Você está na página 1de 32

BAB I

DASAR TEORI

1.1.Latar Belakang
Pembangunan instalasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) merupakan bagian
dari pembangunan nasional, karena pemenuhan kebutuhan tenaga listrik haruslah
sejalan dengan meningkatnya pembangunan bagi kesejahteraan penduduk. Pada
sisi lain, pembangunan instalasi PLTU berpotensi menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup baik dampak positif maupun dampak negatif. PT. Cirebon Energi
Prasarana (CEPR) sebagai pemrakarsa kegiatan berencana akan membangun PLTU
Peluasan Cirebon (Jawa-1) dengan kapasitas 1x1.000 MW yang selanjutnya disebut
sebagai PLTU Kapasitas 1x1.000 MW Cirebon dimana secara administrasi terletak
di dua desa yaitu Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura dan Desa Waruduwur Blok
Kandawaru, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. PLTU
tersebut berada di timur PLTU Cirebon unit 1 kapasitas 1x660 MW dan berada
diantara dua sungai yaitu Sungai Kanci di sebelah barat dan Sungai Cipaluh di
sebelah timur. Sebelah selatan dibatasi oleh jalan provinsi yang menghubungkan
Kota Cirebon dan Kota Tegal (jalur Pantura) sedangkan sebelah utara berbatasan
dengan Laut Jawa. Dalam tahap pembangunan hingga produksi kegiatan PT.
Cirebon Energi Prasarana akan menimbukan berbagai macam dampak, dari aspek
sosial, kimia fisika, dan secara biologi, dalam penelitian ini akan memfokuskan
hipotetik dampak kebisingan yang di akibatkan kegiatan PT. Cirebon Energi
Prasarana yang dapat menggangu perkerja dan warga.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak
dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat
menmbulkan ketulian

1
1.2. Batas Proyek
Batas wilayah proyek merupakan ruang tempat suatu rencana kegiatan dimana akan
melakukan kegiatan, baik pada Tahap Pra Konstruksi, Konstruksi dan Operasi.
Batas proyek dalam kegiatan pembangunan PLTU Cirebon kapasitas 1x1.000 MW
adalah area yang akan dibebaskan oleh Pemrakarsa dan menjadi bagian dari area
operasi PLTU Cirebon kapasitas 1x1.000 MW, yaitu seluas 40,03 Ha dari luas lahan
yang dimiliki yaitu seluas 204,3 Ha. Di luar lahan seluas tersebut, wilayah laut yang
akan dibangun jetty, yaitu sejauh 1,67 mil laut (2,7 km) ke arah utara juga termasuk
di dalam batas proyek kegiatan ini (Gambar 1.1).

Gambar 1.1.
Batas wilayah proyek PLTU Cirebon

2
BAB II
METODE

Metode dalam menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat yaitu dengan
menggambarkan sifat-sifat dari beberapa fenomena, pemilihan alat untuk
mengumpulkan data, prosedur-prosedur yang dilaksanakan serta kondisi di
lapangan. Hasil penelitian terapan diarahkan kepada pengambilan pemecahan
masalah nyata. Area produksi dipilih menjadi titik pengambilan data karena
tingkat kebisingan di area produksi sangat tinggi dan dapat melebihi 85 dB.
Besarnya tingkat kebisingan tersebut merupakan nilai ambang batas (NAB) SNI
No. 16-7063-2004 untuk 8 jam kerja.
Area produksi memiliki jumlah operator yang terkena dampak dari kebisingan
Pengukuran kebisingan dapat ditentukan berdasarkan posisi operator area
produksi, Pengukuran dilakukan sesuai dengan shift kerja , waktu pengukuran
tingkat kebisingan dilakukan pada pukul 08.00 WIB dan 10.30 WIB untuk shift
1. Waktu pengukuran tingkat kebisingan dilakukan pada pukul 15.00WIB,
17.30 WIB, dan 20.00 WIB, untuk shift 2. Pengukuran dapat dilakukan dengan
menggunakan alat krisbow 4 in 1 multi-function environment meter. Alat ini
dapat mengukur tingkat kebisingan, temperature, kelembaban, dan
pencahayaan.

Gambar 1.2
krisbow 4 in 1 multi-function environment meter

3
pengumpulan data dilakukan secara obsevasi dengan pengamatan secara
langsung di area produksi. Data yang di tinjau adalah data kebisingan.
Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan pada jam kerja sesuai dengan
penerapan shift yang berlangsung.
mekanisme prosedur pengumpulan data dalam metode ini adalah :
1. Menyiapkan alat krisbow 4 in 1 multi-function environment meter
2. Durasi kerja sesuai dengan jam kerja
3. Mengukur tingkat kebisingan pada titik yang telah ditentukan
4. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan sesuai jam kerja (shift), sesuai
petunjuk pengukuran tingkat kebisingan yang terlampir pada ketetapan
pemerintah melaui keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996
tentang baku tingkat kebisingan yaitu minimal 4 waktu pengukuran untuk siang
hari.
Perhitungan kebisingan menggunakan tingkat ekuivalen (leq) dengan rumusan
berikut:

Leq = Tingkat bunyi equivalen (dB)


Ld = Tingkat bunyi pada siang hari (dB)
Ln = Tingkat bunyi pada maalm hari (dB)
T = Periode waktu pengukuran
F = Fraksi waktu pengukuran (untuk 3 hari = 1/3)

Interval waktu sesuai peraturan KEP48/MENLH/11/1996 dengan waktu


pengukuran selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada siang hari tingkat
aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06.00-22.00.
tingkat kebisingan yang mewakili waktu siang hari diperoleh dari perhitungan

4
tingkat kebisingan ekuivalen pada pukul 08.00 WIB, 10.30WIB, 15.00 WIB, 17.30
WIB, dan 20.00 WIB dengan menggunakan rumus :

f1=fraksi waktu mewakili 06:00-09:00 = 3/16


f2= fraksi waktu mewakili 09:00-11:00 = 2/16
f3= fraksi waktu mewakili 14:00-17:00 = 3/16
f4= fraksi waktu mewakili 17:00-19:00 = 2/16
f5= fraksi waktu mewakili 19:00-22:00 = 3/16

Untuk perhitungan waktu terpapar kebisingan digunakan interpolasi dari Tabel 3.4
BAB III. Maka rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

Keterangan:
NI: Nilai Interpolasi
A : Nilai titik terendah durasi waktu
B : Nilai titik Tertinggi durasi waktu
C : Titik interpolasi yang akan dicari
D : Hasil di Tabel 1. yang ditunjukkan oleh titik A
E : Hasil di Tabel 1.yang ditunjukkan oleh titik B

5
BAB III
DASAR TEORI

3.1. Kebisingan
Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari suatu kegiatan dalam tingkat
dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan. Pengukuran kebisingan dilakukan di lokasi yang sama
dengan pengukuran kualitas udara ambien dengan menggunakan integrated sound
level meter yang mempunyai fasilitas pengukuran LTM5 yaitu Leq dengan waktu
ukur setiap 5 detik dan dilakukan pengukuran selama 10 (sepuluh) menit. Waktu
pengukuran dilakukan selama aktivitas 24 jam (LSM) yang dibagi dalam interval
waktu malam yaitu pukul 22.00-06.00 (LM) dan interval waktu siang yaitu pukul
06.00-22.00 (LS) sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
48 tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan. Tingkat kebisingan suatu lokasi
menunjukkan ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalam satuan desibel atau
disingkat dengan notasi dB(A). Tingkat kebisingan (nilai LSM) yang diukur akan
dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan yang ditetapkan dengan
toleransi +3 dB(A). Gambaran tingkat kebisingan sebagai data awal di wilayah
studi diperoleh dengan pengukuran secara langsung di lapangan. Hasil pengukuran
kebisingan di seluruh lokasi pengukuran ditampilkan dalam Tabel 3.1. berikut.
Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa tingkat
kebisingan umumnya masih memenuhi ambang batas yang ditetapkan untuk areal
pemukiman. Sedangkan untuk lokasi AQN-05 yang melebihi baku mutu lebih
disebabkan karena pengaruh arus lalu lintas kendaraan yang terjadi pada saat
pengukuran kebisingan diantara jam 14.00- 17.00 dan 03.00-06.00.

