Você está na página 1de 29

IMPACT TERAPI ANTIRETROVIRAL TERHADAP CLINICAL

OUTCOME PADA PASIEN HIV/AIDS DI RSUD RADEN MATTAHER

JAMBI

NAMA : VINA RIANI

NIM : 1448201102

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terapi antiretroviral merupakan pengobatan HIV/AIDS yang mekanisme

kerjanya adalah untuk mencegah replikasi virus yang secara bertahap mengurangi

jumlah virus dalam darah sampai tidak terdeteksi, memulihkan dan memilihara

sistem kekebalan tubuh. Mengurangi angka kesakitan akibat infeksi oportunistik

sehingga meningkatkan imunitas pasien HIV (World Health Organization, 2016).


Secara global penggunaan terapi antiretroviral sebanyak 21 juta jiwa dan

telah mengurangi angka kematian karena penyebab terkait AIDS, dari puncak 1,9

juta jiwa pada tahun 2005 dan menjadi 1 juta jiwa pada tahun 2016 (UNAIDS,

2017).

*) Sari proposal ini akan diseminarkan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatn Harapan Ibu Jambi pada:
Hari / tanggal :
Pukul : WIB
Tempat : Ruang seminar Prodi Farmasi
Pembimbing : 1. Yuni Andriani, M.Si., Apt
2. Jelly Permatsari, M.Farm, Apt

Keberhasilan terapi antiretroviral bisa dilihat dengan adanya pemantauan

terapi, salah satunya adalah melihat respon terapi antireroviral dalam menekan

1
jumlah virus sampai pada tingkat yang tidak terdeteksi dan dalam meningkatkan

fungsi kekebalan tubuh. Respons terapi antiretroviral ditunjukkan dengan adanya

perbaikan ketahanan tubuh pasien HIV/AIDS, diantaranya adalah meningkatnya

jumlah CD4 dan peningkatan berat badan pasien (Yasin, Maranty, & Ningsih,

2011)

Penelitian di India dan di Myanmar menyimpulkan bahwa terapi

antiretroviral dapat mengurangi infeksi oportunistik dan viral load pasien

(Bermúdez-Aza et al., 2018; Pradhan, Majhi, & Murmu, 2018). Penelitian di

Zimbabwe menunjukkan bahwa sebagian besar pasien HIV/AIDS yang

menggunakan terapi antiretroviral memiliki clinical outcome yang baik ditandai

dengan pasien HIV/AIDS dalam 1 tahun berat badan meningkat dan CD4

meningkat (Mutasa-Apollo et al., 2014). Beberapa penelitian tersebut hanya

melihat terapi antiretroviral terhadap dua clinical outcome saja, namun belum ada

yang meneliti impact terapi antiretroviral terhadap empat clinical outcome yaitu

CD4, berat badan, infeksi oportunistik dan viral load pada pasien HIV/AIDS.

Pada penelitian (Wahyuni, 2016) di RSUD Raden Mattaher Jambi menyebutkan

bahwa pasien HIV/AIDS yang telah menjalani terapi antiretoviral termasuk dalam

kategori kepatuhan tinggi yaitu 42 pasien 93.3%. Dengan kepatuhan yang tinggi

tersebut, maka diharapkan pasien HIV/AIDS RSUD Raden Mattaher Jambi

menghasilkan clinical outcome yang positif.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai Impact Terapi Antiretroviral Terhadap Clinical

Outcome Pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Raden Mattaher Jambi.

2
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana impact terapi antiretroviral terhadap clinical outcome pada

pasien HIV/AIDS di RSUD Raden Mattaher Jambi?

1.3 Tujuan penelitian


Untuk mengetahui impact terapi antiretroviral terhadap clinical outcome

yaitu: CD4, berat badan, infeksi oportunistik, dan viral load pada pasien

HIV/AIDS di RSUD Raden Mattaher Jambi.

1.4 Manfaat penelitian


a. Sebagai salah satu sumber informasi mengenai impact terapi

antiretroviral terhadap clinical outcome pada pasien HIV/AIDS


b. Sebagai bahan informasi dan menambah wawasan mengenai

penelitian farmasi klinik, khususnya tentang impact terapi

antiretroviral terhadap clinical outcome pada pasien HIV/AIDS di

RSUD Raden Mattaher Jambi.


c. Dapat digunakan untuk data penelitian lebih lanjut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 HIV/AIDS

2.1.1 Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus RNA yang termasuk

dalam famili Retroviridae, genus Lentivirus AIDS (Acquired Immunodeficiency

Syndrome). HIV adalah Retrovirus yang mempunyai sepasang materi genetik

3
asam ribonukleat rantai tunggal (Single Stranded Ribonucleic Acid = ss-RNA)

yang identik dan enzim reverse transcriptase. HIV dapat merusak sitem kekebalan

tubuh sehingga daya tahan tubuh penderita menurun atau hilang, akibatnya

individu yang bersangkutan mudah tekena infeksi (Irianto, 2013). Virus HIV

ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina,

dan air susu ibu. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan

mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah

terjangkit penyakit infeksi (Marubenny, Aisah, & Mifbakhuddin, 2013).

