Você está na página 1de 7

Pemberhentian secara Sepihak

Jika Anda merupakan pegawai tetap berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu


Tidak Tertentu (“PKWTT”), maka mengenai pemutusan hubungan kerja
(“PHK”) mekanismenya diatur dalam Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”). Syarat untuk melakukan PHK, yaitu:

Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang


diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama, pengusaha dapat melakukanpemutusan hubungan
kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

Pada dasarnya melalui Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah


disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh,
dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi PHK.

Jika PHK tidak bisa dihindarkan, tetap wajib dirundingkan oleh pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila
pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.[1]

Melihat hal tersebut, berarti PHK harus dilakukan melalui perundingan


terlebih dahulu. Barulah apabila hasil perundingan tersebut tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan
kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.[2]

Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang


dimaksud adalah mediasi hubungan industrial, konsiliasihubungan
industrial, arbitrase hubungan industrial dan pengadilan hubungan
industrial.[3]
Di Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaandisebutkan jika PHK tanpa
adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial akan
menjadi batal demi hukum. Artinya, PHK sepihak tersebut dianggap tidak
pernah terjadi dan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.[4]

Jika melihat ke dalam kasus Anda, terhadap tindakan perusahaan


memutuskan sepihak, berarti demi hukum Anda masih menjadi pegawai
perusahaan tersebut. Anda tetap harus bekerja dan perusahaan tetap harus
membayarkan upah Anda selama belum ada keputusan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Sedangkan, Jika Anda pekerja kontrak berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu


Tertentu (“PKWT”), maka apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan
kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, atau
berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak
lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.[5]

Menurut Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perjanjian kerja berakhir


apabila:

a. pekerja meninggal dunia;


b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (untuk PKWT);
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Jika perusahaan melakukan PHK secarasepihak/sewenang-wenang, maka


langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan
tindakan perusahaan kepada instansi ketenagakerjaan pada pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintahkabupaten/kota karena
merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkanPasal 178 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan.

Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah kemudian Anda


dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang sewenang-
wenang ke pengadilan hubungan industrialsebagaimana diatur dalam
ketentuanUndang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).

Selengkapnya, baca juga artikel: Bolehkah atasan mengatakan ‘Anda


Saya Pecat!’ ?

Non-Competition Clause
Pasal 31 UU Ketenagakerjaan menyebutkan:

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang


sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan
memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.

Selain itu dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (“UU Hak Asasi Manusia”), dikatakan juga
bahwa setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang
disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

Non-competition clause menurut hemat kami bertentangan dengan UU


Ketenagakerjaan dan UU Hak Asasi Manusia. Karena pada dasarnya setiap
orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak
pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Oleh karena itu, non-
competition clausepada dasarnya tidak dapat diberlakukan.

Dilihat dari segi hukum perdata tentang perjanjian, suatu perjanjian itu tidak
boleh dibuat karena paksaan. Untuk lebih jelasnya, kita perlu ketahui tentang
syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua pada 1320 KUHPer disebut syarat subjektif,
sedangkan syarat ketiga dan keempat pada 1320 KUHPer disebut syarat
objektif. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat
dibatalkan, sedangkan jika syarat objektif yang tidak dipenuhi, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum.

Kemudian, dalam Pasal 1321 KUHPer dikatakan bahwa tiada sepakat yang
sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan
paksaan atau penipuan. Dari Pasal 1320 dan 1321 KUHPer kita bisa
memahami, jika pekerja dipaksa untuk sepakat pada suatu perjanjian untuk
tidak bekerja di perusahaan sejenis setelah ia mengundurkan diri dari tempat
kerjanya yang terdahulu, maka perjanjian tersebut tidak sah dan dapat
dibatalkan.

Tetapi titik beratnya bukan hanya pada paksaan saja, melainkan apakah isi
dari perjanjian tersebut memuat suatu sebab yang halal. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa Non-competition clausebertentangan dengan UU
Ketenagakerjaan dan UU Hak Asasi Manusia, maka menurut hemat
kami non-compete clause tersebut batal demi hukum, sehingga tidak
mengikat Anda.

Selengkapnya mengenai non-competitionclause, baca artikel Masalah


Klausul Non Kompetisi (Non-Competition Clause) dalam Kontrak Kerja.

Uang Pesangon
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa jika Anda pegawai kontrak
berdasarkan PKWT dan perjanjian kerjanya diakhiri oleh perusahaan, maka
Anda berhak atas atas uang ganti rugi sebesar upah Anda sampai batas
waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Namun jika Anda adalah pegawai tetap berdasarkan PKWTT, yang mana
pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, makaPasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaanmenyebutkan:

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan


membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja
dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut:[6]

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;


b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun,
2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun,
4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun,
5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun,
7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:[7]


a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)
tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua
belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima
belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18
(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan
upah.

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:[8]

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;


b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan
15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Jika reward yang Anda maksud adalah bonus atas pekerjaan Anda, yang
telah diperjanjikan. Maka sesuai Pasal 156 ayat (4) huruf d jo. Pasal 156
ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda berhak atas rewardtersebut jika telah
ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama karena termasuk ke dalam bagian uang penggantian hak.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;


2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.

[1] Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan


[2] Pasal 151 ayat (3) UU ketenagakerjaan
[3] Pasal 1 angka 11, angka 13, angka 15, dan angka 17 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
[4] Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[5] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[7] Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[8] Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan

Você também pode gostar