6
Tabel 3.1.
Hasil pengukuran kebisingan wiliyah studi

Parameter Unit AQN-01 AQN-02 (KLHK) AQN-03 (Pintu PLTU2)


TW I TW II TW I TW II
2015 2016 2015 2016
2017 2017 2017 2017
Kebisingan siang (LS) dB(A) 46,1 50,1 56,73 62,63 57,58 50,8 74,36 69,48 69,93
Kebisingan malam (LM) dB(A) 48,9 46,5 57,32 59,49 57,80 50,9 71,89 66,45 56,03
Kebisingan siang-malam (LSM) dB(A) 50,3 50,6 59,45 63,43 60,07 53,2 75,38 70,24 68,44
Baku mutu dB(A) 55+3 65+3 65+3 65+3 65+3 70+3 70+3 70+3 70+3
Sumber: Data Primer, Desember 2015; Tahun 2016 dan Tahun 2017.
Keterangan: Baku mutu sesuai dengan KepmenLH No. 48/1996 peruntukkan area pemukiman

Tabel 3.2.
Lanjutan Tabel 1.1. hasil pengukuran kebisingan di wilayah studi

Parameter Unit AQN-04 Area Power Plant AQN-05 AQN-06

TW I TW I
2015 2016 2015 2015
2017 2017
Kebisingan siang (LS) dB(A) 47,4 72,72 67,48 51,91 54,2 53,7
Kebisingan malam (LM) dB(A) 49,7 47,89 66,45 51,89 56,5 48,8
Kebisingan siang-malam (LSM) dB(A) 51,3 70,99 69,24 54,25 58,1 53,8
Baku mutu dB(A) 70+3 70+3 70+3 70+3 55+3 55+3
Sumber: Data Primer, Desember 2015; Tahun 2016 dan Tahun 2017.
Keterangan: Baku mutu sesuai dengan KepmenLH No. 48/1996 peruntukkan area pemukiman

Hasil pemantauan tingkat kebisingan menunjukkan hampir semua lokasi masih


memenuhi baku tingkat kebisingan, kecuali pada Kanci Kulon yang melampaui
baku mutu disebabkan letaknya yang berdekatan dengan jalan raya negara Tegal -
Cirebon (Tabel 3.3.).

7
Tabel 3.3.
Lokasi dan hasil pemantauan kebisingan PLTU Cirebon Kapasitas 1x660 MW.

Hasil Pengukuran dB(A) Baku


No. Lokasi Kode Semester I 2014 Semester II 2014 Semester I 2015 Semester II 2015 mutu
dB(A)
LS LM LSM LS LM LSM LS LM LSM LS LM LSM
1 Area Cooling Tower Crb U01 66,32 68,78 66,43 67,47 67,5 67,48 70,7 70,03 70,49 67,70 67,52 67,64 70 +3
2 Sebelah Timur Area Coal Yard Crb U02 59,27 58,35 58,98 61,16 63,29 61,99 63,96 60,21 63,03 61,27 63,39 62,10 70 +3
3 Area sebelah Tenggara Ash Pond Crb U03 63,24 64,12 63,04 57,59 57,14 57,45 57,69 59,97 58,59 57,33 57,93 57,54 70 +3
4 Helipad Belakang Kantor CPS Crb U04 59,38 58,68 59,89 55,77 54,76 55,46 54,82 55,25 54,97 59,91 59,62 59,81 70 +3
Area Lintasan Tower Listrik Desa
5 Crb U05 59,28 56,80 58,6 56,22 53,41 55,47 54,02 51,9 53,42 54,26 52,44 53,74 55 +3
Waruduwur
Area Pemantauan Udara PLTU CIREBON
6 Crb U06 57,56 56,58 57,26 52,95 50,84 52.35 52,39 52,39 51,48 47,89 47,18 47,67 55 +3
Cirebon Desa Banjarwangunan
Area Ladang Garam (pinggir jalan raya,
7 Crb U07 61,46 60,23 61,08 54,93 52,83 54,33 54,45 52,82 53,97 57,67 57,40 57,58 55 +3
desa Asanamukti)
8 Depan rumah Bp. Sobadin Kanci Kemis Crb U08 58,78 56,7 58,19 52,54 51,6 52,25 53,15 48,01 52,01 53,82 51,89 53,27 55 +3
Pemukiman penduduk Dusun
9 Crb U09 57,53 61,28 59,17 54,1 50 53,11 49,26 50,88 49,87 45,92 41,92 44,95 55 +3
Pengarengan
10 Balai Desa Kanci Kulon Crb U10 58,3 53,49 57,2 56,5 50,31 55,23 52,99 43,45 51,46 57,49 54,52 56,70 55 +3
11 Area Dermaga Crb U11 66,21 68,76 67,45 72,07 74,15 72,88 70,66 73,69 71,92 71,23 70,70 71,06 70 +3
Sumber: Laporan pelaksanaan RKL-RPL CEP, 2014 dan 2015. Keterangan: LS = Leq selama siang hari; LM = Leq selama malam hari; LSM
= Leq selama siang dan malam hari.

8
3.2. Suber Kebisingan
Sumber kebisingan adalah gangguan yang bersumser dari suatu kegiatan yang
mucul dari benda bergerak ataupun yang tidak bergerak. Umumnya sumber
kebisingan dapat berasal dari kegiatan industri, kendaraan, perdagangan,
pembangunan, alat pembangkit tenaga, alat pengangkut kegiatan rumah tangga, dan
lain-lain. Di Industri, sumber kebisingan dapat di klasifikasikan menjadi 3 macam,
yaitu :
1. Mesin : Kebisingan yang ditimbulkan oleh aktifitas mesin.
2. Vibrasi : Kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang ditimbulkan
akibat gesekan, benturan atau ketidak seimbangan gerakan bagian mesin.
Terjadi pada roda gigi, roda gila, batang torsi, piston, fan, bearing, dan lain-
lain.
3. Pergerakan udara, gas dan cairan Kebisingan ini di timbulkan akibat
pergerakan udara, gas, dan cairan dalam kegiatan proses kerja industri
misalnya pada pipa penyalur cairan gas, outlet pipa, gas buang, jet, flare
boom, dan lain-lain.

