Você está na página 1de 107

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil

Negara (UU ASN), PNS yang merupakan singkatan dari Pegawai Negeri Sipil

adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu untuk diangkat

sebagai aparatur sipil negara. Pasal 8 UU ASN menyatakan bahwa: “Pegawai

ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara”, sementara Pasal 10 UU ASN

menyatakan bahwa fungsi pegawai ASN adalah:

a. Pelaksana kebijakan publik


b. Pelayan publik; dan
c. Perekat dan pemersatu bangsa.

Mencermati ketentuan Pasal 8 dan 10 UU ASN tersebut, maka PNS

memiliki kedudukan dan fungsi strategis atau penting dalam proses: pelaksanaan

kebijakan dan pelayanan publik, serta mempererat persatuan dan kesatuan Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur di dalam Pasal 11 huruf a, b,

dan c UU ASN. Mengingat kedudukan dan fungsinya yang penting itu, maka

dibutuhkan sosok PNS yang berkarakter, profesional, dan berintegritas agar dapat

memberikan pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola

pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) atau asas-asas

pemerintahan umum yang baik (AUPB).

Pelayanan publik yang berkualitas akan memuaskan rakyat atau warga

negara yang dilayani. Kualitas pelayanan dapat dinilai dan diukur dari parameter-

1
parameter ketepatan waktu, kemudahan akses, akuntabilitas, keterbukaan,

efisisiensi dan efektifitas. Prasyarat untuk mencapai good and clean government

dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas adalah budaya

kerja dan disiplin kerja yang juga harus baik.

Disiplin kerja adalah keniscayaan yang harus dikelola dengan baik guna

menghasilkan kinerja pelayanan publik yang optimal. Disiplin kerja yang buruk

atau rendah akibat kontrol yang tidak baik dan tegas akan berakibat pada

rendahnya efisiensi, efektifitas dan kinerja pelayanan publik, serta dapat

mendorong PNS melakukan perbuatan menyimpang seperti kecuranngan (fraud)

dan bahkan perbuatan melawan hukum seperti penyalahgunaan wewenang yang

berujung pada pungutan liar dan/atau korupsi, sebaliknya disiplin PNS yang baik

akan menghasilkan kinerja pelayanan publik yang baik dan memuaskan.

Kinerja pelayanan publik dapat diukur dari disiplin kerja PNS. Disiplin

kerja merupakan instrumen kontrol dalam menjalankan fungsi manajemen

kepegawaian yang diatur peraturan perundang-undangan sebagai norma primer,

yaitu Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

(selanjutnya disingkat UU RI No. 43/1999) yang kemudian diganti dengan

Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

(selanjutnya disingkat UU ASN), dan Peraturan Pemerintah sebagai norma

sekunder yang mengatur pelaksanaan dari norma primer, yaitu Peraturan

Pemerintah RI Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

(selanjutnya disingkat PP RI No. 53/2010).

2
PP No, 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah

peraturan untuk melaksanakan undang-undang kepegawaian yang ditetapkan oleh

Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Peraturan disiplin pegawai negeri sipil mencakup hal-hal yang memuat

tentang kewajiban, larangan, dan jenis hukuman disiplin yang dapat dijatuhkan

kepada pegawai negeri sipil yang telah terbukti melakukan pelanggaran, mulai

dari jenis hukuman disiplin ringan, sedang, hingga berat. Ketidakdisiplinan

pegawai negeri sipil akan selalu menjadi sorotan tajam masyarakat mengingat

bagi mereka, status pegawai negeri sipil adalah sosok yang patut dijadikan contoh

dan teladan, karena dianggap sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah.

Sehingga sangat wajar apabila masyarakat memiliki keinginan dan harapan yang

lebih terhadap kinerja dan produktifitas pegawai negeri sipil.1

PP RI No. 53/2010 mengatur tentang kewajiban, larangan, dan hukuman

bagi PNS. Di dalamnya terkandung ketentuan penjatuhan hukuman yang lebih

berat daripada peraturan pemerintah sebelumnya yaitu PP RI No. 30/1980, mulai

dari penurunan pangkat setingkat lebih rendah, pemindahan dalam rangka

penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan pegawai

negeri sipil, hingga pemberhentian dengan hormat maupun tidak dengan hormat.

Pejabat yang berhak memberikan hukuman juga diperketat dengan pemberian

kewenangan bagi pejabat atasan langsung untuk menindak staf/bawahannya yang

telah dinyatakan melakukan pelanggaran disiplin, bahkan bagi pejabat yang

mengetahui bahwa ada staf-nya yang telah terbukti melakukan pelanggaran

1
Sinamo, Membangun Budaya Produktif Dan Etos Kerja PNS, di unduh dari, http://jansen-
sinamo.blogspot.com/2009/11/membangun-budaya-produktif-dan-etos.html,di unduh pada 13
Juni 2011.

3
disiplin namun pejabat yang bersangkutan tidak melakukan penindakan dengan

penjatuhan hukuman, maka pejabat yang bersangkutan justru yang akan dikenai

hukuman disiplin sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh staf-nya

tersebut.

PP RI No. 53/2010 adalah norma hukum yang mengatur tentang

administrasi negara. Menurut Roscoe Pound,2 tujuan hukum adalah untuk

melindungi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Roscoe

Pound menggolongkannya menjadi tiga kepentingan yaitu: (i) kepentingan-

kepentingan umum (public interests); (ii) kepentingan-kepentingan sosial (social

interests); (iii) kepentingan-kepentingan individu (individual interests). Tujuan

dari klasifikasi kepentingan tersebut adalah jika terjadi perselisihan kepentingan

dalam proses pembangunan khususnya benturan kepentingan umum atau sosial

dengan kepentingan individu, maka perlu diupayakan keseimbangan atau

harmonisasi kepentingan. Pada pertentangan kepentingan itu, hukum akan

memilih dan mengakui kepentingan yang lebih utama melalui penggunaan

kekuasaan. Hal ini berimplikasi pada terjadinya pengorbanan kepentingan salah

satu pihak sebagai konsekuensi dari perubahan sosial dalam skala makro yang

dikehendaki, misalnya reformasi birokrasi.

Pada konteks reformasi birokrasi, keberadaan PP RI No. 53/2010

berfungsi sebagai alat kontrol sosial (law as a tool of social control) untuk

mengendalikan perilaku PNS dan sekaligus sebagai alat rekayasa sosial (law as a

2
Elise Nalbandian, Sociological Jurisprudence - General Introduction to Concepts" Vol. 4
Mizan Law Review, No. 2.

4
tool of social engineering)3 guna membentuk karakter PNS dalam rangka

menciptakan generasi baru aparatur sipil negara yang berkarakter dan profesional

sebagai pilar penunjang utama bagi terwujudnya good and clean governance.

Efektifitas suatu peraturan hukum, termasuk PP RI No. 53/2010 dapat diukur dari

banyak sedikitnya frekuensi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh PNS,

dimana hal itu sangat ditentukan oleh pelaksanaannya di lapangan, karena sebaik

apapun suatu peraturan jika tidak dilaksanakan secara tepat, konsisten dan

konsekuen, maka peraturan tersebut tidak akan efektif dan dapat dikatakan

mengalami kegagalan di tingkat implementasinya. Sejauh ini, bagaimana

efektifitas implementasi PP RI No. 53/2010 sejak diberlakukan pada tahun 2010?

Hasil pengamatan pra penelitian di Badan Kepegawaian Daerah (BKD)


Provinsi Jawa Tengah diperoleh temuan data rekapitulasi pelanggaran disiplin
PNS Kabupaten/kota se-Jawa Tengah selama periode 2011 – 2015 sebagai
berikut:
Tabel 1. Rekapitulasi Pelanggaran Disiplin PNS di Kab/kota Se-Jawa Tengah
Selama 2011 – 2015 Berdasarkan Jenis Hukuman

Sumber: BKD Provinsi Jawa Tengah, 2017

3
Linus J. McNamanan, Social Engineering : The Legal Philosophy of Roscoe P ound, St. John’s
Law Review, Vol. 33, May 2013, p. 7-9.

5
Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa berdasarkan jenis hukuman yang

diberikan selama lima tahun sejak tahun 2011 – 2015, jumlah total kasus

pelanggaran disiplin dalam kategori ringan, sedang dan berat di seluruh

kabupaten/kota se-Jawa Tengah adalah 2429 kasus. Ditinjau dari jenis

pelanggaran disiplin yang dilakukan, maka persentase pelanggaran disiplin yang

paling menonjol adalah kategori lain-lain 34,1 %, tidak masuk kerja/mangkir

33%, perkawinan/perceraian 12,9 %, penyalahgunaan wewenang 8,3 %, dan

pidana umum 8,2 %. Secara keseluruhan jumlah kasus pelanggaran disiplin

cenderung mengalami penurunan, tetapi tidak konsisten karena setelah mengalami

penurunan sebesar 26,6 % dari tahun 2011 ke tahun 2012, pada tahun 2013

jumlah kasus pelanggaran disiplin justru naik lagi sebesar 18,4 %., dan dua tahun

berikutnya yaitu tahun 2014 dan 2015 mengalami penurunan rata-rata sebesar

10,6 %. Lebih lanjut, berdasarkan data pada tabel 1 tersebut dapat disimpulkan

bahwa selama kurun waktu empat tahun (kecuali tahun 2012 yang mengalami

kenaikan kasus pelanggaran disiplin), hanya terjadi penurunan persentase rata-rata

kasus pelanggaran disiplin sebesar 11,10 %. Persentase ini sangat kecil dan jauh

dari ekspektasi perumus peraturan ketika PP RI No. 53/2010 itu dibuat pada tahun

2010. Temuan tersebut mengindikasikan bahwa kinerja pelaksanaan PP RI No.

53/2010 adalah tidak atau kurang efektif.

Mencermati realitas empiris yang teramati melalui observasi pra penelitian

sebagaimana yang terungkap pada tabel 1, maka terdapat indikasi terjadinya

fenomena hukum berupa ketidakefektifan penegakan disiplin PNS sebagaimana

6
diatur di dalam PP RI No. 53/ 2010. Ketidakefektifan itu menimbulkan beberapa

pertanyaan antara lain:

Pertama, “Mengapa PP RI No. 53/2010 yang sudah dilengkapi dengan

sanksi hukuman yang lebih berat itu belum dapat dilaksanakan secara efektif?”

Pertanyaan itu tidak akan dapat dijawab jika hanya menggunakan cara pandang

dari perspektif hukum positif semata, tanpa disertai cara pandang lain dalam

perspektif bekerjanya hukum di ruang sosial. Hukum positif hanya melihat

persoalan secara hitam putih sebatas pada pasal-pasal yang terdapat di dalam

peraturan perundang-undangan, dalam arti ada norma hukum yang dilanggar atau

tidak. Persoalan-persoalan lain di luar hukum dikesampingkan karena hukum

tidak boleh dicampuri oleh unsur-unsur non hukum. Cara pandang yang

dipengaruhi oleh teori kemurnian hukum Hans Kelsen ini, akan mengakibatkan

hukum menjadi tumpul karena tidak dapat menjelaskan sebab-sebab mengapa

hukum tidak dapat dilaksanakan secara efektif di masyarakat.

PNS sebagai bagian dari masyarakat diperlakukan hanya sebagai objek

hukum yang diatur, dan bukan sebagai subjek hukum yang harus diperhitungkan

kepentingannya secara proporsional dalam konteks keadilan distributif. Tanpa

memperhitungkan PNS sebagai subjek hukum yang juga harus dilindungi

kepentingannya, maka upaya penerapan dan penegakan disiplin akan terhambat

oleh resistensi dan/atau ketidakpatuhan yang berujung pada pelanggaran.

Diperlukan cara pandang lain dalam perspektif sosiologi hukum, dimana

hukum dipandang sebagai alat atau instrumen yang bekerja di ruang sosial

masyarakat guna mewujudkan cita hukum yang dikehendaki yaitu tertib hukum

7
dan tertib sosial melalui penggunaan hukum sebagai alat kontrol dan rekayasa

sosial. Roscoe Pound lebih memandang hukum dari segi kenyataan atau realitas

hukum daripada kedudukan dan fungsinya bagi kehidupan masyarakat.

Kedua, “Apakah PP No. 53/2010 masih sesuai dengan kebutuhan dan

dinamika perkembangan terkini dari PNS terkait UU ASN?” Ditinjau dari sudut

kepentingan PNS, maka peraturan perundang-undangan kepegawaian sebelum

UU ASN memiliki beberapa kelemahan yang merugikan kepentingan PNS, yaitu: 4

a. Pengaruh dan intervensi politik terhadap PNS terlalu kuat;


b. Pengembangan karir PNS tidak jelas dan belum berbasis sistem merit;
c. Sistem perekrutan, penempatan, mutasi dan penetapan jabatan pegawai
yang kurang transparan.

Hal-hal tersebut dapat menjadi faktor penyebab terjadinya resistensi yang

menghambat implementasi disiplin PNS. Lebih lanjut, disiplin selalu menyangkut

perilaku, dan perilaku PNS dipengaruhi oleh budaya birokrasi sektor publik yang

telah mengalami metamorfosis sejalan dengan perubahan dan perkembangan

lingkungan internal dan eksternal. Pada lingkungan internal, telah terjadi

perubahan mendasar dari budaya birokrasi yang sentralistik dan paternalistik

menjadi desentralistik dan demokratis, sementara pada lingkungan eksternal

terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik dari sistem Old Public

Administration (OPA) dimana masyarakat diperlakukan sebagai objek yang

diatur, kemudian berubah menjadi New Public Management (NPM) dimana

masyarakat diperlakukan sebagai konsumen yang harus dilayani, dan terajhir

4
Wahyudi Kumorotomo, Kebijakan Umum Disiplin PNS: Catatan Tentang PP No. 53/2010 dan
Kebijakan Reformasi Birokrasi, https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chrome-instant
&rlz=1C1RLNS_enID728ID728&ion=1&espv=2&ie=UTF#q=Kebijakan+Umum+Disiplin+P
NS:+Catatan+tentang+PP+No.53/2010+dan+Kebijakan+Reformasi+Birokrasi+di+Indonesia

8
menjadi New Public Service (NPS) dimana masyarakat diperlakukan sebagai

warga negara yang layak diberikan haknya.

Perubahan-perubahan tersebut membutuhkan pengaturan hukum yang

sesuai dengan kekinian, dan sebagaimana biasanya hukum selalu tertinggal

dengan perkembangan masyarakatnya. Pemerintah telah membuat undang-undang

kepegawaian baru yaitu UU ASN dalam rangka melakukan regulasi guna

memenuhi kebutuhan dan menjawab tantangan di abad 21, tetapi masih

menggunakan PP RI No. 53/2010 sebagai peraturan pelaksana undang-undang

kepegawaian yang sudah tidak sesuai dengan isi dan arah kebijakan dari UU

ASN. Pada UU ASN, terdapat dua lembaga baru, yaitu Komisi Aparatur Sipil

Negara (KASN) yang bersifat independen dan mandiri di luar struktur organik

lembaga negara, dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang

belum ada pengaturan hukumnya dan tentu saja tidak tercakup oleh PP RI No.

53/2010. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat

menghambat implementasi penerapan PP RI No. 53/2010 itu sendiri.

Ketiga, “Bagaimana konsep penegakan disiplin PNS yang efektif?”.

Diperlukan konsep dan pendekatan baru dalam penegakan disiplin PNS yang

sesuai dengan bentuk, substansi dan arah kebijakan pengelolaan aparatur sipil

negara yang terkandung di dalam UU ASN.

Permasalahan-permasalahan sebagaimana yang dipaparkan di atas,

menjadi alasan bagi peneliti untuk melakukan suatu penelitian untuk mengkaji

tentang efektifitas dan relevansi penerapan PP No. 53/2010 pada saat ini, terkait

perkembangan terkini mengenai PNS sebagaimana diatur di dalam UU ASN.

9
Penelitian ini penting untuk dilaksanakan dalam rangka merumuskan suatu

pemikiran yang dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ketidakefektifan

penegakan disiplin PNS di Badan Kepegawaian Daerah provinsi Jawa Tengah

pada khususnya, dan penegakan disiplin PNS di Indonesia pada umumnya.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dilaksanakan penelitian dengan

judul: “Implementasi Disiplin Pegawai Negeri Sipil Ditinjau dari Peraturan

Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 di Badan Kepegawaian Daerah (BKD)

Provinsi Jawa Tengah”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan sebagaimana yang telah dipaparkan pada

bagian latar belakang , maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Mengapa penegakan disiplin PNS sebagaimana diatur di dalam PP RI

No. 53/2010 belum dapat dilaksanakan secara efektif?

2. Bagaimana konsep penegakan disiplin yang efektif bagi PNS menurut

perspektif UU ASN?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang efektifitas penegakan disiplin

PNS menurut perspektif PP RI No. 53/2010.

2. Untuk merumuskan konsep penegakan disiplin PNS yang efektif

menurut perspektif UU ASN.

10
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan teori Hukum

Administrasi Negara (HAN) berupa pemikiran yang dapat memperbarui

konspep dan/atau pendekatan teoritis baru dalam menghadapi

perubahan dan perkembangan terkini di bidang kepegawaian.

Perkembangan hukum selalu teringgal dari perkembangan

masyarakatnya sebagaimana yang terjadi pada saat ini, dimana dua

tahun setelah UU ASN diberlakukan pada tahun 2014, Peraturan

Pemerintah sebagai norma sekunder untuk melaksanakan amanat UU

ASN belum dibuat. Pada konteks inilah hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi referensi bagi upaya pembaharuan di bidang hukum

administrasi negara.

2. Manfaat pada tataran praktik di lapangan (praksis)

Praksis hasil penelitian ini tertuju kepada para pemangku

kepentingan (stakeholders) antara lain sebagai berikut:

a. Pemerintah (Presiden)

Hasil penelitian ini berupa konsep penegakan disiplin PNS yang

efektif diharapkan bermanfaat bagi pemerintah (Presiden dan/atau

DPR) sebagai bahan pertimbangan untuk membuat Peraturan

Pemerintah baru yang menggantikan PP No. 53/2010 yang sudah

11
tidak sesuai dengan isi, arah dan tujuan kebijakan UU ASN

mengenai terhadap aparatur sipil negara.

b. Pemerintah Daerah (Kepala Daerah)

Hasil penelitian ini berupa konsep penegakan disiplin PNS yang

efektif diharapkan bermanfaat bagi pemerintah daerah (Kepala

Daerah dan/atau DPRD) sebagai bahan pertimbangan untuk

merumuskan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang

penegakan disiplin PNS di daerah.

c. Badan Kepegawaian Daerah (BKD)

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Badan Kepegawaian

Daerah (BKD) sebagai panduan praktis dalam melaksanakan

penegakan disiplin PNS di wilayah kerjanya.

d. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuka wawasan,

membangkitkan kesadaran, dan menumbuhkan mekanisme kontrol

internal di dalam diri setiap PNS melalui internalisasi nilai-nilai

dasar ASN yang diatur di dalam UU ASN sehingga tercipta sosok

PNS yang berkarekter dan profesional.

E. Kerangka Pemikiran

Penelitian adalah proses dialektis yang melibatkan proses berpikir peneliti

dalam mengamati, memahami, menginterpretasikan serta menyusun argumentasi

mengenai gejala atau fenomena yang diamati. Pemikiran tersebut perlu disusun

dengan menggunakan metode tertentu yang disebut sebagai metode penelitian,

12
sehingga terbentuk suatu kerangka pemikiran yang tersusun secara logis dan

sistematis. Kerangka pemikiran ini berfungsi menjadi penjelasan sementara

mengenai hubungan antara gejala atau fenomena yang diamati dengan faktor-

faktor penyebab yang melatarbelakanginya.

Kerangka pemikiran pada suatu penelitian terdiri dari dua komponen,

yaitu:

1. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep adalah suatu model konseptual yang

menjelaskan hubungan-hubungan atau keterkaitan yang ada di antara

gejala atau fenomena yang diamati dengan berbagai permasalahan atau

faktor yang mempengaruhi, mendasari atau menyebabkan terjadinya

fenomena tersebut, ditinjau dari berbagai konsep teoritis yang relevan.

Berbagai konsep teoritis yang digunakan untuk menjelaskan tentang

hubungan dan/atau makna dari fenomena yang berkaitan dengan

masalah yang sedang diteliti, disusun di dalam suatu kerangka konsep

penelitian.