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), sebenarnya bukan suatu

penyakit tetapi merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit yang disebabkan oleh

infeksi berbagai macam mikroorganisme serta keganasan lain akibat menurunnya

daya tahan/kekebalan tubuh penderita. HIV menyerang dan merusak sel-sel

limfosit T yang mempunyai peranan penting dalam sistem kekebalan seluler

(Irianto, 2013).

2.1.2 Etiologi

Etiologi AIDS adalah HIV, virus yang termasuk subfamily Lentivirinae

dari family Retroviridae, asam nukleat dari family retrovirus adalah RNA yang

mampu membentuk DNA dari RNA. Enzim transkriptase reversi menggunakan

RNA virus sebagai ‘cetakan’ untuk membentuk DNA. DNA ini bergabung dengan

kromosom induk (sel limfosit T4 dan sel magrofag) yang berfungsi sebagai

pengganda virus HIV. Waktu paruh virus berlangsung cepat. Replika virus

berjalan sangat cepat dan terus menerus. Dalam sehari sekitar 10 miliar virus

dapat diproduksi. Replika inilah yang menyebabkan kerusakan sistem kekebalan

4
tubuh. Tingginya jumlah virus dalam darah ditunjukkan dengan angka viral load,

sedangkan tingkat kerusakan sistem kekebalan tubuh ditunjukkan dengan angka

CD4 (Dipiro, 2011).

2.1.3 Cara Penularan HIV/AIDS

Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan

tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air

mata dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan dalam dalam air mata dan

keringat. Selain dari cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui:

1. Ibu hamil
a) Secara intrauterin, intrapartum, dan pospartum (ASI)
b) Angka transmisi mencapai 20-30%
c) Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga
d) Laporan lain menyatakan risiko penularan melalui ASI adalah 11-

29%
2. Jarum suntik
a) Prevalensi 5-10%
b) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum

suntik karena penyalah gunakan obat.


3. Transfusi darah
a) Risiko penularan sebesar 90%
b) Prevalensi 3-5%
4. Hubungan seksual
a) Prevalensi 70-80%
b) Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 hubungan intim.
c) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir akhir ini

dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk

menggunakan kondom, maka penularan melalui jalur ini cenderung

menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur penasun

(penggunaan narkotika suntik)(Widoyono, 2011).

5
2.1.4 Gejala

Awal gejala mungkin tidak menunjukkan gejala, bila ada, mungkin hanya

gejala seperti flu dengan demam atau ruam kulit. Banyak orang yang terinfeksi

tidak menunjukkan gejala sampai sistem imun mereka menjadi sangat lemah dan

muncul penyakit yang parah. Sebagian orang mungkin mengalami infeksi ringan

berulang, seperti infeksi herpes simplex, flu infeksi pada daerah dada, kehilangan

berat badan, kulit kering dan gatal, sebelum penyakit menjadi serius (Irianto,

2013).

Orang yang terinfeksi virus HIV tidak langsung dinyatakan AIDS karena

ada tahap-tahapan yang muncul pada periode tententu. (World Health

Organization, 2007) mengindikasikan seseorang terinfeksi dan mengidap positif

HIV kedalam empat stadium klinis.

Stadium pertama tidak ada penurunan berat badan pasien tanpa gejala, atau

terdapat pembengkakan kelenjar limfe yang berulang.

Stadium kedua penurunan berat badan <10%, ISPA berulang: sinusitis,

otitis media tonsilitis dan faringitis, herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, luka

disekitar bibir, ulkus mulut berulang, ruam kulit yang gatal, dermatitis seroboik

dan infeksi jamur pada kuku.

Stadium tiga penurunan berat badan >10% diare, demam yang tidak

diketahui penyebabnya >10 bulan, kandidiasis oral atau vaginal, oral hairy

leukoplakia TB paru dalam 1 tahun terakhir infeksi bakterial yang berat:

pneumonia, piomiosis anemia, TB limfadenopati, gingivitis/periodontitis ulseratif

6
nekrotikan akut, anemia (HB< 8 g %) netropenia (<5000/ml), trombositopeni

kronis (<50.000/ml).