3.3.Katagori Kebisingan
Berdasarkan frekuensi tingkat tekanan bunyi, tingkat bunyi dan tenaga bunyi maka
bising dibagi dalam tiga kategori yaitu audible noise, occupational noise, dan
impuls noise (Gabriel JF, 1996)

1. Audible noise (bising pendengaran), bising ini disebabkan oleh frekuensi


bunyi atau 31,5 – 8.000 Hz.
2. Occupational noie (bising berhubungan dengan pekerjaan), bising yang
disebabkan oleh bunyi mesin ditempat kerja.
3. Impuls Noise (impact noise = bising impulsive), bising yang terjadi akibat
adanya bunyi yang menyentak. Misalnya pukulan palu, ledakan, mriam,
tambakan bedil dan lain –lain.

3.3.1. Jenis Kebisingan


a. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas. Bising ini
relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut
– turut. Misalnya mesin, kipas angin, dan dapur pijar.

9
b. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit. Bising ini
juga relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja
(pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 hz). Misalnya gergaji serkuler, katup
gas.
c. Bising terputus – putus (Intermitten). Bising ini tidak terjadi secara terus –
menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu lintas,
kebisingan di lapangan terbang.
d. Bising Impulsif
Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam
waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Misalnya
tembakan, suara ledakan mercon, meriam.

e. Bising Impulsif Berulang


Sama dengan bising impulsif, hanya saja disini terjadi secara berulang –
ulang. Misalnya mesin tempa.
Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas :
a. Bising yang mengganggu (Irritating noise). Intensitas tidak terlalu keras.
Misalnya mendengkur.
b. Bising yang menutupi (Masking Noise) . Merupakan bunyi yang menutupi
pendengarn yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda
bahaya tenggelam dalam bising dari sumber lain.
c. Bising yang merusak (damaging/ injurious noise)
bunyi yang intensitasnya melampaui NAB. Bunyi jenis ini akan merusak atau
menurunkan fungsi pendengaran.
3.4. Pengukuran Kebisingan.
3.4.1. Alat Alat Yang diperlukan
Untuk mengukur kebisingan di lingkungan kerja dapat dilakukan dengan
menggunakan alat Sound Level Meter. Terdapat dua jenis peralatan sound level
meter yaitu sound level meter biasa dan Integrating Sound Level Meter. Sound
Level meter biasa dapat melakukan pengukuran nilai sesaat diri nilai kebisingan
dalam satuan dB sedangkan Integrating Sound Level meter merupakan sound Level
meter yang memiliki kemampuan untuk menyimpan hasil pengukuran jika
dihubungkan dengan komputer.

10
3.4.2. Peta Laboratorium
Ada tiga cara atau metode pengukuran kebisingan di lokasi kerja yaitu pengukuran
dengan titik sampling, pengukuran dengan peta contur, pengukuran dengan grid.
Peta laboratorium diperlukan pada metode pengukuran dengan peta contur dan
Pengukuran dengan Grid.

3.4.3. Metode Pegukuran


Seperti di sebutkan sebelumnya tiga cara atau metode pengukuran kebisingan di
lokasi kerja yaitu pengukuran dengan titik sampling, pengukuran dengan peta
contur dan pengukuran dengan grid berikut akan dijelaskan masing pasing metode
pengukuran diatas.
1. Pengukuran dengan titik sampling Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan
diduga melebihi ambang batas hanya pada satu atau beberapa lokasi saja.
Pengukuran ini juga dapat dilakukan untuk mengevalusai kebisingan yang
disebabkan oleh suatu peralatan sederhana, misalnya Kompresor/generator.
Jarak pengukuran dari sumber harus dicantumkan, misal 3 meter dari ketinggian
1 meter. Selain itu juga harus diperhatikan arah mikrofon alat pengukur yang
digunakan.
2. Pengukuran dengan peta kontur Pengukuran dengan membuat peta kontur
sangat bermanfaat dalam mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat
menentukan gambar tentang kondisi kebisingan dalam cakupan area.
Pengukuran ini dilakukan dengan membuat gambar isoplet pada kertas berskala
yang sesuai dengan pengukuran yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan
untuk menggambarkan keadaan kebisingan, warna hijau untuk kebisingan
dengan intensitas dibawah 85 dBA warna orange untuk tingkat kebisingan yang
tinggi diatas 90 dBA, warna kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara
85 – 90 dBA.
3. Pengukuran dengan Grid Untuk mengukur dengan Grid adalah dengan
membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang di inginkan. Titik–titik
sampling harus dibuat dengan jarak interval yang sama diseluruh lokasi. Jadi
dalam pengukuran lokasi dibagi menjadi beberpa kotak yang berukuran dan
jarak yang sama, misalnya : 10 x 10 m. kotak tersebut ditandai dengan baris dan
kolom untuk memudahkan identitas.

11
3.5. Zona Kebisingan
Standard Kebisingan Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.718/Men/Kes/Per/XI/1987, tentang kebisingan yang berhubungan dengan
kesehatan Daerah dibagi sesuai dengan titik kebisingan yang diizinkan
1. Zona A : Intensitas 35 – 45 dB. Zona yang diperuntukkan bagi tempat
penelitian, RS, tempat perawatan kesehatan/sosial & sejenisnya.
2. Zona B : Intensitas 45 – 55 dB. Zona yang diperuntukkan bagi perumahan,
tempat Pendidikan dan rekreasi.
3. Zona C : Intensitas 50 – 60 dB. Zona yang diperuntukkan bagi perkantoran,
Perdagangan dan pasar.
4. Zona D : Intensitas 60 – 70 dB. Zona yang diperuntukkan bagi industri, pabrik,
stasiun KA, terminal bis dan sejenisnya.

Zona Kebisingan menurut IATA (International Air Transportation Association)


1. Zona A: intensitas > 150 dB → daerah berbahaya dan harus dihindari
2. Zona B: intensitas 135-150 dB → individu yang terpapar perlu memakai
pelindung telinga (earmuff dan earplug)
3. Zona C: 115-135 dB → perlu memakai earmuff
4. Zona D: 100-115 dB → perlu memakai earplug

3.6. Nilai Ambang Batas Kebisingan


NAB kebisingan adalah angka dB yang dianggap aman untuk sebagian besar tenaga
kerja bila bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu.

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. SE-
01/MEN/1978, Nilai Ambang Batas untuk kebisingan di tempat kerja ada;ah
intensitas tertingi dan merupakan nilai rata – rata yang masih dapat diterima tenaga
kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetao untuk waktu terus
menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya.
Waktu maksimum untuk bekrja adalah sebagai berikut :

a. 82 dB : 16 jam per hari


b. 85 dB : 8 jam per hari
c. 88 dB : 4 jam per hari
d. 91 dB : 2 jam per hari

12
e. 97 dB : 1 jam per hari
f. 100 dB : ¼ jam per hari

Nilai ambang Batas Kebisingan Nilai Ambang Kebisingan Menurut Kep Menaker
No. KEP-51/MEN/1999 adalah angka 85 dB yang dianggap aman untuk sebagian
besar tenaga kerja bila bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu.

