Você está na página 1de 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi yang
kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.1

Bedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization


(WHO) pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi
sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien
terbanyak dari benua asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak
116.663. Dan dari data didapatkan india merupakan negara dengan jumlah
penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Sementara
indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175
(WHO).2

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe dengan indeks
bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe dengan IB kurang
dari 2+. Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan. Yang dimaksud dengan kusta pausibasiler adalah kusta dengan
Basil Tahan Asam (BTA) negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, sedangkan
apabila BTA positif maka akan dimasukan dalam kusta multibasiler.1

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman


penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian
genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, umur, dan
kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.1

1
Morbus Hansen pada umumnya memberikan morfologi yang khas yaitu
lesi yang diawali dengan bercak putih, bersisik halus pada bagian tubuh, tidak
gatal, kemudian membesar dan meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita akan
mengeluh kesemutan/ baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran
menggerakan anggota badan yang berlanjut pada kekakuan sendi. Rambut alis
pun dapat rontok.3

Terapi yang di programkan untuk pemberantasan morbus hansen di


seluruh dunia termasuk indonesia adalah obat yang di kelompokan pada
regimen Multi Drug Treatment (MDT) antara lain diaminodiphenil sulfon,
rifampisin, klofazimin (lampren). Adapun obat alternatif yaitu ofloksasin,
minosiklin, dan klaritomisin.4

Prognosis untuk morbus hansen pada umumnya baik, hanya jika pasien
mampu mengikuti program secara teratur.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Lepra (penyakit kusta, Morbus Hansen) adalah suatu penyakit
infeksi kronis pada manusia yang disebabkan Mycobacterium leprae (M.
leprae) yang secara primer menyerang saraf perifer dan sekunder menyerang
kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas mata, otot, tulang dan testis
(Amirudin dalam Harahap, 2000).
Menurut Depkes RI (2006) penyakit kusta adalah salah satu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah
tersebut bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial,
ekonomi, psikologis (dalam Hutabarat, 2008).
2.2 Epidemiologi
Lepra dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika
latin, daerah tropis dan subtropis serta masyarakat dengan sosio ekonomi
yang rendah. Tingkat endemisitas penyakit lepra terjadi di 15 negara dengan
83% ditemukan di India, Brazil, dan Birmania.
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011
tercatat 226.626 kasus baru lepra dan meningkat pada tahun 2012 menjadi
232.857 kasus. Tahun 2012 jumlah kasus baru di Indonesia sejumlah 18.994
kasus, sedangkan di Jawa Tengah pada tahun 2012 dilaporkan terdapat
kasus baru tipe Multibasilar (MB) sebanyak 1.308 kasus dan pada lepra tipe
Pausibasilar (PB) sebanyak 211 kasus dengan Newly Case Detection Rate
(NCDR) sebesar 4,57 per 100.000 penduduk.
Indonesia berhasil mencapai eliminasi lepra pada tahun 2000 di 19
provinsi dan sekitar 300 kabupaten/kota. Eliminasi dilakukan dengan
menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk dan
lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dan lebih dari 1 juta penderita
telah diselamatkan dari kecacatan. Prevalensi penderita lepra di Indonesia
turun sebesar 81% dari 107.271 pada tahun 1990 menjadi 21.026 pada tahun

3
2009. Hal itu dicapai setelah dilakukan program rehabilitasi melalui operasi,
rekonstruksi, protesa dan pembentukan kelompok perawatan diri.
Lepra merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh
karena dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita
lepra bukan hanya menderita penyakitnya tetapi juga pengucilan dari
masyarakat sekitar. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di
wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan adanya kerusakan
yang berulang pada daerah anestesia yang disertai paralisis dan atrofi otot.
2.3 Etiologi
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan
oleh GH Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron
dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak
dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan
infeksi sistemik pada binatang armadilo.
Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :
A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron
dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur
khas bentuk M. leprae . Zona transparan ini terdiri dari dua lipid,
phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan
protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga
molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol
pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang
unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. Leprae.
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan

4
yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip
dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya.
b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang
dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian
asam-amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun
peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen
diagnostik.
c. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu
membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam
dan keluar organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein.
Protein sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan
target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat
membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari
dinding sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara
luas.
d. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material
genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang
merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi.
Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M.
leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan
menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara genetik,
terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.
2.4 Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala
konstitusi, aktivasi, dan atau timbulnya efloresensi baru di kulit pada
perjalanan penyakit ini yang sebenarnya sangat kronis. Reaksi kusta
merupakan reaksi hipersensitivitas.
Reaksi reversal atau reaksi tipe 1 terjadi saat peningkatan imunitas
yang diperantarai oleh sel (cell mediated immunity), sedangkan reaksi tipe

5
2 atau eritema nodosum leprosum (ENL) terjadi akibat reaksi
hipersensitivitas humoral. Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan,
namun lebih sering selama atau setelah pengobatan.
Reaksi Reversal (Tipe 1)
Reaksi ini terjadi karena adanya peningkatan hebat dan tiba-tiba dari
respons imun seluler, yang menyebabkan respons inflamasi atau peradangan
kulit atau saraf pada pasien tipe borderline (BT, BB, dan BL). Walaupun
pencetus utama belum diketahui, tetapi diperkirakan ada hubungannya
dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemeriksaan imunohistokimia
menunjukkan peningkatan sel tumor necrosis factor (TNF) di kulit dan saraf
selama reaksi tipe 1 dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian di India,
didapatkan respons antibodi ke antigen 18kDa secara signifikan lebih tinggi
pada pasien dengan reaksi tipe 1 dibandingkan pasien TT atau borderline
tanpa reaksi tipe 1.
Gejala klinis reaksi reversal yaitu sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada menjadi lebih banyak dan aktif dalam waktu singkat. Lesi
hipopigmentasi menjadi lebih eritema, lesi eritema menjadi semakin
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, dan lesi lama bertambah luas.
Umumnya gejala konstitusi lebih ringan daripada ENL.
Eritema Nodosum Leprosum (Tipe 2)
Reaksi tipe 2 adalah komplikasi imunologis paling serius pada
pasien BL dan LL. Pada reaksi ini terjadi peningkatan deposit kompleks
imun di jaringan. Lebih jauh, pada ENL terjadi peningkatan sementara
respons imunitas yang diperantarai sel dengan ekspresi pada sitokin tipe
Th1. Sel T mayor pada ENL adalah CD4+; TNF dan IL-6 juga muncul pada
lesi kulit ENL, sementara kadar IL-4 yang rendah mendukung peran Th1
pada reaksi ini. Kejadian ini umumnya timbul pada tipe lepromatosa polar
dan BL, makin tinggi tingkat multibasilernya, makin besar risiko terjadinya
ENL. Gejala konstitusional yang muncul berupa demam, menggigil, nyeri
sendi, mual, sakit saraf, dan otot dari ringan sampai berat. Pada reaksi tipe
2 perubahan efloresensinya berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat

6
predileksi lengan dan tungkai. Pada kasus berat dapat menyerang sistemik,
sehingga menyebabkan iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis,
orkitis, dan nefritis akut dengan proteinuria.
Diagnosis banding reaksi tipe 2 adalah eritema nodosum dengan
penyebab bakteri lain, seperti tuberkulosis dan infeksi streptokokus. Yang
membedakan adalah lokasi lesi yang lebih banyak ditemukan di luar tungkai
bawah. ENL berbentuk bula dapat didiagnosis banding dengan penyakit
imunobulosa. ENL berbentuk ulkus dapat menyerupai pioderma
gangrenosum, sedangkan ENL kronik dapat menyerupai penyakit jaringan
ikat atau keganasan limforetikuler.
2.5 Klasifikasi
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap
selanjutnya harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat
diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf
yang terganggu), hasil pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi
dan pemeriksaan imunologi.
Klasifikasi bertujuan untuk:
A. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.
B. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yang
menularkan dan memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target
utama pengobatan.
C. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah
klasifikasi Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan
klasifikasi menurut WHO.
A. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953)
Pada klasifikasi ini penyakit kusta dibagi atas Indeterminate (I),
Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B), Lepromatous (L).
Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana berdasarkan
manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan

7
histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy
Association di Madrid tahun 1953.
B. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966)
Pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu spektrum klinis
mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi sampai
mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi
yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI)
seseorang yang akan menentukan apakah dia akan menderita kusta
apabila individu tersebut mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang
akan dideritanya pada spektrum penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini
banyak digunakan pada penelitian penyakit kusta, karena bisa
menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon
imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik.
Kelima tipe kusta menurut Ridley-Jopling adalah tipe
Lepromatous (LL), tipe Borderline Lepromatous (BL), tipe Mid-
Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT), dan tipe
Tuberculoid (T).
C. Klasfikasi menurut WHO
Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk
memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh
penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB)
dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini Departemen Kesehatan
Indonesia menerapkan klasifikasi menurut WHO sebagai pedoman
pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini berdasarkan
manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.
Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe
penyakit kusta menurut WHO (1982)
Tanda utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Bercak kusta Jumlah 1 sampai 5 Jumlah lebih dari 5

8
Penebalan saraf tepi Hanya 1 saraf Lebihdari 1 saraf
yang disertai dengan
gangguan fungsi
(gangguan fungsi
bisa berupa
kurang/mati rasa atau
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf
yang bersangkutan.
Pemeriksaan Tidak dijumpai basil
bateriologi tahan asam (BTA
negatif)

Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam


penentuan klasifikasi menurut WHO (1982) pada penderita kusta.

Kelainan kulit dan Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)


hasil pemeriksaan

1. Bercak
(Makula) mati
rasa

a. Ukuran Kecil dan besar Kecil – kecil

b. Distribusi Unilateral atau Bilateral simetris


bilateral asimetris

c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat

d. Batas Tegas Kurang tegas

9
e. Kehilangan Selalu ada dan tegas Biasanya tidak jelas,
rasa pada jika ada, terjadi pada
bercak yang sudah lanjut

f. Kehilangan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,


kemampuan jika ada, terjadi pada
berkerigat, yang sudah lanjut
rambut rontok
pada bercak

2. Infiltrat

a. Kulit Tidak ada Ada. kadang –


kadang tidak ada

b. Membran Tidak pernah ada Ada. kadang –


mukosa kadang tidak ada

c. Ciri – ciri Central hilling - Punched out


lession
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau

d. Nodulus Tidak ada Kadang – kadang


ada

e. Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris


2.6 Patogenesis
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih
belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan
bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh Mycobacterium
leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,

10
kemampuan hidup Mycobacterium leprae pada suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang
terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial
pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf. Bila kuman Mycobacterium
leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan
makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit ) untuk
memfagositnya.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular,
dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga
kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak
jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular
tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya
setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk
sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi
berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan disekitarnya.
Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan
Mycobacterium lepare, disamping itu sel Schwan berfungsi sebagai
demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila
terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwan, kuman dapat bermigrasi
dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi
kerusakan saraf yang progresif ..
2.7 Diagnosis
Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis,
bakterioskopis, histopatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan tersebut,
diagnosis secara klinis adalah yangterpenting dan paling sederhana
dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit (15-30
menit), sedangkan pemeriksaan histopatologi memerlukan waktu 10-14