Kasus-kasus pelanggaran disiplin PNS adalah realitas empiris

yang merepresentasikan fenomena bahwa “apa yang terjadi atau berlaku

(das sein)” pada saat ini mengenai perilaku dan/atau praktik penegakan

disiplin PNS adalah menyimpang atau tidak sesuai dengan “apa yang

seharusnya (das solen)”. Penyimpangan menyangkut dua hal yaitu: (i)

perilaku PNS yang melanggar ketentuan PP RI No. 53/2010; dan (ii)

penerapan PP RI No. 53/2010 sebagai morma sekunder untuk

13
melaksanakan amanat UU ASN yang berbeda baik isi, arah dan tujuan

kebijakan maupun materinya. Penyimpangan itu menyebabkan

terjadinya kesenjangan empiris maupun kesenjangan normatif

sebagaimana yang diilustrasikan pada gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

FENOMENA
Pelanggaran Disiplin PNS (Perbuatan hukum publik bersegi satu)

DAS SOLEN DAS SEIN


Apa yang seharusnya Apa yang terjadi

UU RI NO. 5/2014 Ttg ASN


UU RI NO. 5/2014 Ttg ASN

PP Untuk UU ASN PP No. 53/2010 – (PP UU No. 43/1999)


- Kesenjangan isi, arah dan tujuan kebijakan
administrasi kepegawaian
- ASN terdiri dari PNS dan PPPK
- Penegakan disiplin dilaksanakan oleh lembaga
independen KASN non struktural

SANKSI HUKUMAN

KESENJANGAN
1. Kesenjangan Kebijakan (Policy Gap): Isi, arah, tujuan dri UU ASN berbeda dgn UU No, 43/1999
Tentang Perubahan UU No. */1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
2. Kesenjangan normatif (Normative Gap): Norma perilaku, etika, dan hukum pada PP 53/2010
berbeda dgn norma-norma dlm UU ASN

PERTANYAAN PENELITIAN 1. Teori Efektivitas Pene-


1. Mengapa penegakan disiplin PNS sebagaimana diatur di gakan Hukum
dlm PP RI No. 53/2010 belum dapat dilaksanakan secara efektif? 2. Teori Sistem Hukum
2. Bagaimana konsep penegakan disiplin yang efektif bagi PNS 3. Teori H.L.A. HART
menurut perspektif UU ASN? 3. Teori Disiplin

ANALISIS TEMUAN HASIL PENELITIAN

KONSEP PENEGAKAN DISIPLIN PNS YANG EFEKTIF

SIMPULAN & REKOMENDASI

Garis pelaksanaan yang berlaku saat ini


Garis pelaksanaan yang seharusnya diterapkan

14
2. Kerangka Teori

Kerangka teori disusun sebagai landasan berfikir yang

menunjukkan dan memandu peneliti dalam menentukan dari sudut

mana masalah yang telah dipilih akan disoroti.5 Kerlinger6

menyebutkan bahwa teori merupakan himpunan definisi, doktrin dan

preposisi, konsep, konstruk yang mengemukakan pandangan sistematis

tentang gejala atau fenomena dengan menjabarkan tentang hubungan

dari berbagai variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

terjadinya fenomena tersebut. Teori berguna menjadi titik tolak atau

landasan berpikir dalam menyoroti dan menganalisis masalah. Fungsi

teori sendiri adalah untuk menerangkan, meramalkan, memprediksi,

dan menemukan keterpautan fakta-fakta yang ada secara logis dan

sistematis.

Mencermati fakta-fakta dan fenomena yang terungkap melalui

pengamatan pra penelitian, maka dapat difomulasikan beberapa pokok

pikiran terkait tiga pertanyaan penelitian sebagaimana telah dipaparkan

pada rumusan masalah. Ketiga pertanyaan penelitian itu akan dikaji

dengan teori-teori berbeda yang relevan dengan substansi

permasalahannya. Teori-teori yang digunakan pada penelitian ini antara

lain adalah

5
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta,
2010, hlm.68.
6
Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Penerjemah: Landung R. Simatupang,
Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2003, hlm. 42 - 44

15
a. Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman

Teori sistem hukum Lawrence M. Friedman sangat relevan

digunakan sebagai alat analisis dalam mengkaji tentang

Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tentang Disiplin

pegawai Negeri Sipil Di Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa

Tengah, karena implementasi suatu peraturan dipengaruhi oleh

substansi peraturan hukumnya, struktur hukumnya (lembaga hukum

dan aparat penegak hukumnya, sarana prasarana), dan budaya

hukumnya. PP No. 53/2010 adalah Peraturan Pemerintah tentang

Disiplin PNS sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang RI

Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang

sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, sejak

diberlakukannya undang-undang kepegawaian yang baru, yaitu

Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil

Negara.

Menurut Friedman,7 sistem hukum terdiri atas tiga unsur

yang membentuk satu kesatuan yang bulat dan utuh, serta saling

berhubungan membentuk suatu sistem. Ketiga unsur tersebut adalah:

a) Substansi Hukum
Substansi hukum adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan
norma-norma hukum, kaidah-kaidah dan asas-asas hukum baik
yang tidak tertulis maupun yang tertulis. Norma-norma hukum
yang dipositifkan secara tertulis mencakup semua peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan norma-norma
hukum yang tidak tertulis terdapat di dalam hukum adat yang juga
diakui keberadaan dan keberlakuannya di dalam UUD NRI 1945.

7
Lawrence M. Friedman, Op. Cit.

16
b) Struktur Hukum
Struktur hukum adalah konstruksi atau bangunan hukum yang
diperlukan agar hukum dapat dioperasikan di dalam masyarakat
suatu negara. Struktur hukum meliputi: (1) Kelembagaan hukum
yang meliputi badan peradilan (Mahkamah Agung, Pengadilan
Tinggi, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Militer), Kejaksaan dan
Kepolisisan; (2) Aparat Penegak Hukum yang meliputi: hakim,
jaksa, polisi, pengacara/advokat; (3) sarana dan prasarana; dan (4)
masyarakat di mana hukum itu bekerja.

c) Kultur Hukum
Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur
atau budaya hukum merupakan predisposisi atau kecenderungan
subjek hukum untuk berperilaku tertentu, berdasarkan sistem
yang dianutnya dalam menghadapi suatu situasi yang berkaitan
dengan hukum. Misalnya, kecenderungan bersikap menerima
dan/atau patuh terhadap hukum, atau kecenderungan untuk
menolak dan/atau tidak patuh terhadap hukum.
Budaya hukum dapat dilihat perwujudannya melalui perilaku
aparatur penegak hukum dalam menjalankan hukum di
masyarakat. Budaya hukum mencerminkan bagaimana
sebenarnya sistem hukum akan dioperasionalkan. Dengan
demikian, kultur hukum merupakan penggerak bekerjanya sistem
peradilan yang berlaku di suatu negara, misalnya bagaimana
aparatur penegak hukum menjalankan hukum sistem peradilan di
setiap tingkatan pemeriksaan sampai dengan selesainya proses
peradilan.

Sistem hukum mempunyai peran dan fungsi yang amat

penting dalam penerapan dan penegakan hukum, sehingga baik

buruknya atau efektif tidaknya penerapan dan penegakan hukum

sangat ditentukan oleh baik buruknya sistem hukum yang terdapat di

dalam masyarakat suatu negara.

b. Teori Efektifitas Penegakan Hukum

Hukum sebagai norma merupakan pedoman mengenai sikap

tindak atau perilaku tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh

17
dilakukan. Sebagian pihak melihat hukum dengan metode deduktif-

rasional mengakibatkan timbulnya jalan pemikiran dogmatis. Hukum

dilihat sebagai alat kontrol mekanis yang terdiri dari seperangkat

doktrin, kaidah dan norma-norma yang dipositifkan dalam bentuk

undang-undang sehingga hukum disamakan dengan undang-undang.

Penerapan dan penegakan hukum di masyarakat sebagaimana yang

terjadi pada penerapan PP RI No. 53/2010 semata-mata hanya dilihat

sebagai upaya melaksanakan perintah undang-undang. Lebih lanjut,

pandangan ini beranggapan bahwa hukum harus terbebas dari

pengaruh faktor-faktor di luar hukum dan dibuat oleh para ahli

hukum dengan menggunakan nilai-nilai, doktrin dan kaidah-kaidah

ilmu hukum itu sendiri. Pemikiran inilah yang mendasari timbulnya

teori kemurnian hukum (the pure theory of law) yang dikemukakan

oleh Hans Kelsen. Hukum terpisah dari nilai moral dan nilai-nilai

lainnya di luar hukum.

Di pihak lain ada yang memandang hukum secara induktif-

empiris, artinya keberlakuan hukum tidak bisa dipisahkan dari

keberadaan masyarakat di mana hukum itu diterapkan basis

bekerjanya hukum adalah masyarakat. Terdapat adagium yang

mengatakan “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum (ubi

societas ubi ius) yang dapat dimaknai bahwa hukum dibuat oleh

masyarakat untuk mengatur hubungan dan interaksi sosial warga

masyarakat dalam rangka mewujudkan tertib sosial melalui tertib

18
hukum. Pada konteks ini hukum tidak bebas nilai, tetapi dibuat

berdasarkan relitas empiris yang terjadi dimasyarakat serta

dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum seperti politik, ekonomi,

sosial dan budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Hukum tidak

sama dengan undang-undang, tetapi di dalamnya terkandung filsafat,

moral, etika, norma dan lain-lain yang menjadi dasar bagi

pembentukan norma hukum

Berkaitan dengan pemikiran bahwa hukum adalah produk

dari suatu masyarakat, maka efektifitas keberlakuan hukum dapat

diketahui apabila penerapan suatu norma hukum berhasil atau gagal

mencapai tujuan yang dicita-citakan melalui upaya pemberlakuan,

penerapan dan penegakan norma hukum. Terdapat tiga dimensi

keberlakuan hukum, yaitu: (i) keberlakuan filosofis, artinya norma

hukum harus berdasarkan atau sesuai dengan nilai-nilai

ideologi/filosofis yang dianut oleh masyarakat (di Indonesia adalah

Pancasila); (ii) keberlakuan yuridis, artinya pembuatan norma

hukum harus memenuhi syarat formil dan materiil; dan (iii)

keberlakuan sosiologis, artinya norma hukum harus sesuai dengan

norma-norma sosial, kebiasaan (custom), tradisi dan budaya yang

berkembang di masyarakat yang bersangkutan sehingga dapat

diterima dan menjadi hukum yang hidup (the living law).

Pada konteks penegekan hukum, salah satu upaya yang

biasanya dilakukan agar masyarakat mematuhi norma hukum adalah

19
dengan memberikan sanksi. Sanksi merupakan salah satu ciri khusus

dari norma hukum yang membedakannya dengan norma sosial

lainnya. Norma hukum memiliki ciri-ciri: (i) berlaku umum; (ii)

mengikat; (iii) mempunyai daya paksa; dan (iv) ada sanksi bagi

subjek yang melakukan pelanggaran. Sanksi bertujuan untuk

mencegah subjek hukum “melakukan atau tidak melakukan

perbuatan tertentu”, dan apabila sudah ada norma yang dilanggar

maka adanya sanksi bertujuan untuk melakukan koreksi atas

pelanggaran tersebut.

Diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar

hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap, tindak atau perilaku

manusia. Kondisi-kondisi yang harus ada adalah antara lain bahwa

hukum harus dapat dikomunikasikan. Komunikasi hukum lebih

banyak tertuju pada sikap, karena sikap merupakan representasi dari

kondisi mental dari seorang subjek hukum yang mempunyai

kecendurungan untuk patuh atau tidak patuh terhadap norma hukum

yang diterapkan.

Apabila norma hukum yang dikomunikasikan tidak bisa

menjangkau masalah-masalah yang secara langsung dihadapi oleh

masyarakat, maka akan dijumpai kesulitan-kesulitan.dalam

penerapan dan penegakan norma hukum yang bersangkutan.

Hasilnya adalah hukum yang tidak efektif atau bahkan berpengaruh

negatif terhadap perilaku masyarakat yang semula hendak diatur dan

20
dikontrol melalui norma hukum. Hukum yang tidak efektif adalah

hukum yang tidak dapat memenuhi tiga asas dasar dari hukum, yaitu:

(1) Asas Kepastian Hukum; (2) Asas Keadilan; dan (3) Asas

Kemanfaatan.8
9
Menurut Soerjono Soekanto, efektifitas bekerjanya hukum

ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu: (1) peraturan hukumnya yang

tidak baik; (2) aparat penegak hukumnya yang tidak baik; (3) sarana

dan prasarana hukumnya yang tidak baik; (4) masyarakat di mana

hukum itu bekerja yang tidak baik; dan (5) kultur hukumnya yang

tidak baik. Peraturan hukum yang tidak baik berpotensi

menimbulkan ketidakadilan, dan pada giliran berikutnya akan

menyebabkan ketidakefektifan bekerjanya hukum di dalam

masyarakat yang terwujud dalam bentuk ketidakadilan.

Pada konteks penelitian ini, PP RI No. 53/2010 adalah

peraturan hukum yang sudah tidak sesuai dengan kekinian, karena

peraturan ini mengacu pada UU RI No. 43/1999 tentang Pokok-

Pokok Kepegawaian yang sudah diganti dengan UU ASN, dimana

isi, arah dan tujuan kebijakan terhadap PNS adalah berbeda dengan

UU ASN yang saat ini berlaku. Dengan demikian, meskipun PP RI

No. 53/2010 ini memenuhi syarat-syarat keberlakuan filosofis tetapi

tidak memenuhi keberlakuan yuridis karena materi yang diatur di

dalamnya berbeda dengan materi yang diatur di dalam UU ASN. Hal

8
Gustav Radburgh, dalam Bernard L Tanya, Politik Hukum: Agenda Kepentingan Bersama,
Yogyakarta, Genta Publishing, 2011, hlm. 2.
9
Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 8

21
ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan

sehingga kemanfaatan dari peraturan ini akan minimal. Tidak

terpenuhinya syarat keberlakuan yuridis akan menyebabkan tidak

terpenuhinya syarat keberlakuan sosiologis, dalam arti peraturan ini

tidak diterima oleh para PNS sehingga berpotensi menimbulkan

resistensi dan ketidakpatuhan yang berujung pada pelanggaran

disiplin.

c. Teori Konsep Hukum H.L.A. Hart

Kesenjangan substansi hukum atau materi yang diatur dalam

PP RI No. 53/2010 dengan materi yang diatur di dalam UU ASN

yang berlaku saat ini dapat dikaji menggunakan konsep hukum

menurut H.L.A. Hart

H.L. A. Hart ,10 dalam bukunya Konsep Hukum (The

Concept of Law) menyatakan bahwa: “a legal system is the union of

primary and secondary rules”, yang artinya adalah:

“Sistem hukum adalah kombinasi dari aturan primer dan


aturan sekunder. Aturan primer (primary rules) mengatur perilaku
manusia untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan aturan
sekunder (secondary rules) merupakan aturan yang ditujukan kepada
pejabat dan yang ditetapkan untuk mengatur tentang bagaimana
tatacara atau prosedur melaksanakan aturan primer”

Merujuk pada konsep hukum Hart, maka validitas sebuah

norma hukum terletak pada aturan-aturan sekunder (secondary

rules). Aturan sekunder inilah yang menetapkan kapan, dan oleh

10
H.L.A. Hart, Konsep Hukum (The Concept of Law), Penterjemah M. Khozim, Cet. II, Bandung,
Nusa Media, 2010, hlm. 124-126

22
siapa aturan-aturan primer dibentuk, diakui, dimodifikasi, atau

dicabut. Perintah penguasa bisa dianggap valid sebagai hukum, jika

memenuhi syarat berdasarkan secondary rules. Di dalam norma

sekunder terdapat tiga aturan (rules) yang meliputi:11

1) Aturan Pengenal (Rule of recognition)


Rule of recognition adalah aturan pengenal yang memberi
petunjuk atau menjadi dasar bagi masyarakat untuk mengenal
mana norma hukum yang sah dan mana yang tidak. Norma
pengenal ini juga menandai mana hukum positif dan mana yang
tidak. Aturan pengenal diperlukan ketika terjadi ketidakpastian
hukum akibat munculnya fenomena baru yang belum ada norma
hukumnya pada sistem hukum yang berlaku. PP RI No. 53/2010
dikenali sebagai peraturan yang tidak sesuai untuk digunakan
terhadap PNS yang saat ini sudah memakai UU ASN. Logika
hukumnya adalah bahwa undang-undang (norma primer) harus
sudah ada terlebih dulu sebelum peraturan pemerintah (norma
sekunder) dibuat, tetapi yang terjadi pada saat ini adalah
sebaliknya, PP RI No. 53/2010 mendahului keberadaan undang-
undang yang akan dilaksanakan (UU ASN). Menurut Hart, 12 di
dalam setiap sistem hukum terdapat “hanya satu (the one and
only) aturan hukum” yang harus dikenal oleh masyarakat maupun
aparat penegak hukum. Berdasarkan logika hukum tersebut, maka
sebagai konsekuensinya PP RI No. 53/2010 harus diganti dengan
peraturan pemerintah baru yang sesuai dengan UU ASN yang
berlaku saat ini.

2) Aturan Perubahan (Rule of change)


Aturan-aturan yang mengatur kapan suatu aturan diubah,
bagamana caranya, serta siapa yang memiliki kekuasaan untuk
menciptakan atau mengubah aturan-aturan primer.

3) Aturan Pengadilan (Rule of Adjudication)


Aturan yang memberikan kuasa pada petugas-petugas pengadilan
untuk melaksanakan proses pengadilan jika terjadi konflik legal
atau jika suatu aturan hukum dilanggar. Aturan-aturan ini juga

11
Bernard L. Tanya, Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum, Prosiding Seminar Nasional -
Kerjasama Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) dan Program Doktor (S3) Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, di Surakarta 11 April
2015, ISBN 978-602-72446-0-3, hlm. 50.
12
Scott J. Saphiro, What Is The Rule Of Recognition (And Does It Exist)?, Public Law & Legal
Theory Research Paper Series, No. 181, Yale Law School, hlm. 2-4, http://papers.ssrn.com/
abstract#1304645

23
menentukan standar-standar untuk keputusan yang memadai oleh
kuasa kehakiman atas pelanggaran yang terjadi, beratnya
hukuman, atau besarnya kompensasi yang proporsional atas
segala pelanggaran hukum.

F. Metode Penelitian

Penelitian adalah kegiatan untuk melakukan pemeriksaan atau

penyelidikan secara cermat dan kritis dan sitematis dengan menggunakan cara-

cara ilmiah (scientific methods) tertentu untuk mengungkap fakta-fakta yang

tersembunyi dibalik fenomena atau realitas yang diamati dengan tujuan untuk

menemukan kebenaran, menjelaskan fenomena dan pada akhirnya memperoleh

pengetahuan. Di dalam proses mengumpulkan informasi dari berbagai sumber

untuk mengungkap fakta-fakta dan kemudian mengkaji serta menginterpretasikan

informasi tersebut dengan menggunakan cara pandang dan pendekatan tertentu,

peneliti dipandu dengan kaidah-kaidah dan logika tertentu (deduktif atau

induktif). Tata cara atau prosedur yang digunakan peneliti di dalam melakukan

penelitian itulah yang disebut “metode penelitian”.13

1. Pendekatan Penelitian Hukum

Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis empiris, yaitu suatu penelitian hukum yang tidak

hanya meneliti tentang aspek normatif dari peraturan perundang-

undangan saja (law in abstracto atau law in books), melainkan juga

13
Khusbal Vibhute & Philipos Anaylem, Legal research Methods,: Teaching Material, Justice
and Legal System Research Institute, 2009, hlm. 44, Chilot. Wordpress.com, diakses pada
tanggal 24 Nopember 2016

24
meneliti tentang bekerjanya hukum di masyarakat melalui mekanisme

penerapan (law enacment) dan penegakan (law enforcement).

Penelitian yuridis empiris juga disebut sebagai penelitian

bekerjanya hukum (law in action). Di dalam penelitian ini, peneliti

mengkaji tentang bagaimana interaksi dan reaksi yang terjadi ketika

hukum bekerja (diterapkan dan ditegakkan) di masyarakat, serta

mengidentifikasi norma-norma hukum apa yang hidup di masyarakat

(the living law) yang dapat digunakan untuk menyelesaiakan perkara-

perkara atau kasusu-kasus hukum yang terjadi di masyarakat sebagai

implikasi penerapan PP RI No. 53/2010 terhadap PNS.14

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Adapun

pengertian dari metode penelitian deskriptif adalah mengungkapkan

informasi yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti secara apa

adanya, dan jika dikaitkan dengan tujuan-tujuannya maka penelitian ini

merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan dan

mengungkapkan fakta (fact finding).15

Makna dari analitis adalah bahwa data yang terkumpul kemudian

dianalisa untuk mendeskripsikan hubungan antara fenomena yang

diteliti dengan faktor-faktor yang dapat menjelaskan mengapa

fenomena itu terjadi. Interpretasi atas temuan-temuan yang diperoleh itu

14
Mukti Fadjar ND. & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris,
Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010, hlm. 36.
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Ilmu Hukum, UI Pres, Jakarta, 1984, hal. 10

25
digunakan untuk menarik kesimpulan yang dapat menjawab pertanyaan

penelitian yang telah dirumuskan pada bagian rumusan masalah.

3. Sumber dan Jenis Data

a. Sumber Data

Informasi data yang dipergunakan di dalam penelitian ini

dikumpulkan dari beberapa sumber dengan cara: (i) melakukan studi

pustaka untuk memperoleh informasi data sekunder tentang

implementasi PP No. 53/2010 dengan menggunakan bahan-bahan

hukum primer, sekunder dan tersier; (ii) melakukan wawancara

dengan narasumber terpilih untuk mengungkap pendapat dan apa

yang dirasakan mengenai fenomena yang diteliti. Sumber data

primer pada penelitian ini adalah para narasumber yang

diwawancarai, sedangkan sumber data sekunder antara lain: (i)

Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah; (ii) Pegawai pada

Kantor Inspektorat Wilayah Provinsi Jawa Tengah; dan (iii) Pegawai

Negeri Sipil lainnya.

b. Jenis Data

Adapun penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu data

primer dan data sekunder.

1) Data Primer

Data primer dalam penelitian hukum berupa pendapat para

narasumber terpilih tentang kasus pelanggaran disiplin PNS atau

26
keberlakuan PP RI No. 53/2010 terkait dengan UU ASN yang

berlaku saat ini. Data primer dalam penelitian ini berupa

rekaman, catatan atau transkrip wawancara peneliti dengan

narasumber.

2) Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian hukum berupa bahan-bahan

hukum yang terdiri dari :16

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-

undangan.

Bahan hukum primer di dalam penelitian ini meliputi:

(1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945

(2) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembuatan Peraturan Perundang-undangan

(3) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Sipil

Negara

(4) Peratutan Pemerintah RI Nomor 53 Tahun 2010 Tentang

Disiplin Pegawai Negeri Sipil

b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan

hukum primer dapat berupa rancangan undang-undang, hasil

16
Mukti Fadjar ND. & Yulianto Ahmad, Op.Cit., hlm. 157

27
penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, makalah, artikel,

suratkabar dan berita internet.Bahan hukum sekunder dalam

penelitian ini meliputi:

(1) Buku-buku hukum

(2) Hasil penelitian

(3) Jurnal hukum

(4) Makalah dan/atau artikel hukum

(5) Berita surat kabar online

c) Bahan Hukum Tersier

d) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat

menjelaskan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum

sekunder. Bahan hukum tersier dapat berupa kamus,

ensiklopedia, leksikon dan lain-lain. Bahan hukum tersier

dalam penelitian ini adalah:

(1) Kamus Bahasa Indonesia online

(2) Black’s Law dictionary

4. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan dengan pada penelitian ini

dilakukan dengan dua cara yaitu:

a. Data primer diperoleh melalui wawancara atau interview secara


mendalam dengan beberapa narasumber terpilih. Narasumber dalam
penelitian ini adalah pejabat Badan Kepegawaian Daerah, para PNS,
pejabat Inspektorat Wilayah Provinsi Jawa Tengah, dan pihak lain
yang terkait baik secara langsung atau tidak langsung dengan
pelanggaran disiplin PNS. Melalui wawancara ini dapat diungkap

28
faktor-faktor yang menjadi penyebab mengapa PP RI No. 53/2010
kurang dapat diimplementasikan secara efektif.
b. Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka
(library research) di kantor Badan Kepegawaian Daerah Provinsi
Jawa Tengah. Data tersebut berupa dokumen tentang kasus-kasus
pelanggaran disiplin PNS di wilayah kerja BKD Provinsi Jawa
Tengah selama lima tahun (2011 – 2015). Berdasarkan data ini dapat
diketahui efektifitas penerapan PP RI No. 53/2010 dalam
menurunkan angka pelanggaran disiplin PNS.

5. Tehnik Analisis Data

Proses analisis data dilaksanakan melalui beberapa langkah

sebagai berikut: (1) data hasil wawancara ditranskipsikan, jawaban

narasumber yang tidak relevan dengan penelitian dipilah dan disisihkan

(direduksi); (2) data yang relevan kemudian disusun secara sistematis

dan ditampilkan dalam bentuk tulisan (data display); (3) data kemudian

dianalisis dan dinterpretasikan khususnya mengenai hubungan dari

berbagai faktor yang menjadi penyebab terjadinya fenomena yang

diteliti. Interpretasi dalam penelitian ini dilaksanakan dengan cara

membandingkan antara norma-norma yang terdapat di dalam UU ASN

dan undang-undang lain yang terkait dengan norma-norma yang

terdapat di dalam PP RI No. 53/2010.

Hasil interpretasi kemudian dikaitkan dengan teori yang relevan

dengan realitas empiris yang terjadi di lapangan untuk menjelaskan

fenomena secara konseptual mengenai hubungan berbagai faktor yang

mempengaruhi hukum dan berkerjanya hukum.

29
30
6. Definisi Konsep dan Definisi Operasional

a. Definisi Konsep

Kata kunci (keyword), informasi penting atau konsep teoritis

yang berkaitan dengan konteks dan tema studi pada judul penelitian,

perlu didefinisikan secara konseptual agar tidak terjadi kerancuan

pengertian yang dapat mempengaruhi hasil interpretasi terhadap

objek kajian sehingga hasil studi menjadi bias. Definisi konsep dari

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:17

1) Implementasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) kata

“implementasi” adalah kata benda yang mempunyai arti

“pelaksanaan” atau penerapan dari suatu niat, rencana, program

atau sesuatu yang sudah diputuskan atau ditetapkan. Kata

implementasi mengandung makna: proses, cara, perbuatan

melaksanakan atau menerapkan. Secara konseptual kata

“implementasi” melambangkan suatu “perbuatan aktif” yang

dilaksanakan melalui proses atau cara untuk menerapkan suatu

subjek atau objek tertentu, dalam hal ini “perbuatan aktif” yang

dimaksud adalah menerapkan ketentuan disiplin PNS menurut PP

RI No. 53/2010”.

17
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online : http://kbbi.web.id/disiplin - diakses pada
tanggal 2 Maret 2017

31
2) Disiplin

Pengertian sempit kata ”disiplin” diartikan sebagai

“ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dan

sebagainya”, misalnya ketaatan PNS terhadap peraturan disiplin

baik yang diatur di dalam PP RI No. 53/2010 maupun yang diatur

oleh institusinya.

Pada lingkup yang lebih luas (nasional), konteks disiplin

dalam penelitian ini adalah “disiplin PNS”, yaitu kondisi yang

merupakan perwujudan sikap mental dan perilaku PNS ditinjau

dari aspek kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan (PP RI No.

53/2010) dan hukum yang berlaku dalam menjalankan tugas dan

berperilaku sebagai pelayan masyarakat.

Pada Bab I: Ketentuan Umum, Pasal 1, ayat (1) PP RI No.

53/2010 disebutkan bahwa disiplin PNS adalah:

“Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan


Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari
larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau
dilanggar dijatuhi hukuman disiplin”.

Terkait dengan ayat (1) tersebut, pada ayat (3) disebutkan

tentang “pelanggaran disiplin” sebagai berikut:

“Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau


perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar
larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam
maupun di luar jam kerja”.

32
3) Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Merujuk pada UU Pokok-Pokok Kepegawaian RI No.

43/1999, maka pengertian PNS merupakan kombinasi dari

pengertian “pegawai negeri” dan “sipil”. Pengertian “pegawai

negeri” adalah:

“Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik


Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat
oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu
jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pengertian pegawai negeri tersebut mencakup pegawai
pemerintah non TNI dan Polri, sehingga penambahan kata “sipil”
adalah untuk membedakannya dengan TNI dan Polri. Istilah yang
digunakan dalam penelitian ini masih merujuk pada pengertian
pada UU RI No. 43/1999, yang meskipun sudah dicabut tetapi
masih dipakai di dalam PP RI No. 53/2010.

4) Peraturan Pemerintah RI No. 53/2010

PP RI No.53/2010 adalah peraturan pemerintah yang

berisi ketentuan-ketentuan mengenai disiplin PNS yang

mencakup: Bab I: Ketentuan Umum; Bab II: Kewajiban dan

Larangan; Bab III: Hukuman Disiplin; Bab IV: Upaya

Administratif; Bab V: Berlakunya Hukuman Disiplin dan

Pendokumentasian Hukuman Disiplin; Bab VI: Ketentuan

Peralihan; dan Bab VII: Ketentuan Penutup. Peraturan ini adalah

norma sekunder yang berisi ketentuan-ketentuan untuk

melaksanakan urusan kepegawaian yang diatur dalam UU RI No.

43/1999.

33
5) Efektifitas

Efektifitas dimaknai sebagai “kehasilgunaan” atau

“keefektifan”, yaitu suatu perbandingan antara hasil yang dicapai

dengan hasil yang dinginkan melalui suatu usaha atau upaya

tertentu. Pada konteks penelitian ini, upaya yang dimaksud adalah

upaya penerapan disiplin PNS melalui PP RI No. 53/2010.

b. Definisi Operasional

Konsep teoritis mengenai penerapan disiplin PNS

sebagaimana yang dijelaskan di dalam definisi konsep di atas masih

abstrak karena terlalu umum atau belum spesifik mengarah pada

indikator tertentu yang bisa diukur di dalam praktik pelaksanaannya.

Penilaian terhadap implementasi atau pelaksanaan suatu upaya,

dalam hal ini penerapan disiplin PNS memerlukan sejumlah

indikator dan/atau sub indikator agar upaya itu dapat dinilai, diukur

serta dievaluasi. Suatu konsep yang sudah dilengkapi dengan

indikator atau sub indikator yang bisa diukur, disebut sebagai

“definisi operasional”.

Penilaian mengenai efektivitas tidak cukup hanya dengan

melihat keluaran (output) saja bahwa upaya penerapan disiplin sudah

dilaksanakan, tetapi harus menilai juga tentang hasil (outcome)

kinerja penerapan disiplin yang bisa dinilai dari ukuran berapa

jumlah atau persentase pelanggaran yang dapat diturunkan melalui

upaya tersebut.

34
Implementasi suatu peraturan (PP RI No. 53/2010) dapat

disoroti dari dua aspek, yaitu aspek kepatuhan dan aspek

ketidakpatuhan. Secara teknis akan lebih mudah mengamati, menilai

dan mengukur ketidakpatuhan atau pelanggaran yang dilakukan oleh

PNS daripada kepatuhan, dalam hal ini “pelanggaran” adalah

indikator yang digunakan untuk menilai dan mengukur efektivitas.

Ukuran efektifitas dapat dinyatakan secara kualitatif atau

kuantitatif. Bentuk ukuran kualitatif dengan tingkatan dari rendah ke

tinggi antara lain adalah: tidak efektif – kurang evektif – cukup

efektif – efektif yang batasannya tidak jelas serta cenderung

subjektif, sedangkan bentuk ukuran kuantitatif berupa “jumlah angka

atau persentase” yang lebih memberikan gambaran pasti mengenai

tingkatan efektivitas. Meskipun tidak jelas batasannya, ukuran

kualitatif kelebihan dibanding ukuran kuantitatif karena lebih bisa

menjelaskan tentang kualitas dan kedalaman dari keadaan yang

digambarkan melalui ukuran itu.

Pengukuran efektifitas membutuhkan kriteria yang

menentukan batasan antara tidak efektif, kurang efektif, cukup

efektif dan efektif. Penetapan kriteria tidak dapat dilakukan

berdasarkan subjektifitas peneliti sendiri, tetapi harus didasarkan

pada pengalaman empiris para praktisi atau peneliti lain.

Berdasarkan pengalaman empiris, maka kriteria penilaian efektifitas

adalah sebagai berikut:

35
a. Tidak efektif : 0 – 19 %
b. Kurang efektif : 20 – 39 %
c. Cukup efektif : 40 – 59 %
d. Efektif : 60 - 79 %
e. Sangat efektif : 80 – 100 % (kondisi ideal yang diharapkan) 18

Efektivitas penerapan disiplin PNS pada penelitian ini dinilai

secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuantitatif

menggambarkan tingkat efektivitas upaya penerapan disiplin PNS

melalui penerapan PP RI No. 53/2010, sementara penilaian kualitatif

menggambarkan alasan atau sebab-sebab yang menjelaskan tentang

hasil penerapan disiplin itu. Ukuran kuantitatif yang dipakai adalah

“persentase penurunan pelanggaran disiplin” dalam periode waktu

tertentu, yaitu antara tahun 2011 – 2015 menggunakan kriteria

pengukuran di atas.

G. Sistematika Penulisan

BAB I : Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub-bab

antara lain: Latar belakang yang isinya menggambarkan tentang

masalah-masalah terkait penerapan PP RI No. 53/2010 terhadap

PNS. Permasalahan itu dirumuskan menjadi tiga pertanyaan

penelitian yaitu: (i) Mengapa penegakan disiplin PNS sebagaimana

diatur di dalam PP RI No. 53/2010 belum dapat dilaksanakan

secara efektif?; (ii) Apakah PP RI No. 53/2010 masih efektif dan

relevan untuk diterapkan saat ini pada PNS yang menurut UU ASN

18
Lilin Budiati, Evaluasi Efektivitas Pembelajaran Diklat Kepemimpinan di Badan Diklat
Provinsi Jawa Tengah, Laporan Penelitian, 2014, hlm.16.

36
telah berubah kedudukan, peran dan fungsinya?; dan (iii)

Bagaimana konsep penegakan disiplin yang efektif bagi PNS

menurut perspektif UU ASN?. Tujuan penelitian ini adalah untuk

menganalisis dan mengkaji tentang sebab-sebab dari

ketidakefektifan implementasi PP RI No. 53/2010 dalam rangka

menemukan konsep penegakan disiplin PNS yang efektif dan

sesuai dengan amanat UU ASN. Penelitian ini merupakan studi

kualitatif yang menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan

teknik analisis deskriptif analitis dan interpretasi komparatif

dengan membandingkan norma-norma dalam PP RI No. 53/2010

dengan norma-norma dalam UU ASN dan undang-undang lain

yang terkait.

BAB II : Bab II merupakan tinjauan pustaka atau telaah teoritis terhadap

permasalahan yang diteliti. Teori-teori yang digunakan di dalam

penelitian ini antara lain adalah: (i) Teori Hukum Administrasi

Negara (HAN); (ii) Teori efektifitas penerapan dan/atau penegakan

hukum; (iii) Teori konsep hukum dari HLA Hart; dan (iv) Teori

Disiplin.

BAB III : Bab III berisi hasil penelitian beserta pemhahasannya yang

disesuaikan dengan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan

pada sub-bab rumusan masalah. Temuan-temuan yang diperoleh

dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan

guna memperoleh pemikiran kontekstual dan konseptual yang

37
dapat memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang

teridentifikasi dalam penelitian ini.

BAB IV : Bab IV merupakan penutup yang terdiri dari: (1) Simpulan, yaitu

simpulan sebagai hasil interpretasi atas temuan-temuan penelitian

yang telah dianalisis menggunakan teori-teori yang relevan.

Simpulan ini merupakan jawaban dan sekaligus solusi bagi

permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini; (2) Rekomendasi,

yaitu beberapa usulan kepada para pemangku kepentingan terkait

dengan simpulan yang dirumuskan.

38
H. Orisinalitas Penelitian

Tabel 2. Matriks Orisinalitas Penelitian

No. M Herry Indrayati Putri Uni Primadita, Penelitian Ini, 2016


Substansi Indrawan, 2008 Lubis, 2016 2013

PEMBERIAN SANKSI PENEGAKAN IMPLEMENTASI


SANKSI ADMINISTRASI DISIPLIN PENERAPAN
ADMINISTRASI BAGI APARATUR MELALUI DISIPLIN
DISIPLIN SIPIL NEGARA PENERAPAN PEGAWAI NEGERI
PEGAWAI YANG SANKSI BAGI SIPIL DITINJAU
NEGERI SIPIL DI MELANGGAR PEGAWAI DARI
PENGADILAN DISIPLIN DI NEGERI SIPIL PERATURAN
TATA USAHA UNIVERSITAS BERDASAR PEMERINTAH
1 Judul
NEGARA LAMPUNG PERATURAN NOMOR 53
BANDUNG PEMERINTAH TAHUN 2010 DI
SEBAGAI UPAYA NO. 53 TAHUN BADAN
PEMBENTUKAN 2010 KEPEGAWAIAN
APARATUR DAERAH (BKD)
YANG BERSIH PROVINSI JAWA
DAN TENGAH”.
BERWIBAWA
Kajian tentang Kajian tentang
penerapan PP RI Kajian tentang implementasi
Kajian tentang
No. 53/2010 pada penindakan penerapan disiplin
pemberian sanksi
PNS di Universitas pelanggaran PNS menurut
Fokus disiplin kepada PNS
2 Lampung, disiplin PNS perspektif PP RI No.
Studi yang melakukan
khususnya pada berdasarkan 53/2010
pelanggaran
aspek pemberian ketentuan PP RI
sanksi yang tidak No. 53/2010
sesuai ketentuan
Teori Sistem hukum,
Teori Bekerjanya
Teori Hukum Teori Good Teori Hukum Hukum, Teori
3 Teori Administrasi Governance dan Administrasi Efektifitas hu-kum,
Negara (HAN) teori disiplin Negara Teori Konsep
Hukum HLA Hart,
Teori Disiplin
Metode Yuridis empiris Yuridis normatif Yuridis empiris Yuridis empiris
4
Penelitian
Tidak ada konsep Inkonsistensi dalam Pemberian sanksi Konsep penegakan
baru dalam pemberian sanksi hukuman disiplin PNS yang
5 Kebaruan penegakan disiplin hukuman terkendala karena efektif
PNS prosedur yang
berbelit dan lama

39
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PP No. 53/2010 Dalam Perspektif Teori Sistem Hukum (Legal System

Theory)

1. Teori Sistem Hukum

Hukum merupakan sebuah sistem yang sangat kompleks.

Keterkaitan antara satu unsur dalam sebuah sistem tidak dapat

dipisahkan. Sebuah sistem mengharuskan segala sesuatu menjadi saling

keterkaitan. Unsur yang satu akan mempengaruhi unsur yang lainnya.

Sebuah sistem tidak akan berjalan jika di antara unsur tidak terjadi

sinkronisasi, koordinasi dan harmonisasi.

Hukum tidak sama dan jauh lebih luas daripada undang-undang.

Eugen Erlich19 berpendapat bahwa :

“hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap


kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya
masing-masing terkandung kekuatan kreatif”.

Aliran realisme berpandangan bahwa hukum tidak selalu

dipahami sebagai perintah dari penguasa Negara seperti yang

dimaksudkan oleh John Austin, karena dalam perkembangannya hukum

dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor non hukum seperti ekonomi,

politik, sosial dan budaya.

19
Jurnal Tata Negara, Pemikiran Untuk Demokrasi dan Negara Hukum, Prinsip Keadilan dan
Feminisme, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2006,
Hlm.

40
Hukum adalah hasil penjumlahan (resultante) dari interaksi

kekuatan-kekuatan non hukum yang pada akhirnya mewujud menjadi

sistem hukum untuk difungsikan sebagai alat kontrol sosial dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai

salah satu sub-sistem sosial pada dasarnya tidak steril dari pengaruh

sub-sistem lainnya seperti sub-sistem politik. Politik sering kali

melakukan intervensi atas perbuatan dan pelaksanaan hukum sehingga

muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum politik yang

lebih suprematif. Apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik

yang mempengaruhi hukum?20

Menurut Moh. Machfud MD,21 setidaknya ada tiga bentuk

relasi antara hukum dan politik, yaitu: pertama, hukum determinan atas

politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik dan harus tunduk

pada aturan-aturan hukum; kedua, politik determinan atas hukum

karena hukum merupakan hasil dari kehendak-kehendak politik yang

saling berinteraksi dan saling bersaingan; ketiga, politik dan hukum

sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat

determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lainnya.


22
Menurut Michael D Bayles, terdapat tiga pola hubungan

antara hukum dan politik: pertama, pola empiris dimana politik

berpengaruh sangat kuat terutama pada penjabaran konstitusi menurut

20
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 107-108
21
Moh, Mahfud MD, Mengefektifkan Kontrol Hukum Atas Kekuasaan, makalah untuk Seminar
Hukum dan Kekuasaan, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, 27 Maret 1996
22
Michael Bayles, Law and Politics, hlm.. 137 - http://www.bibliojuridica.org/libros/
3/1014/14.pdf, Maret, 2017

41
kehendak politik pemerintah. Misalnya RPJMN dan RPJPN adalah

konkretisasi kehendak politik pemerintah dalam menentukan bentuk, isi

dan arah kebijakan dasar negara (politik hukum) pada berbagai bidang

kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya di bidang kepegawaian.

Kebijakan dasar negara ini dijadikan landasan untuk menyusun

undang-undang kepegawaian baru yaitu UU RI No. 5/2014 tentang

ASN menggantikan UU RI No. 43/1999. PNS di masa lalu dipolitisasi

menjadi instrumen politik penguasa untuk menyelenggarakan dan

melanggengkan kekuasaan penguasa.

Sejalan dengan maksud tersebut maka profil hukum yang tampil

ke permukaan adalah hukum represif yang menindas. Di lingkungan

PNS, profil hukum represif itu terlihat dari salah satu cirinya, yaitu:

sistem kontrol terpusat pada negara (state centered) yang dijalankan

dengan mekanisme “perintah-kontrol” dan asas “mono loyalitas”

terhadap partai politik bentukan penguasa orde baru yaitu partai

Golongan Karya. Reformasi pada tahun 1998 memunculkan kebutuhan

dan tuntutan bahwa PNS harus dinetralkan dari praktik politisasi oleh

penyelenggara negara. Tuntutan ini kemudian menjadi kebijakan negara

yang dituangkan melalui UU RI No. 43/1999 Tentang Pokok-pokok

Kepegawaian menggantikan undang-undang kepegawaian sebelumnya.

Pada saat yang sama muncul pula tuntutan politik untuk

melakukan reformasi hukum dengan mengubah sistem hukum represif

yang dipraktikkan oleh rezim orde baru menjadi hukum yang lebih

42
otonom dari intervensi politik penyelenggara kekuasaan negara. ;

kedua: pola analitis, dimana hukum membutuhkan kekuasaan politik

agar dapat bekerja efektif.. Ada kalanya hukum tidak dapat difungsikan

secara efektif di masyarakat meskipun peraturan (substansi) hukumnya

sudah dibuat cukup rumit , diperbarui, diterapkan dan ditegakkan secara

intensif seperti: PP RI No. 53/2010, UU RI No. 20/2001 tentang

korupsi dan lain-lain.