Nilai Ambang Batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi
dan merupakan rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa
mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus-menerus tidak
lebih dari dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya. Berikut Batas maximum
berkerja dalam tingkat kebisingan tertentu (3.1)

Tebel 3.4
Tingkat kebisingan dan batas durasi pemaparan Kebisingan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor


Kep-51/MEN/1999 tentang Batas
Kebisingan Maksimum dalam Area Kerja
Durasi kontak Batas kebisingan
dalam sehari maksimum
16 jam 82 dBA
8 jam 85 dBA
4 jam 88 dBA
2 jam 91 dBA
1 jam 94 dBA
30 menit 97 dBA
15 menit 100 dBA
7.5 menit 103 dBA
3.75 menit 106 dBA
1.88 menit 109 dBA
0.94 menit 112 dBA
28.12 detik 115 dBA
14.06 detik 118 dBA
7.03 detik 121 dBA
3.52 detik 124 dBA
1.76 detik 127 dBA
0.88 detik 130 dBA
0.44 detik 133 dBA
0.22 detik 136 dBA
0.11 detik 139 dBA
Tidak boleh 140 dBA
Sumber : Kep-51/MEN/1999 tentang Batas Kebisingan Maksimum dalam Area Kerja

13
3.7. Faktor Yang Berhubungan Dengan Bahaya Kebisingan
Bahaya bising dihubungkan dengan beberapa faktor :

1. Intensitas
Intensitas bunyi yang ditangkap oleh telinga berbanding langsung dengan
logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan getaran dalam rentang
yang dapat didengar. Jadi, tingkat tekanan bunyi diukur dengan skala
logaritma dalam desibel (dB)

2. Frekuensi
Frekuensi bunyi yang dapat didengar telinga manusia terletak antara 16
hingga 20.000 Hz. Frekuensi bicara terdapat dalm rentang 250 – 4.000 Hz.
Bunyi frekuensi tinggi adalah yang paling berbahaya

3. Durasi
Efek bising yang merugikan sebanding dengan lamanya paparan, dan
kelihatannya berhubungan dengan jumlah total energi yang mencapai
telinga dalam. Jadi perlu untuk mengukur semua elemen lingkungan
akustik. Untuk tujuan ini digunakan pengukur bising yang dapat merekam
dan memadukan bunyi.

4. Sifat
Mengacu pada distribusi energi bunyi terhadap waktu (stabil, berfluktuasi,
intermiten). Bising impulsif (satu atau lebih lonjakan energi bunyi dengan
durasi kurang 1 detik) sangat berbahaya.

3.7.1. Gangguan Pendengaran


Gangguan pendengaran adalah perubahan pada tingkat pendengaran yang berakibat
kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam hal memahami
pembicaraan. Menurut ISO derajat ketulian sebagai berikut :

 Jika peningkatan ambang dengar antara 0 - < 25 dB, masih normal


 Jika peningkatan ambang dengar antara 26 – 40 dB, disebut tuli ringan
 Jika peningkatan ambang dengar antara 41 – 60 dB, disebut tuli sedang
 Jika peningkatan ambang dengar antara 61 – 90 dB, disebut tuli berat
 Jika peningkatan ambang dengar antara > 90 dB disebut tuli sangat berat

Bising menyebabkan berbagai gangguan terhadap tenaga kerja, seperti gangguan


fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian, atau ada yang
menggolongkan gangguannya berupa gangguan auditory, misalnya gangguan

14
terhadap pendengaran dan gangguan non auditory seperti komunikasi terganggu,
ancaman bahaya keselamatan, menurunnya performance kerja, kelelahan dan
stress.

1. Gangguan Fisiologis
Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, basal
metabolisme, konstruksi pembuluh darah kecil terutama pada bagian kaki,
dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan Psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,
susah tidur, emosi dan lain –lain. Pemaparan jangka waktu lama dapat
menimbulkan penyakit, psikosomatik seperti gastritis, penyakit jantung
koroner, dan lain –lain.
3. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan
mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerja baru yang belum
berpengalaman. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan
mengakibatkan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja,
karena tidak mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunya
akan dapat menurunkan mutu pekerjaan dan produktifitas kerja
4. Gangguan Keseimbangan
Gangguan keseimbangan ini mengakibatkan gangguan fisiologis seperti
kepala pusing, mual dan lain –lain.
5. Gangguan terhadap pendengaran (Ketulian)
Diantara sekian banyak gangguan yang ditimbulkan oleh bising,
gangguan terhadap pendengaran adalah gangguan yang paling seirus karena
dapat menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian ini
dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara tapi bila bekerja
terus menerus di tempat bising tersebut maka daya dengar akan menghilang
secara menetap atau tuli.

Tuli dibagi menjadi beberapa yaitu sebagai berikut :


a. Tuli Sementara (Temporary Treshold Shift = TTS)
Diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi,
tenaga kerja akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya
sementara. Biasanya waktu pemaparannya terlalu singkat. Apabila
kepada tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup. Daya
dengarnya akan pulih kembali kepada ambang dengar semula
dengar semula.
b. Tuli menetap (Permanent Treshold Shift = PTS)
Biasanya akibat waktu paparan yang lama (kronis). Besarnya PTS
dipengaruhi oleh faktor – faktor berikut :

15
 Tingginya level suara
 Lama pemaparan
 Spektrum suara
 Temporal pattern, bila kebisingan yang kontinyu maka
kemungkinan terjadinya TTS akan lebih besar.
 Kepekaan individu
 Pengaruh Obat – Obatan
Beberapa obat dapat memperberat (pengaruh sinergestik)
ketulian apabila diberikan bersamaan dengan kontak suara.
Misalnya quinine, aspirin, streptomycin, dan beberapa obat
lainnya.
 Keadaan kesehatan
3.8. Metode Perhitungan

LS dihitung sebagai berikut :


0.1.L1 0.1.L4
LS = 10 log 1/16 {T1.10 + … + T4.10 } dB (A)
LM dihitung sebagai berikut :
0.1.L5 0.1.L7
LM = 10 log 1/8 {T5.10 + … + T7.10 } dB (A)
Untuk mengetahui apakah kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan maka
perlu dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dengan rumus :
0.1.L 0.1(L +5)
LSM = 10 log 1/24 {16.10 S + … + 8.10 M } dB (A)

3.9. Baku Mutu Evaluasi Tingkat kebisingan


nilai baku tingkat kebisingan yang ditetapkan menurut Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 dengan toleransi +3 dB(A).

16
Tabel 3.2.
Baku Mutu Tingkat Kebisingan

Sumber : Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidupno. 48 Tahun 1996


Tanggal 25 Nopember 1996

3.10. Penanganan Dampak kebisingan terhadap keselamatan kerja


3.10.1. Perbaikan Fasilitas Kerja

Berdasarkan hasil pengukuran bahwa sebanyak 14 titik berada diatas Nilai Ambang
Batas (NAB) Kep-51/MEN/1999 dan SNI No. 16-7063-2004. Hasil ini
menunjukkan perlu dilakukan perbaikan untuk menurunkan tingkat kebisingan.
Oleh sebab itu, dilakukan penanganan perbaikan segera untuk menurunkan tingkat
kebisingan. Penanganan dilakukan dengan cara Pengendalian secara teknis
(Engineering Control). Pengendalian secara teknis dapat dilakukan dengan cara:
1. Kontrol pada sumber kebisingan dengan modifikasi kerja mesin atau mengganti
komponen sumber kebisingan. Menurut Salvendy 1997 perbaikan dapat dilakukan
dengan penggunaan muffler/silencer, penggantian noisier gear, dan hammer material.
2. Kontrol pada sepanjang jalur suara penempatan lapisan berpori di sekeliling
sumber. Menurut Salvendy (1997), perbaikan dapat dilakukan dengan
enclosure, vibration insulation, barriers, dan pembuatan kotak (housing) mesin
dengan bahan yang sesuai.