11
hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat dilakukan untuk membantu
penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahuisetelah 3 minggu.
Penentuan tipe lepra perlu dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang
sesuai.
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di
lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis
lepra berdasarkan penghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun
1997, diagnosis klinis lepra berdasarkan tiga tanda kardinal yang
dikeluarkan oleh “WHO’s Committe on Leprosy” yaitu lesi pada kulit
berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan saraf tepi,
serta pada pemeriksaan skin smear atau basil pada pengamatan biopsi
positif.
Pada diagnosis secara klinis dan secara histopatologik ada
kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Diagnosis klinis
harus didasarkan hasil pemeriksaan seluruh tubuh penderita, sebab ada
kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan,
tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) dapat
berbeda tipe dengan lesi lainnya. Begitu pula dasar diagnosis histopatologik
tergantung pada beberapa tempat dan dari mana biopsi tersebut diambil.
Diagnosis klinis dimulai dengan inspeksi, palpasi lalu dilakukan
pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana berupa jarum, kapas,
tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinda
dan sebagainya.
Ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan
diagnosis. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap
rasa nyeri, dan kapas terhadap rasa raba. Apabila belum jelas dapat
dilakukan dengan pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin
menggunakan dua tabung reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan
fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang
dapat jelas ataupun tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta
(tanda Gunawan). Cara menggoresnya dimulai dari tengah lesi kearah kulit

12
normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila
dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya
alopesia di daerah lesi. Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan
Voluntary Muscle Test (VMT).
Sarafperifer yang perlu diperhatikan adalah mengenai pembesaran,
konsistensi, ada tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya
beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. Fasialis,
N. Aurikularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea
lateralis, dan N. Tibialis posterior.
2.8 Diagnosis Banding
1. Dermatofitosis
Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang
mengandung jaringan tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan oleh jamur golongan
dermatofita (tine korporis). Kelainan kulit yang dapat dilihat dari
klinis merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri dari
eritema, skuama, kadang – kadang dengan vesikel dan papul ditepi
lesi. Gambaran tengahnya cenderung lebih tenang, gambaran
kelainan pada dermatofitosis ini mirip dengan lesi kulit yang terjadi
pada leprae terutama dalam bentuk TT
2. Tinea versikolor
Merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh malassezia furfur.
Merupakan penyakit jamur superficial kronik, yang biasanya tidak
memberikan keluhan subyektif berupa bercak skuama halus, yang
berwarna putih sampai coklat hitam, terutama meliputi badan dan
kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai
atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut.
Kelainan pada pitiriasis versikolor juga dapat berupa lesi yang
bewarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas
sampai difus. Lesi pada leprae kadang bisa sangat mirip dengan
kelainan pitiriasis versikolor. Tapi pada pitiriasis versikolor akan

13
memberikan flouresensi bila diberikan cahaya dengan wood’s light
yaitu akan bewarna hijau-kebiruan. Tes sensibilitas saraf sensoris
juga dapat dilakukan untuk mebedakannya, kerokan juga bisa.
3. Pitriasis rosea
Pitiriasis rosea ialah penyakit kulit yang belum diketahui
penyebabnya, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema
dan skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil
di badang, lengan dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan
kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3-8 minggu. Gejala
konstitusi umumnya tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh
gatal ringan. Penyakit dimulai dengan adanya lesi pertama (herald
patch), umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular
diameternya kira-kira 3 cm. Ruam terdiri dari eritema dan skuama
halus dipinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu.
Lesi berikutnya timbul 4 – 10 hari setelah lesi pertama hanya lebih
kecil, susunannya sejajar dengan kosta, hingga menyerupai pohon
cemara terbalik. Lesinya mirip dengan lesi pada kusta.
4. Pitriasis alba
Pitiriasi alba merupaja bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan
belum diketahui penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak
kemerahan dan skauma halus yang akan menghilang serta
meninggalkan area yang depigmentasi. Terjadinya diduga karena
infeksi dari Streptococcus, tetapi belum dapat dibuktikan. Pitiriasis
alba memiliki lesi yang berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak
teratur. Warna merah muda atau sesuai warna kulit dengan skuama
halus. Setelah eritema hilang lesi dijumpai hanya depigmentasi
dengan skuama halus.
5. Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroika dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang
didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-
tempat seboroik. Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang

14
berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. D.S.
yang ringan hanya mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama
yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai
seluruh kulit kepala dengan skuama yang halus dan kasar. Kelainan
tersebut disebut pitiriasis sika (ketombe dandruff). Bentuk yang
berminyak disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema
dan krusta-krusta yang tebal. Rambut pada tempat tersebut
mempunyai kecenderungan rontok, mulai di bagian verteks dan
frontal.
6. Psoriasi
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema
berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan
transparan; disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner.
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi
(plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata,
tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema ditengah
menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis
dan kasar dan bewarna putih mika, serta transparan. Besar kelainan
bervariasi
2.9 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan bakterioskopik
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang
diperoleh melalui irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudian
diberi pewarnaan tahan asam untuk melihat M. leprae. Pemeriksaan ini
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap
basil tahan asam (BTA) yaitu dengan menggunakan Ziehl-Neelsen.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang
tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.