Terakhir adalah stadium empat dimana pada masa ini setelah 3-5 tahun

seseorang yang mengidap virus akan mulai masuk penyakit-penyakit oportunistik

yaitu penyakit yang telah ada dalam tubuh seseorang dan berkesempatan masuk

saat kekebalan tubuh sudah hilang. Di stadium inilah orang baru bisa dikatakan

sebagai pengidap AIDS.

2.1.5 Patogenesis

HIV menempel pada limfosit sel induk melalu gp120, sehigga akan terjadi

fusi membran HIV dengan sel induk. Inti HIV kemudian masuk kedalam

sitoplasma sel induk. Didalam sel induk, HIV akan membentuk DNA HIV dari

RNA HIV melalui enzim polimerase. Enzim integrasi kemudian akan membantu

DNA HIV untuk berintegrasi dengan DNA sel induk. DNA virus dianggap oleh

tubuh sebagai DNA sel induk akan membentuk RNA dengan falsilitas sel induk,

sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan diubah oleh enzim protease menjadi

partikel HIV. Partikel itu selanjutnya mengambil selubung dari bahan sel induk

untuk dilepas sebagai virus HIV lainnya. Mekanisme penekanan pada sistem imun

akan menyebabkan penggurangan dan terganggunya jumlah dan fungsi sel

limfosit T (Widoyono, 2011).

2.1.6 Diagnosis

7
Seperti pada sindroma lainnya defesiensi imun lainnya, orang-orang yang

perlu dicurigai mendapat infeksi HIV, yaitu mereka yang mempunyai risiko tinggi

(homoseksual, pemakaian narkotika, penerimaan tranfusi darah), dan mereka

menunjukkan infeksi oportunistik atau tomur. Dalam menegakkan diagnosis untuk

HIV pertama kali dilakukan melalui pemeriksaan serologi. ELISA merupakan

cara yang cukup peka untuk mendeteksi antibodi anti-HIV. Cara ini telah

dilakukan secara rutin untuk diagnosis. Apabila diperoleh hasil positif perlu

dikomfirmasi dengan analisis “Western Blot” untuk menetukan antibodi terhadap

beberapa protein HIV seperti –p24 atau p31, gp41 dan gp120/160 (Subowo,

2010).

Metode umum untuk menegakkan diagnosa HIV meliputi:

1) ELISA (Enzyme-Linked ImmnoSorbent Assay)


Sentivitas tinggi biasanya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya

tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.


2) Western blot
Spesifitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya sulit,

mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.


3) PCR (Polymerase Chain Reaction)
Tes ini digunakan untuk:
a. Tes HIV pada bayi, karena zat antimateral masih ada pada bayi

yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologi. Seorang ibu

yang menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk

melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan

pada bayi melalui plasenta yang mengaburkan hasil pemeriksaan,

seolah olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut.

8
b. Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada

kelompok berisiko tinggi.


c. Tes kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi
d. Tes komfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sentivitas

rendah untuk HIV-2(Widoyono, 2011).

2.1.7 Upaya penceghan dan penanggulan HIV/AIDS

Cara pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan

memutuskan rantai penularan. Pencegahan dikaitkan dengan cara-cara penularan

HIV. Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang

panjang dan hingga saat ini belum ditemukan obat efektif, maka pencegahan dan

penularan menjadi sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan

peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara

penularannya.

a. Pencegahan melalui hubungan seksual


Infeksi HIV terutama terjadi melalui hubungan seksual, sehingga

pencegahan AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual, agar

terhindar dari tertularnya HIV/AIDS seeorang harus berperilaku

seksual yang aman dan bertanggung jawab.


b. Pencegahan melalui darah
Memastikan bahwa darah yang dipakai untuk transfusi tidak tercemar

dari HIV.
Penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan,

meliputi kegiatan pencegahan, penanganan, dan rehabilitas. Seperti diketahui,

penyebaran virus HIV melalui hubungan seks, jarum suntik yang tercemar,

9
transfusi darah, penularan dari ibu ke anak maupun donor darah atau donor organ

(Nana, 2016).

2.1.8 Penatalaksanaan dan pengobatan

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.

Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat menyakinkan

bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat antiretroviral,

disingkat menjadi ARV) bermamfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini

akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja

normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan

tubuh akibat HIV dan pulihnya kerentanan pasien HIV/AIDS terhadap infeksi

opurtunistik.

Secara umum, penatalaksaan pasien HIV/AIDS terdiri dari beberapa jenis,

yaitu:

1. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat

antiretroviral (ARV)
2. Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker

yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis,

hepatitis, toksoplasma, sarkoma, limfoma, karker serviks.


3. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang

lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikosial

dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan menjaga

kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka

10
kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi

oportunistik amat berkurang (Irianto, 2014).