17
3. Pentingnya pendukung APT yang memadai dalam kegiatan produksi guna
menimalisir dampak kebisingan terhadap operator yang berkerja, perlunya
peredam baik di guanakan di mesin ataupun operator. Untuk menguramgi resiko
tuli permanen.

3.11. Program Konservasi Pendengaran (Hearing Conservation Program)


3.11.1. Survey Paparan Kebisingan
Identifikasi area dimana pekerja terekspose dengan level kebisingan yang
berbahaya. Pada daerah kerja yang telah ditetapkan tadi, dilakukan penelitan
tingkat kebisingan (analisis kebisingan).

Untuk mengukur tingkat intensitas digunakan Sound Level Meter, tetapi bila
ingin pengukuran lebih detail, maka menggunakan sound Level Meter yang
dilengkapi Octave Band Analyzer atau dengan menggunakan Noise Dose
Meter.
3.11.2. Test Pendengaran
Terhadap karyawan yang bekerja di area tersebut, dilakukan pemeriksaan
pendengarannya secara berkala setahun sekali. Sebelum diperiksa karyawan
harus dibebaskan dari kebisingan di tempat kerjanya selama 16 jam. Dalam
usaha memberikan perlindungan secara maksimum terhadap pekerja NIOSH
menyarankan untuk melakukan pemeriksaan audiometri sebagai berikut :

1). Sebelum bekerja atau sebelum penugasan awal di daerah yang bising
2). Secara berkala (periodik / tahunan)
Pekerja yang terpapar kebisingan > 85 dB selama 8 jam sehari, pemeriksaan
dilakukan setiap 1 tahun atau 6 bulan tergantung tingkat intensitas bising.
3) Secara khusus pada waktu tertentu
4) Pada akhir masa kerja.

Ada beberapa macam audiogram untuk pemeliharaan pendengaran yaitu :

1) Audiogram dasar (Baseline Audiogram), pada awal pekerja bekerja


dikebisingan.

2) Monitor ( Monitoring Audiogram), dilakukan kurang dari setahun setelah


audiogram sebelumnya.

18
3) Test Ulangan (Retest Audiogram)

4) Test Konfirmasi ( Confirmation Audiogram), dilakukan bagi pekerja yang


retest audiogramnya konsisten menunjukkan adanya perubahan tingkat
pendengaran.

5) Test Akhir ( Exit Audiogram), dilakukan bilamana pekerja brhenti bekerja.

3.10.3. Pengendalian Kebisingan


Isolasi
Isolasi Merupakan teknik pengendalian dengan memindahkan pekerja ke area
yang tingkat kebisingannya lebih rendah atau memperbesar jarak dari sumber
bising sehingga tingkat tekanan suara kebisingan yang sampai ke alat
pendengaran pun berkurang.5 Informan triangulasi menjelaskan ada wacana
untuk pemindahan genset dengan intensitas tingkat kebisingan mencapai 107,6
dBA ke sisi tepi agar tidak terlalu bersampingan dengan workshop
maintenance. Akan tetapi, hal ini belum bisa terealisasikan karena lahan yang
tidak memungkinkan dan pemantauan yang belum bisa jarak jauh. Namun,
untuk pembuatan workshop baru hal ini sudah dirancangkan, begitu juga
dengan penggantian welder menjadi trafo.

Rekayasa Engenering
Rekayasa engineering Teknik pengendalian ini pada umumnya dilakukan
dengan membuat atau merekayasa mesin dengan tingkat kebisingan yang
tinggi, seperti penggantian alat dari tingkat kebisingan tinggi dengan alat yang
tingkat kebisingan rendah, memodifikasi alat, menyerap kebisingan yang
dihasilkan alat/mesin, menempatkan mesin di ruang kedap bunyi dengan
ventilasi yang memadai agar mesin tidak kepanasan. Pengendalian kebisingan
di bagian penggerindaan area fabrikasi dengan teknik rekayasa engineering
belum efektif berjalan, karena tingkat kebisingan alat yang digunakan masih
melebihi NAB kebisingan. Hal ini sebanding dengan penelitian Arini yang
menyatakan bahwa pengendalian kebisingan dengan metode engineering /
rekayasa mesin lebih efektif dan efisien dalam mengendalikan kebisingan
dibandingkan dengan metode pengendalian kebisingan lainnya berdasarkan

19
teknik hirarki pengendalian bahaya. Sehingga perusahaan harus
memprioritaskan penghilangan penyebab bahaya kebisingan dalam
pengendalian kebisingan.

Administratif
Administratif Pengendalian ini dapat dilakukan dengan mengurangi waktu
pemajanan terhadap pekerja dengan cara pengaturan waktu kerja dan istirahat,
sehinga waktu kerja dari pekerja masih berada dalam batas aman. Pengaturan
waktu kerja ini disesuaikan antara pemajanan intensitas kebisingan dengan
waktu maksimum yang diizinkan untuk setiap area kerja. Yang dimaksud
dengan pengaturan waktu kerja dan istirahat adalah jika pekerja sudah berada
di lingkungan kerja yang bising sesuai dengan batas waktu yang diperbolehkan,
maka pekerja tersebut harus istirahat meninggalkan tempat kerja tersebut
selama beberapa menit dan kembali lagi ke tempat kerja tersebut untuk bekerja
seperti biasa.7 Pengendalian administratif lainnya dilakukan dengan cara
mengatur jadwal kerja, rotasi pekerja, dan membuat peraturan perundangan
dari setiap langkah operasional maintenance yang mengikuti Standar Operation
Procedure (SOP) sesuai dengan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Berdasarkan hasil wawancara pekerja di bagian penggerindaan bekerja dalam
2 shift kerja, lama kerja 12 jam dengan waktu istirahat 60 menit. Kondisi area
kerja yang tingkat kebisingannya tinggi jam kerja tersebut melebihi ambang
batas yang ditentukan. Perusahaan tidak dapat mengurangi jam kerja karena
jumlah SDM yang belum bisa mengcover untuk disesuaikan dengan waktu
yang ditentukan.