Fakta temuan imlementasi PP RI No. 53/2010 dengan hasil

kenerja penurunan pelanggaran disiplin PNS dibawah 20%

menunjukkan bahwa fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial belum

atau tidak dapat dijalankan secara efektif di lingkungan PNS. Terlepas

dari faktor-faktor penyebabnya, situasi ini merupakan kondisi dimana

hukum membutuhkan kekuatan politik agar bisa berfungsi lebih efektif..

Situasi ini dapat dianalogikan dengan mandulnya hukum perpajakan

dan hukum pidana untuk menjerat para pelaku tindak pidana

penghindaran pajak (tax evasion) karena: (i) tidak diketahui siapa

pelakunya; (ii) objek pajak berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia

(di luar negeri).

Kemandulan hukum ini diatasi dengan kebijakan politik

“Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)” yang menghasilkan pemasukan

negara sebesar 124 triliun rupiah.. Gerakan Nasional Revolusi Mental

(GNRM) dapat dimaknai sebagai kebijakan politik pemerintah untuk

memperbaiki ketidakefektifan hukum kepegawaian secara umum dan

43
peraturan disiplin PNS pada khususnya. ; ketiga, pola normatif, dimana

politik menyediakan kekuatan normatif bagi berlakunya hukum. Di era

orde baru, konstitusi disakralkan tidak boleh diubah demi untuk

melanggengkan kekuasaan rezim., sambil membuat penafsiran subjektif

mengenai penjabaran operasional konstitusi melalui TAP MPR dan

GBHN . Tumbangnya rezim orde baru di era reformasi, memunculkan

tuntutan dan tekanan politik kuat untuk mengubah konstitusi melalui

amandemen. Dalam hal ini dukungan politik yang luas memberikan

kekuatan normatif kepada badan legislatif untuk mengamandemen

konstitusi sampai empat kali sejak tahun 1999 sampai dengan tahun

2002.

Menurut Soerjono Soekanto,23 hukum mempunyai tiga dimensi,

yaitu sebagai nilai, kaedah dan perilaku. Hukum dapat dilihat dan dikaji

dari berbagai sudut. Apabila hukum dipandang nilai, maka hukum

dikaji berdasarkan filasafat hukum dan politik hukum. Jika hukum

dipandang dalam konteks sebagai kaidah-kaidah atau norma, maka

hukum harus disoroti dengan menggunakan ilmu hukum, sedangkan

dalam konteks perilaku hukum harus dikaji dengan sosiologi hukum,

antropologi hukum dan psikologi hukum. Hukum sebagai kaedah

dipelajari oleh ilmu hukum.

Perkembangan hukum selalu tertinggal dengan perkembangan

masyarakatnya, terlebih lagi di era globalisasi dimana terjadi perubahan

23
Soerjono Soekanto, Mengenal Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni, 1986, hlm. 12.

44
yang bersifat cepat, kompleks, membingungkan dan mengandung

ketidakpastian tinggi, sehingga diperlukan disiplin ilmu lain yakni

sosiologi yang mencoba menelaahnya dari sisi yang berbeda,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa

disamping sisi normatifnya, hukum juga mempunyai sisi lain, yaitu

realitas bekerjanya hukum ketika dilaksanakan di dalam praktik

keseharian.

Perkembangan hukum tidak bisa terlepas dari perkembangan

masyarakat dimana hukum itu ada, karena hukum adalah produk yang

diciptakan oleh masyarakat untuk mengontrol perilaku anggota atau

warganya agar mematuhi kewajiban yang diperintahkan serta tidak

melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma hukum. Hal itu

diungkapkan oleh Cicero dalam suatu adagium “Ubi Societas Ibi Ius”

yang artinya “di mana ada masyarakat di situ ada hukum”.24

Hukum yang terbentuk itu kemudian difungsikan sebagai alat

kontrol sosial untuk mengatur perilaku masyarakat. Fungsi itu

mencerminkan aspek yuridis normatif dari kehidupan sosial

masyarakat. Hukum memberikan definisi atas perbuatan apa yang

“boleh” atau “tidak boleh” dilakukan beserta sanksinya apabila norma

hukum yang bersangkutan dilanggar. Hukum juga menetapkan

tingkah laku yang baik dan tidak baik atau yang menyimpang dari

hukum, serta menerapkan sanksi hukum terhadap orang yang berprilaku

24
Sudjono Dirjosisworo, Sosiologi Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 15

45
tidak baik tersebut, guna mewujudkan tertib sosial (social order)

melalui tertib hukum (law order).25

Ketidakmampuan hukum dalam mengatasi masalah-masalah

sosial di luar hukum akan berakibat pada kewibawaan hukum itu

sendiri. Masyarakat memberikan kepercayaan kepada hukum untuk

dapat menyelesaikan konflik, sengketa, pelanggaran terhadap hak orang

lain atau larangan, ketidakpatuhan dalam melaksanakan kewajiban dan

sebagainya. Ketidakmampuan hukum untuk mewujudkan tertib hukum

dan/atau tertib sosial, akan menurunkan kepercayaan masyarakat

terhadap efektifitas hukum yang diimplementasikan.

Berbicara mengenai fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial,

tidak mungkin bisa dilakukan tanpa merujuk pada terori sistem hukum

dari Lawrence M. Friedman. Teori ini memberikan konsep teoritis dasar

mengenai bekerjanya hukum di masyarakat, sementara teori bekerjanya

hukum dari Robert B. Seidman dan William J. Chambliss memberikan

konsep praktisnya. Pada bab I telah dijelaskan bahwa sistem hukum

menurut Friedman terdiri dari tiga kompnen, yaitu:(i) Substansi hukum

(peraturan perundang-undangan); (ii) Struktur hukum (Lembahga

hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana); dan (iii) budya

hukum. Mengacu pada teori Friedman tersebut, maka upaya

mengefektifkan penerapan dan penegakan disiplin PNS harus dilakukan

25
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 37.

46
dengan pendekatan menyeluruh (holistik) yang mencakup ketiga

komponen tersebut.

Kekeliruan besar apabila upaya tersebut dilakukan hanya dengan

mengganti peraturan perundang-undangan (substansi hukum), atau

merombak struktur hukumnya saja tanpa mengubah budaya

hukumnya.Budaya hukum menurut Friedman adalah:

“refers to ideas, values, expectations and attitudes towards law


and legal institutions, which some public or some part of the public
holds”.26

Artinya, budaya hukum berkaitan dengan ide-ide, nilai-nilai,

ekspektasi dan sikap terhadap hukum dan lembaga hukum yang

diterima dan dianut oleh komunitas atau masyarakat tertentu. Menurut

Friedman, budaya hukum dapat diukur dengan beberapa indikator.

Untuk mewujudkan pemikirannya itu, maka budaya hukum dibagi

menjadi dua elemen yaitu: budaya hukum internal dan eksternal.

Budaya hukum internal bersangkutan dengan sikap dan perilaku Aparat

Penegak Hukum (APH), sementara budaya hukum eksternal

menyangkut sikap dan perilaku dari masyarakat yang menjadi subjek

hukum.27

Pada konteks berbeda Karl Von Savigny menyatakan bahwa:

“ ....law reflects the culture of a given society,and thus


reception in another culture is not possible, because law is a product
of that society and of its particular attributes or idiosyncrasies, like
other institutions such as language, family, religion and so on”.

26
Lawrence M. Friedman, “The Concept of Legal Culture: A Reply” in David Nelken (Ed).)
Comparing Legal Cultures, Darmouth Publishing, 1997, 34. 22; Lihat: Ali Akar, The Conceprt
of legal Culture, Ankra Law review, Vol. 3, No. 2, 2006, hlm. 143 - 153
27
Ibid.

47
Artinya, ... hukum mencerminkan budaya dari masyarakat
tertentu dimana hukum itu bekerja,. Hukum adalah produk unik yang
mencerminkan atribut-atribut budaya masyarakatnya, sama halnya
seperti: bahasa, kekerabatan, agama dan seterusnya. Penerimaan suatu
budaya terhadap hukum dari masyarakat lain yang berbeda budaya
tidak dimungkinkan.28

Pandangan Karl Von Savigny tersebut sejalan dengan hasil

temuan riset Robert B. Seidman29 tentang implementasi hukum

administrasi Inggris pada masyarakat koloni jajahan di Afrika Selatan.

Hukum administrasi Inggris yang berfungsi dengan baik di negara

asalnya, menjadi tidak efektif sama sekali ketika diimplementasikan

pada masyarakat lokal. Sebaliknya, hukum lokal yang berakar pada

budaya mayarakat setempat justru lebih efektif dan berfungsi baik.

Substansi hukum administrasi Inggris dirasakan asing atau tidak

dikenali oleh pranata budaya masyarakat lokal, sehingga hukum

tersebut tidak diterima, diyakini, dipatuhi dan dilaksanakan.

Ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, hukum

administrasi Inggris itu tidak memenuhi syarat keberlakuan sosiologis

karena karena berasal dari masyarakat dengan latar belakang budaya

yang berbeda dengan budaya masyarakat lokal. Berdasarkan temuan

risetnya itu, Robert B. Seidman merumuskan doktrin “the law of non

transferable of law”, artinya “hukum dari suatu masyarakat tertentu

tidak dapat dicabut dan diimplementasikan atau ditransplantasikan pada

masyarakat lain dengan latar belakang budaya berbeda”.

28
Ibid. Hlm. 145
29

48
Keberlakuan hukum memang bisa dipaksakan oleh pemerintah

(dalam kasus Seidman adalah pemerintah Inggris terhadap koloni

jajahan) sehingga disebut sebagai keberlakuan yuridis, tetapi hal itu

akan menimbulkan kesenjangan budaya (cultural gap) antara budaya

hukum yang terkandung di dalam norma-norma hukum pemerintah

dengan budaya hukum lokal. Kesenjangan budaya hukum inilah yang

menjadi salah satu sebab mengapa suatu peraturan hukum tidak dapat

diimplementasikan secara efektif.

Budaya hukum administrasi di Indonesia adalah warisan dari

pemerintah kolonial Hindia Belanda yang merepresentasikan hukum

modern Barat dengan latar belakang budaya masyarakat liberal

kapitalistik yang berbasis pada nilai-nilai individualisme, sementara

hukum lokal yang hidup (the living law) masyarakat Indonesia dan

Asia pada umumnya berbasis pada nilai-nilai kolektivisme dan

paternalisme. Implementasi hukum modern barat, termasuk PP RI No.

53/2010 tidak terlepas dari pengaruh faktor kesenjangan kultural yang

dapat menghambat efektifitas implementasinya.

Pada giliran berikutnya kesenjangan kultural itu akan

menimbulkan kesenjangan hukum (legal gap). Legal gap adalah lebar

jurang perbedaan antara apa yang dipreskripsikan oleh undang-undang

dan apa yang ada di alam kesadaran warga masyarakat tentang mana

yang hukum dan mana yang bukan. Contoh legal gap yang terdapat di

dalam peraturan disiplin PNS adalah masalah perceraian. Masalah

49
perceraian yang sebenarnya termasuk dalam kategori urusan pribadi

dalam kehidupan PNS di luar jam kerja, seharusnya tidak dijadikan

objek hukum yang diatur dalam PP No. 53/2010 karena hal itu sudah

diatur oleh undang-undang lain, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan. Sama halnya dengan perilaku atau perbuatan

PNS lainnya di luar lingkungan unit kerja, juga sudah diatur dalam

undang-undang hukum perdata atau pidana sehingga tidak tepat apabila

diatur dengan PP No. 53/2010 yang lebih rendah tingkatannya dari

undang-undang.

Pandangan Friedman tentang budaya hukum ada keterkaitan

yang sejajar/paralel dengan pandangan Karl Von Savigny. Budaya

hukum intenal menurut Friedman sama dengan elemen teknis dari

hukum dalam pandangan Von Savigny, sementara budaya hukum

eksternal adalah elemen politisnya. Elemen teknis hukum merefleksikan

profil hukum yang direpresentasikan oleh para prakstisi hukum mulai

dari polisi, jaksa, hakim dan advokat, sedangkan elemen politik hukum

adalah profil hukum yang terkandung di dalam kessadaran, sikap dan

perilaku masyarakat.30

Ditinjau dari perspektif budaya hukum baik menurut Friedman

maupun Von Savigny, PP RI Np. 53/2010 sebagai bagian dari Hukum

Administrasi Negara menimbulkan dua sub-sistem budaya hukum,

yaitu (i) budaya hukum internal yang mencerminkan pengaturan teknis

30
Friedrich Karl von Savigny, Vom Beruf Zeit für Geseztgebung und Rechtswissensachft (From
the Profession, Time for Legislation and Jurisprudence), 3d ed., Heidelberg, 1840 (a), 12.;
Lihat: Ali Akar, Ibid. Hlm. 148.

50
penerapan dan penegakan disiplin PNS; dan (ii) budaya eksternal

hukum yang mencerminkan kesadaran, sikap dan perilaku PNS

terhadap PP tersebut.

Efektifitas implementasi PP RI No. 53/2010 dipengaruhi oleh

persepsi dan sikap positif atau negatif PNS terhadap PP yang diterapkan

terhadapnya. Selanjutnya persepsi dan sikap yang terbentuk akan

menentukan perilaku PNS apakah patuh atau tidak patuh terhadap

peraturan. Jika persepsinya negatip, maka sikap yang terbentuk juga

negatip atau tidak mendukung, meskipun juga tidak menolak. Lebih

lanjut, sikap yang tidak mendukung akan menimbulkan perilaku tidak

patuh.

Faktor budaya hukum eksternal menjadi penting ketika

peraturan hukum seperti PP RI No. 53/2010 diterapkan terhadap PNS.

PNS sebagai subyek hukum yang dijadikan sasaran, mengembangkan

persepsi, sikap dan perilaku tertentu terhadap peraturan tersebut, yang

kemudian berkembang lebih lanjut menjadi budaya eksternal dari PP

tersebut. Apakah profil budaya eksternal itu menjadi budaya patuh,

budaya tidak patuh atau budaya menyiasati peraturan agar tetap selamat

meskipun melakukan pelanggaran, hal itu dipengaruhi oleh faktor

bekerjanya hukum di masyarakat yang perlu dikaji secara tersendiri

dengan teori bekerjanya hukum.

51
2. Teori Bekerjanya Hukum Robert B. Seidman dan William J.
Chambliss

Bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dipandang sebagai

fenomena sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kajian tentang teori

kebijakan publik. Salah satu kebijakan publik dalam sistem negara

modern adalah legal politics yang kemudian dipakai sebagai istilah

politik hukum. Konsepsi operasional tentang bekerjanya hukum dalam

masyarakat didasarkan pada dua konsep yang berbeda yaitu konsep

tentang ramalan-ramalan mengenai akibat-akibat (prediction of

consequences) yang dikemukakan oleh Lundberg dan Lansing tahun

1973 dan konsep Hans Kelsen tentang aspek rangkap dari suatu

peraturan hukum.31 Berdasarkan konsep Lundberg dan Lansing, serta

konsep Hans Kelsen tersebut Robert B. Seidman dan William J.

Chambliss menyusun suatu teori bekerjanya hukum di dalam

masyarakat.

Menurut Robert B. Seidman, bekerjanya hukum dalam

masyarakat terdistribusi melalui tiga ranah, yaitu: 1) ranah lembaga

pembuat peraturan (law making institution); 2) ranah lembaga

pelaksana peraturan/penerap sanksi (law sanction institution); dan 3)

ranah pemangku peran (role occupant). Tiga ranah tersebut, disebut

dengan proses pembuatan hukum; proses penegakan hukum; dan

proses penggunaan hukum. Dalam menilai bekerjanya hukum di

31
Suteki. 2008. Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber
Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya
Air).Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Hlm. 34.

52
masyarakat, hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bahwa

hukum dapat bekerja dengan baik dan efektif, apabila masing-masing

ranah berfungsi optimal serta seimbang antara ranah yang satu dengan

kedua ranah yang lain.

Kajian mengenai bekerjanya hukum di masyarakat tidak sekedar

hanya ditinjau dari apa yang diharapkan oleh pembuat peraturan

hukum, tetapi juga harus meneliti tentang adanya unsur-unsur lain

yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Unsur yang tidak

berfungsi optimal itu bisa datang dari lembaga pembuat peraturan

hukum (Presiden), atau dari lembaga penerap peraturan/sanksi

(Presiden, BAPEG, Badan Kepegawaian, Kepala Daerah, Inspektorat,

Atasan ), atau dari pemangku peran yaitu PNS. Selain itu, juga perlu

diteliti tentang pengaruh atau kendala-kendala eksternal global yang

menyebabkan hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya,

misalnya tekanan dan/atau tuntutan masyarakat baik di aras lokal,

nasional maupun global.

Bekerjanya hukum dalam masyarakat, digambarkan dalam

dalam suatu model teoritis dari Robert B. Seidman dan William J.

Chambliss sebagai berikut:

53
Gamba2 2. Model Bekerjanya Hukum Menurut Robert B. Seidman &
William J. Chambliss32

Kekuatan
Kekuatan Sosial
Sosial Personal
Personal
Faktor-Faktor
Faktor-Faktor Non
Non Hukum
Hukum

Masyarakat
Masyarakat Lembaga
Lembaga Pembuat
Pembuat Peraturan
Peraturan
Tuntutan Presiden
Presiden

Umpan
Umpan
Tuntutan
Balik
Balik
Umpan
Umpan PP No.
Balik UU ASN
Balik 53/2010

Lembaga Penerap Peraturan Pemegang


Pemegang Peran
Peran
(Presiden, BAPEG, BKN/BKD, PNS
PNS
Kepala Daerah, Inpektorat, Atasan) Aktifitas Penerapan Disiplin/Sanksi

Kekuatan Sosial Personal Kekuatan


Kekuatan Sosial
Sosial Personal
Personal
Faktor-Faktor Non Hukum Faktor-Faktor
Faktor-Faktor Non
Non Hukum
Hukum
Umpan
Balik

Penjelasan :

1. Lembaga Pembuat Peraturan (Presiden) membuat PP RI No. 53/2010.


Tentang Disiplin PNS yang mengatur tentang hak, kewajiban, larangan dan
sanksi bagi PNS di dalam menjalankan tugas kedinasan, sikap dan perilaku
baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja

2. Lembaga Penerap Peraturan/sanksi (Presiden BAPEG, BKN/BKD,


Kepala Daerah, Inspektorat, Atasan), bertugas menerapkan dan menegakkan
PP RI No. 53/2010. Apabila terdapat kekurangan atau kelemahan pada pada PP
tersebut sehingga peraturan perundang-undangan tidak dapat dijalankan
dengan efektif, maka lembaga penerap peraturan/sanksi dapat memberikan
umpan balik kepada lembaga pembuat peraturan untuk perbaikan.

3. Pemegang peran (PNS) adalah subjek hukum yang dijadikan sasaran


implementasi PP RI No. 53/2010 Apabila haknya dilanggar oleh lembaga
penerap peraturan, maka pemangku peran dapat mengajukan umpan balik
berupa keberatan dua arah yaitu: (i) kepada lembaga penerap peraturan/sanksi.

32
William J. Chambliss, & Robert B Seidman, Ibid.

54
(ii) kepada lembaga pembuat peraturan untuk memperbaiki atau memperbarui
PP RI No. 53/2010.
4. Kekuatan Sosial Personal (KSP) adalah kelompok-kelompok penekan
(pressure groups) yang terdapat di dalam masyarakat. Kekuatan sosial personal
dapat berupa tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
Organisasi Massa (Ormas), dan lain-lain. KSP dapat memberikan pengaruh
dan/atau tekanan kepada masing-masing unsur di dalam model teoritis ini,
yaitu kepada lembaga pembuat peraturan, lembaga penerap peraturan dan
kepada pemangku peran.
5. Masysrakat dapat mengajukan tuntutan baik kepada lembaga penerap peraturan
maupun kepada lembaga pembuat peraturan, apabila menemukan fakta bahwa
pembuatan dan/atau penerapan peraturan perundang-undangan ternyata tidak
sesuai dengan aspirasinya atau bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Pengajuan tuntutan itu dapat dilakukan sendiri atau melalui kekuatan sosial
personal.

1. Efektifitas Implementasi PP RI No. 53/2010

Ditinjau dari sudut pandang penelitian hukum, efektifitas

penegakan HAN adalah ukuran yang menggambarkan keberhasilan dari

proses penegakan HAN melalui sarana pengawasan dan penerapan

sanksi. Efektifitas juga menggambarkan seberapa besar kesenjangan

yang terjadi antara realitas menurut teori dan konsep hukum yang

ideal (law in book) dengan realitas hukum dalam kenyataan praktik

(law in action). Menurut Soerjono Soekanto,33 penelitian hukum secara

sosiologis atau empiris, pada dasarnya menggambarkan tentang

efektifitas hukum.

Efektifitas hukum adalah gambaran mengenai pengaruh hukum

terhadap masyarakat, inti dari pengaruh hukum terhadap masyarakat

adalah perilaklu warga masyarakat yang sesuai dengan hukum yang

berlaku. Kalau masyarakat berprilaku sesuai dengan yang diharapkan

33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia, 1984, hlm. 18

55
atau yang dikendaki oleh hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum

yang bersangkutan adalah efektif. Demikian juga halnya dengan PP RI

No. 53/2010 tentang Disiplin PNS, jika setiap PNS berpola pikir,

bersikap dan berperilaku sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam

PP yang bersangkutan, maka dikatakan bahwa penegakan peraturan

(penegakan hukum dalam arti sempit) tersebut adalah efektif.