15
Pertama harus ditentukan lesi kulit yang diharapkan paling padat
oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang
akan diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk
pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang
paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga
tersebut tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut, karena pada
tempat tersebut mengandung kuman paling banyak.
Mycobacterium leprae tergolong BTA tampak merah pada sediaan.
Dibedakan atas batang utuh (solid), batang terputus (fragmented) dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan pada
bentuk fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman dalam bentuk
hidup lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dandapat menularkan
ke orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non-solid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan rentang nilai
dari 0 sampai 6+ menurut Ridley. Interpretasi hasil adalah sebagai berikut:
1) 0 apabila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).
2) 1+ apabila 1-10 BTA dalam 100 LP
3) 2+ apabila 1-10 BTA dalam 10 LP
4) 3+ apabila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
5) 4+ apabila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
6) 5+ apabila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
7) 6+ apabila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks bakteri seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang
dibuat sediaan. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa
objektif 100 kali.
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non-solid yang berguna untuk

16
mengetahui daya penularan kuman dan untuk menilai hasil pengobatan dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.
b. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk
memastikan gambaran klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan
klasifikasi lepra. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberculoid adalah tuberkel
dengan kerusakan saraf lebih nyata, tidak terdapat kuman atau hanya
sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung
dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow
dengan banyak kuman. Terdapat campuran unsur-unsur tersebut pada tipe
Borderline.
c. Pemeriksaan Serologi
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya
antibodi tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak spesifik. Antibodi yang
spesifik terhadap M. lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid-
1(PGL 1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi
yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM),
yang juga dihasilkan oleh kuman M. Tuberculosis.
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu
dapat juga membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak terdapat
lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan
serologik lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML
dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick), dan ML flow test
(Mycobacterium leprae flow test).
2.10 Pentalaksanaan
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-
Multydrug Therapy (WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin

17
dan dapson untuk penderita lepra tipe MB serta rifampisin dan dapson untuk
penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat antilepra yang paling
penting dan termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan lepra
dengan hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan
resistensi obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang
digunakan sebagai monoterapi dianggap tidak etis.
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan
mata rantai penularan. Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek
terapeutik obat, efek samping obat, ketersediaan obat, harga obat, dan
kemungkinan penerapannya.
Prosedur pemberian MDT adalah sebagai berikut:
1) MDT untuk lepra tipe MB
Pada dewasa diberikan selama 12 bulan yaitu rifampisin 600 mg
setiap bulan, klofamizin 300 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, dan
dapsone 100 mg setiap hari. Sedangkan pada anak-anak, diberikan
selama 12 bulan dengan kombinasi rifampisin 450 mg setiap bulan,
klofamizin 150 mg setiap bulan dan 50 mg setiap hari, serta dapsone 50
mg setiap hari.
2) MDT untuk lepra tipe PB
Pada dewasa diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi
rifampisin 600 mg setiap bulan dan dapsone 100 mg setiap bulan. Pada
anak-anak diberikan selama 6 bulan dengan kombinasi rifampisin 450
mg setiap bulan dan dapsone 50 mg setiap bulan.
Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosterois, antara
lain prednisolon. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi,
biasanya prednisolon 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat
reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi perlu diberikan 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi
sebaliknya bia reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan

18
perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai diberhentikan
sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikesteroid. Dapat
ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedative atau bila berat,
penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan kortikosteroid
dapat mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul kalau obat tersebut
dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus
mendapatkan kortikostreoid terus menerus.
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid,
tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak
boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini
tidak didapat.
Klofazimin kecuali kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai
sebagai anti-reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga
bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya,
biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada
kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan
dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai
usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek
samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit
menjadi bewarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih
bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya
dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai.
Selama penaggulangan ENL ini,obat-obat antikusta yang sedang diberikan
diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

Pengobatan reaksi reversal

Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak.


Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan.
Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang
dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin
tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisolon 40 mg sehari, kemudian

19
diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan
dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara
mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativ
kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang
efektif, oleh karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak
efektif untuk reaksi reversal.

Pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta –


Direktorat Jendral Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP
& PL) Departemen Kesehatan Indonesia dapat dilihat skema di bawah ini.
Tabel . Pemberian Prednisolon
Minggu pemberian Dosis harian yang dianjurkan
Minggu 1 – 2 40 mg
Minggu 3 – 4 30 mg
Minggu 5 – 6 20 mg
Minggu 7 – 8 15 mg
Minggu 9 – 10 10 mg
Minggu 11 – 12 5 mg

Pemberian lampren

ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan


pada steroid (pemberian prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu
ditambahakn klofazimin untuk dewasa 300 mg/ hari selama 2-3 bulan. Bila
ada perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan. Jika ada
perbaikan diturunkan menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan dan selanjutnya
kembali ke dosis klofazimin semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih
dalam pengobatan MDT, atau dihentikan bila penderita sudah dinyatakan
RFT. Pada saat yang sama, dosis prednisolon diturunkan secara bertahap.

20
Penatalaksaan Non Farmakologi
1. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi
pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien
harus rajin mengambil obat di puskesmas Bahu dan tidak boleh putus
obat.

2. Penyakit ini mengganggu saraf, sehingga pasien akan merasakan mati


rasa, oleh karena itu disarankan agar pasien menghindari trauma agar
tidak memungkinkan terjadinya infeksi lain, misalnya dengan cara :

- Menggunakan sepatu atau pelindung kaki yang berbahan aman dari


trauma.
- Rajin membersihkan sepatu dari kerikil atau batu yang bisa masuk
ke dalamnya.

21
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : I.P.Y

Umur : 34 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Ds. Undisan Kelod

Suku/ Bangsa : Bali / Indonesia

Agama : Hindu

Pekerjaan : PNS

Tinggi Badan : 165 Cm

Berat Badan : 70 Kg

Tanggal Pemeriksaan : 8 Juni 2017

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien mengeluh timbul benjolan kemerahan sejak ±3 minggu yang
lalu.
Keluhan Penyakit Sekarang
Pasien ssat ini mengeluh badan nyeri pada predileksi yang terkena
dan terasa panas.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Disangkal pasien
Riwayat Penyakit Keluarga :
Kakak kandung perempuan pasien menderita MH multibasiler dan
sementara dalam terapi ROM (rifampisin, ofloksasin, minosikin) sejak
januari 2012.

22
Riwayat alergi

Makanan : disangkal pasien

Obat : disangkal pasien

Riwayat Atopi

Asma : disangkal pasien

Bersin dipagi hari : disangkal pasien

Debu : bersin - bersin

Riwayat Sosial

Rumah semipermanen, terdiri dari 3 kamar bersama 4 anggota keluarga


termasuk kakak kandung perempuan pasien yang menderita MH
multibasiller yang tinggal, ventilasi cukup, sumber air sumur.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status General
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan Darah : 110/80 MmHg

Nadi : 78 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 36,5°C

Kepala : Mata :Konjungtiva Anemis -/- Sklera ikterik

Leher : Trakea ditengah, pembesaran kelenjar getah


bening (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)

23
Jantung : SI-II normal, Bising (-)

Paru: Suara pernapasan bronkovesikuler, ronki -/-,


wheezing -/-

Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal, nyeri


epigastrium (-)

Hepar/Lien : tidak teraba membesar

Ekstremitas : Akral hangat, edema

Status Dermatologi

Region : auricularis dextra sinistra

Efflurosensi : nodula eritematosa multipel, erosi (-)

