Você está na página 1de 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah-Nya penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kota
Cilegon yang berjudul Asma Bronkial. Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah
untuk memenuhi tugas yang didapat saat kepaniteraan di RSUD Cilegon. Dari laporan kasus
ini saya mendapat banyak hal dan dapat lebih memahami terapi dan keadaan pasien.
Dalam menyusun laporan kasus ini tentunya tidak lepas dari pihak-pihak yang
membantu saya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. H. Rizki
Drajat, SpP atas bimbingan, saran, kritik dan masukannya dalam menyusun laporan kasus ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua yang selalu mendoakan dan teman-
teman serta pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam pembuatan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Saran
dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk membuat laporan kasus ini lebih
baik. Terima kasih.

Cilegon, 25 Juli 2016

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. 1
DAFTAR ISI........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………. 3
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………. 3
1.2 Batasan Masalah……………………………………………………………….. 3
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………. 3
1.4 Metode Penulisan……………………………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….. 4
2.1 Definisi…………………………………………………………………………. 4
2.2 Epidemiologi…………………………………………………………………… 4
2.3 Etiologi…………………………………………………………………............. 4
2.4 Klasifikasi…………………………………………………………………….... 5
2.5 Patofisiologi……………………………………………………………………..7
2.6 Manifestasi Klinis……………………………………………………………… 8
2.7 Diagnosis………………………………………………………………………. 9
2.8 Diagnosis Banding……………………………………………………………... 12
2.9 Penatalaksanaan………………………………………………………………... 12
2.10 Komplikasi……………………………………………………………………. 19
2.11 Prognosis……………………………………………………………………… 19
2.12 Pencegahan………………………………………………………………….... 19
BAB III PENUTUP……………………………………………………………….. 21
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………….. 21
3.2 Saran…………………………………………………………………………… 21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 22

2
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai adanya mengi
episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas, termasuk dalam
kelompok penyakit saluran pernafasan kronik.
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita
asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang
setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di
seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih
tinggi lagi pada masa akan datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan
kualitas hidup pasien. Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering
menyebabkan anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta aktifitas seluruh
keluarga, juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat, menurunkan kualitas hidup
penderitanya, dan menimbulkan masalah pembiayaan. Selain itu, mortalitas asma relatif
tinggi. WHO memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat asma. Asma dapat diderita
seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak dapat disembuhkan secara total.
Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini
masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan
utama adalah menghindari faktor penyebab.

I.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas tentang faktor resiko, patogenesis, klasifikasi, diagnosis
dan penatalaksanaan asma.

I.3 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui faktor resiko, patogenesis, klasifikasi, diagnosis dan
penatalaksanaan asma.

I.4 Metode Penulisan


Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari
berbagai literatur.

3
BAB II
ASMA BRONKIAL
1. Definisi
Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi dapat menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini
hari. Bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.2

2. Epidemiologi
WHO tahun 2013 memperkirakan bahwa terdapat sekitar 235 juta orang
menderita asma saat ini. Dan asma merupakan penyakit tidak menular yang paling
sering dijumpai pada anak-anak. Asma merupakan masalah kesehatan yang sangat
perlu diperhatikan, tidak hanya menyerang Negara-negara dengan pendapatan yang
tinggi tetapi juga menyerang Negara-negara dengan pendapatan yang menengah dan
bahkan rendah. Dikatakan bahwa kematian yang berhubungan dengan asma terjadi
paling banyak di Negara-negara dengan pendapatan menengah dan rendah.1
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian
pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan
prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.
Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan,
Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar)
menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-
6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan
gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang perlu mendapat perhatian serius.3

3. Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan:4
a. Faktor Genetik
1. Atopi
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang
juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
2. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
3. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada
usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
4. Ras
5. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan
asma, dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

4
b. Faktor Lingkungan
1. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit
binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
2. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).

c. Faktor Lain
1. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna makanan.
2. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritrosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
3. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
4. Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala asma yang
timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stres/gangguan
emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
5. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
6. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
7. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktivitas tersebut.
8. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).

4. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu :5

1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus
yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

5
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini
menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.

Klasifikasi derajat berat Asma berdasarkan gambaran klinis6

6
5. Patofisiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel.
Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus
inflamasi saluran napas pada penderita asma.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas
reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi
sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan
platelete activating factor (PAF) yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
sekresi mukus dan vasodilatasi.6

7
6. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang lazim muncul pada Asma Bronkhial adalah batuk, dispnea,
dan wheezing. Serangan seringkali terjadi pada malam hari. Asma biasanya bermula
mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan
lambat,wheezing. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, yang
mendorong pasien untuk duduk tegak dan menggunakan setiap otot-otot aksesori
pernapasan. Jalan napas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Serangan Asma dapat
berlangsung dari 30 menit sampai beberapa jam dan dapat hilang secara spontan.
Meskipun serangan asma jarang ada yang fatal, kadang terjadi reaksi kontinu yang
lebih berat, yang disebut “status asmatikus”, kondisi ini mengancam hidup (Smeltzer
& Bare, 2002).

