Você está na página 1de 26

FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI II

ANTIDIABETIC DRUG - SULFONILUREA

OLEH :

KELOMPOK 1

1. A.A. Aditya Bhadrapada Pudja (171200160)


2. I Made Pradnyana Putra (171200168)
3. Made Dio Lokantara (171200176)
4. Ni Made Duwik Cahyani (171200184)
5. Ni Wayan Windia Indayanti (171200192)

KELAS : A2B

Dosen Pengampu : Ni Putu Aryati S., S.Farm., M.Farm(klin)., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,
Puja dan puji syukur dihaturkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida
Sang Hyang Widhi Wasa), karena atas rahmat dan karunia-NYA penulisan
makalah yang berjudul “Makalah Farmakologi dan Toksikologi II (Antidiabetic
Drug - Sulfonilurea)” dapat terselesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Farmakologi dan Toksikologi II pada semester genap tahun 2019. Adapun
penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan minat pembaca dan untuk
menambah wawasan tentang Antidiabetic Drug - Sulfonilurea.
Dalam penulisan makalah ini cukup banyak hambatan dan kesulitan yang
dialami, namun berkat kerja keras dan adanya bantuan dari berbagai pihak
hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu melalui pengantar
ini penyusun menyampaikan ucapakan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Ni Putu Aryati S., S.Farm., M.Farm(klin)., Apt. Selaku dosen mata kuliah
Farmakologi dan Toksikologi II yang telah banyak meluangkan waktu dan
memberikan bimbingan kepada penulis selama mengerjakan makalah ini.
2. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Farmasi Klinis Program Sarjana
Institut Ilmu Kesehatan Medika Persada Bali yang telah memberikan
dorongan dan fasilitas dalam.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari yang sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sangat diharapkan.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini ada manfaatnya.
Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Denpasar, Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Penyakit Diabetes ………………………………………………..4
2.2 Jenis – Jenis Diabetes ……………………………………………………..4
2.3 Patofisiologi Terjadinya Penyakit Diabetes ………………………………6

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Definisi Sulfonilurea ……………………………………………………...9
3.2 Mekanisme Kerja Obat Diabetes Golongan Sulfonilurea ………………...9
3.3 Contoh Obat Golongan Sulfonilurea …………………………………….10
3.4 Farmakokinetik dan Toksisitas Masing – Masing Obat Serta
Penggunaannya Secara Klinis …………………………………………...13

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ……………………………………………………………..20
4.2 Saran …………………………………………………………………….21

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO,
1999).
Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia mengidap
diabetes mellitus. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali
lipat pada tahun 2005, dan sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di
negaranegara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Populasi penderita diabetes di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5
sampai 2,5% kecuali di Manado 6%. Dengan jumlah penduduk sekitar 200
juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita
diabetes. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia
mencapai 5 juta jiwa. Pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta
penderita (Promosi Kesehatan Online, 2005).
Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak
menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila
pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara
multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi obat.
Apoteker, terutama bagi yang bekerja di sektor kefarmasian komunitas,
memiliki peran yang sangat penting dalam keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Mendampingi, memberikan konseling dan bekerja sama erat dengan
penderita dalam penatalaksanaan diabetes sehari-hari khususnya dalam terapi
obat merupakan salah satu tugas profesi kefarmasian. Membantu penderita
menyesuaikan pola diet sebagaimana yang disarankan ahli gizi, mencegah