Pengobatan antiretroviral merupakan bagian dari penggobatan HIV dan

AIDS untuk menggurangi risiko penularanan HIV, menghambat perburukan

infeksi oportunistik, meningkatkan kuliatas hidup penderita HIV, dan menurunkan

jumlah virus (viral load) dalam darah sampai tidak terdeteksi (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2014).


Pemberian ARV telah menyebabkan kondisi kesehatan pasien HIV/AIDS

menjadi jauh lebih baik. Infeksi kriptosporidiasis yang sebelumnya sukar

disebuhkan menjadi lebih mudah ditangani, infeksi oportunistik lain yang berat,

seperti virus sitomegalo dan infeksi mikrobakterium atipikal dapat disembuhkan.

Pneumoniapeneumocytis carnii pada pasien HIV/AIDS hilang timbul, biasanya

mengharuskan pasien HIV/AIDS minum obat infeksi agar tidak kambuh. Namun

sekarang dengan minum ARV secara teratur, banyak pasien HIV/AIDS yang tidak

memerlukan minum obat profilaksis terhadap pneumonia. Obat ARV terdiri dari

beberapa golongan seperti nucleoside reverse trancriptase inhibitor, non

nucleoside reverse trancriptase inhibitor, dan protease inhibitor. Tidak semua

ARV yang ada telah tersedia di Indonesia. Waktu memulai terapi harus

dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka

panjang. Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah

menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau

menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah CD4 obat ini juga

direkomendasikan (Irianto, 2014).


Pengobatan antiretroviral saat ini masih cukup efektif untuk pasien

HIV/AIDS. Terapi antiretroviral (ARV) berarti mengobati infeksi HIV dengan

11
beberapa obat. ARV tidak membunuh virus itu. Namun, ARV dapat melambatkan

pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus dilambatkan, begitu juga penyakit

HIV. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan yaitu: (Gunawan, 2009).
1. Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Reverse transcriptase (RT) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral

sebelum bergabung dengan kromosom horpes. Karena antivirus golongan ini

bekerja pada tahap awal dari replikasi HIV, obat-obat golongan ini menghambat

terjadinya infeksi akut sel yang sudah rentan, namun hanya sedikit efek yang

dapat terjadi pada sel yang sudah terinfeksi HIV. NRTI mengandung nukleutide

yang digunakan oleh enzim reverse transcriptase untuk mengubah RNA menjadi

DNA, dengan menggunakan nucleutide dari NRTI, DNA yang dihasilkan oleh

reverse transcriptase akan rusak sehingga menghambat replikasi virus. Golongan

NRTI sebagai berikut:


a. 3TC (lamivudin)

Gambar 1. Lamivudine
Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada HIV rantai dan HBV rantai DNA virus.

Resistensi: disebabkan mutasi pada rantai kodon184. Spektum aktivitas: HIV (tipe

1 dan 2) dan HVB. Indikasi: infeksi HIV dan HVB. Dosis: peroral 300 mg per

hari (150:1,2x/hari). Waktu paruh obat 12 jam. Efek samping yang ditimbulkan

asidosis laktat, hepatomegali, sakit kepala dan mual.


b. Azt (Zidovudin)

12
Gambar 2. Zidovudin
Mekanisme kerja: Zidovudin menghambat enzim reverse transciptase setelah

gugus azidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosfilirasi. Gugus AZT 5’ –

monofosfat akan bergabung pada ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat

reaksi reverse transciptase Resistensi: disebabkan oleh mutasi enzim reverse

transciptase dan resistensi silang dengan nukleosida lainnya. Spektum aktivitas:

HIV (tipe 1 dan 2). Indikasi obat HIV dalam kombinasi dengan anti-HIV lainnya.

Dosis: 600mg/hari (300 1,2x/hari). Tersedia dalam bentuk kapsul, tablet 300mg

dan sirup 5mg/ml. waktu paruh 3-4 jam. Efek samping yang ditimbulkan anemia,

neuropenia, sakit kepala dan mual.

c. Ddi (didanosin)

Gambar 3. Didanosin
Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan

pembentukan rantai DNA virus. Resistensi: disebabkan mutasi pada reverse

13
transciptase. Spektum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2). Indikasi: obat infeksi HIV

tingkat lanjut. Dosis: peroral 400 mg perhari dalam dosis tunggal atau terbagi.