Efektifitas penegakan peraturan dapat dinyatakan dalam dua

cara, yaitu (i) berdasarkan pada kepatuhan; dan (ii) berdasarkan pada

pelanggaran. Dalam praktik, menyatakan efektifitas berdasarkan

pelanggaran secara teknis akan lebih mudah daripada kepatuhan, karena

pelanggaran dapat terlihat langsung secara mencolok. Mengamati empat

orang yang datang terlambat di antara 100 orang selalu lebih mudah

daripada mengamati 96 orang yang patuh datang tepat pada waktunya.

Berdasarkan pengalaman empiris tersebut maka efektifitas penegakan

peraturan selalu dinyatakan berdasarkan pelanggaran.

Efektifitas bisa diukur dalam bentuk frekuensi atau persentase.

Efektifitas ideal adalah 100 %, artinya tidak ada satu orangpun PNS

yang melanggar peraturan disiplin atau semua PNS mematuhi

peraturan. Di dalam pratik, ukuran ideal 100 % itu hampir tidak

mungkin terjadi. Pelanggaran pasti ada di berbagai tempat dan waktu,

yang membedakan adalah persentasenya. Berdasarkan hal ini, maka

ukuran efektifitas penegakan peraturan secara teknis akan lebih

dinyatakan dalam bentuk “berapa persen tingkat penurunan pelanggaran

56
disiplin dalam periode waktu tertentu di tempat tertentu”, misalnya

penurunan pelanggaran disiplin PNS di BKD Provinsi Jawa Tengah

selama tahun 2011 – 2016.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektifitas Penegakan PP RI


No. 53/2010

Efektifitas upaya penegakan hukum dan/atau peraturan

membutuhkan suatu kondisi tertentu agar hukum atau peraturan

tersebut berpengaruh efektif terhadap perubahan perilaku manusia

menjadi lebih baik daripada sebelumnya (dalam konteks penelitian ini

adalah perilaku PNS), yaitu:34

a. Peraturan disiplin PNS harus dikomunikasikan dan disosialisasikan


dengan baik, tujuannya adalah membangkitkan pengertian dan
kesadaran bersama bahwa peraturan tersebut adalah realitas objektif
yang dihadapi dan dibutuhkan oleh PNS agar dapat memenuhi
tanggung jawab dan kewajibannya sebagai pelayan masyarakat.
Sosialisasi yang baik dapat mengubah disiplin kerja yang awalnya
hanya berupa realitas objektif menjadi realitas subjektif pada lingkup
individu atau personal, dan kemudian mengubahnya lebih lanjut
menjadi realitas sosial yang diterima (accepted) pada lingkup
organisasi atau masyarakat yang dituntut untuk dipatuhi. Pada tahap
ini disiplin telah melembaga menjadi kebiasaan (custom). Dalam
jangka waktu lama, maka kebiasaan (custom) akan berkembang
menjadi budaya yang diterima dan dipatuhi sehingga setiap PNS
akan berperilaku patuh terhadap peraturan disiplin meskipun tidak
diawasi. Budaya disiplin PNS yang terbentuk itu selanjutnya akan
menjadi hukum yang hidup (the living law) di masyarakat yang
dapat berfungsi sebagai sumber hukum tidak tertulis hagi hukum
administrasi negara (HAN). 35

34
Lilin Budiati, Efektifitas Penegakan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dalam Perspektif
Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) di BKD Provinsi Jawa Tengah, Semarang, Badan
Diklat Provinsi Jawa Tengah, 2016, hlm. 12-16.
35
Peter L Berger & Thomas Luckman, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Jakarta, LP3ES, 1990, hlm.
130. dalam Lilin Budiati (2016) – Menurut Peter L. Berger realitas atau kenyataan yang
dihadapi oleh setiap individu diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: realitas objektif, realitas
subjektif dan realitas sosial. Ketiganya merupakan suatu kontinum yang berkaitan erat satu
sama lain yang merupakan suatu proses menjadi realitas sosial karena indvidu selalu hidup
bersama masyarakatnya. Pada konteks penelitian ini, setiap pegawai yang baru diterima

57
b. Adanya predisposisi pada diri setiap PNS untuk berperilaku sesuai
dengan standar disiplin yang telah ditetapkan di dalam PP RI N0.
53/2010. Predisposisi disiplin PNS dapat dibentuk ketika pegawai
menjalani pendidikan dan pelatihan pra jabatan di Badan Diklat
Kepegawaian.

Menurut Soerjono Soekanto,36 terdapat lima faktor yang

mempengaruhi efektifitas upaya penegakan hukum atau peraturan.

Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:

a. Faktor substansi hukum atau peraturannya sendiri (PP RI. No.


53/2010)
Efektifitas suatu norma peraturan hukum tergantung pada
isi/substansi dari peraturan itu sendiri. Menurut Pasal 5 UU RI No.
12/2011 Tentang Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan, suatu
norma peraturan hukum harus memenuhi syarat-syarat: (i) kejelasan
tujuan; (ii) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; (iii)
kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; (iv) dapat
dilaksanakan; (v). kedayagunaan dan kehasilgunaan; (vi) kejelasan
rumusan; dan (vii) keterbukaan. Merujuk pada ketentuan tersebut,
maka substansi norma hukum pada PP RI No. 53/2010 mengandung
ketidakjelasan rumusan dan ketidaksesuaian isi dengan realitas
objektif yang dihadap PNS pada saat ini. Hal ini akan dianalisis lebih
lanjut pada uraian tentang hasil penelitian di bab III.

menjadi PNS akan menghadapi realitas objektif berupa “peraturan disiplin PNS (PP RI No.
53/2010)” yang harus dipatuhi. Realitas objektif ini dikenalkan kepada PNS di lingkungan
kerja dan di badan diklat ketika mengikuti diklat pra jabatan. Pada tahap ini akan terjadi proses
kognisi (ranah kognitif) atau pemahaman sehingga terbentuk persepsi mengenai “disiplin PNS,
yang dilanjutkan dengan proses internalisasi (ranah afektif) untuk membentuk sikap dan
predisposisi (kecenderungan berperilaku sesuai dengan persepsi yang terbentuk). Pada tingkat
inilah terbentuk mekanisme kontrol internal berupa “kontrol diri (self control)”, “norma
subjektif” dan “behavioral belief (kepercayaan tentang benar atau salah, baik atau buruknya
perilaku tertentu)” pada diri pegawai tentang “PNS yang kompeten, berintegritas dan
profesional”. Terciptanya mekanisme kontrol internal yang terdiri dari 3 elemen tersebut
adalah “realitas subjektif” yang diharapkan tertanam pada setiap PNS sehingga “disiplin PNS”
akan terwujud menjadi perilaku (ranah psikomotor) aktual PNS sehari-hari yang dibutuhkan
dan dirasakan sebagai “keharusan” untuk dilaksanakan (perceived behavior). Pada lingkup
organisasi dan masyarakat yang lebih luas, realitas subjektif pada diri setiap PNS itu perlu
dikembangkan menjadi “realitas sosial” melalui proses sosialisasi dan upaya pengawasan serta
penegakan peraturan sebagai mekanisme kontrol eksternal.
36
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan
Kelima.Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 42

58
b. Faktor Struktur Lembaga Penegakan Hukumnya
Menurut ketentuan Pasal 2 PP RI No. 24/2011 Tentang Badan
Pertimbangan Kepegawaian, maka struktur kelembagaan yang
menjalankan fungsi kontrol internal atas disiplin PNS adalah Badan
Pertimbangan Kepegawaian (selanjutnya disingkat BAPEK) yang
secara langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Menurut Pasal
4 PP No. 24/2011, BAPEK terdiri dari tujuh orang anggota dengan
susunan: Satu orang Ketua merangkap anggota (Menteri), satu orang
Sekretaris merangkap anggota (Kepala Badan kepegawaian); dan
lima orang anggota lain. BAPEK berkududukan di Pusat dan di
Daerah. Pada praktiknya, BAPEK dalam melaksanakan pengawasan
dan penegakan disiplin PNS dibantu oleh Badan Kepegawaian di
tingkat Pusat (BKN) dan Daerah (BKD), sehingga efektifitasnya
sangat tergantung pada hasil kinerja BKN atau BKD.

c. Faktor Aparat Penegak Hukumnya


Efektifitas penerapan peraturan juga dapat dipengaruhi oleh karakter
dan mentalitas dari aparat penegak hukumnya sendiri (pejabat
pembina kepegawaian yang juga PNS). Karakter dan mentalitas dari
aparat penegak peraturan yang tidak baik serta tidak dapat
memberikan keteladanan kepada PNS yang dibinanya akan
berpengaruh buruk terhadap efektifitas penegakan disiplin PNS. Hal
ini akan berakibat pada timbulnya dorongan untuk mentoleransi dan
menutupi pelanggaran demi kebaikan dan keselamatan bersama.

d. Faktor Masyarakatnya
Pada konteks pelayanan publik, interaksi sosial PNS dengan warga
masyarakat yang dilayaninya dapat berpengaruh terhadap tingkat
kepatuhannya terhadap peraturan disiplin. Perilaku sebagian warga
masyarakat, khususnya kalangan pengusaha memiliki perilaku yang
di dasarkan pada nilai untung-rugi. Pada waktu mengurus perijinan
usaha, tidak jarang pengusaha menawarkan sejumlah imbalan
tertentu kepada PNS agar urusannya dipermudah dan dipercepat.
Meskipun harus memberikan imbalan, pengusaha merasa lebih
untung jika urusannya cepat selesai, dibandingkan jika dia harus
melalui prosedur biasa. Kondisi ini dapat mendorong PNS
melakukan diskriminasi karena memberikan pelayanan istimewa,
menerima gratifikasi atau suap. Dalam hal ini, masyarakat juga ikut
berperan dalam membentuk perilaku negatif PNS sehingga tingkat
efektifitas penegakan disiplin menjadi rendah.

e. Faktor Budaya Hukumnya


Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem
hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur atau
budaya hukum berupa sikap tindak masyarakat beserta nilai-nilai
yang dianutnya. Atau dapat juga dikatakan, bahwa budaya hukum

59
adalah keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum
beserta sikap tindak yang mempengaruhi hukum, seperti adanya rasa
malu, rasa bersalah apabila melanggar hukum dan sebagainya.
Mentalitas, sikap dan perilaku PNS maupun masyarakat yang negatif
dan sudah melembaga menjadi budaya, seperti “peraturan dibuat
untuk dilanggar atau disiasati”, toleran dan permisif (membolehkan
asal tidak keterlaluan) terhadap pelanggaran akan menghambat
proses penegakan disiplin dan menurunkan efektifitasnya.

B. Teori Konsep Hukum H.L.A. Hart

Pada setiap masyarakat selalu dibutuhkan adanya aturan atau

norma sosial yang mengatur agar hubungan-hubungan atau interaksi sosial

di antara anggota masyarakat dapat diselenggarakan secara teratur dan

tertib sehingga tercapai suatu tertib sosial (social order). Dalam perspektif

postivisme hukum, keteraturan dan ketertiban sosial itu harus dicapai

melalui pengaturan perilaku anggota masyarakat untuk mewujudkan tertib

hukum (law order), yang dipaksakan dengan menggunakan norma hukum

sebagai instrumen. Kondisi ideal tertib hukum dimaknai sebagai suatu

keadaan dimana kewajiban ditunaikan, larangan dijauhi, hak-hak dipenuhi

serta tidak ada hak orang lain yang dilanggar. Pada konteks ini, kedudukan

hukum menjadi sentral, dalam arti menjadi penentu tercapinya tertib sosial

yang dikehendaki.

Menurut HLA. Hart,37 hukum digambarkan sebagai suatu sistem

yang di dalamnya terdapat kombinasi dari peraturan-peraturan atau norma-

norma yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu: (i) norma

primer; dan (ii) norma sekunder. Norma primer adalah kumpulan norma-

37
H.L.A. Hart, Loc. Cit. – Lihat: Robert S. Summers, H.L.A. Hart’s Concept of Law, Duke Law
Journal, Vol. 10, 1963, hlm. 635 - 640

60
norma tentang kewajiban atau “rule of obligation”, yaitu norma yang

membebani individu dengan kewajiban-kewajiban tertentu mengenai “apa

yang harus/wajib dilakukan” atau “apa yang yang dilarang atau tidak

boleh dilakukan”. Norma primer ini mempunyai aspek internal yang

mendorong seseorang mematuhinya karena alasan (i) ada kebutuhan

psikologis/internal dari individu untuk mematuhi norma/peraturan karena

hal itu mendatangkan rasa aman dan nyaman; (ii) adanya tekanan,

ancaman dan sanksi sosial yang berat jika tidak mematuhi peraturan.

Pada konteks penelitian ini, norma primer itu adalah undang-

undang kepegawaian, yaitu UU RI No. 43/1999 Tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian yang dicabut dan diganti dengan UU ASN yang berlaku

pada saat ini; (ii) norma sekunder yang berfungsi mengatur tentang

keabsahan (validitas) dan pelaksanaan daripada norma primer. Norma

sekunder berisi prosedur-prosedur, kewajiban, larangan dan sanksi yang

berkaitan dengan pelaksanaan dari norma primer. Norma sekunder inilah

yang menetapkan kapan, dan oleh siapa aturan-aturan primer dibentuk,

diakui, dimodifikasi, atau dicabut.

Norma sekunder dalam studi ini adalah PP RI No. 53/2010 yang

menjadi alasan dilakukannya penelitian, karena UU RI No. 43/1999 yang

dirujuknya sudah dicabut dan diganti dengan UU ASN tetapi PP yang

bersangkutan masih digunakan. Hal itu menimbulkan konsekuensi bahwa

keabsahan penerapan UU ASN sebagai norma primer menjadi

dipertanyakan, karena dilaksanakan oleh norma sekunder yang tidak

61
sesuai. Salah satu contohnya adalah atribut atau sebutan pegawai negeri

sipil pada PP RI N0. 53/2010 adalah PNS, sementara pada UU RI No.

5/2014 pegawai negeri sipil di pusat dan di daerah disebut ASN (Pasal

135).

Atribut maupun karakteristik PNS adalah berbeda dengan ASN

sehingga tidak tepat apabila PP yang diruntukkan bagi PNS. Dalam

perspektif UU ASN, pengawasan dan dan pembinaan ASN melibatkan

lembaga non struktural yang mandiri, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara

(KASN). Keabsahan dari norma primer yang mengatur tentang KASN ini

(Pasal 27 s/d Pasal 42 UU ASN) menjadi dipertanyakan karena belum ada

peraturan pelaksanaannya (norma sekunder). Tanpa adanya Peraturan

Pemerintah maka KASN tidak dapat menjalankan kewenangan dan

tugasnya. Terjadi kekosongan hukum yang diduga menyebabkan

penerapan disiplin melalui PP RI No. 53/2010 menjadi tidak efektif.

C. Teori Disiplin

1. Pengertian Disiplin

Pada umumnya kata “disiplin” berkonotasi negatif karena selalu

terkait dengan sanksi atau hukuman sebagai tindakan korektif dari

upaya penegakan peraturan guna menjamin bahwa peraturan yang

bersangkutan dilaksanakan. Disiplin berasal dari bahasa latin Disciplina

yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta

62
pengembangan karakter. Disiplin berkaitan dengan pengembangan

sikap yang layak terhadap pekerjaan.38

Byars dan Rue (2009),39 menyatakan bahwa disiplin berlaku

bagi setiap pegawai baik bawahan maupun atasan, sementara Mathis

dan Jackson (2008),40 memandang disiplin sebagai suatu bentuk

pelatihan untuk melaksanakan peraturan kepegawaian yang ditetapkan

oleh negara atau peraturan institusi/organisasi. Definisi itu dikemukaan

dengan maksud menghindarkan terbentuknya konotasi negatif bahwa

“disiplin ditujukan untuk menghukum atau menimbulkan rasa sakit”

pada pegawai yang melakukan kesalahan. Pemberian tindakan disiplin

pada pegawai yang melanggar, semata-mata dimaksudkan untuk

membangkitkan kesadaran dan melatih pegawai yang bersangkutan

untuk memperbaiki perilakunya dengan cara mematuhi peraturan

disiplin.

Disiplin adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan,

tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat yang berupa

kepatuhan atau ketaatan terhadap peraturan-peraturan yang ditetapkan

pemerintah, kode etik, kode perilaku, norma serta kaidah sosial yang

berlaku di dalam masyarakat.41 Alfred R. Lateiner dan I.S. Levine42

38
Eric Garner, Effective Discipline: How to Manage Discipline at Work, Ventus Publishing Aps.,
2012, hlm.9-12
39
Byars dan Rue (2009) dalam George Dzimbiri, The Effectiveness, Fairness and Consistency
of Disciplinary Actions and Procedures within Malawi: The Case of the Civil Service, IOSR
Journal 0f Business and Management, Vol. 8, Issue 10, Ver II, e-ISSN : 2278-487X, p-ISSN:
2319-7668. 2015, hlm. 41
40
Ibid.
41
Wirjo Surachmad, Wawasan Kerja Aparatur Negara, Jakarta, Pustaka Jaya, 1993, hlm.24.

63
mendefinisikan disiplin sebagai suatu kekuatan kontrol internal yang

berkembang pada diri para pegawai sehingga mendorong mereka untuk

mematuhi keputusan dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

Pada berbagai literatur pengertian disiplin pada umumnya selalu

dikaitkan dengan lingkungan pekerjaan sehingga disebut secara khusus

sebagai “disiplin kerja”, khusus untuk PNS pengertian disiplin tidak

hanya terbatas pada disiplin di tempat kerja tetapi juga menyangkut

disiplin di luar lingkungan kerja, sebagaimana disebutkan pada Pasal 1

ayat (1) dan ayat (3) PP RI No. 53/2010 sebagai berikut”

Ayat (1)
“Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai
Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan
kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman
disiplin.

Ayat (3)
“Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau
perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar
larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam
maupun di luar jam kerja”.

Pada ayat (3) tersebut dijelaslkan bahwa peraturan disiplin bagi

PNS tidak hanya berlaku pada saat jam kerja di tempat kerja, tetapi juga

berlaku di luar jam dan tempat kerja.

Disiplin PNS menjadi salah satu faktor kunci yang menentukan

kedayagunaan (efisiensi) dan keberhasilgunaan (efektifitas) kinerja

pelayanan publik. Ketiadaan disiplin tidak hanya menyebabkan

42
I.S. Livine, Teknik Memimpin Pegawai dan Pekerja, terjemahan oleh Iral Soedjono, Jakarta,
Cemerlang, 1980,hlm. 71.

64
rendahnya produktifitas, tetapi juga menimbulkan celah dan peluang

terjadinya penyimpangan atau pelanggaran yang lebih besar, misalnya

penyalahgunaan wewenang, kecurangan (fraud), suap dan korupsi.

2. Manajemen Disiplin

Penegakan displin PNS melalui penerapan PP RI No. 53/2010

tidak serta merta akan menghasilkan “disiplin efektif”, yaitu disiplin

yang dapat menghasilkan kinerja optimal PNS. Disiplin efektif hanya

dapat dicapai apabila organisasi/ institusi melaksanakan manajemen

disiplin. Menurut Mc Gregor (1087) dalam Vonai Chirasha, 43 terdapat

empat prinsip dalam manajemen disiplin, yaitu:

a. Segera (Immediate)
Setiap pelanggaran disiplin harus segera direspon dengan
memberikan tindakan pendisiplinan;

b. Pemberitahuan dan Peringatan Sebelumnya (Prior Notice and


Warning)
Pemberitahuan dan peringatan sebelumnya kepada setiap pegawai
yang menunjukkan indikasi tidak mematuhi atau akan melanggar
norma standar, Standard Operating Procedure (SOP) atau kode
perilaku organisasi/institusi;

c. Impersonal
Menahan diri terhadap terhadap perasaan pribadi atau subjektif,
misalnya rasa kasihan, solider atau setia kawan dalam melaksanakan
tindakan pendisiplinan;

d. Konsisten (Consistent)
Konsistensi dalam menerapkan disiplin dan/atau tindakan
pendisiplinan harus selalu dijaga dari waktu ke waktu agar disiplin
kerja ditaati oleh tiap pegawai.

43
Vonai Chirasha, 2013:215

65
Apabila disiplin dikelola dengan prinsip-prinsip di atas, maka

para pegawai akan melihat adanya suatu sistem disiplin yang jelas dan

tegas sehingga dapat menimbulkan dorongan internal dalam diri mereka

untuk mematuhinya. Sistem disiplin yang diterapkan oleh institusi perlu

dikomunikasikan dengan jelas kepada setiap pegawai agar dipahami

secara benar dan tepat. Adalah tidak adil (fair) mengharapkan pegawai

mematuhi disiplin jika mereka tidak memahaminya.

Pihak manajemen bertanggungjawab terhadap pengelolaan

disiplin yang meliputi: (a) seleksi perekrutan pegawai; (b) merumuskan

job description; (c) memberikan pelatihan dan peralatan; (d)

menjelaskan kebijakan dan Standard Operating Procedure (SOP); (e)

melakukan pengawasan dan penegakan disiplin dan (f) melakukan

evaluasi.

3. Pendekatan Disiplin

Isu disiplin di berbagai organisasi/institusi seringkali ditangani

dengan cara yang tidak tepat dan bahkan menimbulkan konflik

sertakebencian. Hal itu disebabkan karena organisasi/institusi tidak

menerapkan sistem disiplin yang dapat mengoreksi pelanggaran atau

tindakan indisipliner tanpa melukai perasaan pegawai. Cara pendekatan

pendekatan yang dipakai dalam menerapkan dan menegakkan disiplin

tergantung pada pilihan rasional yang didasarkan pada realitas objektif

yang dihadapi oleh manajemen.