1
2

dan mengendalikan komplikasi yang mungkin timbul, mencegah dan


mengendalikan efek samping obat, memberikan rekomendasi penyesuaian
rejimen dan dosis obat yang harus dikonsumsi penderita bersama-sama
dengan dokter yang merawat penderita, yang kemungkinan dapat berubah
dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi penderita, merupakan peran yang
sangat sesuai dengan kompetensi dan tugas seorang apoteker. Demikian pula
apoteker dapat juga memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada
penderita tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kondisi dan
pengelolaan diabetes, mulai dari pengetahuan tentang etiologi dan
patofisiologi diabetes sampai dengan farmakoterapi dan pencegahan
komplikasi yang semuanya dapat diberikan dengan bahasa yang mudah
dipahami, disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan kondisi penderita.
Pentingnya peran apoteker dalam keberhasilan penatalaksana diabetes ini
menjadi lebih bermakna karena penderita diabetes umumnya merupakan
pelanggan tetap apotik, sehingga frekuensi pertemuan penderita diabetes
dengan apoteker di apotik mungkin lebih tinggi daripada frekuensi
pertemuannya dengan dokter. Peluang ini seharusnya dapat dimanfaatkan
seoptimal mungkin dalam rangka memberikan pelayanan kefarmasian yang
profesional.
Terapi obat dengan obat antidiabetik oral terutama ditujukan untuk
membantu penanganan pasien diabetes mellitus tipe II. Sedangkan pada
pasien diabetes tipe I biasanya diberikan Insulin. Berdasarkan mekanisme
kerjanya, obat-obat antidiabetik oral terbagi menjadi 4 golongan. Pada
kesempatan ini kami akan membahas salah satu terapi obat antidiabetik oral
adalah golongan sulfonylurea.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang didapatkan berdasarkan latar belakang diatas
adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit diabetes?
2. Apa saja jenis – jenis diabetes?
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya penyakit diabetes?
3

4. Apa yang dimaksud dengan sulfonilurea ?


5. Bagaimana mekanisme kerja obat diabetes golongan sulfonilurea?
6. Apa saja contoh obat golongan Sulfonilurea?
7. Bagaimana Farmakokinetik dan Toksisitas obat masing – masing obat
serta penggunaannya secara klinis?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui definisi penyakit diabetes
2. Mengetahui jenis – jenis diabetes
3. Mengetahui patofisiologi terjadinya penyakit diabetes
4. Mengetahui definisi dari sulfonilurea
5. Mengetahui mekanisme kerja obat diabetes golongan sulfonilurea
6. Mengetahui contoh obat golongan sulfonilurea
7. Mengetahui farmakokinetik dan toksisitas obat masing – masing obat
serta penggunaannya secara klinis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penyakit Diabetes


Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO,
1999).

2.2 Jenis – Jenis Diabetes


WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian
diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics
dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi
baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data
Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu
"Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes
Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM)
yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada tahun 1985 WHO
mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM
Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus"
(NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya
istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.

4
5

Tabel 2.2.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya

NO. TIPE DIABETES

1. Diabetes Mellitus Tipe 1


Destruksi sel β umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin
absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β :
 kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut MODY 3),
 kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
 kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut MODY 1)
 DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
 Pankreatitis
 Trauma/Pankreatektomi
 Neoplasma
 Cistic Fibrosis
 Hemokromatosis
 Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon
6

tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin,


interferon
F. Diabetes karena infeksi
G. Diabetes Imunologi (jarang)
H. Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter,
Turner, Huntington, Chorea, Prader Willi
4. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya
bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe
2
5. Pra-Diabetes
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa
Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi
Glukosa Terganggu)

(ADA,2003)
2.3 Patofisiologi Terjadinya Penyakit Diabetes
Diabetes Melitus terkait erat dengan proses pangaturan glukosa dalam
darah. Glukosa merupakan monosakarida paling utama yang memiliki peran
penting dalam proses kimia kehidupan. Dalam proses yang dikenal sebagai
respirasi selular, sel-sel mengekstraksi energi yang tersimpan dalam molekul
glukosa. Molekul glukosa yang tidak segera digunakan dengan cara ini
umumnya disimpan sebagai monomer yang bergabung membentuk disakarida
atau polisakarida misalnya pati dan glikogen (Campbell, 2002).
Metabolisme glukosa didalam tubuh dipengaruhi oleh hormon insulin.
Hormon insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5700 yang
terdiri atas 2 rantai polipeptida, A dan B yang saling berhubungan melalui
dua jembatan disulfida. Insulin disintesis oleh sel-sel B atau ß pada pankreas
dalam bentuk prekursor yang tidak aktif (yang disebut proinsulin). Zat ini
disimpan dalam granula sel-sel ß dari jaringan pulau Langerhans sampai
datangnya isyarat untuk sekresi, yang kemudian proinsulin diubah menjadi
insulin aktif (Lehninger, 1982).
7