Gambar 1. Reaksi ENL, gambaran nodul eritematosa di lengan

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium : Pemeriksaan BTA

Hasil pemeriksaan ditemukan


1. Indeks bakteri : +4
2. Indeks morfologi : 7%

24
3.5 Diagnosis
Morbus Hansen tipe Multibasiler dengan reaksi Eritema Nodosum
Leprosum
3.6 Penalaksaan
- MDT MB
- Methylprednisolon 3x8mg
- Citirizin 1x10mg
- Multivitamin 1x1 tablet
3.7 Follow Up
10-06-2017
S: pasien datang membawa hasil peemriksaaan laboratorium
O: hasil pemeriksaan BTA
Indeks bakteri : +4
Indeks morfologi : 7%
A: morbus hansen tipe MB dengan reaksi Eritema Nodusum
leprosum
P: MDT MB
Methylprednisolon 3x8mg
Citirizin 1x10mg
Multivitamin 1x1 tablet
20-06-2017
S: nyeri pada bahu kanan, mual
O: st dermatologi:
Regio : lengan
Eff : makula hiperpigmentasi multipel
A: morbus hansen tipe MB dengan reaksi Eritema Nodusum
leprosum
P: meloxicam 2x7,5mg
Sohobion 1x1 tab
Ranitidine 2x1 tab (K/P)

25
BAB IV
KESIMPULAN

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya adalah


mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya
dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem
retikulo-endotelial, mata, otot, tulang, dan testis.5

Diagnosis MH multibasiler pada pasien ini ditegakkan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pada anamnesis didapatkan bercak kemerahan pada ke dua lengan sejak


±3minggu sebelum ke rumah sakit. Bercak tidak gatal terasa nyeri dan ada keluhan
panas, serta pasien juga mengeluh adanya nyeri pada persendian bahu. Dikeluarga
tidak ada yang seperti ini.

Gejala klinis untuk morbus hansen tipe multibasiler dimana lesi kulit berupa
makula datar, papul yang meninggi, dan nodus. Jumlah lesinya lebih dari 5,
distribusi lebih simetris, hilangnya sensasi kurang jelas. Penularan kusta belum
diketahui secara pasti namun berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak
langsung antar kulit yang lama dan erat. Selain itu, dapat pula melalui inhalasi,
sebab Mycobatcterium Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.1

Pada status dermatologis pada regio auricularis dextra sinistra terdapat


gambaran makula hiperpigmentasi multipel.

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah
sedikit, kemudian dengan cepat menyebar keseluruh badan. Makula disini lebih
jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul, nodus lebih
tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak
melekuk pada bagian tengah.

Pada pasien ini diberikan terapi MDT dengan 3 jenis obat yaitu rifampisin,
DDS dan lampren. DDS 100 mg/hari, rifampisin 600 mg setiap bulan, dan lampren
300 mg setiap bulan, diteruskan dengan 50 mg setiap hari. Kombinasi obat ini

26
diberikan 2 tahun sampai 3 tahun dengan syarat bakterioskopik harus negatif.
Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai
bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis
setiap bulan dan secara bakteriologis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar
kemungkinan pengobatan kusta multibasilar ini hanya selama 2 sampai 3 tahun.3

Edukasi untuk pasien berupa nasihat untuk patuh dalam berobat serta
sedapat mungkin menghindari trauma agar tidak terjadi infeksi lain.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Kusta. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 5. Jakart
a. FK UI. 2007 : 73-88
2. Morbus Hansen. Dikutip 8 april 2012, dari :
dari : http://www.scribd.com/h_pym/d/83493254-leprosy-Morbus-Hanse
n.
3. Siregar RS. Kusta. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, edisi 2. Jakarta
2005 : …..
4. Warouw W. Penyakit kulit oleh karena mikobakteri. Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin. Dermatologi Umum. Manado. 2004 :13-20
5. Kosasih A, dkk. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta.F
KUI. 2007 : 73-88
6. Modul Orientasi Program P2 Kusta bagi Co Ass.DinKes SULUT. Manad.
2007

28

Você também pode gostar