Alat Pelindung Diri (APD)


Alat Pelindung Diri Pengendalian dengan pemberian dan kewajiban pekerja
dalam pemakaian APD merupakan alternatif terakhir yang harus dilakukan jika
urutan hirarki pengendalian bahaya tidak bisa berjalan serta menyesuaikan
dengan kemampuan ekonomi perusahaan. Jenis alat pelindung telinga yang
diberikan perusahaan untuk area fabrikasi yaitu jenis ear plug dengan merrk
Airsoft seri EN352 dengan NRR 27 dBA. Hal ini dapat diartikan bahwa alat
pelindung telinga yang diberikan perusahaan sesuai untuk pekerja di area

20
kebisingan dengan tingkat NRR 27 dBA untuk area fabrikasi yang tingkat
kebisingan 95,6 dBA. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, masih
banyak pekerja yang tidak memakai alat pelindung telinga yang diberikan dari
perusahaan, dengan alasan tidak nyaman dan mengganggu aktivitas bekerja.
Alat pelindung telinga tersebut hanya di bawa dan di pakai sewaktu-waktu
ketika ada pengawasan saja. Pengendalian bahaya dengan menggunakan APD
sendiri tidak akan maksimal jika pekerjanya sendiri tidak menggunakan
walaupun dari pihak perusahaan telah menyediakan. Perlu adanya peraturan
dan pengawasan secara berkala yang dilakukan pemberi kerja untuk mengawal
program penyediaan APD itu sendiri. Penelitian yang membahas faktor yang
berhubungan dengan pemakaian APD pada pekerja konstruksi menjelaskan
bahwa ada hubungan peraturan dengan praktik penggunaan APD. Peraturan
yang berlaku dapat menjadi tuntutan pekerja dalam melakukan pekerjaanya,
adanya keterikatan yang tidak langsung membuat pekerja harus melakukan apa
yang telah menjadi kebijakan dalam suatu perusahaan.Informan menjelaskan
bahwa ada peraturan mengenai pemakaian alat pelindung diri, Peraturan ini
sudah tercantum dalam golden rules dan form CTI, dimana kedua form diisi
setiap kali pekerja melaksanakan induksi. Peraturan akan efektif jika ada bukti
autentiknya, yaitu bisa dilihat, akan terasa kurang efektif jika tidak terpasang
di area kerja, karena faktor ingatan pekerja yang seringkali lupa. Salah satu
kriteria kebijakan K3 harus didokumentasikan, artinya bukan hanya
diberitahukan sesaat saja, tetapi juga harus dipasang diarea kerja sehingga
dapat diketahui dan dibaca oleh semua pihak setiap waktu. Pengawasan juga
merupakan salah satu faktor penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang.
Perubahan perilaku individu dimulai dari tahap mematuhi tanpa kerelaan
melakukan sauatu tindakan dan seringkali hanya karena ingin menghindari dari
terkena hukuman (punishment) ataupun sanksi. Jika seseorang tersebut pada
dasarnya tidak patuh atau hanya untuk memperoleh imbalan dari yang
dijanjikan jika ia dapat mematuhi suatu aturan, maka biasanya perubahan
perilaku yang terjadi hanya sementara, artinya bahwa tindakan tersebut
dilakukan selam masih ada pengawasan. Namun apabila pengawasannya
mengendur perilaku itu pun ditinggalkanya lagi. Ada pengawasan dari pihak

21
safety, namun pelaksanaannya belum dapat optimal, menurut informan
triangulasi pengawasan dilakukan sekali waktu jika bersamaan dengan waktu
peninjauan area maintenance. Harapan pekerja perlu diadakan pengawasan
penggunaan APD secara teratur dengan alasan karena akan membuat para
pekerja tetap merasa aman dan termonitor saat bekerja. Pengawasan dapat
dilakukan oleh pimpinan teratas ataupun pimpinan bagian. Penelitian yang
dilakukan Sumbung mengenai faktor yang berhubungan dengan penggunaan
alat pelindung diri pada tenaga kerja menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara pengawasan dengan penggunaan APD. Penelitian yang membahas
tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pekerja dalam
pemakaian alat pelindung diri (APD) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pengawasan yang dilakukan dengan kepatuhan pekerja dalam
pemakaian APD. Pengawasan merupakan kegiatan rutin dalam bentuk
observasi harian terhadap penggunaan APD yang dilakukan oleh pengawas
yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kerja
bawahannya dan memastikan mereka terus menerus menggunakannya secara
benar. Pengawasan yang kontinyu akan mempertahnkan tingkat keselamatan
dan usaha-usaha untuk meminimalisir kejadian kecelakaan kerja.

Pendidikan dan Motivasi


Semua pekerja yang berhak mengikuti progam konservasi pendengaran, harus
mendapatkan pendidikan dan training yang cukup setiap tahun, baik yang
terlibat langsung maupun tidak pada program pemeliharaan pendengaran.
Pendidikan dan edukasi pada dasarnya sasarannya adalah perilaku pekerja.
Hal – hal yang relevan dan harus ada dalam program pendidikan ini adalah
sebagai berikut :
 Standart penanganan dampak kebisingan akibat kerja yang rasional
dan jelas.
 Dampak kebisingan terhadap pendengaran
 Policy / kebijakan perusahaan dengan pengontrolan yang baik yang
telah dilaksanakan maupun rencana kedepan
 Audiometri yaitu menjelaskan bagaimana peranan audiometri
dalam mencegah hilangnya pendengaran akibat kebisingan,

22
bagaimana melakukan test itu sendiri interpretasinya serta implikasi
yang timbul dari hasil test.
Tanggung jawab individual, dengan diskusi mengenai sumber kebisingan,
bagaimana mengontrolnya serta usaha mencegahnya agar tidak mengganggu
kesehatan dikemudian hari

23
BAB V
PRAKIRAAN DAMPAK PENTING

Prakiraan dampak penting dalam makala ini akan dilakukan dengan pendekatan
pertama yaitu membandingkan perubahan kondisi rona dengan adanya kegiatan dan
rona tanpa adanya kegiatan (with and without project). Skenario prakiraan dampak
adalah skenario kondisi terburuk (worst-case scenario). Apabila dihadapkan pada
keterbatasan data dan informasi, maka prakiraan dampak dilakukan dengan
pendekatan sebelum dan setelah adanya kegiatan, dengan tanpa
mempertimbangkan perubahan rona lingkungan secara alamiah (before and after
project).

Prakiraan besaran dampak akan dilakukan terhadap setiap komponen lingkungan


berdasarkan hasil pelingkupan tergolong sebagai dampak penting hipotetik. Satuan
dari besaran dampak adalah sesuai dengan satuan dari parameter lingkungan yang
ditinjau. Nilai parameter lingkungan tanpa proyek diasumsikan sama dengan
kondisi rona lingkungan awal. Besarnya perubahan lingkungan yang dianalisis
mencakup keseluruhan komponen lingkungan yaitu komponen fisika-kimia,
biologi dan sosial, ekonomi dan budaya serta kesehatan masyarakat. Sebelum
menentukan besaran dampak (magnitude), hubungan antara komponen lingkungan
dan kegiatan pembangunan perlu dianalisis secara mendalam. Prakiraan dampak
juga mempertimbangkan kegiatan yang telah ada.

Sehubungan dengan itu ada dua jenis metode prakiraan besaran dampak yang akan
digunakan, yaitu metoda formal dan metoda non-formal:
1. Metode formal
Metode formal merupakan penerapan formula dan perhitungan matematis
yang baku, digunakan dalam memprakirakan besaran dampak penting pada
parameter lingkungan, kemudian hasil perhitungan matematis tersebut
dibandingkan dengan nilai ambang batas atau baku mutu lingkungan yang
relevan. Metode formal akan digunakan bila tersedia cukup data kuantitatif
yang diperlukan. Bila persyaratan data kuantitatif tersebut tidak terpenuhi

24
maka prakiraan dampak akan dilakukan dengan metode yang bersifat non-
formal.
2. Metode non formal
Metode nonformal ditekankan terhadap prakiraan dampak yang tidak dapat
atau sulit digambarkan secara matematis, sehingga prakiraan dampak tidak
dapat dilakukan dengan metode formal. Dua jenis Metode non-formal yang
digunakan, yaitu: prakiraan dampak secara analogi dan penilaian para ahli
(professional judgement). Dengan metode analogi, dampak lingkungan
yang timbul diprakirakan dengan mempelajari aktivitas sejenis di daerah
lain dan/atau berlangsung pada waktu yang lampau. Penilaian para ahli
dalam menentukan prakiraan dampak didasarkan pada pengetahuan dan
pengalaman peneliti dibidangnya. Teknik ini digunakan apabila data dan
informasi terbatas, serta fenomena yang diprakirakan terjadi kurang
dipahami.