Pulau-pulau Langerhands merupakan suatu kumpulan sel-sel endokrin


yang mensekresikan 2 hormon secara langsung ke dalam sistem sirkulasi.
Masing-masing pulau mempunyai populasi sel-sel alfa, yang mensekresikan
hormon peptida glukagon dan populasi sel-sel ß yang mensekresikan hormon
insulin. Insulin dan glukagon adalah hormon yang bekerja secara antagonis
dalam mengatur glukosa dalam darah. Hal ini merupakan suatu fungsi
bioenergetik dan homeostasis yang sangat penting, karena glukosa merupakan
bahan utama untuk respirasi seluler dan sumber kunci kerangka karbon untuk
sintesis senyawa organik lainnya. Keseimbangan metabolisme tergantung
pada pemeliharaan glukosa darah pada konsentrasi yang dekat dengan titik
pasang, yaitu sekitar 90mg/100ml pada manusia. Ketika glukosa darah
melebihi kadar tersebut insulin dilepaskan dan bekerja menurunkan
konsentrasi glukosa. Ketika glukosa darah turun di bawah titik pasang,
glukagon meningkatkan konsentrasi glukosa melalui umpan balik negatif,
konsentrasi glukosa darah menentukan jumlah relatif insulin dan glukagon
yang disekresikan oleh sel-sel pulau Langerhands (Campbell, 2002).
Insulin meningkatkan masuknya glukosa ke dalam sel dengan
meningkatkan laju transport terbantu dari glukosa melintasi membran sel.
Begitu glukosa telah masuk sel, segera difosforilasi untuk menjaganya keluar
tanpa kontrol. Glukosa dimetabolisasi atau diubah menjadi glikogen untuk
disimpan dalam otot, sedangkan dalam sel hati, insulin meningkatkan
penyimpanan energi melalui stimulasi glikogenesis dan lipogenesis (Soewolo,
2000).
Glukosa agak menyimpang ketika mekanisme homeostasis, terdapat
konsekuensi yang serius diabetes mellitus, kemungkinan merupakan
gangguan endokrin yang disebabkan oleh defisiensi insulin atau hilangnya
respon terhadap insulin pada jaringan target. Kondisi ini menyebabkan kadar
glukosa darah menjadi tinggi, sehingga ginjal penderita diabetes
mensekresikan glukosa (Soewolo, 2000).
Defisiensi insulin juga menyebabkan glukosa menjadi tidak tersedia bagi
sebagian besar sel tubuh sebagai sumber bahan bakar utama maka lemak
harus berfungsi sebagai substrat utama untuk respirasi seluler (Campbell,
8

2002). Kadar glikogen yang tinggi dan kadar insulin yang rendah
menyebabkan terjadi penguraian protein otot, hingga dihasilkan asam amino
yang digunakan oleh hati untuk glukoneogenesis, untuk memfasilitasi
penggunaan asam amino dan sintesis lipid, dengan demikian pelepasan asam
lemak dari jaringan adiposa meningkat, sehingga meningkatkan kadar asam
lemak dalam darah. Asam lemak akan digunakan sel otot sebagai sumber
energi alternatif. Glikogen yang tersimpan dalam hati dan otot dibongkar,
protein otot diurai dan asam amino digunakan untuk glukoneogenesis dalam
hati dan simpanan trigleserida dalam jaringan adiposa diurai (Susilowati,
2006).
Defisiensi insulin dapat menyebabkan hiperglikemia yang berbahaya,
glikosuria (Glukosa keluar bersama kencing) mengurangi kemampuan
metabolisme karbohidrat atau konveksi karbohidrat menjadi lemak, dan
kehilangan protein yang dibongkar untuk energi pengganti glukosa (Soewolo,
2000).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi Sulfonilurea


Sulfonilurea merupakan golongan obat yang mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan
utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari
hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua,
gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular,
tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang (Sola et al, 2015).