66
Disiplin seharusnya ditegakkan dengan mempertimbangkan

berbagai alternatif yang ada di dalam organisasi/institusi. Secara umum

terdapat dua cara pendekatan, yaitu pendekatan positif dan pendekatan

negatif.44

a. Pendekatan Positif
Disiplin ditegakkan tanpa sanksi atau hukuman, dengan ekspektasi
bahwa pegawai mengidentifikasikan tujuan organisasi/institusi
menjadi tujuan pribadinya dan mendorong dirinya berupaya keras
untuk mencapainya.

b. Pendekatan Negatif
Penegakan disiplin dengan cara menimbulkan rasa takut terhadap
sanksi atau yang bentuknya dapat berupa denda, hukuman,
penundaan promosi, pencopotan jabatan, penurunan pangkat atau
mutasi. Dalam konteks ini, pegawai mamatuhi disiplin bukan karena
sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah benar sebagai kewajiban
kontraktualnya dengan negara, tetapi semata-mata hanya untuk
menghindari hukuman. Pegawai dihantui rasa tidak aman jika
sewaktu-waktu akan dikenai hukuman sehingga ada kebutujan untuk
mentaati peraturan demi menghindari hukuman.

Pendekatan mana yang yang tepat untuk diterapkan oleh pihak

yang berwenang melaksanakan manajemen PNS atau ASN, akan

ditentukan oleh situasi dan kondisi objektif yang dihadapi serta model

peran (role model) aparatur seprti apa yang ingin dicapai atau

diwujudkan oleh negara.

4. Model Teoritis Manajemen Disiplin

Fenley A.,45 memberikan sumbangan pemikiran dengan

mengajukan tiga model teoritis manajemen disiplin , yaitu:

44
Lilin Budiati, Op.Cit
45
Fenley A. (1998: 20, 353 dalam Vonai Chirasha, Management Discipline for Good
Performance: Theoretical Perspectives, Midland state University, Zimbabwe, 2013, hlm. 8.

67
a. Model Hukuman (Punitive Model)

Model punitif diasosiasikan dengan kemauan keras pihak

manajemen untuk menanamkan rasa takut terhadap sanksi atau

hukuman di antara para pegawai. Tujuannya adalah untuk

menghalangi pegawai bersikap toleran terhadap pelanggaran.

Pegawai diharapkan mematuhi peraturan karena rasa takut terhadap

sanksi atau hukuman yang pasti diberikan apabila peraturan itu

dilanggar. Basis kekuasaan menjadi unsur yang paling menonjol

pada model punitif, yang meniadakan peluang mendidik pegawai

agar mematuhi peraturan. Keputusan pihak manajemen bersifat

segera dan final dengan mengesampingkan pertimbangan atau

masukan pihak luar.

Model ini dapat menumbulkan efek samping berupa

kebencian para pegawai terhadap pihak manajemen, konflik terbuka

atau gangguan terhadap jalannya pekerjaan. Timbul ketegangan yang

meluas pada berbagai unit organisasi/institusi, sehingga para

pegawai banyak menggunakan waktunya untuk membicarakan isu-

isu yang tidak tidak produktif karena tidak ada hubungannya dengan

pekerjaan.

b. Model Perbaikan (Corrective Model)

Minat utama dari model korektif adalah menumbuhkan

disiplin diri pada pegawai. Tindakan disiplin lebih ditujukan untuk

mengoreksi pelanggaran daripada menghukum atau menanamkan

68
rasa takut. Prosedur penegakan disiplin bukan dimaksudkan sebagai

instrumen untuk menjatuhkan sanksi, tetapi lebih ditujukan untuk

memperbaiki perilaku pegawai. Peraturan harus dikomunikasikan

agar benar-benar dipahami oleh para pegawai, serta penalti

dijatuhkan secara adil dan konsisten.

Model ini berbasis pada asas keadilan di mana pegawai yang

melakukan pelanggaran wajib diberikan hak untuk bertanya,

didengar pendapatnya, mendapat advokasi, membela diri atau

mengajukan banding. Dengan demikian, diharapkan bahwa pada diri

pegawai akan timbul dorongan intrinsik untuk mematuhi peraturan

dan standar perilaku yang diterapkan oleh organisasi/institusi.

c. Model Revisionis (Revisionist Model)

Tujuan dari model revisionis adalah untuk membangkitkan

harga diri atau kehormatan di dalam diri setiap pegawai. Atribut

harga diri atau kehormatan ini sudah diinduksi secara dini sejak saat

perekrutan di mana calon pegawai baru harus menandatangani surat

pernyataan bahwa yang bersangkutan bersedia tunduk dan

berkomitmen terhadap peraturan dan kode perilaku yang ditetapkan

oleh institusi. Kesalahan atau penyimpangan kecil terhadap

peraturan yang dilakukan pegawai, akan diberitahukan dan

diperingatkan oleh supervisor secara kekeluargaan, agar pegawai

yang bersangkutan memperbaiki perilakunya.

69
Jika pelanggaran tersebut berulang, maka diberikan teguran

dan peringatan yang lebih serius disertai konsultasi dan pembinaan.

Wujud peringatan keras dengan cara kekeluargaan adalah pegawai

yang bersangkutan dirumahkan beberapa saat tetapi masih tetap

dibayar haknya. Hal ini dimaksudkan agar yang bersangkutan dapat

mawas diri untuk memperbaiki kesalahannya. Apabila pelanggaran

atau perilaku buruk itu bersifat persisten (tidak bisa berubah), maka

kepada pegawai yang bersangkutan dikenakan sanksi pemberhentian

atau diminta mengundurkan diri secara sukarela.

Ciri khas dari model revisionis adalah adanya prinsip bahwa

“peniadaan semua bentuk hukuman atau ancaman hukuman karena

dianggap sebagai faktor yang kontra produktif”. Hal ini

dimaksudkan untuk memberikan rasa aman serta menghindarkan

konflik. Apabila pemutusan hubungan kerja baik melalui mekanisme

pemberhentian oleh pihak manajemen, maupun melalui pengunduran

diri secara sukarela, maka harga diri pegawai yang bersangkutan

dapat menerima hal itu dengan lapang hati.

5. Metafora Model Disiplin

Tiga model teoritis Fenley tersebut masing-masing memiliki

deskripsi dengan batasan yang jelas dan tegas. Di dalam praktik, hal itu

tidak langsung bisa diterapkan karena situasi dan kondisi yang dihadapi

di dalam praktik pada umumnya merupakan kombinasi tumpang tindih

dari batasan-batasan dalam model teoritis. Dari model punitif, model

70
korektif sampai dengan model revisionis, sebenarnya terdapat benang

merah yang menghubungkan ketiganya sehingga merupakan suatu

kontinum.

Pada berbagai literatur terdapat dikotomi mengenai

pengklasifikasian manajemen disipilin menjadi dua model, yaitu: (a)

Manajemen Garis Keras (Hard Management), misalnya: model punitif;

dan (b) Manajemen Garis Lunak (Soft Management), misalnya: model

korektif dan model revisionis. Sementara di dalam praktik dikenal dua

jenis model manajemen disiplin, yaitu: (a) Baik (Good); dan (b) Buruk

(Bad).

Apabila model teoritis dan model praktis disilangkan maka akan

diperoleh matriks manajemen disiplin yang terdiri dari empat model

sebagai berikut:

Gambar 3. Matriks Model Manajemen Disiplin Fenley

Sumber: Fenley (1998) dalam Viona Chirossha (2013:217) – Lilin Budiati, 2016

71
Keterangan:

1. Persilangan model teoritis dan model praktis menghasilkan empat model


manajemen disiplin, yaitu: (a) Model Punitif; (b) Model Arbitrary; (c) Model
Corrective; dan (d) Model Lax. Model punitif dan Model Arbitrary termasuk
kategori model manajemen garis keras (hard management), sedangkan Model
Corrective dan Model Lax termasuk kategori model managemen garis lunak
(soft management).

2. Penggambaran karakteristik masing-masing model menggunakan metafora


karakteristik empat jenis binatang, yaitu singa (lion), kerbau (buffalo), gajah
(elephant), dan zebra.

3. Karakteristik masing-masing model berdasarkan metafora 4 jenis binatang


tersebut adalah sebagai berikut:
a. Model Hukuman (Punitive Model) – Singa (Lion): Setiap pelanggaran dapat
dikenai sanksi pemberhentian atau pemecatan. Prosedur penegakan disiplin
sederhana, tetapi peraturannya jelas dan tegas. Proses penegakan disiplin
mengikuti prosedur yang ada.
b. Model Sewenang-wenang (Arbitrary Model) – Kerbau (Buffalo):
manajemen disiplin tidak tetap atau berubah-ubah (plin-plan), tergantung
kemauan pimpinan atau pihak manajemen. Tidak ada prosedur penegakan
disiplin yang jelas. Penanganan atas pelanggaran disiplin bersifat temporer
dan sesaat.
c. Model Perbaikan (Corrective Model) – Gajah (Elephant): Risiko pemecatan
atas pelanggaran disiplin lebih kecil. Prosedur manajemen disiplin lebih
kompleks dan memberikan peluang “reformasi atau rehabilitasi” kepada
pegawai pelanggar disiplin. Prosedur ini mutlak harus dilaksanakan dalam
proses manajemen disiplin.
d. Model Lemah (Lax) – Zebra: Kegagalan dalam merancang srandar atau
perangkat peraturan yang jelas dan tegas. Bersikap terlalu lunak atau
longgar terhadap pelanggar disiplin, dan manajemen yang tidak konsisten.

72
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Alasan-Alasan Penyebab Ketidakefektifan Penerapan PP RI No. 53/2010


dalam Penerapan Disiplin PNS

1. Efektivitas Implementasi Penerapan Disiplin PNS Ditinjau Dari


Perspektif PP RI No. 53/2010

Penilaian mengenai efektivitas tidak cukup hanya dengan melihat

keluaran (output) saja bahwa upaya penerapan disiplin sudah

dilaksanakan, tetapi harus menilai juga tentang hasil (outcome) kinerja

penerapan disiplin yang bisa dinilai dari ukuran berapa jumlah atau

persentase pelanggaran yang dapat diturunkan melalui upaya tersebut.

Pada bab II telah dijelaskan bahwa secara teknis penilaian

efektivitas akan lebih mudah apabila didasarkan pada ketidakpatuhan atau

pelanggaran yang dilakukan oleh PNS karena lebih mudah diamati, dalam

hal ini “pelanggaran” adalah indikator yang digunakan untuk menilai dan

mengukur efektivitas. Ukuran efektivitas dapat dinyatakan secara kualitatif

atau kuantitatif. Bentuk ukuran kualitatif dengan tingkatan dari rendah ke

tinggi antara lain adalah: tidak efektif – kurang efektif – cukup efektif –

efektif yang batasannya tidak jelas serta cenderung subjektif, sedangkan

bentuk ukuran kuantitatif berupa “jumlah angka atau persentase” yang

lebih memberikan gambaran pasti mengenai tingkatan efektivitas.

Meskipun tidak jelas batasannya, ukuran kualitatif memiliki kelebihan

dibanding ukuran kuantitatif karena lebih bisa menjelaskan tentang

73
kualitas dan kedalaman dari keadaan yang digambarkan melalui ukuran

itu.

Pengukuran efektivitas membutuhkan kriteria yang menentukan

batasan antara tidak efektif, kurang efektif dan efektif. Penetapan kriteria

tidak dapat dilakukan berdasarkan subjektifitas peneliti, tetapi harus

berdasarkan pengalaman empiris para praktisi atau peneliti lain.

Berdasarkan pengalaman empiris, maka kriteria penilaian efektivitas

adalah sebagai berikut:46

f. Tidak efektif : 0 – 19 %
g. Kurang efektif : 20 – 39 %
h. Cukup efektif : 40 – 59 %
i. Efektif : 60 - 79 %
j. Sangat efektif : 80 – 100 % (kondisi optimal yang diharapkan)

Efektivitas penerapan disiplin PNS pada penelitian ini dinilai

secara kuantitatif dan kualitatif. Penilaian kuuantitatif menggambarkan

tingkat efektivitas upaya penerapan disiplin PNS melalui penerapan PP RI

No. 53/2010, sementara penilaian kualitatif menggambarkan alasan atau

sebab-sebab yang menjelaskan tentang hasil penerapan disiplin itu.

Ukuran kuantitatif yang dipakai adalah “persentase penurunan pelanggaran

disiplin” dalam periode waktu tertentu, yaitu antara tahun 2011 – 2015

menggunakan kriteria pengukuran di atas.

Data yang diperoleh peneliti selama melakukan penelitian meliputi

data sekunder dan data primer. Data sekunder adalah data pelanggaran

disiplin PNS selama tahun 2011 – 2015 yang diperoleh dari kantor Badan

46
Lilin Budiati, Evaluasi Efektivitas Pembelajaran Diklat Kepemimpinan di Badan Diklat
Provinsi Jawa Tengah, Laporan Penelitian, 2014, hlm.16.

74
Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Tengah, sementara data primer

berupa hasil wawancara dengan para narasumber terpilih. Temuan yang

diperoleh pada penelitian adalah sebagai berikut:

Profil pelanggaran disiplin PNS berdasarkan tingkat hukuman

selama kurun waktu tahun 2011 – 2015 adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Profil Pelanggaran Disiplin PNS Berdasarkan Tingkat Hukuman Di


Wilayah Kerja BKD Provinsi Jawa Tengah Periode 2011 – 2015
Tahun
Tingkat Hukuman
2011 2012 2013 2014 2015
Ringan 189 (31,45%) 127 (28,80%) 170 (32,57%) 136 (30,36%) 124 (29,74%)
Sedang 130 (21,63%) 78 (17,69%) 91 (17,43%) 110 (24,55%) 69 (16,55%)
Berat 282 (46,92%) 236 (53,51%) 261 (50%) 202 (45,09%) 224 (53,72%)
Total 601 441 522 448 417
Sumber: BKD Provinsi Jawa Tengah, 2017

Tabel 2 menghadirkan fakta-fakta sebagai berikut:

1) Persentase rata-rata pelanggaran disiplin selama lima tahun (2011 –


2015) berdasarkan tingkat hukuman adalah: ringan = 30,58%;
Sedang = 19,57%; Berat = 49,85%. Persentase terkecil adalah
pelanggaran dengan hukuman sedang, diikuti pelanggaran dengan
hukuman ringan dan persentase terbesar adalah pelanggaran dengan
hukuman berat.
2) Persentase rata-rata penurunan pelanggaran selama periode tahun
2011 – 2015 adalah: 26,6%; antara 2011 – 2012, jumlah pelanggaran
naik = 18,4%; antara 2013 – 2015, jumlah pelanggaran turun rata-
rata = 10,6%.. Persentase penurunan pelanggaran disiplin
berdasarkan tingkat hukuman dari kondisi awal pada tahun 2011)
sampai dengan kondisi akhir pada tahun 2015, maka pelanggaran
dengan tingkat hukuman ringan turun 34,4 %, tingkat sedang turun
46,9 % dan tingkat berat turun hanya 20,6 %.

Profil jenis pelanggaran displin PNS yang paling menonjol

adalah: (i) Lain-lain = 34,4 %; (ii) Tidak masuk kerja/mangkir = 33 %,

dan perkawinan/perceraian = 12,9 % sebagaiman dapat dilihat pada

tabel 3 berikut ini:

75
Tabel 3. Profil Jenis Pelanggaran Disiplin PNS Di Wilayah Kerja BKD
Provinsi Jawa Tengah Periode 2011 - 2015
No. Jenis Pelanggaran Persentase rata-rata
1 Politik 0,3 %
2 Pidana Korupsi 2,37 %
3 Pidana Umum 8,2 %
4 Penyalahgunaan wewenang 8,4 %
5 Perkawinan/perceraian 12,9 %
6 Tidak masuk kerja/mangkir 33 %
7 Lain-lain 34,8 %
Total 100 %
Sumber: BKD Provinsi Jawa Tengah

Berdasarkan kriteria penilaian sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, maka efektivitas penerapan disiplin PNS di wilayah kerja

BKD Provinsi Jawa Tengah ditinjau dari kondisi awal tahun 2011

sampai dengan kondisi akhir tahun 2015, dapat dinilai sebagai berikut:

Tabel 4. Penilaian Efektivitas Implementasi Disiplin PNS Di Wilayah Kerja


BKD Provinsi Jawa Tengah Periode 2011 – 2015

Tingkat Kondisi Awal Kondisi Akhir Persentase


Efektivitas
Hukuman Tahun 2011 Tahun 2015 Penurunan
Ringan 189 124 34,8 % Kurang Efektif
Sedang 130 69 44,60 % Cukup Efektif
Berat 282 224 20,6 % Kurang Efektif

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa implementasi PP

No. 53/2010 dalam penegakan disipilin PNS tidak efektif karena tingkat

penurunan pelanggaran disiplin di bawah angka 50%, jauh dari kondisi

optimal yang diharapkan. Ketidakefektifan penegakan disiplin PNS

yang diatur di dalam PP No. 53/2010 sebagaimana yang terungkap pada

data pada tabel 4, mengindikasikan bahwa terdapat realitas-realitas

subjektif dan sosial dibalik realitas objektif - empiris pelanggaran

disiplin PNS yang teramati. Realitas-realitas itu dapat diklasifikasikan

menjadi dua kategori, yaitu: (2) Realitas atau yang menjadi faktor-

76
faktor penyebab langsung dari ketidakefektifan penerapan PP No.

53/2010; dan (2) Realitas yang menjadi anteseden atau faktor-faktor

yang mendasari atau melatarbelakangi munculnya faktor-faktor

penyebab. Hubungan antara anteseden (faktor penyebab tidak

langsung), faktor penyebab dengan realitas ketidakefektifan

(inefektifitas) penerapan PP No. 53/2010 beserta segala akibatnya dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 4. Hubungan Faktor-faktor Penyebab Tak Langsung (Anteseden)


dengan Faktor-faktor Penyebab Langsung

Ketidakefektifan penerapan PP No. 53/2010 tentang Disiplin

PNS akan menimbulkan dua kategori akibat urtama, yaitu: (1) Kategori

Kinerja meliputi: Kinerja PNS rendah, Produktifitas PNS rendah, dan

Kualitas pelayanan publik buruk; dan (2) Kategori moral: Moral

Hazard yang meliputi korupsi dan perilaku oportunistik (memanfaatkan

77
peluang atau kesempatan untuk kepentingan pribadi secara melawan

hukum atau melanggar norma-norma moral, etika dan sosial).

Berkenaan dengan ketidakefektifan penerapan PP No. 53/2010

tentang disiplin PNS, Budi Martono47 selaku informan pada penelitian

ini, dalam menjawab pertanyaan “Mengapa penerapan PP No. 53/2010

tentang Disiplin PNS tidak efektif?” menyatakan sebagai berikut:

“PP Nomor 53 tahun 2010 belum dapat merubah kelakuan buruk


para PNS, yang ada mereka malah acuh dengan PP tersebut. Hal itu
karena tidak adanya tindakan hukum yang tegas yang dilakukan oleh
para pejabat yang seharusnya memberikan hukuman. Padahal pada PP
No 53 Tahun 2010 ini juga dicantumkan hukuman juga bisa dikenakan
terhadap pejabat yang seharusnya memberikan hukuman, tetapi tidak
menjatuhkan hukuman terhadap anak buahnya yang telah melakukan
pelanggaran. Rekomendasi pejabat hendaknya memantau bawahan
yang menjadi tanggungjawabnya agar melaksanakan PP No. 53 Tahun
2010 dengan disiplin agar tidak dikenai sanksi akibat melanggarnya.
Jika disiplin telah menjadi nafas para PNS tentunya kinerja pemerintah
akan jauh lebih baik, Disiplin tersebut tidak terjadi hanya untuk
sementara. Penerapan peraturan disiplin PNS harus tegas dan konsisten.
Selain itu diharapkan PNS wajib menjaga dan mengembangkan etika
profesinya”.

Budi Martono secara implisit mengakui tentang empat hal: (1)

bahwa penerapan PP No. 53/2010 belum atau tidak efektif dalam

mengubah kelakuan buruk PNS; (2) Respon PNS terhadap keberadan

dan keberlakuan PP No. 53/2010 adalah acuh tak acuh; (3) Tidak ada

tindakan hukum yang tegas dari pejabat yang memiliki kewenangan

untuk melakukan pengawasan, pembinaan, penegakan disiplin dan

evalauasi; (4) Penerapannya tidak konsisten yang dapat diartikan bahwa

PP No. 53/2010 diterapkan tidak sama untuk semua PNS yang dapat

47
Wawancara dengan Budi Martono, selaku Kasubag Administrasi dan Umum Inspektorat
Wilayah Provinsi Jawa Tengah di Semarang pada tanggal 28 Agustus 2017

78
dipengaruhi oleh faktor-faktor “suka atau tidak suka (like and dislike),

situasi dan kondisi yang berkaitan dengan tindakan pelanggaran, atau

tingkat toleransi yang tinggi terhadap pelanggaran. Dinyatakan juga

bahwa “disiplin” seharusnya dijaga dan dikembangkan sesuai dengan

kode perilaku dan kode etik yang menjadi basis nilai bagi PNS.