Waktu paruh obat 8-24 jam. Efek samping yang ditimbulkan diare, pangkreatitis

dan neuropati feriver.


d. Tenofovir (TDF;analog nukleotida)

Gambar 4. Tenofovir
Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara

menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi: disebabkan mutasi

pada RT kodon 65. Spektum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2) dan HBV. Indikasi:

infeksi HIV dengan efavirenz, tidak boleh dikombinasikan dengan lamivudin dan

abakavir. Dosis: peroral sekali sehari 300 mg tablet. Waktu paruh obat 12,0-14,4

jam . Efek samping yang ditimbulkan mual, muntah, diare, dan flatulens.
e. Abakabir (ABC)

Gambar 5. Abakavir
Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan

pembentukan rantai DNA virus. Resistensi: disebabkan mutasi pada RT kodon

184, 65 Spektum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2). Indikasi: infeksi HIV dalam

kombinasi dengan anti HIV lainnya seperti zidovudin dan lamivudin Dosis:

14
peroral 600 mg per hari 2 tablet 300 mg. Efek samping yang ditimbulkan mual,

muntah, ruam, dan diare.


f. Stavudin (D4T)

Gambar 6. Stavudin
Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara menghentikan

pembentukan rantai DNA virus. Resistensi: disebabkan mutasi pada RT kodon 75,

50 Spektum aktivitas: HIV (tipe 1 dan 2). Indikasi: infeksi HIV, terutama HIV

tingkat lanjut, dikombinasikan dengan anti HIV lainnya. Dosis: peroral 80 mg

perhari (satu kapsul 40 mg setiap 12 jam) Efek samping yang ditimbulkan mual,

muntah, ruam, dan diare.


2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Golongan obat ini dapat menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase

dengan cara berikatan ditempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan

menginduksi perubahan konformasi pada situs aktif ini. Obat-obat golongan ini

tidak hanya memiliki kesamaan mekanisme kerja, namun juga kesamaan

toksisitas dan profil resistensi. Seperti:


a. Efavirenz (EFZ)

Gambar 7. Efavirenz

15
Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-subtrat

HIV-1RT HIV RT. Resistensi: disebabkan mutasi pada RT kodon 100,179 dan

181. Spektum aktivitas: HIV tipe 1. Indikasi: HIV-1 dalam kombinasi dengan

HIV lainnya. Dosis: peroral 600mg perhari. Waktu paruh obat 40-50 menit. Efek

samping yang ditimbulkan sakit kepala, pusing, mimpi buruk, sulit

berkonsentrasi, ruam.
b. Nevirapin (NVP)

Gambar 8. Nevirapin

Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada situs alosterik tempat ikatan non-subtrat

HIV-1RT. Resistensi: disebabkan mutasi pada rantai spektrum. Spektum aktivitas:

HIV tipe 1. Indikasi: HIV-1 dalam kombinasi dengan HIV lainnya terutama NRTI.

Dosis: peroral 200mg perhari selama 14 hari pertama, kemudian 400 mg perhari

(dua kali 200mg/hari). Waktuparuh obat 25-35 menit. Efek samping yang

ditimbulkan sakit kepala, pusing, mual, fatigu, peningkatan enzim hati dan ruam.
3. Protease Inhibitor (PI)
Golongan obat ini menghalangi kegiatan protease, sebuah enzim yang

memotong rantai protein HIV menjadi protein tertentu yang diperlukan untuk

merakit tiruan virus yang baru. Seperti:

16
a. Ritonavir (RTV)

Gambar 9. Ritonavir
Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV Protease

peptidodimetic inhibitor, Resistensi: disebabkan mutasi awal pada protease kodon

82. Spektum aktivitas: HIV tipe 1 dan 2. Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi

dengan anti-HIV lainnya. Dosis: peroral 120 mg perhari (enam kali 100mg dua

kali sehari). Waktu paruh obat 3-5 jam. Efek samping yang ditimbulkan mual,

muntah, dan diare.


b. Saquinavir (SQV)

Gambar 10. Saquinavir


Mekanisme kerja: obat ini bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV Protease

peptidodimetic inhibitor, Resistensi: disebabkan mutasi enzim Protease. Spektum

aktivitas: HIV tipe 1. Indikasi: infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti-HIV

lainnya (NRTI dan bebrapa lainnya). Dosis: peroral 600 mg (6 kapsul 200 mg soft

kapsul 3 kali sehari). Waktu paruh obat 7-12 jam. Efek samping yang ditimbulkan

mual, muntah dan nyeri abdomen.