3.2 Mekanisme Kerja Obat Diabetes Golongan Sulfonilurea


Efek utama sulfonilurea adalah meningkatan konsentrasi insulin
plasma, akibatnya mereka hanya efektif ketika sel β pankreas residual
hadir. Peningkatan kadar insulin plasma terjadi karena dua alasan. Pertama,
ada stimulasi sekresi insulin oleh sel-sel β pankreas, dan kedua, ada
penurunan pembersihan hati insulin. Secara khusus, efek kedua ini muncul
terutama setelah peningkatan sekresi insulin telah terjadi. Faktanya, pada
bulan pertama pengobatan, kadar insulin dan respons insulin terhadap glukosa
meningkat dengan cepat, sehingga menurunkan glukosa darah. Setelah
periode ini, kadar insulin awal dan stimulasi menjadi lebih rendah
dibandingkan dengan yang diukur pada awal pengobatan. Namun, nilai
glukosa darah tetap tidak berubah. Alasan untuk pengamatan ini tidak
jelas. Berkenaan dengan aktivitas sekretori sulfonilurea, mekanismenya
sekarang diketahui. Mereka bertindak dengan mengikat reseptor spesifik
untuk sulfonilurea pada sel β-pankreas, menghalangi aliran kalium (K + )
melalui saluran yang bergantung pada ATP, aliran K+ di dalam sel β menjadi
nol, membran sel menjadi terdepolarisasi, sehingga menghilangkan layar
listrik yang mencegah difusi kalsium ke dalam sitosol. Meningkatnya aliran
kalsium ke dalam sel β menyebabkan kontraksi filamen aktomiosin yang

9
10

bertanggung jawab untuk eksositosis insulin, yang karenanya segera


dikeluarkan dalam jumlah besar (Sola et al, 2015).

Gambar 3.2.1 Mekanisme Kerja Sulfonylureas

Disudut kanan atas diwakili SUR, sedangkan oktagon adalah


sulfonylurea (SU). Ketika SU mengikat SUR, aliran K (panah) berhenti,
sehingga membran sel terdepolarisasi. Peningkatan aliran kalsium
menyebabkan kontraksi filamen aktomiosin yang bertanggung jawab untuk
eksositosis insulin. (Sola et al, 2015).

3.3 Contoh Obat Golongan Sulfonilurea


1) Tolbutamine
Tolbutamine adalah sulfonilurea generasi pertama yang beraksi
pendek dengan aktivitas hipoglikemik. Dibandingkan dengan sulfonilurea
generasi kedua, tolbutamine lebih cenderung menyebabkan efek samping,
seperti penyakit kuning. Agen ini dengan cepat dimetabolisme oleh
CYPC29 (Sola et al, 2015).
11

Mekanisme kerja : menurunkan konsentrasi glukosa darah terutama


dengan merangsang sekresi insulin endogen dari sel-sel b pankreas. Ini
dapat meningkatkan sensitivitas perifer terhadap insulin dan mengurangi
produksi glukosa hepatik basal selama pemberian jangka panjang
(Mims.com).
2) Glibenclamine
Glibenclamine adalah sulfonilurea generasi kedua yang digunakan
dalam pengobatan yang tidak tergantung insulinbetes (NIDDM) (Sola et
al, 2015).

Mekanisme kerja : menurunkan konsentrasi glukosa darah terutama


dengan merangsang sekresi insulin endogen dari sel B pankreas. Tindakan
hipoglikemik yang terkait dengan terapi jangka pendek tampaknya
mencakup pengurangan produksi glukosa hepatik basal dan peningkatan
aksi insulin perifer di lokasi target (Mims.com).
3) Glimepiride
Glimepiride merupakan generasi kedua dari sulfonilurea yang
merangsang pankreas β sel untuk melepaskan insulin (Sola et al, 2015).