Lebih lanjut, Budi Martono menyatakan bahwa:

“Pembinaan PNS tidak mungkin berhasil kalau pengawasannya


hanya sesekali. Harusnya secara preodik dilakukan pembinaan,
pengawasan, penilaian dan penindakkan bagi yang bermasalah. Tapi
dalam pengaplikasiannya tidak dilakukan secara utuh karena pada
umumnya setelah diberi teguran atau peringatan pertama, lanjut
peringatan kedua, kemudian kembali ke peringatan pertama lagi.
seharusnya dihukum lebih berat, misalnya skorsing, mutasi, sampai
pemecatan! Jika sanksi yang di jatuhkan tegas dan jelas pasti PNS tidak
akan berani membolos, tidak masuk kerja tanpa keterangan dan disiplin
menjalankan tugasnya setiap hari. Sebab, tidak mudah menjdi PNS.
Pasti mereka takut dipecat jika aturan mainnya jelas dan dijalankan
tanpa pilih kasih. Sayangnya sanksi seperti itu sangat jarang di lakukan
sehingga tidak menimbulkan efek jera atau menimbulkan rasa takut
bagi mereka yang harusnya merasa beruntung menjadi PNS karena
tidak mudah menjadi seorang PNS. Meski gaji pas-pasan untuk hidup,
tetapi hari tua terjamin hidupnya karena ada dana pernsiunnya. Itu
Sebabnya PNS menjadi idola di kalangan masyarakat. Berprofesi
sebagai PNS, abdi negara melayani masyarakat memang enak.
Disiplinnya longgar, setiap bulan terima gaji, bahkan banyak PNS yang
makan gaji buta karena memang jarang masuk kantor, tidak punya meja
sehingga banyak di luaran. Begitulah sistem kerja di instansi itu tidak
berjalan penuh dengan “like and dislike”, jenjang karir tidak jelas,
karena fakta pegawai yang punya pendidikan, pintar bekerja, namun
tidak pernah dipromosikan menduduki jabatan dikantornya. Malah yang
jarang masuk kantor yang di jadikan pejabat eselon dan menduduki
meja basah karena dekat dengan pejabat tertentu di tingkat provinsi
maupun kabupaten”.

Pada pendapatnya yang kedua, Budi Martono mengungkapkan

bahwa ada dua persoalan yang menyangkut: (1) tindakan pengawasan

yang tidak berkelanjutan, artinya dilakukan sesekali atau sporadis tanpa

79
diikuti dengan tindak lanjut berupa pengawasan atau peringatan kedua,

ketiga dan seterusnya; (2) Tidak ada sanksi tegas atau diterapkan

setengah hati atau tidak utuh sehingga tidak menimbulkan efek jera; (3)

Penegasan tentang adanya praktik “pilih kasih atau like and dislike”

yang berimplikasi pada ketidakjelasan jenjang karir pegawai seperti:

pegawai yang pandai tidak dipromosikan sebagaimana seharusnya,

sebaliknya pegawai yang malas dan jarang masuk kantor justru

dipromosikan menduduki jabatan struktural. Terkait dengan tindakan

sanksi yang tegas, Budi Martono menekankan:

“ ......... perlunya memberikan sanksi kepada pejabat/atasan


yang menurut PP No. 53/2010 seharusnya memberikan hukuman
kepada PNS yang melakukan pelanggaran, namun tidak
melaksanakan tindakan hukuman tersebut.....”.

Menurut Budi Martono, secara substansial PP No. 53/2010

sudah baik dan masih layak untuk diterapkan meskipun undang-undang

kegegawaiannya sudah diganti dengan UU ASN No. 5 Tahun 2014

Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), tetapi implemantasinya harus

benar-benar ditegakkan secara konsisten sebagaimana yang tersurat

maupun tersirat. Tiap instansi pemerintah harus mengembangkan

budaya kerja yang dapat mendukung perubahan pola pikir (mindset)

dan perilaku individual PNS maupun perilaku organisasional dalam

rangka melaksanakan reformasi birokrasi untuk mewujudkan generasi

PNS yang kompeten, berintegritas dan profesional.

80
Efektifitas PP No. 53/2010 ditinjau dari perpektif Penerapan
Norma Hukum

PP No. 53/2010 adalah peraturan yang termasuk di dalam

lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN). Efektifitas penerapan

suatu norma hukum dipengaruhi oleh lima faktor penyebab langsung:

(1) Kualitas dan substansi (peraturan) hukumnya, yaitu PP No. 53/2010;

(2) Lembaga penegak hukumnya, yang meliputi: BKD, BKN, Dewan

Kepegawaian; (3) Aparat penegak hukumnya, yang meliputi: atasan

langsng, Kepala Dinas, Kepala Daerah, Pejabat Pembina, Presiden; (4)

Masyaraktnya, yang mencakup komunitas PNS dan lingkungan

masayarakat yang melingkupinya; dan (5) Budaya hukumnya,

menyangkut budaya eksternal dan internal yang terbentuk akibat

berlakunya PP No. 53/2010 tersebut.

Mencermati pendapat Budi Martono diatas, maka efektifitas

penerapan dan/atau penegakan PP No. 53/2010 dapat dianalisis

berdasarkan lima faktor tersebut.

a) Substansi PP No. 53/2010

PP No. 53/2010 adalah norma hukum yang memiliki

karakteristik berbeda dengan karakteristik norma lainnya seperti:

norma sosial atau norma etika. Norma hukum memiliki empat

karakteristik, yaitu: (1) Berlaku umum, artinya mengikat semua

subjek hukum (PNS) yang dikenai oleh peraturan tersebut, dalam hal

ini termasuk atasan langsung dan/atau pejabat pengawas/pembina

PNS; (2) Mengikat, artinya siapapun subjek hukum yang terkena

81
wajib mematuhinya tanpa terkecuali. Pembebasan atas kewajiban itu

harus didasarkan alasan pembenar yang sah; (3) Memaksa, artinya

memilki daya paksa terhadap subjek hukum (PNS) agar mematuhi

peraturan; dan (4) Ada sanksi hukum, artinya disediakan sanksi

hukum bagi PNS yang melanggar peraturan.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) PP No. 53/2010

yang isinya adalah “ .................. melanggar larangan ketentuan

disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam

kerja”, maka substansi pasal ini mengandung ketidakjelasan

(ambiguitas) dan kekaburan makna yang mengakibatkan terjadinya

kerancuan konteks, orientasi, penerapan dan/atau penegakan norma

hukum. Pertama, peraturan disiplin berlaku pada dua situasi, kondisi

dan konteks yang berbeda, yaitu: “di dalam jam kerja” dan “di luar

jam kerja”. Situasi, kondisi dan konteks disipin di dalam jam kerja

memiliki orientasi, sasaran, indikator dan ukuran yang berbeda

dengan situasi, kondisi dan konteks “di luar jam kerja”. Disiplin di

dalam jam kerja adalah disiplin kerja yang orientasi, sasaran, dan

ukurannya harus mengacu pada hasil (outcome) atau kinerja PNS

dalam menjalankan tugas di unit kerjanya, tetapi yang sasaran yang

ditentukan pada Pasal 8 ayat (14), hukuman pelanggaran dijatuhkan

apabila “ .......... berdampak negatif pada unit kerja”. Di dalam jam

kerja, unsur yang seharusnya (das solen) dinilai pada diri PNS selaku

individu/personal adalah “hasil (outcome) kerja atau kinerja sesuai

82
dengan Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) masing-masing di unit

kerjanya, tetapi yang berlaku (das sein) adalah penilaian berdasarkan

“dampak negatif terhadap unit kerja”. Padahal unit kerja secara

keseluruhan terdiri dari beberapa atau sekelompok PNS dengan

TUPOKSI dan indikataor serta ukuran kinerja yang berbda. Orientasi

dan sasaran disiplin kerja menjadi tidak jelas atau kabur yang

menyebabkan substansi peraturan menjadi sulit diimplementasikan

karena indikator dan ukurannya sulit dirumuskan. Kedua, Disiplin di

luar jam kerja menyangkut sikap dan perilaku PNS selaku individu

atau pribadi yang sudah tidak terikat dengan TUPOKSI dan unit

kerjanya. Hak asasi PNS di luar jam dan lingkungan kerjanya adalah

sama dengan anggota masyarakat lain yang bukan PNS, dalam arti

memiliki kebebasan berpikir, sersikap dan berperilaku menurut apa

yang baik atau tidak baik bagi dirinya. Di luar lingkungan kerjanya,

PNS sikap dan perilaku PNS dikontrol oleh norma-norma sosial,

norma etika dan norma hukum lain di luar lingkup Hukum

Administrasi Negara serta di luar konteks lingkungan kerjanya.

Jangkauan norma hukum kepegawaian terhadap kehidupan pribadi

PNS di luar jam kerja menjadi salah sasaran. Pengawasan, penerapan

dan/atau penegakan ketentuan PP No. 53/2010 menjadi jauh lebih

sulit dilaksanakan karena indikator dan ukuran penilaian juga lebih

sulit dirumuskan.

83
Tinjauan substansi Pasal 1 ayat (3) PP No. 53/2010 menurut
perspektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Ditinjau dari ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

mengenai asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik

meliputi:

“ ........... (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau pejabat


pembentuk yang tepat; (c) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan
materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan
kehasilgunaan; (f). kejelasan rumusan; dan (g). Keterbukaan”.

Merujuk pada ketentuan Pasal 5 UU No. 12/2011 Tentang

Pembuatan Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka ketentuan

Pasal 1 ayat (3) PP No. 53/2010 tidak memenuhi 4 asas, yaitu: (1)

kejelasan tujuan; (2) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi

muatan, (3) dapat dilaksanakan; dan (4) kedayagunaan (efisiensi)

dan kehasilgunaan (efektifitas).

(1) Kejelasan Tujuan

Tujuan PP No. 53/2010 tidak jelas atau ambigu, apakah

mengatur tentang disiplin kerja PNS di dalam unit kerjanya atau

mengatur tentang kehidupan pribadi PNS di luar jam dan

lingkungan kerja yang sudah diatur oleh norma hukum lain?

Pencampuran tujuan mengatur pelaksanaan disiplin kerja PNS

pada tataran teknis di dalam unit kerja dengan tujuan mengatur

perilaku PNS selaku individu bebas di luar jam kerja yang sudah

diatur oleh norma hukum lain, menyebabkan tumpang tindih

84
peraturan yang berimplikasi pada inkonsistensi, ketidakjelasan

dan kerancuan penerapan hukum.

(2) Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan

Isi Pasal 1 ayat (3) PP No. 53/2010 adalah sebagai berikut:

“Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau


perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau
melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang
dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja”.

Pasal tersebut mengatur dua jenis perbuatan PNS. Pertama,

perbuatan di dalam jam kerja, di lingkungan kerja selaku

pegawai pemerintah yang tergolong sebagai perbuatan “bersegi

satu”, artinya perbuatan PNS yang berkaitan dengan urusan

internal kedinasan atau pemerintahan di tempat kerja yang tidak

melibatkan orang lain di luar PNS. Perbuatan jenis ini diatur

melalui undang-undang kepegawaian beserta peraturan

pelaksanaannya, yaitu PP No. 53/2010. Kedua, perbuatan PNS

di luar jam kerja, di luar lingkungan kerja selaku pribadi/warga

negara yang sama seperti anggota masyarakat lain di luar PNS.

Jenis perbuatan kedua tergolong “bukan perbuatan bersegi satu”

yang lingkupnya jauh lebih luas. Contohnya adalah PNS yang

melakukan perselingkuhan atau perzinahan. Perselingkuhan

dan/atau perzinahan adalah jenis perbuatan yang diatur oleh

undang-undang pidana (KUHP) dan peraturan hukum acaranya

KUHAP. Perselingkuhan atau perzinahan juga berimplikasi

pada perceraian yang diatur oleh oleh Undang-Undang Nomor 1

85
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perselingkuhan, perzinahan

dan perceraian adalah jenis perbuatan yang diatur oleh norma

hukum setingkat undang-undang. Meskipun PP No. 53/2010

tidak secara eksplisit mengatur tentang perselingkuhan,

perzinahan atau pernikahan atau perceraian, tetapi pada

pelaksanaannya ternyata memberikan sanksi hukuman disiplin

berat atas ketiga jenis perbuatan itu. Suami/istri PNS yang

melakukan peselingkuhan atau perzinahan dapat dikenakan

pidana berdasarkan Pasal 284 KUHP apabila istri/suami yang

bersangkutan melaporkan perbuatan itu kepada pihak berwajib.

Tindakan itu dapat disertai gugatan pisah ranjang, pisah rumah

atau gugatan cerai berdasarkan pasal 27 KUHPerdata dan/atau

UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Jika perbuatan itu

kemudian dilaporkan juga oleh istri/suami PNS yang

bersangkutan kepada atasannya, maka PNS tersebut juga dikenai

hukuman disiplin berat. PNS pelaku perselingkuhan/perzinahan

mendapat tiga jenis sanksi, yaitu: (1) sanksi pidana berupa

hukuman penjara; (2) sanksi pisah ranjang, pisah rumah atau

cerai berdasarkan hukum perdata, hukum agama dan hukum

perkawinan; dan (3) sanksi hukuman disiplin berat berdasarkan

peraturan disiplin yang secara eksplisit tidak termuat di dalam

PP No. 53/2010.

86
Pengaturan jenis perbuatan selingkuh, zina dan implikasinya

berupa perceraian melalui peraturan disiplin adalah tidak adil

serta tidak memenuhi syarat keberlakuan yuridis karena

keabsahan norma hukum hanya bisa diakui apabila dipositifkan

berupa ketentuan yang secara eksplisit tertulis dalam bentuk

undang-undang dan/atau peraturan pelaksanaannya. Jika tidak

tertulis, maka dianggap tidak ada hukum dan ketentuan itu tidak

boleh diterapkan. PP No. 53/2010 sama sekali tidak memuat

ketentuan tentang perselingkuhan, perzsinahan atau perceraian,

dengan demikian peraturan disiplin PNS juga tidak boleh

memberikan sanksi hukuman disiplin berat terkait

perselingkuhan, perzinahan dan perceraian. Disamping itu,

perilaku PNS di luar jam kerja dan unit kerjanya adalah ranah

kehidupan pribadi yang sudah diatur oleh norma hukum lain di

luar norma Hukum Administrasi Negara, misalnya pernikahan

dan perceraian diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan, demikian juga halnya dengan

perilaku PNS lainnya sudah diatur di dalan Undang-Undang

Hukum Perdata dan Pidana atau peraturan perundang-undangan

lain yang terkait. Perilaku PNS di luar jam kerja selaku subjek

hukum seharusnya memang diatur dengan norma hukum

setingkat undang-undang, dengan demikian pengaturan melalui

Pasal 1 ayat (3) yang hierarkinya adalah peraturan di bawah

87
undang-undang adalah tidak tepat. Disamping itu, ketidakjelasan

tujuan apakah disiplin yang dimaksud adalah “disiplin kerja”

atau “disiplin lain di luar jam dan unit kerja”, mengakibatkan

materi muatan dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) PP No. 53/2010

menjadi tidak sesuai antara tujuan dan materi muatannya.

(3) Dapat dilaksanakan

Tidak terpenuhinya asas “kejelasan tujuan”, sasaran dan manfaat

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam hal

ini ketentuan Pasal 1 ayat (3) PP No. 53/2010 apakah mengatur

disiplin kerja PNS di dalam jam kerja, atau mengatur perilaku

PNS di luar jam kerja yang sudah diatur oleh undang-undang

lain?, menjadi sumber masalah dan sekaligus menjadi penyebab

langsung dari ketidakefektifan implementasi PP No. 53/2010.

Pada giliran berikutnya, ketidakjelasan tujuan ini menimbulkan

“ketidaksesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan”

menyebabkan peraturan bersifat “tidak jelas, multi tafsir,

tumpang tindih (overlaping) dan tidak konsisten” sehingga sulit

atau tidak dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.

Ketidakjelasan tujuan dan sasaran dari suatu norma hukum

menimbulkan kesulitan dalam menentukan parameter, indikator

dan ukuran dari perbuatan subjek hukum yang akan dinilai dan

diukur. Pada giliran berikutnya, hal itu akan mengakibatkan

88
peraturan menjadi sulit dilaksanakan pada tataran operasional

atau teknis.

(4) Kedayagunaan dan kehasilgunaan

Kedayagunaan adalah efisiensi yang merujuk pada

perbandingan antara sumber daya dan upaya yang dikeluarkan

dengan keluaran (output) yang dicapai, sementara kehasilgunaan

adalah efektifitas yang merujuk pada perbandingan antara hasil

(outcome) atau kinerja yang dicapai dengan target capaian yang

sudah ditentukan sebelumnya. Tidak terpenuhinya tiga asas

yang telah dijelaskan di atas, menyebabkan peraturan tidak

dapat diterapkan secara berdayaguna (efisien), artinya sumber

daya dan tenaga yang sudah dikeluarkan tidak sebanding dengan

keluaran yang dicapai. Selain tidak efisien, juga tidak

berhasilguna (efektif), artinya hasil (outcome) penurunan

pelanggaran disiplin tidak sebanding dengan target capaian yang

diharapkan atau yang sudah ditetapkan sebelumnya. Di dalam

proses pembuatan peraturan perundang-undangan, seharusnya

para perumus undang-undang sudah bisa memprediksikan

mengenai kemungkinan, akibat atau konsekuensi yang akan

timbul pada saat peraturan itu diberlakukan dan diterapkan.

Tinjauan PP No. 53/2010 Menurut Perspektif Teori Konsep


Hukum H.L.A. Hart

89
PP No. 53/2010 adalah norma sekunder yang melaksanakan

norma primer dalam UU ASN pada tataran teknis operasional.

Menurut H.L.A. Hart, pada norma sekunder berlaku aturan-

aturan: (1) Aturan pengenal (rule of recognition); (2) Aturan

perubahan (rule of change); dan (3) Aturan pengadilan (rule of

adjudicatioan).

(1) Aturan pengenal (rule of recognition)

PP No. 53/2010 selaku norma sekunder yang berfungsi

memperjelas dan melaksanakan norma primer (UU ASN)

sebagai norma hukum yang dikenali, diakui dan diterima

sebagai norma yang sah, dan oleh karenanya akan dipatuhi

dan dilaksanakan oleh subjek hukum (PNS) yang dikenai

oleh norma yang bersangkutan. Peraturan pemerintah ini

dikenali sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang

Kepegawaian No. 43/1999 yang sekarang sudah diganti

dengan UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara

(ASN). Situasi, kondisi, orientasi, sasaran dan materi muatan

pada kedua undang-undang itu jelas berbeda, terutama

ketentuan mengenasi atribut PNS sebagai “pekerja” pada

UU No. UU No. 43/1999 dan atribut PNS sebagai “profesi”

pada Pasal 1 ayat (1) UU ASN yang berbasis pada nilai-nilai

profesionalisme dansistem merit. Situasidan kondisi ini tidak

dijumpai pada UU No. 43/1999. Perbedaan atribut itu

90
menimbulkan tuntutan pengaturan manajemen dan norma-

norma yang berbeda pula sebagai konskuensinya.

Pemberlakukan UU ASN selaku norma primer seharusnya

diikuti dengan pembuatan dan pemberlakuan norma

Peraturan Pemerintah (PP) baru pengganti PP No. 53/2010.

Pada kenyataannya, PP baru yang melaksanakan UU ASN

belum dibuat dan sementara ini masih menggunakan PP No.

53/2010. Hal ini menyebabkan materi muatan baru dalam

UU ASN seperti: atribut PNS sebagai profesi atau lembaga

Komisi ASN (KASN) yang diatur dalam Pasal 27 sampai

dengan Pasal 42 UU ASN tidak dikenal dan belum diterima

sebagai norma hukum yang sah oleh komunitas PNS.

Ketentuan itu tidak ada di dalam PP No. 53/2010 dan belum

diatur pelaksanaannya dalam PP yang baru. Hal ini

menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai: apakah PP

No. 53/2010 masih relevan untuk dipakai mengatur objek

hukum yang konteks, substansi dan materi muatannya

berbeda. Akibat yang muncul sebagai konsekuensinya

adalah sikap acuh tak acuh PNS terhadap penerapan PP No.

53/2010 sebagaimana yang diungkapkan oleh Budi Martono.

(2) Aturan perubahan (rule of change)

Ketidakjelasan tujuan, ketidaksesuaian antara jenis, hierarki

dan materi muatan dari substansi PP No. 53/2010

91
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,

menyebabkan perumus peraturan dan aparat penerap dan

penegak peraturan menjadi tidak tahu mengenai aturan apa

yang harus diubah atau diperbaiki terkait dengan maksud

untuk menerapkan disiplin pada PNS. Hal ini

mengakibatkan PP No. 53/2010 menjadi sulit atau tidak

dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif sebagaimana

terbukti melalui hasil penelitian ini.

(3) Aturan pengadilan (rule of adjudication)

Suatu norma hukum yang baik selalu memberi ruang dan

kesempatan kepada subjek hukum untuk mencari keadilan

melalui lembaga peradilan, karena norma hukum hanyalah

alat untuk mencapai tujuan hukum menciptakan kepastian

hukum, keadilan dan kemanfaatan. Keadilan itu dapat

diperjuangkan melalui lembaga peradilan, yang dalam hal

ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apabila

penerapan sanksi hukuman dirasakan tidak adil oleh PNS

yang dikenai sanksi, maka kepadanya harus diberi hak untuk

mencari keadilan melalui lembaga pengadilan umum atau

PTUN, dan tidak cukup hanya melalui proses pengajuan

keberatan atau banding secara administrasi.