17
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 87 tahun

2014 tentang pedoman pengobatan terapai antiretroviral (Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, 2014). Pengobatan terapi antiretroviral (ARV) dapat dimulai

pada penderita dengan syarat:


a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemerikasaan CD4, maka penetuan terapi ARV

adalah didasarkan pada stadium klinis WHO.


b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi:
1. Mulai terapi ARV pada orang terinfeksi virus HIV stadium 3 dan 4,

atau jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm


2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien HIV/AIDS dengan TB

aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah

CD4.
Sedangkan di Indonesia pengobatan pasien HIV/AIDS dewasa dengan

terapi ARV yang digunakan terbagi menjadi dua kelompok yaitu:


1) Regimen ARV lini pertama:

Pilihan pengobatan adalah kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI:

a) TDF + 3TC atau (FTC) + EFV


b) AZT + 3TC + EFV atau NVP
c) TDF + 3TC atau (FTC) + NVP

2). Regimen ARV Lini kedua

Ini pengobatan alternatif apabila lini pertama gagal:


a). AZT diganti dengan TDF + 3TC + LPV/r
b). TDF diganti dengan AZT + 3TC + LPV/r
c). NVP atau EFV diganti dengan LPV/r atau SQV/r

Obat ARV umumnya dipakai dalam gabungan dengan tiga atau lebih ARV

dari satu golongan. Hal ini disebut sebagai terapi kombinasi, atau HAART.

HAART bekerja jauh lebih baik dari pada hanya satu ARV sendiri. Cara

18
penggunaan obat ini mencegah munculnya resistensi. Produsen ARV terus

menerus berupaya untuk membuat obat lebih mudah dipakai, dan sudah

menggabung dua atau lebih jenis obat dalam satu pil (Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, 2014).

2.2 Clinical Outcome

Clinical Outcome merupakan keluaran atau hasil klinis dari sebuah terapi,

Untuk terapi antiretroviral hasil klinis yang di inginkan adalah penekanan

maksimal replikasi virus HIV, viral load kurang dari batas bawah kuantisasi yaitu

virus tidak terdeteksi (dibawah <50 copies/mL). Penurunan RNA HIV yang sangat

berhubungan dengan tanggapan terapi dalam jangka panjang namun tidak

menurunkan daya tahan tubuh, meningkatkan berat badan serta peningkatan kadar

limfosit CD4 yang sangat berhubungan dengan infeksi oportunistik (Dipiro,

2011).

2.2.1 Berat Badan

Berat badan merupakan hasil klinis yang menunjukkan keberhasilan terapi

antiretroviral (Karyadi, 2017). Berat badan merupakan acuan yang biasa

digunakan untuk menilai status gizi. Pasien HIV/AIDS yang memulai terapi ARV

dengan berat badan yang lebih tinggi akan memiliki kondisi kesehatan yang lebih

baik sehingga pasien HIV/AIDS dengan kondisi ini cenderung akan

mempertahankan terapi ARV karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV.

19
Kehilangan berat badan > 10% merupakan gejala umum yang dialami saat

terinfeksi HIV (Dalal et al., 2008).

2.2.2 CD4

Sel CD4 (cluser of differentiantion 4) adalah jenis sel darah putih atau

limfosit. Jumlah CD4 sangat penting dalam sistem kekebalan tubuh, dimana CD4

normal berkisar 500-1.600 mm3. Semakin rendah jumlah CD4 nya maka semakin

besar kerusakan yang diakibatkan HIV. Jika memiliki jumlah CD4 dibawah 200

maka dikatakan AIDS (Dipiro, 2011).

CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Jika

digunakan bersamaan dengan penilaian klinis, CD4 dapat menjadi petunjuk dini

progresivitas penyakit karena jumlah CD4 menurun lebih dahulu dibandingkan

kondisi klinis. Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV

atau penggantian obat. Jumlah CD4 dapat berfluktuasi menurut individu dan

penyakit yang dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 kali hasil pemeriksaan CD4

di bawah ambang batas sebelum ARV dimulai. (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2014).

2.2.3 Infeksi Oportunistik

Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme

yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang dengan sistem kekebalan

tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang orang dengan sistem imun yang

rendah.

20
Penyakit yang digolongkan dalam IO yang ditetapkan oleh CDC (Center

For Disease Control), diantaranya: pneumonia pneumocystis carinii, kandidas

esofageal, sarkoma kaposi, wasting syndrome, komplek mycobacterium avium,

tuberkulosis ekstrapulmonal, ensefalopati HIV, retinitis sitomegalovirus, penyakit

sitomegalovirus, toksoplasmosis pada otak, kriptosporidiosis kronis, pneumonia

rekuren, herpes simpleks kronis, limfoma imunoblastik, leukoensefalopati

multifokal progresif, kanker serviks invasif, hipoplasmosis diseminata, limfoma

burkiit, infeksi mikobakteri diseminata lain, limfoma otak primer, kandidiasis

pulmonal, koksidioidomikosis diseminata, septikemia salmonella rekuren,

isosporiasis kronis (Greenbreg, 2012).

2.2.4 Viral load

Tes viral load HIV adalah tes yang digunakan untuk mengukur jumlah

virus HIV dalam darah, sedangkan jumlah virus HIV dalam darah disebut viral

load, yang dinyatakan dalam satuan copies/mL darah. Dengan mengukur HIV

RNA didalam darah dapat secara langsung mengukur besarnya replikasi virus.