Mekanisme kerja : merangsang pelepasan insulin dari sel Beta pankreas


dan mengurangi output glukosa dari hati. Ini juga meningkatkan
sensitivitas insulin di situs target perifer (Mims.com).
12

4) Glipizine
Glipizide adalah obat anti diabetes mellitus tipe 2 yang termasuk ke
dalam golongan sulfonilurea generasi kedua. Obat-obat sulfonilurea
generasi kedua memiliki efek lebih kuat dan memiliki waktu paruh lebih
pendek dari sulfonilurea generasi pertama. Oleh karena itu glipizide
disebut juga rapid and short acting anti diabetic drug (Sola et al, 2015).

Mekanisme kerja : menstimulasi pelepasan insulin dari sel-sel β pankreas


dan mengurangi output glukosa dari hati. Ini juga meningkatkan
sensitivitas insulin di situs target perifer (Mims.com).
5) Gliclazide
Gliclazide adalah obat anti diabetes mellitus tipe 2 yang termasuk ke
dalam golongan sulfonilurea. Obat ini juga bermanfaat untuk mencegah
penumpukan lemak di arteri. Gliclazide menurunkan kadar gula darah
dengan cara mengikat secara selektif reseptor sulfonilurea (SUR 1) pada
permukaan sel beta pankreas (Sola et al, 2015).

Mekanisme kerja : menstimulasi sekresi insulin dari sel-b pankreas,


mengurangi penyerapan insulin dan output glukosa oleh hati, dan
meningkatkan sensitivitas insulin di lokasi target perifer. Ini mengurangi
microthrombosis dengan penghambatan parsial agregasi dan adhesi
trombosit, dan dengan mengembalikan fibrinolisis dengan peningkatan
aktivator plasminogen jaringan (t-PA) (Mims.com).
13

6) Gliquidone
Gliquidone adalah generasi kedua, short-acting, sulfonylurea yang
digunakan dalam pengobatan diabetes mellitus tipe 2 (Sola et al, 2015).

Mekanisme kerja : merangsang produksi insulin organik dan menormalkan


situasi metabolisme yang berubah ketika diet saja tidak dapat mengatur ini
dengan memuaskan (Mims.com).

3.4 Farmakokinetik Dan Toksisitas Masing – Masing Obat Serta


Penggunaannya Secara Klinis
Meskipun dengan waktu dan jumlah yang berbeda, semua sulfonilurea
diserap oleh usus setelah asupan oral, masing-masing dengan waktu
penyerapan spesifik dan ketersediaan hayati. Hiperglikemia dapat
mengurangi penyerapan sulfonilurea karena mengganggu motilitas usus,
sehingga mengurangi penyerapan semua obat yang diberikan secara oral.
Fenomena yang sama juga terjadi pada asupan makanan. Untuk alasan ini,
untuk mengoptimalkan penyerapannya, sulfonilurea harus diminum 30 menit
sebelum makan, dan dosisnya harus ditingkatkan setiap 2 minggu jika kontrol
glikemik belum tercapai. Dosis awal yang khas harus rendah (misalnya
glibenclamide 2,5 mg atau glimepiride 2 mg). Dosis yang lebih tinggi
(misalnya, lebih dari 10 mg glibenclamide) jarang semakin meningkatkan
kontrol glikemik dan harus dihindari. Karena efek biologisnya yang
berkepanjangan, sulfonilurea diberikan sekali atau dua kali sehari. Setelah
penyerapan, sulfonilurea berikatan hampir sepenuhnya dengan protein
plasma, terutama albumin (rata-rata 95%, berkisar dari 90% untuk
klorpropamid hingga 99% untuk glibenclamide). Volume distribusi sekitar
0,2 l / kg.(Sola et al, 2015)
Efek biologis sulfonilurea sering berlangsung lebih lama daripada paruh
plasma mereka, karena interaksi reseptor dan pembentukan metabolit aktif,
14