92
b) Lembaga Hukum

Lembaga-lembaga hukum yang berkaitan dengan penerapan

disiplin PNS antara lain meliputi: BKD, BKN dan Badan

Kepegawaian (BAPEG) yang setara dengan Komisi ASN

(KASN) dalam UU ASN. Mekanisme penerapan dan penegakan

disiplin PNS yang diatur dalam PP No. 53/2010 melalui

lembaga-lembaga tersebut dapat tidak berjalan dengan efektif

karena veto atau anulir sanksi hukuman oleh atasan langsung,

pejabat pembina atau Kepala Daerah karena faktor “like and

dislike” atau faktor lainnya sebagaimana disebutkan oleh Budi

Martono. Dapat dikatakan bahwa institusionalisasi mekanisme

atau prosedur penerapan disiplin PNS melalui ketiga lembaga

tersebut adalah tidak baik, dan mengakibatkan terjadinya

ketidakefektifan penerapan hukum. Keberadaan ketiga lembaga

tersebut beserta mekanisme atau prosedurnya seharusnya dapat

meniadakan kemungkinan intervensi dalam penerapan sanksi

hukuman. Disamping itu, kelembagaan dan manajemen disiplin

PNS yang ada saat ini memiliki kelemahan mendasar antara

lain: (1) hanya bawahan yang dikontrol oleh atasan, sebaliknya

tidak ada mekanisme yang mengontrol atasan. Kontrol hanya

berlaku dari atas ke bawah (top down) dan tidak berlaku dari

bawah ke atas (bottom up) sehingga bawahan tidak bisa berbuat

apapun atas pelanggaran yang dilakukan atasan. Efektifitas

93
pelaksanaan kontrol tergantung kepada keputusan perorangan/

individu atasan/pimpinan, dan bukan pada mekanisme atau

sistem; (2) Lembaga pengawas internal seperti Inspektorat

masih menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan sehingga

tingkat independensinya rendah dalam melaksanakan fungsi

kontrol. Keputusan pemberian sanksi disiplin Badan

Administrasi kepegawaian bisa dibatalkan atau di-veto oleh

Kepala Daerah atau Presiden.

c) Aparat penegak hukumnya atau aparat pengawas, pembina


dan penerap sanksi hukuman

Aparat penerap disiplin PNS meliputi: atasan langsung, pejabat

pembina, Kepala Daerah sampai dengan Presiden. Praktik

penerapan dan penegakan disiplin dipengaruhi oleh faktor-faktor

penyebab tidak langsung seperti: like and dislike, solidaritas

kelompok, loyalitas kepada atasan dan bukan kepada institusi

atau negara. Praktik semacam ini dipengaruhi oleh faktor

budaya senioritas dan paternalistik yang berkembang di

lingkungan organisasi sektor publik di Indonesia. Hal inilah

yang secara tidak langsung menjadi alasan mengapa tidak ada

sanksi tegas yang diberikan kepada PNS yang melanggar

disiplin.

d) Masyarakatnya

94
Hukum terbentuk sejalan dengan dinamika perkembangan

masyarakatnya. Masyarakat dalam hal ini adalah komunitas

PNS yang menjadi subjek hukum dari PP No. 53/2010 dan

masyarakat di luar PNS yang melingkupinya. Persepsi, sikap

dan respon PNS dan masyarakat yang lebih luas terhadap PP

No. 53/2010 akan mempengaruhi efektifitas penerapan

peraturan tersebut.

Komunitas PNS dan/atau masyarakat menjadi terbiasa dengan

sikap murah hati dan toleransi tinggi terhadap para pelanggar

disiplin yang cenderung menjadi kebiasaan dan budaya tidak

disiplin, misalnya terlambat, tidak tepat waktu, agenda rapat

atau kerja yang melampaui jam yang telah ditentukan,

meninggalkan kantor pada jam kerja untuk urusan pribadi, dan

lain-lain. Respon PNS yang acuh tak acuh terhadap eksistensi

dan penerapan PP No. 53/2010 sebagaimana diungkapkan oleh

Budi Martono, mengindikasikan bahwa kondisi masyarakat,

khususnya komunitas PNS yang tidak baik. Kondisi ini

penerapan PP No. 53/2010 menjadi tidak efektif sebagaimana

terbukti pada hasil penelitian ini.

e) Budaya Hukumnya

Budaya hukum persepsi, aspirasi, sikap, kebiasaan dan perilaku

yang terbentuk akibat pemberlakuan dan penerapan suatu

peraturan hukum seperti PP No. 53/2010. Pada konteks

95
pekerjaan, maka salah satu wujud dari budaya hukum adalah

“budaya kerja”. Budaya kerja ini menjadi kekuatan kontrol

eksternal bagi PNS dalam menjalankan tugasnya di unit kerja.

Kekuatan kontrol eksternal ini melahirkan kekuatan kontrol

internal berupa disiplin kerja yang dapat menimbulkan pola

pikir (mindset), sikap dan perilaku tertentu pada diri pegawai

terkait dengan pekerjaannya. PP No. 53/2010 bekerja di

kalangan PNS yang bekerja di lingkungan organisasi sektor

publik. Pada konteks ini, budaya hukum yang terbentuk

dipengaruhi oleh gejala atau fenomena “isomorfisme”, yaitu

gejala penyeragaman pola pikir, sikap, perilaku PNS

berdasarkan prosedur, kebiasaan-kebiasaan atau budaya

organisasi yang berlaku, dianggap benar dan diterima di

lingkungan organisasi/institusi.48. Iosomorfisme dikendalikan

oleh tiga jenis tekanan organisasi, yaitu: (1) Tekanan mimetik,

gejala menyeragamkan pola pikir, sikap, kebiasaan dan perilaku

PNS dengan pola-pola yang bisa diterima oleh atasan atau

lingkungan organisasi, dalam rangka mengatasi ketidakpastian,

mencari legitimasi serta menghindari konflik yang dapat

mengancam atau merugikan dirinya; (2) Tekanan normatif yang

bersumber dari norma-norma profesionalisme; dan Tekanan

koersif yang bersumber dari peraturan perundang-undangan atau

48
Peter Frumkin dan Joseph Galakskiewics, Institutional Isomorphism and Public Sector
Organization, Journal of Public Administration Theory, Kennedy School of Government –
Harvard University, 2013, hlm. 5.

96
kondisi lingkungan eksternal yang memaksa PNS untuk

menyesuaikan diri atau berkompromi dengan perubahan

keadaan. Respon PNS terhadap tekanan koersif yang

ditimbulkan oleh penerapan PP No. 53/010 mencakup lima

bentuk perlaku, yaitu: (1) Akuisisi – persetujuan tanpa protes

berupa tindakan menyesuaikan diri; (2) Kompromi – menerima

dengan dengan syarat-syarat tertentu sambil mencari titik temu

atau keseimbangan yang tidak merugikan dirinya; (3)

Penghindaran; (4) Menentang; dan (5) Manipulasi. Praktik yang

terjadi adalah “kompromi”, dalam arti PNS tidak menentang

tetapi juga tidak melaksanakan sepenuhnya yang terbukti dari

adanya respon acuh tak acuh serta tidak efektifnya penerapan PP

No. 53/2010. Budaya kompromi ini adalah budaya hukum yang

tidak baik bagi upaya penerapan PP No. 53/2010, karena sebagai

norma hukum yang mengikat dan memaksa, maka peraturan itu

harus diterima dan dipatuhi tanpa syarat. Budaya hukum yang

tidak baik seperti: toleransi tinggi terhadap pelanggaran,

loyalitas kepada atasan dan bukan kepada institusi atau negara,

budaya kompromistis, pragmatisme adalah budaya yang tidak

baik dan menjadi faktor-faktor penyebab tidak langsung yang

mengurangi efektifitas penerapan PP No. 53/2010.

1) Wawancara dengan Widyaiswara Ahli Utama di badan


Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Daerah
Provinsi Jawa Tengah

97
Berkaitan dengan penerapan PP No. 53/2010, Lilin Budiati

menyatakan sebagai berikut:49

“Penegakan disiplin PNS melalui penerapan PP No. 53/2010


memerlukan upaya manajemen disiplin. Di dalam manajemen
disiplin, terdapat beberapa prinsip-prinsip, konsep, pendekatan atau
model yang dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan
penegakan disiplin PNS. Peraturan hukum adalah alat untuk
melakukan kontrol sosial untuk mewujudkan PNS yang kompeten,
berintegritas dan profesional. Peraturan hukum akan mandul apabila
tidak dilengkapi dengan alat bantu lain berupa konsep atau model
yang menentukan untuk tujuan apa, diorientasikan ke arah mana dan
pendekatan apa yang digunakan untuk menerapkan peraturan agar
memberikan hasil yang diharapkan, yaitu PNS dengan tingkat
disiplin dan kinerja tinggi sehingga menimbulkan efek kepuasan
terhadap publik yang dilayani oleh PNS. Pada konteks ini, peraturan
hukum tidak bisa terlepas dari interaksinya dengan norma-norma
lain di luar hukum,misalnya norma moral, etika publik, norma
profesi dan norma sosial yang bersumber dari budaya masyarakat di
mana hukum itu bekerja. Pada kenyataannya, seringkali dijumpai
dalam praktik sehari-hari adanya pembiaran terhadap pelanggaran,
toleransi yang tinggi terhadap pelanggaran, yang mana hal ini secara
langsung atau tidak angsung dapat menyebabkan ketidakefektifan
bekerjanya peraturan hukum di masyarakat, dalam hal ini kalangan
PNS. Di sisi lan, adanya kategori pelanggaran lain-lain
mencerminkan bahwa PP No. 53/2010 belum mengatur secara jelas
dan tegas tentang kategorisasi jenis pelanggaran dan sanksi
hukumannya ”.

Mencermati pendapat informan tersebut, tersirat beberapa

hal: (1) bahwa pembiaran terhadap pelanggaran yang berkaitan

dengan toleransi tinggi terhadap pelanggaran; dan (2) ketidakjelasan

pengaturan mengenai kategorisasi jenis hukuman dan sanksi

hukuman; (3) Bekerjanya hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor atau

norma-norma lain di luar hukum. Hal ini menyebabkan lembaga dan

aparat pembuat peraturan serta penerap sanksi tidak mampu

49
Wawancara dengan Lilin Budiati selaku Widyaiswara Ahli Utama di Badan Pengembangan
Sumber Daya Manusia (BPSDM) Daerah Provinsi Jawa Tengah, di Semarang, pada tanggal 21
Juli 2017

98
merumuskan dan menerapkan standar penerapan disiplin PNS , sikap

yang pemurah dan toleran terhadap PNS pelanggar peraturan yang

berujung pada inkonsistensi dalam proses penerapan dan penegakan

disiplin.

Menurut Fenley, kondisi tersebut merupakan gambaran dari

model manajemen displin tipe “LAX” yang dimetaforakan dengan

binatang Zebra. Pada kulit zebra terdapat garis-garis hitam yang

berselang-seling dengan garis putih. Garis putih melambangkan

kekosongan atau celah hukum di antara garis-garis hitam yang

melambangkan peraturan. Adanya celah-celah peraturan hukum

yang bersumber dari ketidakjelasan substansi hukum, menyebabkan

peraturan disiplin PNS dalam PP No. 53/2010 menjadi sulit atau

tidak dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.

B. Konsep Penegakan Disiplin PNS yang efektif menurut Perspektif


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

Ditinjau dari ada tidaknya hukumuan serta adanya niat untuk

memberikan keadilan, maka model manajemen disiplin yang diatur melalui

PP No. 53/2010 adalah “model korektif”. Model ini terbukti tidak efektif

ketika diterapkan karena pengaruh faktor-faktor penyebab langsung maupun

tidak langsung sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Faktor-faktor

penyebab langsung dari ketidak efektifan penerapan PP No. 53/2010

meliputi: substansi peraturan, lembaga penegak disiplin, aparat penegak

disiplin, kondisi PNS atau masyarakat, serta budaya hukum, sementara faktor

99
penyebab tidak langsung antara lain: sikap pemurah terhadap pelanngar

disiplin, toleransi tinggi terhadap pelanggaran, gejala isomorfisme, loyalitas

terhadap atasan, like and dislike, serta solidaritas kelompok. Persoalan yang

dijumpai pada model korektif menurut PP No. 53/2010 meliputi (1)

kegagalan dalam lembaga dan aparat dalam menentukan standar penerapan

dan penegakan disiplin; (2) sikap pemurah terhadap PNS pelaku pelanggaran;

(3) toleransi tinggi terhadap pelanggaran; dan (4) substansi PP No. 53/2010

yang sudah tidak relevan dengan tuntutan perubahan yang diatur dalam UU

ASN seperti: atribut PNS sebagai profesi, profesionalisme PNS, dan sistem

merit, Komisi ASN dan keberadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian

Kerja (PPPK). Pelaksanaan manajemen PNS berdasarkan sistem merit

ditegaskan pada Pasal 51 UU ASN.

Pasal 1 angka 22 UU ASN menyatakan bahwa:

“Sistem Merit adalah kebijakan dan Manajemen ASN yang


berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar
dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama,
asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan”.

Sistem merit hanya dapat diwujudkan apabila penilaian PNS

dilaksanakan bukan berdasarkan pada senioritas dan kontrol yang pada

praktiknya sarat dengan unsur “like and dislike” serta solidaritas kelompok

dilaksanakan oleh lembaga yang masih berada dalam satu atap sehingga tidak

independen. Berdasarkan hal itu maka konsep penilaian, pengawasan dan

penegakan disiplin PNS didasarkan pada prinsip-prinsip: (a) penilaian

didasarkan pada kinerja dan/atau prestasi pegawai sebagaimana diatur di

dalam Pasal 75 – 78 UU ASN; (b) dilaksanakan oleh lembaga independen

100
yang disebut Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang diatur di dalam

Pasal 27 – 41 UU ASN. Pelaksanaan lembaga independen KASN

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 – 41 UU ASN diatur dengan

Peraturan Presiden.

Berkenaan dengan kinerja ASN, Pasal 76 UU ASN mengaturnya

sebagai berikut:

Ayat (1):
Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan perencanaan kinerja pada
tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan
target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku PNS.
Ayat (2):
Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel,
partisipatif, dan transparan.

Kondisi ini menuntut adanya perubahan konsep atau model

manajemen disiplin serta cara pendekatan yang lebih efektif dalam

melaksanakan penerapan dan penegakan disiplin PNS. Mengingat pemberian

sanksi hukuman ternyata tidak dapat menimbulkan efek jera pada PNS, maka

perlu diterapkan konsep atau “model progresif” dalam manajemen penerapan

dan penegakan disiplin PNS. Prinsip model progresif adalah memberikan

sanksi hukuman secara progresif baik terhadap PNS pelaku pelanggaran

disiplin dan pejabat pembina yang tidak mau memberikan sanksi hukuman

karena alasan-alasan yang tidak sah. Pemberian sanksi hukuman secara

progresif ini juga terungkap dalam pendapat Budi Martono, sehingga dapat

disimpulkan bahwa “model progresif” diperlukan untuk mengatasi

ketidakefektifan model korektif yang berlaku sekarang ini, serta untuk

101
menyesuaikan terhadap tuntutan perubahan yang terkandung di dalam UU

ASN.

Model progresif memerlukan cara pendekatan baru dalam penerapan

dan penegakan disiplin yang berorientasi pada kinerja PNS dan bukan pada

unit kerja sebagaimana diatur pada PP No. 53/2010.

Cara pendekatan baru menurut Mark Alexander,50 meliputi cara

diagnosa dan pendekatan terhadap kinerja dan manajemen disiplin yang dapat

digambarkanpada gambar berikut ini:

Gambar 5. Pendekatan terhadap Kinerja dan Manajemen Disiplin

50
Mark Alexander, Employee’s Performance and Discipline Problems: A New Approach,
Kingston, Queen’s University, IRC Press, 2000, hlm. 14.

102
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan temuan-temuan dan analisis hasil penelitian, maka dapat

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Ketidakefektifan penerapan dan penegakan disiplin PNS menurut PP No.

53/2010 disebabkan oleh faktor-faktor penyebab langsung dan tidak

langsung> Faktor-faktor penyebab langsung meliputi: (1) substansi

peraturan PP No. 53/2010; (2) Lembaga pembuat peraturan , penerap dan

penegak disiplin; (3) Aparat penerap dan penegak disiplin; (4) komunitas

PNS dan masyarakat; dan (5) Budaya hukum yang tidak baik kondisi dan

kualitasnya. Faktor-faktor penyebab tidak langsung meliput: (1) Sikap

pemurah terhadap PNS pelaku pelanggaran; (2) Toleransi tinggi terhadap

pelanggaran; (3) gejala isomorfisme; (4) like and dislike; dan (5)

Solidaritas kelompok.

2. Model manajemen penerapan dan penegakan disiplin yang efektif adalah

Model Progresif yang berorientasi pada kinerja PNS, sementara cara

103
pendekatan baru yang efektif adalah cara pendekatan yang dibutuhkan saat

ini adalah cara pendekatan terhadap kinerja dan manajemen displin

menurut Mark Alexander.

B. Saran

Berdasarkan simpulan penelitian yang telah disebutkan di atas, maka dapat

direkomendasikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Kepada Presiden (Pemerintah)

Membuat Peraturan Pemerintah baru untuk menggantikan PP No. 53/2010

yang sudah tidak sesuai dengan materi muatan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN)

2. Kepada Kepala Daerah

Membuat peraturan daerah atau peraturan yang setingkat untuk

memperjelas dan menunjang pelaksanaan Peraturan Pemerintah pada

tataran teknis dan operasional yang dilengapi dengan petunjuk teknis dan

petunjuk pelaksanaan.

3. Kepada Badan Kepegawaian daerah (BKD)

Menyusun model manajemen disiplin dan cara pendekatan baru yang

berorientasi pada kinerja PNS yang dapat meningkatkan efisiensi dan

efektifitas penerapan dan penegakan disiplin PNS

4. Kepada PNS

104
Menyesuaikan diri terhadap perubahan sistem dan manajemen ASN yang

diatur dalam UU ASN dengan cara meningkatkan kompetensi, integritas

danprofesionalisme agar dapat memberikankinerja terbaiknya dalam

melaksanakan pelayanan publik.

105
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:


Rineka Cipta, 2010.

Fadjar Mukti ND. & Achmad Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif &
Empiris, Cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2010.

Harlow Carol & Rawlings Richard Rawlings, Law and Administration,


Cambridge – UK, Cambridge University Press, 2009.

Hart H.L.A., Konsep Hukum (The Concept of Law), Penterjemah M. Khozim, Cet.
II, Bandung, Nusa Media, 2010, hlm. 124-126

Kerlinger N. Fred, Asas-Asas Penelitian Behavioral, Penerjemah: Landung R.


Simatupang, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2003.

Soekanto Soerjono, Pengantar Ilmu Hukum, UI Pres, Jakarta, 1984.

Tanya L Bernard, Politik Hukum: Agenda Kepentingan Bersama, Yogyakarta,


Genta Publishing, 2011.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG DASAR RI TAHUN 1945 Hasil Amandemen ke-4

UNDANG-UNDANG RI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR


SIPIL NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR 53 TAHUN 2010 TENTANG


DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL

C. Jurnal, Prosiding, Makalah, Artikel, Majalah Hukum

Khusbal Vibhute & Philipos Anaylem, Legal research Methods,: Teaching


Material, Justice and Legal System Research Institute, 2009, hlm. 44,
Chilot. Wordpress.com, diakses pada tanggal 24 Nopember 2016

McNamanan J. Linus, Social Engineering : The Legal Philosophy of Roscoe P


ound, St. John’s Law Review, Vol. 33, May 2013, p. 7-9.
Metzger E. Gillian, Administrative Law, Public Administration, and the
Administrative Conference of the United States, The George Washington
Law Review, Vol. 83, No. 4/5, September 2015

Nalbandian Elise, Sociological Jurisprudence-General Introduction to Concepts"


Vol. 4 Mizan Law Review, No. 2.

D. Internet

Harlow Carol & Rawlings Richard, Law and Administration, 1984,://wiredspace.


wits.ac.za /xmlui/bitstream/handle/10539/12801/Redlight,%20greenlight.
pdf? sequence=1&isAllowed=y

L. Boulle, B. Harris, & C. Hoexter, Constitutional and Administrative Law, 1989,


http://wiredspace.wits.ac.za/xmlui/bitstream/handle/10539/12801/Redlig
ht,%20greenlight.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Sinamo, Membangun Budaya Produktif Dan Etos Kerja PNS, di unduh dari,
http://jansen-sinamo.blogspot.com/2009/11/membangun-budaya-produk-
tif- dan-etos.html,di unduh pada 13 Juni 2011.

Saphiro J. Scott, What Is The Rule Of Recognition (And Does It Exist)?, Public
Law & Legal Theory Research Paper Series, No. 181, Yale Law School,
hlm. 2-4, http://papers.ssrn.com/ abstract#1304645

Tanya L. Bernard, Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum, Prosiding Seminar


Nasional - Kerjasama Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) dan
Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta, di Surakarta 11 April 2015, ISBN 978-602-
72446-0-3, hlm. 50.

Wahyudi Kumorotomo, Kebijakan Umum Disiplin PNS: Catatan Tentang PP No.


53/2010 dan Kebijakan Reformasi Birokrasi, https://www. google. co.id/
webhp?sourceid=chrome-instant&rlz=1C1RLNS_enD728ID728 &ion=1
&espv=2&ie=UTF#q=Kebijakan+Umum+Disiplin+PNS:+Catatan +ten
tang+PP+No.53/2010+dan+Kebijakan+Reformasi+Birokrasi+di+Indones
ia

Você também pode gostar