Gejala dan Berat Serangan Akut Keadaan


Tanda Mengancam
Jiwa
Ringan Sedang Berat
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk
terlentang membungkuk
Cara berbicara Satu kalimat Beberapa Kata demi kata
kata

8
Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah,
kesadaran
menurun
Frekuensi napas < 20/menit 20- >30 menit
30/menit
Nadi < 100 100-120 >120 Bradikardia
Pulsus 10mmHg +/- 10- + >25mmHg -
Paradoksus 20mmHg
Otot bantu - + + Kelelahan otot
napas dan Torakoabdomi
retraksi nal paradoksal
suprasternal
Mengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE >80% 60-80% <60%
PaO2 >80mmHg 80- <60mmHg
60mmHg
PaCO2 <45mmHg <45mmHg >45mmHg
SaO2 >95% 91-95% <90%

7. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Faktor – faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat
alergi.7
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: Melihat bentuk dada, gerakan dinding dada saat bernapas, melihat
apakah ada kelainan atau tidak pada kulit dada, melihat apakah ada fraktur,
benjolan, dan temuan abnormal lainnya pada dada.
Palpasi: Melakukan palpasi umum dengan menggunakan kedua tangan,
melakukan fremitus taktil dan vokal.
Perkusi: Melakukan perkusi umum di seluruh lapang dada yang akan
menghasilkan suara sonor di seluruh lapang paru. Setelah melakukan perkusi
umum, pemeriksaan peranjakan paru-hepar dapat dilakukan untuk melihat batas
antara paru kanan dan hepar. Perkusi untuk menentukan batas paru-hepar dimulai
dari linea mid clavicularis dextra intercostal 2. Di ketuk sampai redup, lalu pasien
diminta untuk menarik napas lalu menahannya dan pemeriksa langsung mengetuk
saat pasien menahan napas. Hasil yang didapatkan, suara redup akan berubah
menjadi sonor saat pasien menahan napas. Normalnya batas paru-hepar terletak
pada linea mid clavicularis dextra intercostal 6.
Auskultasi: Normalnya auskultasi pada orang sehat terdengan suara dasar
vesikular di seluruh lapang paru. Pada penderita asma, biasanya pemeriksan dapat
mendengar wheezing.

9
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Spirometri
Spirometri merupakan suatu pengukuran volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver
ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan ini sangat
bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi
operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi.
Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis,
juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

b) Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk
puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan
penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver
pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita
dan instruksi yang jelas.
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal
paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat
berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya
dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal;
kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari
untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh
melalui 2 cara:
1. Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/perbedaan
nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari

10
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan presentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.

2. Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah


APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,
dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE
malam hari).1

Gambar 4. Peak Expiratory Flow meter (PEF meter)

c) Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitas rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti
bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain
seperti rinitis alergi, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas
seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
d) Uji Kulit
Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukan adanya antibodi IgE spesifik
dalam tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang
positif tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.
e) Foto Dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain
obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di

11
paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis, dan lain-lain.
f) Pemeriksaan Eosinofil Total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma
dan hal ini dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik.
Pemeriksaan ini juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup
tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma.8

8. Diagnosis Banding
 Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum
3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai
sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan
disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.
 Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya.
 Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada
malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun
pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
 Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.
Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

9. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa ada
kendala dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru se-optimal mungkin
4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) irreversibel
7. Mencegah kematian karena asma.7
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma
adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
menimbulkan hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik.
Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat
dilaksanakan, bermanfaat, aman, dan terjangkau dari segi harga. Integrasi dari
pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan asma, yang
meliputi 7 komponen:
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

12
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat7
Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa
dan pengobatan medikamentosa : 8
a. Pengobatan non-medikamentosa
 Penyuluhan
 Menghindari faktor pencetus
 Pengendali emosi
 Pemakaian oksigen
b. Pengobatan Medikamentosa
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan
napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
1. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol :
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).
Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi
Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beklometason dipropionat 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ug
Budesonid 200-400 ug 400-800 ug >800 ug
Flunisolid 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
Flutikason 100-250 ug 250-500 ug >500 ug
Triamsinolon asetonid 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug

Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi


Obat
Beklometason dipropionat 100-400 ug 400-800 ug >800 ug
Budesonid 100-200 ug 200-400 ug >400 ug
Flunisolid 500-750 ug 1000-1250 ug >1250 ug
Flutikason 100-200 ug 200-500 ug >500 ug
Triamsinolon asetonid 400-800 ug 800-1200 ug >1200 ug

13
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks
terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada
steroid oral jangka panjang.

c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma
persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan
apakah obat ini bermanfaat atau tidak.

d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan
sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama
efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru.

e. Agonis beta-2 kerja lama


Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya
agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2
Onset Durasi (Lama kerja)
Singkat Lama
Cepat Fenoterol Formoterol
Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat Salmeterol

f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan
menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise.