bertahan 24 jam atau lebih. Selain itu, waktu paruh mereka diperpanjang
dengan adanya gagal ginjal. Selain kemungkinan perubahan penyerapan dan
metabolisme, perbedaan genetik juga dapat mengubah respons terhadap
sulfonilurea: dalam beberapa tahun terakhir, kegagalan genetik sel β telah
ditunjukkan. Varian genetik ini jelas mengubah efektivitas sulfonilurea.
Beberapa polimorfisme gen ini diidentifikasi dalam gen yang mengkode
+
saluran K ATP. Mutasi ini menyebabkan perubahan sekresi insulin dan
respons insulin terhadap pengobatan sulfonilurea. Polimorfisme lain
ditemukan pada gen yang mengkode enzim atau faktor transkripsi(Sola et al,
2015)
Untuk semua alasan yang disebutkan di atas, sulfonilurea tidak semuanya
sama, mereka berbeda dalam dosis, laju penyerapan, durasi kerja, rute
eliminasi dan situs pengikatan pada reseptor sel β sel pankreas target mereka.
Sifat farmakokinetik, oleh karena itu, adalah penentu perbedaan ini.
Tidak seperti sebagian besar sulfonilurea yang ditandai dengan ekskresi
ginjal yang umum, gliclazide dan, terutama, gliquidone, menunjukkan
pembersihan bilier yang dominan (95%). Ini dapat bermanfaat dalam praktik
klinis, terutama ketika merawat pasien diabetes dengan gangguan ginjal(Sola
et al, 2015).
Sulfonilurea menurunkan konsentrasi glukosa darah sekitar 20% dan
HbA 1c oleh 1 hingga 2% mereka memberikan efek pada HbA 1c mirip
dengan metformin, tetapi penggunaannya memerlukan risiko lebih besar
hipoglikemia dan kenaikan berat badan yang tidak diinginkan, rata-rata
sekitar 2 kg(Sola et al, 2015).
Untuk farmakokinetik dan toksisitas masing – masing obat serta
penggunaannya secara klinis dari golongan obat sulfonilurea dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
1. Tolbutamine
Farmakokinetik  Absorption: mudah diserap dalam saluran
GI. Waktu puncak konsentrasi plasma: 3-
5 jam
 Distribution: Didistribusikan ke dalam
15

ASI
 Volume distribusi: 0.15L/kg
 Plasma protein binding: approx. 95%
 Metabolism: dimetabolisme di hati
melalui hidroksilasi yang diperantarai oleh
CYP2C9 isoenzime.
 Ekskresi: di urin (75-85%) terutama
sebagai metabolit dan feses
 Waktu paruh obat: 4-7 jam

(Mims.com)

Toksisitas Oral, pada tikus: LD50 = 2600 mg/kg


(DrugBank)
Penggunaan klinis Untuk pengobatan NIDDM (diabetes mellitus
yang tidak tergantung insulin) bersamaan
dengan diet dan olahraga. (DrugBank)

2. Glibenclamine
Farmakokinetik  Absorption: diserap dari saluran GI
Waktu puncak konsentrasi plasma: 2-4
jam
 Distribution: Plasma protein binding:
luas, terutama untuk albumin
 Metabolism: metabolisme hati,
dikonversi menjadi metabolit aktivit yang
sangat lemah
 Ekskresi: di urin (approx. 50%%) dan
feses (50%) terutama sebagai metabolit
(Mims.com)

Toksisitas Efek hipoglikemik yang poten sehingga pasien


perlu diingatkan untuk melakukan jadwal
16

makan yang ketat.


