN GEJALA
Adapun Gejala klinisnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir
F. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan
Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng
yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan
seperti susu, telur, kacang, ikan).
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah
atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
H. DIAGNOSTIK
Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis
pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi,
cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,
Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,
pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,
tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
Reaksi psikologi
BAB III
ASKEP HIPERSENSITIFITAS
A. PENGKAJIAN
a. Data Demografi
Identitas Pasien (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, sumber biaya, dan sumber
informasi)
Identitas Penanggung (nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan dengan pasien).
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
6) Riwayat Psikososial dan Spiritual
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta
ukur respirasi rate.
Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS,
apakah pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada
perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani
keluarganya selama di RS.
Sosial dan komunikasi
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan
terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
Spiritual
Mual, muntah
Meringis, gelisah
Gatal – gatal
Batuk
Data objektif
Penggunaan O2
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan terpajan allergen
2.Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan infalamasi dermal,intrademal sekunder
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi ( allergen,ex: makanan)
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan :setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan
pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
Intervensi :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya
pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan
kerja napas.Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal
napas.Ekspansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri
dada pleuritik.
2. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels,
mengi, gesekan pleura.
Rasional : Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder
terhadap pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan
mengi menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari
tempat tidur dan ambulansi sesegera mungkin.
Rasiona : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernapasan. Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara
segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter secret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum
berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5. Berikan oksigen tambahan
Rasional : Memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
6. Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebulizer ultrasonic
Rasional: Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu
pengenceran secret untuk memudahkan pembersihan.
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x.24 jam diharapkan suhu tubuh pasien
menurun.
Kriteria hasil :
Intervensi :
2. Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
mendekati normal
Intervensi :
1. Lihat kulit, adanya edema, area sirkulasinya terganggu atau pigmentasi
Intervensi :
1. Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia,
hipotensi ortostatik.
Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju
metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan
peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
Rektal (36,7-38,10C)
Axilla (35,5-36,40C)
Intervensi :
1. Kaji TTV
Rasional : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2. Kaji tingkat nyeri (PQRST)
Rasional : Untuk mengetahui faktor pencetus nyeri
3. Berikan posisi yang nyaman sesuai dengan kebutuhan
Rasional : memberikan rasa nyaman kepada pasien
4. Ciptakan suasana yang tenang
Rasional : membantu pasien lebih relaks
5. Bantu pasien melakukan teknik relaksasi
Rasional : membantu dalam penurunan persepsi/respon nyeri. Memberikan
kontrol situasi meningkatkan perilaku positif.
6. Observasi gejala-gejala yang berhubungan, seperti dyspnea, mual muntah,
palpitasi, keinginan berkemih.
Rasionala : tanda-tanda tersebut menunjukkan gejala nyeri yang dialami pasien.
7. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik
Rasional : Analgesik dapat meredakan nyeri yang dirasakan oleh pasien.
E. EVALUASI
Diagnosa Evaluasi
1 S : pasien mengeluh tidak sesak lagi
O : pasien bernafas normal (16-24 x/menit),tidak terdapat tanda-tanda
sianosis,pasien tidak mengalami gangguan pola nafas,pasien tidak tampak
menggunakan alat bantu pernapasan.
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
2 S:Pasien mengatakan tidak demam lagi
O: Suhu tubuh pasien kembali normal ( 36,5 oC -37,5 oC),bibir pasien tidak
tampak bengkak lagi.
A:Tujuan tercapai
P:Pertahankan kondisi pasien
A. Kesimpulan
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh
seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-
bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi
berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing
atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
allergen.
B. Saran
Harapan kami semoga dengan selesainya makalah ini dapat memenuhi kebutuhan
materi bagi para pembaca terutama bagi para mahasiswa khusunya bagi kami,namun
tidak menutup kemungkinan makalah ini bisa sesempurna mungkin. Maka dari itu
kritik dan saran dari para pembaca kami harapkan, terutama dari dosen pembimbing.