Prakiraan sifat penting dampak didasarkan pada tujuh (7) Kriteria dampak penting
sebagaimana tercantum pada penjelasan pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dan Pasal 22 ayat
2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasar tujuh kriteria dan kategori penentuan
penting/tidaknya dampak, maka tim penyusun akan melakukan telaahan
berdasarkan kajian pustaka terkait sifat dampak dengan merujuk pada tujuh kriteria
penting yang telah disiapkan. Panduan untuk menentukan dampak penting dan tidak
penting menggunakan tujuh kriteria ditampilkan pada Tabel berikut:

Tabel 5.1
Pedomna Penentu sifat penting dampak
No Kriteria Tidak Penting TP (Bila) Penting P (Bila)
Jumlah manusia Jumlah penduduk yang terkena Jumlah penduduk yang terkena dampak
terkena dampak dampak (tidak menerima manfaat) (tidak menerima manfaat) > jumlah
1
< jumlah penduduk yang penduduk yang menerima manfaat
menerima manfaat

25
Jumlah spesies Tidak ada spesies bernilai Ada spesies bernilai ekonomi
flora/fauna bernilai ekonomi
ekonomi
Jumlah spesies Tidak ada spesies yang terancam Ada spesies terancam punah dan
flora/fauna terancam punah dan dilindungi dilindungi
punah dan
dilindungi
Luas wilayah yang Rencana usaha/kegiatan tidak Rencana usaha mengakibatkan adanya
terkena dampak mengakibatkan adanya wulayah wilayah yang mengalami perubahan
yang mengalami perubahan mendasar dari segi intensitas dampak,
2 mendasar dari segi intensitas atau tidak berbaliknya dampak, atau
dampak, atau tidak berbaliknya segi komulatif dampak
dampak, atau segi komulatif
dampak
Lamanya dampak Lamanya dampak tidak Lamanya dampak tidak mengakibatkan
berlangsung mengakibatkan adanya wilayah adanya wilayah yang mengaami
yang mengaami perubahan perubahan mendasar dari segi intensitas
mendasar dari segi intensitas dampak, atau tidak berbaliknya
dampak, atau tidak berbaliknya dampak, atau segi komulatif dampak
dampak, atau segi komulatif
3 dampak
Intensitas dampak Jika besaran dampak tidak Jika besaran dampak melampaui baku
melampaui baku mutu. Untuk mutu. Untuk dampak yang tidak
dampak yang tidak memiliki baku memiliki baku mutu, menggunakan
mutu, menggunakan standart standart ilmiah yang berlaku
ilmiah yang berlaku
4 Banyaknya Hanya merupakan dampak primer Menimbulkan dampak sekunder dan
komponen lain yang dampak lanjutan
terkena dampak
5 Sifat komulif Tidak akumulatif Akumulatif tidak dapat diasimilasi oleh
dampak lingkungan
6 Berbalik tidaknya Dampak dapat dipulihkan Dampak tidak dapat dipulihkan
dampak (berbalik)
7 Kriteria lain sesuai Dampak penting negatif yang Dampak penting negatif yang
dengan ditimbulkan dapat ditanggulangi ditimbulkan tidak dapat ditanggulangi
perkembangan iptek oleh ilmu pengetahuan dan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi
teknologi yang tersedia. yang tersedia.

26
5.1. Besaran Dampak Kebisingan Pada Oprasional PLTU Cirebon
kegiatan PLTU Cirebon 1x1.000 MW, diperkirakan bahwa Tahap Operasi PLTU
Cirebon Kapasitas 1x1.000vMW berpotensi menimbulkan dampak peningkatan
kebisingan di sekitar tapak proyek akibat beroperasinya peralatan dan berbagai
kegiatan dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2.
Tingkat kebisingan yang dihasilkan dari peralatan operasional PLTU Cirebon
1x1000MW

Memperkirakan dampak kebisingan pengoperasian peralatan selama Tahap Operasi


terhadap peningkatan kebisingan di sekitar lokasi proyek digunakan perangkat
lunak sound plan yang mengacu pada ISO 9613-2 (1996). Perangkat lunak ini
menghitung tingkat kebisingan berdasarkan kondisi meteorologi lokasi studi
dengan asumsi sebagai berikut:
 Arah angin dengan sudut 45º dari arah yang menghubungkan pusat sumber
suara dan penerima kebisingan;
 Kecepatan angin antara 1meter/detik hingga 5 meter/detik yang diukur pada
ketinggian 3 meter hingga 11 meter diatas rata-rata muka tanah;
 Tinggi penerima kebisingan adalah 1,5 meter di atas muka tanah;
 Atenuasi yang disebabkan oleh tanah adalah 0,5;
 Suhu udara 25 ºC dengan kelembaban relatif 60%;

27
 Tingkat kebisingan yang dihasilkan dari pengoperasaian PLTU bersifat
konstan sebagai skenario terburuk yang terjadi selama pengoperasian PLTU
Unit 1.
Untuk menganalisa besaran dampak kebisingan terhadap penerima dampak,
digunakan dua skenario meliputi:
 Paparan kebisingan 24 jam pada pengoperasian PLTU Cirebon Kapasitas
1x1.000 MW
 Paparan kebisingan 24 jam akumulasi dari pengoperasian PLTU Cirebon
Kapasitas 1x660 MW dan PLTU Cirebon Kapasitas 1x1.000 MW.
Dampak dari operasional PLTU Cirebon Kapasitas 1x1000 MW
Berdasarkan pemodelan kebisingan menggunakan Sound Plan, diperoleh bahwa
pengoperasian PLTU Cirebon Kapasitas 1x1.000 MW diprediksi masih memenuhi
baku tingkat kebisingan sesuai dengan KepmenLH No. 48/1996 yakni dengan
tingkat kebisingan sebesar 55+3 dB(A) di wilayah pemukiman.
Dengan pertimbangan adanya atenuasi angin yang disebabkan oleh lokasi tapak
proyek berada di dekat garis pantai, maka tingkat kebisingan yang dihasilkan dari
kegiatan pengoperasian PLTU Cirebon Kapasitas 1x1.000 MW akan lebih rendah
dari 55+3 dB(A) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1
Permodelan kebisingan 24 jam pada pengoperasian PLTU Cirebon 1x1000MW

28
Dampak komulatif dari operasional PLTU Cirebon kapasitas 1x1000 MW dan
PLTU Cirebon Kabasitas 1x660 MW
Berdasarkan pemodelan kebisingan dengan skenario pengoperasian PLTU Cirebon
Kapasitas 1x1.000 MW dan PLTU Cirebon Kapasitas 1x660 MW, diperoleh bahwa
tingkat kebisingan yang dihasilkan pengoperasian dua unit PLTU diprediksi
memenuhi baku tingkat kebisingan selama 24 jam sesuai dengan Kepmen LH No.
48/1996 yakni dengan tingkat kebisingan 55+3 dBA pada wilayah pemukiman dan
70 dBA pada area proyek. Gambar 5.2. menunjukkan hasil pemodelan tingkat
kebisingan dari pengoperasian dua unit PLTU.