Untuk melakukan replikasi virus membutuhkan “cetakan” atau “blu print” agar

dapat menghasilkan virus baru. Tiap virus HIV membawa dua kopi RNA. Ini

artinya jika pada hasil tes didapat jumlah virus sebesar 20.000 copies/mL maka

berarti tiap mililiter dalam darah terdapat 10.000 partikel virus. Pemerikasaan ini

mulai rutin dilakukan oleh para klinis sebagai prediktor yang lebih baik dari pada

21
pemeriksaan sel limfosit T CD4 untuk memprediksi progresi perjalanan infeksi

HIV pemeriksaan viral load juga digunakan untuk menetukan efektifitas relatif

dari obat antiretroviral pada beberapa uji klinis. Kegagalan terapi disebut jika

viral load ≥5000 copies/mL terdeteksi tinggi dan >50 – 5000 copies/mL terdeteksi

rendah, keberhasilan terapi ditandai dengan viral load dibawah <50 copies/mL

tidak terdeteksi (Astari, Safitri, & P, 2011).

BAB III

PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini akan di laksanakan di Instalasi Rekam Medik RSUD Raden

Mattaher Jambi dan dilaksanakan pada bulan Juli - Desember tahun 2018.

3.2 Metode penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observisonal bersifat deskriptif yang

dilakukan secara retroprospektif terhadap Rekam Medik pasien HIV/AIDS rawat

jalan di RSUD Mattaher Jambi dengan metode purposive sampling.

3.2.1 Populasi dan sampel


1. Populasi
Pasien HIV/AIDS rawat jalan yang berobat dipoliklinik VCT RSUD

Raden Mattaher Jambi hingga tahun 2017.


2. Sampel

22
Sampel yang digunakan adalah pasien HIV/AIDS rawat jalan yang

berobat dipoliklinik VCT RSUD Raden Mattaher hingga tahun 2017

yang memenuhi kriteria inklusi.

a. kriteria inklusi

1. Pasien dengan diagnosis penyakit HIV/AIDS yang mendapatkan

terapi antiretroviral.
2. Pasien dengan atau tanpa komplikasi
3. Rekam medik pasien jelas (tertera nomor rekam medik, CD4, berat

badan, infeksi oportunistik, dan viral load pasien).


4. Pasien umur ≥17
a. kriteria ekslusi
1. Pasien yang meninggal atau putus obat
2. Pasien anak
3. Pasien yang hamil/menyusui
4. Berganti terapi ARV

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Data :

Pengambilan sampel dilakukan dengan melihat rekam medik pasien

HIV/AIDS rawat jalan yang berobat hingga tahun 2017. Data yang

diperlukan meliputi:
a. Nomor rekam medik
b. Jenis kelamin
c. Umur pasien
d. CD4 awal terapi ARV, 6 bulan terapi ARV, 12 bulan terapi ARV dan

terapi terakhir di tahun 2017


e. Berat badan awal terapi ARV, 6 bulan terapi ARV, 12 bulan terapi ARV

dan terapi terakhir di tahun 2017


f. Infeksi oportunistik awal terapi ARV, 6 bulan terapi ARV, 12 bulan

terapi ARV dan terapi terakhir di tahun 2017

23
g. Viral load awal terapi ARV, 6 bulan terapi ARV, 12 bulan terapi ARV

dan terapi terakhir di tahun 2017


h. Kombinasi obat yang diberikan
i. Lama pemberian terapi antiretroviral

3. 4 Analisa Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif dan di tuangkan

dalam bentuk persentase pada tabel. Mengenai Impact Terapi Antiretroviral

Terhadap Clinical Outcome Pada Pasien HIV/AIDS di RSUD Raden Mattaher

Jambi.

DAFTAR PUSTAKA

24
Astari, L., Safitri, Y. E., & P, D. H. (2011). Viral Load pada Infeksi HIV ( Viral
Load in HIV Infection ). Departemen/Staf Medik Fungsional Kesehatan
Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya, 31–39.

Bermúdez-Aza, E. H., Shetty, S., Ousley, J., Kyaw, N. T. T., Soe, T. T., Soe, K., …
Fernandez, M. (2018). Long-term clinical, immunological and virological
outcomes of patients on antiretroviral therapy in southern Myanmar. PLoS
ONE, 13(2), 1–15. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0191695

Dalal, R. P., MacPhail, C., Mqhayi, M., Wing, J., Feldman, C., Chersich, M. F., &
Venter, W. D. F. (2008). Characteristics and outcomes of adult patients lost to
follow-up at an antiretroviral treatment clinic in Johannesburg, South Africa.
Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes.
https://doi.org/10.1097/QAI.0b013e31815b833a

Dipiro, T. J. (2011). A Pathophysiologic Approach (edition 8). American.