(Soegondo,2004)
Penggunaan klinis Dapat diberikan pada beberapa pasien dengan
kelainan fungsi hati
dan ginjal.
(Soegondo,2004)

3. Glimepiride
Farmakokinetik  Absorption: sepenuhnya diserap di
saluran GI.
Waktu puncak konsentrasi plasma: 2-3
jam.
 Distribution: Plasma protein binding:
>99.5%. Volume distribusi: 8.8 L
 Metabolism: dimetabolisme secara luas di
hati melalui oksidasi by CYP2C9
isoenzime menjadi 2 metabolit utama.
 Ekskresi: di urin (approx. 60%) dan feses
(40%) terutama sebagai metabolit
Waktu paruh obat: approx. 9 jam
(Mims.com)

Toksisitas Dibandingkan dengan glibenklamid, glimepirid


lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik
pada awal pengobatan.
(Soegondo,2004)
Penggunaan klinis Untuk pasien yang berisiko tinggi, yaitu pasien
usia lanjut, pasien dengan gangguan ginjal atau
yang melakukan aktivitas berat dapat diberikan
obat ini.
(Soegondo,2004)
17

4. Glipizine
Farmakokinetik  Absorption: mudah diserap dalam saluran
GI. Food delay Absorption. Waktu puncak
konsentrasi plasma: 1-3 jam
 Bioavailability: 90-100%
 Distribution: Volume distribusi: 10-11L
 Plasma protein binding: 98-99%
(terutama untuk albumin)
 Metabolism: dimetabolisme di hati
melalui hidroksilasi yang diperantarai oleh
CYP2C9 isoenzime.
 Waktu paruh obat: 2-4 jam
(Mims.com)

Toksisitas Toksisitas oral akut sangat rendah pada semua


spesies yang diuji (LD50 lebih besar dari 4 g /
kg). Overdosis sulfonilurea termasuk glipizide
dapat menghasilkan hipoglikemia.
(DrugBank)
Penggunaan klinis Untuk digunakan sebagai tambahan untuk diet
untuk kontrol hiperglikemia dan gejala yang
terkait pada pasien dengan diabetes mellitus
yang tidak tergantung insulin (NIDDM; tipe
II), yang sebelumnya dikenal sebagai diabetes
dengan onset kedewasaan, setelah percobaan
terapi diet yang memadai telah membuktikan.
tidak memuaskan. (DrugBank)

5. Gliclazide
Farmakokinetik  Absorption: mudah diserap dalam saluran
GI. Food delay Absorption. Waktu puncak
konsentrasi plasma: 4-6 jam (immediate-
18

release tab); approx. 6 jam (modified-


release tab)
 Bioavailability: 97%
 Distribution: Plasma protein binding:
approx. 94-95%
 Metabolism: dimetabolisme di hati secara
luas melalui CYP2C9 dan CYP2C19
dikonversi menjadi metabolit yang tidak
aktif
 Ekskresi: di urin ( 60%-70% sebagai
metabolit; <1% sebagai obat yang tidak
berubah ) dan feses (10-20% terutama
sebagai metabolit)
 Waktu paruh obat: approx 10-12 jam
(Mims.com)

Toksisitas Mempunyai efek hipoglikemik sedang


sehingga tidak begitu sering menyebabkan efek
hipoglikemik. Mempunyai efek anti agregasi
trombosit yang lebih poten.
(Soegondo,2004)
Penggunaan klinis Dapat diberikan pada penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal yang ringan.
(Soegondo,2004)

6. Gliquidone
Farmakokinetik  Konsentrasi plasma puncak: terjadi
dalam 2-3 iom setelah diminum, dan
menurun kembali sampai hingga 20%
dalam 8 ion.
 Metabolism: dimetabolisme sempurna
menjadi senyawa demetilasi dan
19

hidroksilasi.
 Ekskresi: 95% melalui empedu, dan 5%
melalui ginjal.
 Waktu paruh obat: kurang lebih 24 jam
(Mims.com)

