Você está na página 1de 2

Apa Benar Pendapatan Taksi Konvensional Tergerus Taksi Online?

2 April 2016 07:42 Diperbarui: 2 April 2016 08:15

Laporan keuangan akhir tahun 2015 perusahaan terbuka sudah mulai bermunculan. Tak terkecuali emiten
transportas seperti PT Blue Bird Tbk (BIRD) dan PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI). Kinerja
keuangan mereka selama tahun 2015 telah diserahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa
Efek Indonesia.

Lalu bagaimanakah kinerja keuangan mereka selama tahun 2015 lalu? Apakah benar klaim management
PT Blue Bird Tbk, PT Express Transindo Utama Tbk, Organda, management taksi konvensional lainnya
dan pengemudi taksi konvensional benar bahwa pendapatan mereka tergerus akibat keberadaan taksi
berbasi aplikasi? Apakah klaim mereka hanya sekadar akal-akalan agar tetap menjadi market leader di
pasar taksi? Ataukah keluhan mereka benar? Mari kita lihat klaim mereka dengan menggunakan data
yang valid dari laporan keuangan BIRD dan TAXI.

Merujuk laporan keuangan BIRD menyebutkan, pendapatan perseroan di akhir 2015 mencapai Rp 5,47
triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2014, pendapatan taksi yang warna
armadanya biru tersebut melonjak 15,15% (Rp 4,75 triliun). Laba operasional perseroan juga merangkak
naik dari Rp 1,05 triliun di tahun 2014, menjadi Rp 1,17 triliun atau tumbuh 11,4% di tahun 2015.

Sementara pendapatan TAXI di tahun 2014 hanya Rp 889,7 miliar. Namun di tahun 2015 pendapatannya
hanya tumbuh 1,9% (Rp 907 miliar). Laba operasional perseroan pada tahun 2015 terperosok 15%
mencapai Rp 239,9 miliar. Padahal di tahun 2014 laba operasinya mencapai Rp 283,5 miliar.

Dari dua laporan keuangan emiten transportasi itu jelas terlihat bahwa sesungguhnya keberadaan taksi
online tidak mengganggu pendapatan serta laba operasi perseroan. Dua parameter tersebut sudah
menunjukkan bukti yang ‘terang benderang’ bahwa kinerja keuangan mereka sama sekali tak tergangu
dengan maraknya taksi online di Indonesia. Minimal di tahun 2015 yang lalu.

Mungkin untuk emiten TAXI sedikit berbeda. Laba operasi mereka ‘tersungkur’ cukup signifikan
dikarenakan adanya pembengkakan beban langsung mereka dari Rp 491,5 miliar di tahun 2014 menjadi
Rp 629 miliar atau membengkak 27,9%.
Jika kita perhatikan lebih cermat, pada laporan keuangan emiten TAXI ada kejanggalan. Membengkaknya
beban perusahaan disumbang oleh meningkatnya beban gaji dan tunjangan. Beban gaji dan tunjangan
emiten TAXI mengalami pertumbuhan yang cukup besar mencapai 44,8%. Padahal beban gaji dan
tunjangan emiten BIRD hanya bertambah 23%. Apakah ini menunjukkan management kurang TAXI
efisien?

Yang paling mencengangkan adalah membengkaknya pembelian BBM pada emiten TAXI.
Pembengkakan pembelian BBM di TAXI ini mencapai 141%. Jika dibandingkan dengan emiten BIRD
beban pembelian BBM hanya tumbuh 10%. Ada apakah gerangan?

Padahal di tahun 2015 pemerintah tak menaikkan harga jual BBM. Justru di awal tahun 2015 pemerintah
menurunkan harga jual BBM jenis premium dari Rp 8.500 menjadi Rp 7.600/liter untuk wilayah Jawa.

Sebenarnya jika ingin menelisik lebih dalam, masih banyak kejanggalan pada laporan keuangan dua
emiten transportasi tersebut seperti adanya biaya toll dan parkir. Selama ini biaya toll dan parkir
dibayarkan langsung oleh penumpang. Bukan dibebankan kepada supir atau operator taksi. Namun karena
jumlahnya tak begitu signifikan, maka keanehan tersebut bisa kita abaikan saja.

Mengacu data tersebut, klaim taksi konvensional yang mengatakan pangsa pasarnya tergerus oleh taksi
online bisa dipastikan hanyalah isapan jempol semata. Buktinya adalah pendapatan dan laba operasi
mereka masih bisa tumbuh. Selama mereka mau untuk melakukan efisiensi dan meningkatkan kualitas,
pasti taksi konvensional mampu bersaing dengan taksi online.

Mereka yang selama ini berkoar-koar tentang pendapatan berkurang hanya akal-akalan agar taksi online
tak tumbuh. Berbagai cara dan manuver mereka lancarkan agar praktik usaha yang mengarah ke oligopoli
dapat terus terpelihara.

Melihat kondisi ini para pengemudi taksi konvensional harusnya dapat lebih kritis lagi dalam mensikapi
persaingan usaha yang mengarah tak sehat ini. Jangan sampai para pengemudi dirugikan karena dijadikan
alat oleh perusahan yang tamak dan tak bisa efisien yang mau terus ‘mengangkangi‘ industri transportasi
umum nasional.

Você também pode gostar