14
Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan
obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah
diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien sisteinil).

2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega
adalah:8

a. Agonis beta-2 kerja singkat


Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja
(onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi
otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan
permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai
praterapi pada exercise-induced asthma

b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu
juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk
dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat.
Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut
atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila
dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

15
Semua tahapan: ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan,
tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi pengontrol Alternatif/Pilihan lain Alternatif lain
harian
Asma Tidak perlu - -
Intermiten
Asma Glukokortikosteroid inhalasi  Teofilin lepas lambat -
Persisten (200-400 mg BB/hari)  Kromolin
Ringan  Leukotriene modifiers
Asma Kombinasi inhalasi  Glukokortikosteroid  Ditambah agonis
Persisten Glukokortikosteroid (400- inhalasi (400-800 mg BB) beta-2 kerja lama
Sedang 800 mg BB/hari) dan agonis ditambah teofilin lepas oral, atau
beta-2 kerja lama lambat, atau  Ditambah teofilin
 Glukokortikosteroid lepas lambat
inhalasi (400-800 mg BB)
ditambah agonis beta-2
kerja lama oral, atau
 Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(<800 mg BB), atau
 Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 mg BB)
ditambah leukotriene
modifiers
Asma Kombinasi inhalasi Prednisolon/metilprednisolon
Persisten Glukokortikosteroid (> 800 oral selang sehari 10 mg
Berat mg/BB) dan agonis beta-2 ditambah agonis beta-2 kerja
kerja lama, ditambah ≥ 1 di lama oral, ditambah teofilin
bawah ini: lepas lambat
- Teofilin lepas lambat
- Leukotriene modifiers
- Glukokortikosteroid oral
Semua tahapan: bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan,
kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi
asma tetap terkontrol.

16
17
18
10. Komplikasi
 Emfisema
 Ateletaksis
 Bronkiektasis
 Pneumothoraks
 Pneumomediastinum
 Gagal nafas
 Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
 Permanent hypoxic brain damage

11. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan
bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau
serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan
yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan
mengalami serangan ulang.
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%,
sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka
kematiannya 9%.

12. Pencegahan
Pencegahan meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan
bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah
tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah
mencegah agar tidak terjadi serangan / bermanifestasi klinis asma pada penderita yang
sudah menderita asma.
Pencegahan Primer
Perkembangan respons imun jelas menunjukkan bahwa periode prenatal dan
perinatal merupakan periode untuk diintervensi dalam melakukan pencegahan primer
penyakit asma. Banyak faktor terlibat dalam meningkatkan atau menurunkan
sensitisasi alergen pada fetus, tetapi pengaruh faktor-faktor tersebut sangat kompleks
dan bervariasi dengan usia gestasi, sehingga pencegahan primer waktu ini adalah
belum mungkin. Walau penelitian ke arah itu terus berlangsung dan menjanjikan.
Pencegahan sekunder
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa pencegahan sekunder mencegah yang
sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma. Studi terbaru mengenai
pemberian antihitamin H-1 dalam menurunkan onset mengi pada penderita anak
dermatitis atopik. Studi lain yang sedang berlangsung, mengenai peran imunoterapi
dengan alergen spesifik untuk menurunkan onset asma.
Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen
sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan

19
gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan /resolusi total dari gejala
daripada jika pajanan terus berlangsung.
Pencegahan Tersier
Sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh
berbagai jenis pencetus. Sehingga menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki
kondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi/ obat.

20
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya
2. Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan
3. Klasifikasi derajat berat Asma berdasarkan gambaran klinis: Intermiten, Persisten
Ringan, Persisten Sedang, dan Persisten Berat
4. Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor)
dan faktor lingkungan
5. Diagnosis banding: bronkitis kronik, emboli paru, emfisema paru, gagal jantung kiri
akut dan penyakit lainnya.
6. Komplikasi asma: atelektasis, pneumothoraks, pneumodiastinum, dan lain-lain.

III.2 Saran
1. Penderita asma sebaiknya menghindari faktor pencetus asma agar tidak terjadi
eksaserbasi.
2. Dokter seharusnya memberikan edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat,
khususnya penderita asma.
3. Dokter harus dapat memahami dengan sangat baik tentang penyakit asma dan
tatalaksananya.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Antariksa B. Diagnosis dan penatalaksanaan asma. Departemen Pulmonologi dan Ilmu


Kedokteran respirasi FKUI-RS. Persahabatan.
2. Global Initiative For Asthma (GINA). Pocket Guide For Asthma Management and
Prevention. Canada, 2015.
3. Fauci AS, Brunwald E, Kasper DL, Hauser Sl, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo
4. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11. Jakarta: Elsevier, 2006.
p. 499-501.
5. Tanjung, D. (2003). Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Diakses 25 Juli 2016 dari USU
digital library:http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di
Indonesia. PDPI. Jakarta, 2003
7. Mangunnegoro H, et al. Asma: Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2004
8. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan Republik Indonesia ,
2009

22

Você também pode gostar