Toksisitas Mempunyai efek hipoglikemik sedang dan


jarang menimbulkan serangan hipoglikemik.
(Soegondo,2004)
Penggunaan klinis Dapat diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi hati dan ginjal yang agak berat.
(Soegondo,2004)
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau
gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
2. Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya dapat dibagi menjadi
5 yaitu : diabetes mellitus tipe 1, diabetes mellitus tipe 2, diabetes mellitus
tipe lain, diabetes mellitus gestasional, dan pra-diabetes.
3. Metabolisme glukosa didalam tubuh dipengaruhi oleh hormon insulin.
Hormon insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5700 yang
terdiri atas 2 rantai polipeptida, A dan B yang saling berhubungan
melalui dua jembatan disulfida. Insulin disintesis oleh sel-sel B atau ß
pada pankreas dalam bentuk prekursor yang tidak aktif (yang disebut
proinsulin). Zat ini disimpan dalam granula sel-sel ß dari jaringan pulau
Langerhans sampai datangnya isyarat untuk sekresi, yang kemudian
proinsulin diubah menjadi insulin aktif.
4. Sulfonilurea merupakan golongan obat yang mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan
pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.
Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
5. Efek utama sulfonilurea adalah meningkatan konsentrasi insulin
plasma, akibatnya mereka hanya efektif ketika sel β pankreas residual
hadir. Peningkatan kadar insulin plasma terjadi karena dua
alasan. Pertama, ada stimulasi sekresi insulin oleh sel-sel β pankreas, dan
kedua, ada penurunan pembersihan hati insulin. Secara khusus, efek
kedua ini muncul terutama setelah peningkatan sekresi insulin telah
terjadi. Faktanya, pada bulan pertama pengobatan, kadar insulin dan
respons insulin terhadap glukosa meningkat dengan cepat, sehingga

20
21

menurunkan glukosa darah. Setelah periode ini, kadar insulin awal dan
stimulasi menjadi lebih rendah dibandingkan dengan yang diukur pada
awal pengobatan. Namun, nilai glukosa darah tetap tidak berubah.
6. Contoh Obat Golongan Sulfonilurea yaitu Tolbutamine, Glibenclamine,
Glimepiride, Glipizine, Gliclazide dan Gliquidone.
7. Meskipun dengan waktu dan jumlah yang berbeda, semua sulfonilurea
diserap oleh usus setelah asupan oral, masing-masing dengan waktu
penyerapan spesifik dan ketersediaan hayati. Hiperglikemia dapat
mengurangi penyerapan sulfonilurea karena mengganggu motilitas usus,
sehingga mengurangi penyerapan semua obat yang diberikan secara oral.

4.2 Saran
Dengan adanya makalah antidiabetic drug - sulfonilurea ini penulis ingin
menyarankan bahwa makalah ini tidak hanya sebagai bahan bacaan semata,
akan tetapi dapat dijadikan sebagai sarana untuk menambah wawasan dan
pengetahuan bagi pembaca khususnya yang mendalami farmakologi dan
toksikologi.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2003 Diagnosis and classification of diabetes


mellitus. Diabetes Care.;27(Suppl 1):S5-S10.

Campbell, Neil A. dkk. 2002. Biology Edisi ketiga Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Drug Bank, 2019, Open Data Drug & Drug Target Database, www.drugbank.ca
(diakses pada 16/05/2019).

Lehninger, Albert L. 1982. Principles of Biochemistry Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

Mims.com.2019. Mechanism of Action, www.mims.com/indonesia. (diakses pada


16/05/2019).

Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Direktorat Jenderal Pendidikan


Tinggi DEPDIKNAS. Jakarta.

Sola, Daniele et al. 2015. “Sulfonylureas and Their Use in Clinical Practice.”
Archives of Medical Science 11(4): 840–48.

Soegondo S. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam


Soegondo S, Soewondo P dan Subekti I (eds). Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus Terpadu, Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Cipto
Mangunkusumo-FKUI, Jakarta, 2004.

WHO Expert Committee on Diabetes Mellitus: Second report. World Health


Organ Tech Rep Ser 1980;646:1-80.

WHO Study Group. Diabetes mellitus: Report of a WHO Study Group. World
Health Organ Tech Rep Ser 1985;727:1-113.
WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva. Definition,
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications.
Report of a WHO ConsultationPart 1: Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus . 1999

Você também pode gostar