Greenbreg, M. I. (2012). Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan. (R. Astikawati, Ed.)


(Jilid 3). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Gunawan, G. S. (2009). Farmakologi Dan Terapi (Edisi 5). Jakarta: FKUI.

Irianto, K. (2013). Mikrobiologi Medis. (Putra, Ed.) (Edisi). Bandung: Alfabeta.

Irianto, K. (2014). Bakteriologi, Mikologi & Virologi. (F. Zulhendri, Ed.).


Bandung: Alfbeta CV.

Karyadi, T. H. (2017). Keberhasilan Pengobatan Antiretroviral ( ARV ). Jurnal


Penyakit Dalam Indonesia, 4(1), 2–4.

Kementerian kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Nasional


Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang dewasa.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengobatan
Antiretroviral, Meteri Kesehatan Republik Indonesia § (2014).
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Marubenny, S., Aisah, S., & Mifbakhuddin, -. (2013). Perbedaan Respon Sosial
Penderita Hiv-Aids Yang Mendapat Dukungan Keluarga Dan Tidak
Mendapat Dukungan Keluarga Dibalai Kesehatan Paru Masyarakat (Bkpm)
Semarang. Jurnal Keperawatan Komunitas, 1(1), 43–51.
Mutasa-Apollo, T., Shiraishi, R. W., Takarinda, K. C., Dzangare, J., Mugurungi,
O., Murungu, J., … Woodfill, C. J. I. (2014). Patient retention, clinical
outcomes and attrition-associated factors of HIV-infected patients enrolled in

25
Zimbabwe’s National Antiretroviral Therapy Programme, 2007-2010. PLoS
ONE, 9(1), 2007–2010. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0086305

Nana, N. (2016). Konsep HIV/AIDS, Seksualitas Dan Kesehatan Reproduksi. (M.


Ari, Ed.). Jakarta: CV. Trans Info Media.

Pradhan, B., Majhi, C., & Murmu, B. (2018). Original Research Article Clinical
profiles and trends in CD4 + counts to first-line antiretroviral therapy among
HIV / AIDS patients in western part of Odisha state of India. International
Jornal of Research in Medical Sciences, 6(5), 1559–1563.

Subowo. (2010). Imunologi Klinik. (R. Bambang Hariyanto, Ed.) (Edisi ke-2).
Jakarta: CV Sagung Seto.

UNAIDS. (2017). Fact sheet - Latest global and regional statistics on the status
of the AIDS epidemic. UNAIDS. https://doi.org/2017

Wahyuni, L. (2016). Gambaran Kepatuhan Pada Pasien HIV/AIDS Yang Telah


Menjalani Terapi Antiretroviral Di Poliklinik Care Support Dan Treathment
(CST) RSUD Raden Mattaher.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis. (A. Rina, Ed.) (Edisi Kedu). Semarang:
Penerbit Erlangga.

World Health Organization. (2007). WHO case definitions of HIV for surveillance
and revised clinical staging and immunological classification of HIV-related
disease in adults and children. World Health, 52.

World Health Organization. (2016). Consolidated guidelines on the use of


antiretroviral drugs for treating and preventing HIV infection:
recommendations for a public health approach. World Health Organization,
155 p. https://doi.org/10.1016/j.jped.2014.04.007

Yasin, N. M., Maranty, H., & Ningsih, R. (2011). Analisis respon terapi pasien
HIV / AIDS Response to antiretroviral HIV / AIDS patients antiretroviral
therapy pada by. Majalah Farmasi Indonesia, 22(3), 212–222.

Lampiran 1. Jadwal Kegiatan

26
No Kegiatan Bulan ke-

1. 2. 3. 4. 5. 6.
1. Konsultasi judul
2. Survei awal

3. Revisi proposal

4. Seminar proposal

5. Persiapan dan pelaksanaan penelitian

6. Pengolahan data dan penulisan

skripsi
7. Persiapan dan pelaksanaan seminar
hasil
8. Penyempurnaan skripsi dan
persiapan ujian akhir.
9. Ujian akhir

Lampiran 2. Skema Penelitian

Penelitian

(Juli-Desember)

27
Survey awal pengambilan
data jumlah pasien
HIV/AIDS di RSUD
Raden Mattaher Jambi

Pengambilan data rekam


medik pasien HIV/AIDS di
RSUD Raden Mattaher
yang memenuhi kriteria
inklusi

Lembar Kerja

Analisa Data

Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

28
29

Você também pode gostar