Gambar 5.2
Permodelan kebisingan 24 jam pada pengoperasian PLTU Cirebon kapasitas
1x660 MW dan PLTU Cirebon kapasitas 1x1000 MW
5.3. Sifat Penting Dampak Kebisingan Oprasional PLTU Cirebon
Berpedoman penetapan tingkat kepentingan dampak, maka dampak kegiatan
oprasional unit PLTU terhadap peningkatan kebisingan dapat diuraikan pada tabel
5.3 berikut:

29
Tabel 5.3.
Penentuan sifat penting dampak kegiatan operasional unit PLTU terhadap
peningkatan kebisingan
No Faktor penentuk dampak Sifat penting Keterangan
penting dampak
1 Besarnya jumlah penduduk yang TP Pemukiman terdekat dengan sumber kebisingan adalah
akan terkena dampak rencana berkisar ±700 meter, berdasarkan pemodelan
usaha dan/ atau kegiatan pengoperasian PLTU Cirebon Kapasitas 1x1.000 MW
dihasilkan bahwa tidak ada penduduk yang terkena
dampak langsung kebisingan oleh operasional unit
PLTU karena kenaikan tingkat kebisingan yang
diakibatkan oleh pengoperasian 2 unit PLTU (1x1.000
MW dan 1x660 MW) diprediksi memenuhi baku mutu
tingkat kebisingan (55+3 dB(A))..
2 Luas wilayah persebaran dampak TP Di sekitar area sumber kebisingan dengan radius kurang
dari 700 meter.
3 Lamanya dampak berlangsung P Dampak akan berlangsung selama beroperasinya unit
PLTU Cirebon Kapasitas 1x1.000 MW dan PLTU
Cirebon Kapasitas 1x660 MW.
Intensitas dampak TP Intensitas kebisingan bersifatterus menerus dan tingkat
kebisingan yang sampai ke pemukiman terdekat
memenuhi baku mutu yang ditetapkan.
4 Banyaknya komponen lingkungan P Jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
lain yang terkena dampak dampak lanjutan ke persepsi masyarakat (dampak
sekunder).
5 Sifat komulatif dampak P Dampak bersifat kumulatif karena berlangsung secara
terus menerus selama beroperasinya PLTU dan
ditimbulkan dari berbagai sumber kebisingan. Selain itu
terdapat akumulasi dampak kebisingan dari operasi
PLTU Cirebon kapasitas 1x660 MW yang saat ini telah
beroperasi.
6 Berbalik atau tidak berbalik TP Dampak dapat dipulihkan (berbalik)
dampak
7 Kriteria lain sesuai perkembangan TP Berdasarkan pemodelan tingkat kebisingan,
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi peningkatan kebisingan kumulatif dari pengoperasian
(IPTEK). dua unit PLTU (1x1.000 MW dan 1x660 MW)
diprediksi memenuhi baku tingkat kebisingan. Dengan
penerapan teknologi yang tersedia seperti noise barrier
untuk mereduksi tingkat kebisingan yang ditimbulkan
dari operasional unit PLTU akan lebih menekan tingkat
kebisingan yang dihasilkan.

30
BAB VI
KESIMPULAN

Dalam penyelesaian tugas makalah ini menggunakan metode pengambilan dan


analisi data (MPAD) untuk dampak kebisingan dapat menggunakan metode titik
sampling, metode pengukuran peta kontur, dan metode pengukuran dengan grid,
untuk menggambarkan fakta dengan nilai interpretasi yang tepat dengan
menggambarkan sifat-sifat dari beberapa fenomena atau kejadian, pemilihan alat
untuk mengumpulkan data. Alat yang dibutuhkan dalam menganalisa dampak
kebisingan dapat mengunakan alat pengukur kebisingan krisbow 4 in 1 multi-
function environment meter sebagai alat yang sedrhana Sound Level Meter, untuk
pengukuran lebih detail, maka menggunakan sound Level Meter yang dilengkapi
Octave Band Analyzer atau dengan menggunakan Noise Dose Meter.

Hasil pemodelan kebisingan dengan skenario pengoperasian PLTU Cirebon


Kapasitas 1x1.000 MW dan PLTU Cirebon Kapasitas 1x660 MW, diperoleh bahwa
tingkat kebisingan yang dihasilkan pengoperasian dua unit PLTU diprediksi
memenuhi baku tingkat kebisingan selama 24 jam sesuai dengan Kepmen LH No.
48/1996 yakni dengan tingkat kebisingan 55+3 dBA pada wilayah pemukiman dan
70 dBA pada area proyek. Membuktikan bahwa untuk wilayah pemukiman tidak
telalu berdampak akibat kebisingan karena 55+3 dBA termasuk tingkat kebisingan
normal untuk pemukiman , sedangkan diarea proyek memiliki nilai standart normal
70 dBA, dimana tidak berdampak buruk bagi kesehatan khususnya indra
pendengaran.

Perlunya dilakukan kontrol pada sumber kebisingan dengan merawat kerja mesin
atau mengganti komponen sumber kebisingan. perawatan dapat dilakukan setiap
beberapa bulan, dengan penggunaan muffler/silencer, penggantian noisier gear, dan
hammer material dapat lebih menimalisir tingkat kebisingan dari katel uap, dan
coolling tower, dan alat yang memiliki tingkat kebisingan yang tinggi.

Setiap perkerja wajib menggunakan perlengkapan APD sesuai dengan standrar dan
kebutuhan di lapangan. Ntuk menimalisir kebisingan dapat menggunakan earmuff.

31
DAFTAR PUSTAKA

ADENDUM ANDAL DAN RKL‐RPL


Kegiatan Pembangunan dan Operasional PLTU Kapasitas 1x1.1000 MW
Cirebon Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah
Kabupaten Cirebon Oleh PT Cirebon Energi Prasarana.

Barnes, Ralph M. 1980. Motion and Time Study Design and Measurement of
Work. Seventh Edition. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Cohran, William G. 2005. Teknik Penarikan Sampel. Edisi Ketiga. Jakarta: UI-
Press.

Huboyo, Haryono Setiyo. 2008. Analisis Sebaran Kebisingan Fasilitas Utility PT.
Pertamina (Persero) UP-VI Balongan Indramayu. Semarang: UNDIP.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 Tentang: Baku
Tingkat Kebisingan. Jakarta.

Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja No. KEP-51/MEN/1999. Nilai Ambang


Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. Jakarta

Indri Setyaningrum. 2014. Analisa Pengendalian Kebisingan Pada Penggerindaan


Di Area Fabrikasi Perusahaan Pertambangan. JURNAL KESEHATAN
MASYARAKAT (e-Journal), Volume 2, Nomor 4, April 2014 Online di
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm

32

Você também pode gostar